Sebuah roller blade yang ternyata sudah tua
teronggok di pojok. Dua puluh tahun yang lalu roller blade ini paling mahal di
toko. Makanya gue pilih walaupun ekornya terlalu gendut.
Mumpung yang beliin salah satu toke teman
Papi.
Istri bawahannya, tepatnya.
Si toke ganti nama, jadi kaya orang Batak.
Ketika namanya masuk di daftar 150 orang terkaya di Indonesia versi sebuah
koran lokal berbahasa Inggris, Papi mencari dia ke Singapur.
Waktu gue SMA, dia pernah memberi Papi sebuah
mobil BMW ungu. Tapi karena jarang dipake - padahal gue pengen banget
make - dia bilang dia ganti aja dengan uang tunai. 100 juta di tahun 1997
banyak sekali.
Mobilnya diambil, tapi uangnya gak pernah
dikasih. Makanya Papi ke Singapur mencoba bertemu. Kalik aja dia lupa.
Tiga kali didatangi, dia gak pernah di tempat.
Papi lupa dia bukan lagi pejabat, masih berharap bisa bertemu.
Apalagi ketika perusahaannya jadi tersangka
pembakar hutan paling banyak. Makinlah dia gak bisa dicari.
Dari 10 besar orang terkaya Indonesia, hanya
nomor 1 yang terdaftar di Top 500 Richest versi Forbes. Nomor 2 sampai 10 gak
disebut. Langsung ke nomor 11.
Dia nomor 6.
"Ya udahlah, Pi. Bukan mobil kita
juga," tutur gue.
Gue membereskan roller blade, mau disumbangin.
Sepertinya gak ada yang mau lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar