Senin, 29 November 2010

Hiphop Diningrat

Tujuh pemuda Jogja berbatik, berkupluk ala black New Yorkers, dan bersepatu gendut dipajang untuk Q&A di depan setelah pemutaran film dokumenter tentang mereka, Java Hiphop Foundation. Pertanyaan apa yang akan dicecarkan penonton setelah mendengar Serat Centini dan Gurindam 12 dihiphopkan?

"Kalau mau nanya yang susah-susah, jangan ya. Kita gak bisa jawab. Kita bukan filmmaker," katanya dengan kerendahan hati yang terdengar sangat percaya diri.

Mereka membuat budaya lokal jadi terdengar sangat kontemporer. Ternyata penonton malah menikmati warisan budaya mereka di-bronx-kan.

Kok bisa sampai diundang ke Singapur?

"Kata panitianya sih buat ngajarin Orang Singapur bagaimana bikin budaya lokal lebih global."

Kapan ke London?

"Nunggu diundang. Kita gak bisa bikin proposal bagus-bagus kaya filmmaker. Gak ada tendensi untuk kontemporer."

Ada niat untuk bikin CD kompilasi buat ngebantu Merapi?

"Nggak ada. Saya ngangkut-ngangkutin jenazah aja. Saat itu Merapi butuhnya tukang ngangkut jenazah, gak butuh rapper."

Gue jatuh cinta pada rapper-rapper sombong nan rendah hati ini. Pulang-pulang minta foto bareng.

Semoga gue bisa bikin film tanpa tendensi untuk kontemporer.

D list

MC membacakan nama-nama juri.

"Mbak Sigi Wimala..."

Tepuk tangan.

"Mbak Wulan Guritno..."

Tepuk tangan.

"Bapak Rano Karno..."

Tepuk tangan.

"Ibu Sammaria Simanjuntak..."

Krik krik krik...

Siapakah ibu ini? Oh ternyata dia masih muda. Eh apa udah tua ya? Pashminanya sih kaya ibu-ibu. Hahahaha.

Katanya dia sutradara. Film apa? Film indie gitu deh. Cinta.

Oh yang ada fedi nuril?

Bukan. Ngarang banget sih lo? Yang ada sophan sophian.

Ohhh...

Minggu, 28 November 2010

Tergoda

Setelah tujuh tahun diungsikan ke Amerika, Sharondeng pulang membawa Blackberry Torch dan Ipad untuk Chica. Chica langsung mengutip Nehemia.

"Mintalah, maka kau akan diberi."

Adek kecil mau apa?

Dengan penuh iman, adik kecil menolak. Adik kecil curiga barang-barang Sharondeng dibeli dengan kartu kredit yang tidak akan dibayar lagi. Adik kecil takut Sharondeng nanti dicekal kalau mau balik ke Amerika.

"Siapa yang mo balik?" kata Sharondeng cuek.

Adik kecil melirik-lirik curiga, melihat barang-barang baru Sharondeng yang entah dari mana padahal Sharondeng ngakunya belum dapet kerja.

Desktop Sony layar lebar touch screen.

Hueh? Pajaknya aja 3.5 juta. Masa tiap hari maen Mafia Wars bisa beli ginian?

Jam Rolex.

OK. Ayo resign. Mafia Wars ternyata lebih menghasilkan.

I phone 4.

Bukannya lo dah punya Iphone?

"Yang lama buat kau deh."

Ogah. Takut gak berkah.

Blackberry Torch putih.

Dagang hp, neng?

Earphone Sony noise reduction.

Iyyyh. Suaranya enak juga. Tapi gak boleh. Deden nanti dicekal. Gak boleh.

Kindle Sony.

Mmmm... kalau yang ini cuma 100an dollar. Kalik aja belinya halal. Jadi gak apa-apa.

Canon D7.

Gak bol.....

Glek.

Terbayang Sunny Soon topless melenggang di antara keramaian mobil Jakarta dengan ruang tajam sempit. Lampu-lampu di sekitarnya membentuk bola cahaya berpendar warna-warni.

Gak boleh. Gue harus bertahan.

Plus lensa.

Ok. Kalau minjem aja, kayanya gak papa deh.

Hari ini 7D Sharondeng dipinjam sampai batas waktu tak terbatas.

Kalau Sharondeng sampai dicekal ke Amerika, the least I can do adalah membuat pengorbanannya tak sia-sia.

So from today on... one movie a week.

Starring Sunny Soon. Directed by me.

Enjoy.

Fun Filmmaking: Fairytale

"Filmmaking should be fun. That's why this kids deserved a special mention." kata salah satu juri saat rapat penentuan film terbaik di salah satu SMP kaya di Jakarta.

If by fun, you mean a painless journey full of laugh and joy, lebih baik kita jangan menyesatkan anak-anak SMP nan penuh semangat ini untuk masuk ke industri film.

Fun Filmmaking is a Fairytale.

Filmmaking is not fun.

Lo harus menghadapi ego orang-orang kreatif yang punya kebenaran masing-masing. Lo harus meladeni tuntutan penonton pintar yang gak tau maunya apa tapi tau yang gak mereka mau apa. Lo harus meladeni pemerintah yang bercita-cita film Indonesia menjadi tuan rumah di negaranya, tapi peraturannya menyemangati lebih banyak pengecut-pengecut yang gak punya suara untuk difilmkan.

Filmmaking is not fun.

Every step you make is a step of faith. Every turn you take is a temptation. You can always decide to make a movie that is not you while waiting for the chance to make your movie.

They never did.

But once you live up to your faith and see how zero to zero is actually fun, filmmaking is fun indeed. It is so much fun even your fortune and fame cannot tempt me. They are already chasing me.

I feel like I need no more party, no more recognition, no more achievement to prove. I have the fun in me.

And so yes, I do agree.

Filmaking is fun.

sincerely wrong

"They can be sincere, but sincerely wrong," kata dia setelah gue ceritakan pertemuan gue dengan berbagai macam pasangan alternatif bahagia yang membuat gue mempertanyakan benarkah homoseksualitas dibenci Tuhan.

She wasn't hateful or homophobic. She just doesn't wanna be involved in a project that supports homosexuality.

I don't too. It's a very edgy subject. Many people who love me might leave me for that. She will be the first one.

Either change the subject, or change the producer.

Gue terduduk di kamar yang bukan kamar gue, memandangi langit Singapur yang biru tua bebas polusi.

"Is it ok to be gay?" tanya gue.

"I told you many times it is OK. You still don't believe me?"

"Can you tell other people it's OK too?"

"I am. Through you."

"Why me? I am not strong enough."

"It's OK if you don't want to. I will love you no matter what."

"I don't love you enough. All I think about is my feeling."

"I know. I love you no matter what."

Hari ini gue memutuskan untuk menunda Demi Ucok sampai gue yakin. If I wanna make a gay movie, it has to be straightly gay movie. No wishy washy about it.

In the meantime, I'll make Resign Club instead. I'll wash all the gay element out of it.

Amen?

Kamis, 25 November 2010

t***t

Hi Sam.

Gw sudah baca. Hanya gw pikir ceritanya terlalu vulgar. Karena perlu diperhatikan juga bahwa nanti pembacanya adalah masyarakat awam. Mungkin usia sekolah sampai usia orangtua muda. Dan antologi itu nantinya diharapkan jadi buku yang bisa dibaca semua orang, bukan yang disegmentasi secara terbatas "khusus dewasa", yang membuat pembaca merasa risih, atau malah dibredel oleh ormas2 tertentu.

======

Berhubung gue tidak mengerti bagaimana menulis buku yang diharapkan bisa dibaca semua orang dan gak membuat pembaca merasa risih, cerita ini gue terbitkan di media di mana kejujuran emosi adalah satu-satunya pertimbangan dalam penerbitan: my own blog.

Enjoy.


======

T***t atau t***t?

That’s the question.

Semuanya gara-gara kelas menggambar telanjang. Cewe yang datang dari negara bermoral di mana seks tabu dibicarakan tapi boleh dilakukan_ asal gak ketahuan_ menjadikan kelas ini wajib diambil.

Sebenarnya ada di Jakarta. Tapi gue gak tahan ama temen-temen gue. Baru ngedenger kata t***t aja, mereka udah bergidik risih seakan gue satu-satunya cewe yang penasaran pengen lihat t***t gak hanya lewat layar laptop.

Muna!

Karenanya gue ke Amerika.

Bersembunyi di balik kejujuran seni, gue bisa lihat t***t orang tanpa resiko hilang keperawanan.

Kasihan Papi kalau gue sampai gak perawan. Dia nangis-nangis minta gue tetap perawan sebelum gue berangkat S1 ke Amerika. Baru sekali gue lihat Papi nangis.

Papi yang baik. Papi yang selalu mengabulkan semua permintaan. Papi yang gak pernah melarang. Bahkan ketika gue memilih sekolah seni di luar negeri daripada di Jakarta nemenin dia.

Tapi udah 5 minggu modelnya cewe melulu. Katanya lebih susah nyari model cowo. Tahu gini mending gue gambar diri, gak perlu patungan bayar model mahal-mahal.

Tinggal ngaca.

Mending badan gue ke mana-mana.

Memang paha gue masih agak kegedean, tapi tetap saja cowo-cowo astagfirallah tiap gue lewat pake hot pants. Tambah males tinggal di Jakarta.

Tapi hari itu akhirnya tiba.

Seorang cowo tak dikenal duduk di pojok kelas dengan bath robe putih. Agak tua. Empat puluhan. Tapi gak apa-apa karena torsonya menggiurkan. Bonus: ubannya bikin doi sedikit George Clooney.

Nyessss...

Atas nama seni, George Clooney membuka bath robe.

Aku malah tertunduk malu.

Aku pura-pura menatap sekelilingku, mencari sekutu salah tingkah. Semua siswa terlihat serius menggambar, gak keganggu dengan benda aneh yang bergelantungan di antara kedua kaki George Clooney yang berbaring ngangkang tanpa benang sehelai pun.

Eh, ada benang perak sehelai melingkar di paha dalam.

Oh, no. Itu bukan benang.

Mata gue beralih menjelajahi paha sampai ke pertemuan kedua kaki.

Lho? Kok Cuma 12 centi?

Vivid Interactive terbukti bersalah melebarkan jurang pemisah antara impian dan kenyataan.

Sudah kecil, menguncup pula kaya ujung pisang. Mana jamur-jamur yang menghiasi ujung t***t bintang Vivid?

Tanpa sadar, si dosen sudah meclok di samping, melambai gemas melihat gambarku yang sudah berkaki, bertangan, tapi tak ber-t***t.

“You are not Michaelangelo,” ujar si dosen banci sambil menunjuk jijay sebuah daun yang menggantikan tempat t***t seharusnya berada.

Dosen banci menarik nafas panjang dan siap menceramahi gue tentang seni dan keterbukaan pikiran ketika matanya menangkap kertas gambar di sebelah gue.

Sebuah t***t panjang berhelm jamur mendominasi kertas. Tanpa muka, tanpa tangan.

Dosen banci ganti sasaran. Si empunya gambar ngotot seni tidak harus realistis. Gambarnya terilhat lebih sehat. Lebih bebas kuman.

George Clooney tersinggung.

Si empunya gambar berbalik ngintip gambarku.

Mata kucingnya menyorot nakal. Eye liner hitam yang melingkari kedua matanya membuat hijau matanya lebih menyala. Matanya semakin dilarang semakin bersinar, sangat tidak cocok dengan rambut panjang lurus sempurna yang gak mungkin bebas catokan atau smoothing. Dia mungkin akan terlihat Avril Lavigne kalau saja rambutnya tidak dicat biru.

Dia mendekat.

Aku menutupi gambarku , malu. Tanpa permisi dia menggeser tanganku dan menempelkan gambarnya di atas gambarku.

“If we merge mine and yours, we can have a complete human being,” katanya tanpa merasa bersalah. Sikunya bertengger di bahuku.

Aku baru tahu mariyuana bisa tercium sangat lembut jika dicampur dengan keringatnya.

“I think my penis is way too big for your legs,” katanya sambil tertawa nakal, memancing komentar nakal dan tawa teman-teman lain.

Dosen banci menenangkan kelas, mengingatkan kalau waktu tinggal 10 menit lagi. Yang tidak selesai harus menggambar di luar jam kelas dan mencari model sendiri.

Sampai bel meraung, gambar gue masih berdaun.

Ini pertama kalinya gue gak nyelesaiin tugas. Gue, si straight A student, disamakan dengan si tukang ngeganja.

Dosen banci gak mau tahu. Salah sendiri. Gue tetep harus ngegambar di luar kelas.
Susah nyari model cowo. George Clooney terlanjur tersinggung dan kapok mempertontonkan t***t-nya yang kurang higienis.

“I’ll do it,” kata pacarku.

Gue menelan ludah menatap torso bidangnya. Masih disembunyikan kaos saja sudah menggoda minta dipeluk. Apalagi tanpa kaos.

Gue memang cewe beruntung. Punya cowo berdada bidang, berambut pirang, bermata biru, dan rela pacaran tanpa sex. Di mana lagi gue bisa dapet bule kaya dia?

“Don’t worry. I will stay far from you,” katanya berjanji.

Selama ini memang dia tetap membatasi diri agar gue tetap perawan. Untung masih ada oral.

Berdua saja di kamarnya, ngeliatin dia telanjang, gue percaya dia gak akan ngapa-ngapain gue. Tapi gue gak percaya gue.

Gue pengen ngapa-ngapain.

Mending gue gambar dari internet. Gak usah pake model asli. Lebih bebas godaan.

Tapi sore itu gue gak bisa nolak. Pas dia ngajakin ke kamarnya, gue kira dia cuma ngajakin make out seperti biasa. Ternyata dia udah mempersiapkan semua: kertas, easel, dan tentu saja modelnya.

Dia.

Terpaksa gue telepon orang lain untuk datang. Daripada gue dan pacar bertiga ama setan, lebih baik bertiga dia.

Ternyata lebih baik bertiga setan daripada harus berbagi view t***t pacar gue sama cewe lain. Apalagi yang seseksi dia.

Dia bersiul begitu handuk pacarku mencium lantai.

“Lucky girl,” katanya sambil mengerling nakal.

Setan!

Gue pura-pura gak denger, sibuk ngegambar. Biar cepat selesai. Biar dia cepat pulang. Biar setan bisa kembali menggoda aku dan dia.

Bukannya menggambar, ada-ada saja yang dia lakukan. Pertama kipas-kipas. Lalu dia melintas ruangan, memutar tombol pemanas.

Mata pacarku mengikuti tubuhnya. Tambah melotot melihat dia buka jaket, memamerkan t***t-nya yang membuat gue mengerti kenapa dia diisukan gak akan pernah mati tenggelam. Pasti ngapung.

Sebenarnya t***t-nya tidak terlalu besar. Tidak terlalu kecil.

Cukup.

Cukup membuat dosen banci lupa kalau dia cuma doyan laki.

Aku berhenti menggambar menyadari objek gambarku berubah bentuk.

“Sorry. It’s really cold here,” kata pacarku malu.

Dia tambah tertawa nakal. T***t-nya bergoncang-goncang kecil.

Setan!

Cowo emang goblok. Kok bisa horny liat t***t doang?

“Don’t worry. I’m not interested in boys,” katanya tanpa ditanya begitu kami bertemu di kelas gambar berikutnya.

Gue terdiam , gak jadi mengeluarkan jurus jambak rambut yang udah gue latih dari kemaren. Sengaja gue pake kupluk hari ini, rela gak pamer rambut hitam indah kebanggaan, biar gak gampang dijambak kalau sampai perang kucing.

“I am gay.”

Bukannya lesbi seharusnya berambut pendek dan berkemeja kotak-kotak?

Dia berhak tinggi dan bertank-top pamer t***t di tengah winter. Sama sekali gak kaya lesbi.

“You have a problem with lesbian?” tanyanya melihat gue terdiam.

Gue gak tahu mau jawab apa. Tentu saja masalah!

Kalau cowo suka ama cowo sih gue terserah. Kalau cewe suka ama cewe, kan serem. Kalik aja ntar gue dideketin. Jijay.

Tapi ngomong gitu gak politically correct di state gila tempat cewe dan cewe bisa nikah ini.

Untunglah Dosen Banci datang menyelamatkan. Gue jadi bisa pura-pura dengerin, gak perlu menjawab dia yang terlihat kesal dicuekin.

Rupanya dosen datang mengabarkan kelas hari ini dibatalkan. Model gak datang.

Adios.

Gue udah siap-siap mengumpulkan alat-alat gue ketika dia mengangkat tangan dan menawarkan diri menjadi model.

Dia melepaskan bajunya satu per satu tanpa malu-malu.

Warna kulitnya rata dari pantat sampai muka. Kulitnya bening, sampai gue bisa
melihat garis biru kehijauan di balik pahanya.

Gue gak jadi pulang.

Dia berdiri sambil menyandarkan tangan kanannya ke dinding. T***tnya tetap menjulang tanpa bantuan BH.

Kenapa dia bisa begitu tenang? Padahal semua mata menatap ke arahnya.

Dia nggak lihat gelimang bahagia di mata semua cowo, berdoa agar si model tak juga datang minggu depan. Kaki mereka duduk lebih rapat. Kertas mereka menutupi paha.

Gimana dia bisa nyadar kalau matanya terus mengawasi gue? Gue semakin salah tingkah. Semakin gue menunduk, semakin dia menatap penuh kemenangan.

Gambar gue gak selesai lagi.

Setan!

Dosen melihatku dengan kesal.

Masih dalam bath robe putihnya, dia menawarkan diri.

“I don’t mind another 15 minutes.”

Beberapa mata terlihat menyesal gambar mereka sudah selesai.

“You won’t do stuffs to me, right? You’re not gay, ” katanya sinis.

Gue kembali menggambar. Tinggal kami berdua. Gue punya 15 menit sebelum kelas berikutnya mulai.

Ternyata gue hanya butuh 3 menit untuk menyerah dan mengakui bibirnya terlalu menggoda.

Dia hanya butuh 10 detik untuk membuka baju gue.

Sepuluh menit untuk menyeret gue ke kamar gelap yang jarang dipakai sejak kamera digital turun harga.

Entah berapa menit, gue sudah berada di antara kedua t***t-nya.

Dan tiga jam kemudian, gue masih di sana.

Bercinta.

Bukan. Bukan bercinta. Gue masih bisa bilang ke Papi kalau gue masih perawan.

Gue hanya berbaring di sana, di antara kedua t***-nya yang lembut. Puas-puasin agar agar hari ini tidak perlu terulang lagi. Gue gak mau jadi lesbi.

Tapi tiap hari dia semakin membayangi.

Bibirnya di bibirku.

Bibirnya di t***t-ku.

Lembutnya.

Kenyalnya.

Gue gak mau jadi lesbi.

Gue mendekatkan bibirku ke bibir pacarku yang lagi mencuci piring. Sisik-sisik hasil gak cukur 3 hari di pipinya menggelitik pipi, dan menggelitik sesuatu di bawah sana.

Gue buka bajunya. Gue cium dadanya. Torso yang selalu gue puja. Torso yang seharusnya gue simpan sampai malam pertama. Inilah yang harus gue khayalkan, bukan t***t dia.

Papi, maaf. Aku terpaksa melanggar janji. Daripada aku jadi lesbi, nanti papi lebih nangis-nangis lagi.

Hari itu t***t-nya membuat gue berteriak Tuhan dan melupakan firman.

Lupa lagi.

Dan lagi.

Dan lagi.

Ternyata aku suka t***t.

Puji Tuhan. Gue bukan lesbi.

Jadi hari ini gue bisa ketemu dia dan bilang dengan yakin kalau minggu lalu hanya coba-coba masa kuliah. Seperti cewe-cewe straight lainnya.

Gue akan bilang padanya sebaiknya kita temenan aja. Kalau dia nangis, gue akan pura-pura tegar dan meluk dia untuk terakhir kali.

Nyium dia untuk terakhir kali.

Ngerasain bibirnya di dada untuk terakhir kali.

T***t-nya di bibir gue.

Sekali lagi.

Sekali lagi.

Dan lagi.

Dan lagi.

Ternyata gue suka t***t.

Damn.

Gue gak boleh suka t***t.

Apa enaknya jadi lesbi? Cuma gesek-gesek doang? T***t lebih enak. Dia lebih keras, lebih menembus, lebih jantan.

Tapi cewe lebih lama. Bisa sampai tiga jam.

Minggu berikutnya lima jam.

Tiga jam.

Nyesss...

Kalau t***t, paling 7 menit udahan. Kalau mujur, 12 menit. Paling banyak 5 kali semalam. Tujuh kali kalau pakai pil.

T***t atau t***t?

That’s the question.

Gak bisa gini terus. Gue bisa gila.

Karenanya, hari ini gue akan mencoba t***t dan t***t sekaligus. Biar gue tahu pasti yang mana yang gue suka.

Hidup cuma sekali. Jangan sampai salah pilih.

Pacarku gak mungkin keberatan. Cowo mana yang menolak ditawari have sex bertiga sama dua cewe? Apalagi cewe seperti dia. Gue aja tergila-gila, apalagi dia.

Memang dia tidak menolak, tapi matanya menatapku kecewa. Dia hanya menunduk tanpa mengangguk. Tidak ada binar birahi kesenangan yang gua harapkan darinya.

Dia juga menatapku sedih. Mata kucingnya seharusnya tidak menyiratkan luka. Ini bukan pertama kalinya dia threesome.

Tapi dibukanya juga jaketnya dengan pasrah. Dia memelukku perlahan dan mendekatkan bibirnya ke wajahku.

Bau mariyuana menghembus lembut bibir atasku.

Pacarku menunduk sakit melihat mataku terpejam menikmati bibirnya. Ciumannya pelan, lembut, dan... asin.

Aku membuka mata.

Air mata mengalir dari mata indahnya, membuatku ingin lebih memeluk dan membenamkan mata itu di dada.

Bibirnya di dadaku.

Bibir lain datang menghangatkan bibirku, menusuk-nusuk pipiku. Bau after shavenya membuat aku merasa kembali wanita.

Dia menyingkirkan kaosnya, melekatkan kulitnya ke kulitku. Kedua tangan kokohnya meremas pinggulku. Torsonya menghangatkan dadaku.

Aku didekap, dilindungi.

Sampai sebuah bibir lembut memisahkan aku dan dia. Bibir itu menyapu lembut wajahku, berhenti di mata. Aku terpejam, berharap waktu berhenti. Kelembutannya memabukkan.

Aku membenamkan wajahku di dadanya. Menyerah dalam kelembutannya.

Di bawah sana, kakiku dibuka paksa.

Ditaklukkan.

Kasar, sakit, tapi nikmat. Aku melenguh antara sakit dan bahagia.

T***t-nya di bibirku.

T***t-nya di antaraku.

Pada saat itu aku baru yakin dan yakin.

Ternyata aku lebih suka t***t.

Welcome to Jakarta

Pintu pesawat belum kebuka. Ibu-ibu ber-BB sudah resah menanti sambil menelepon jemputan. Cuek bebek stiker di kursinya mengancam denda dan penjara.

Turun pesawat, kami digiring desak-desakan masuk bus, diturunkan di gudang pembantaian. Jangan-jangan kami mau dijual ke germo Rusia.

Pintu dibuka, berderit.

Oh... ternyata ini bandara internasional Soekarno Hatta.

Welcome to Jakarta.

Beberapa TKI berusaha menyelip. Mau menegur, kasihan. Mereka sudah berjasa bagi bangsa dan negara, biarlah mereka duluan.

Ternyata mereka ikut ke kiri, berlawananan arah dengan panah ke kanan khusus penerbangan lanjutan TKI. Mereka bukan pahlawan devisa. Mereka cuma warga norak yang gak tahu tata krama.

Welcome to Jakarta.


Ngantri taksi panjangnya amat kepalang. Ada sih merk yang gak ngantri, tapi doi minta 150 ribu. Pantesan gak ada yang ngantri.

Terpaksa naik ke area keberangkatan di mana tak boleh nyegat taksi. Asal sambil nyelipin ceban ke polisi, taksi boleh melenggang pergi.

Welcome to Jakarta.

Macet.

Welcome to Jakarta.

Jalan tol tambahan dinaikkan 1 meter dari yang lama. Konon sebagai solusi agar jalan tol gak banjir lagi.

Welcome to Jakarta.

Sebuah billboard besar dihiasi senyum manis Pak Gubernur yang dikiranya akan mendatangkan more turis ke Jakarta. Tebak tulisannya apa?

Exactly.

Minggu, 21 November 2010

you talk too much

Apa tandanya lo mulai tua? You talk too much about the past.

Apa tandanya lo masih muda? You talk too much about your dream.

Apa tandanya lo belum dewasa? You talk too much about you.

Cari Dahulu

Apa yang kita cari dahulu agar semuanya diberikan kepadamu?

Apartemen 7000 dollar dengan view KLCC.

Eksekutif minyak yang setia menamani seumur hidup.

Anak cantik yang bercita-cita jadi dokter.

Anak baik yang minta tas gucci ke sinterklas biar bisa ngasih ke mama.

Pembantu serba bisa yang hobi bersih-bersih.

Tetangga ganteng ber-speedo merah.

Sepupu-sepupu terkenal.

Rambut Ian Kasella tanpa nyalon.

Jalan-jalan sekeluarga ke Afrika Selatan.

Piaraan virtual.

Pagi-pagi melukis bunga.

Sore foto-foto di infinity pool.

Dan hati yang rendah hati.

Bertemu dia, gue mengerti 'carilah dahulu kerajaan Allah, maka semuanya akan diberikan kepadamu' bukan dongeng belaka.

Jumat, 19 November 2010

Dipaksa Kota

Dulu gue gak mau tinggal di Bandung. Enakan Singapur.

Bisa pakai rok tiap hari, berkibar-kibar sepanjang jalan menuju MRT.

Gak perlu macet-macetan. Tinggal naik MRT dan mengkhayal sepanjang jalan. Tau-tau udah nyampe Tanjung Pagar.

Gak perlu takut pulang malam. Taksi siap menemani. Gak ada anak jalanan kelaparan menghadang.

Starbucks tiap hari gak bikin kantong terancam kelaparan.

Singapur, I love you.

Dan gue 'dipaksa' ke Bandung.

Nyetir tiap hari. Gak bisa pake rok. Anak kelaparan di tiap persimpangan. No more kopi impor.

Gue tersiksa sampai gue menyadari karismanya.

Ke mana-mana gak perlu jalan. Ada mobil siap digas.

Kopi gak perlu mahal. Dengan susasana citylight Bandung yang indah dari kejauhan.

Mijet tiap minggu. Disambung roti bakar. Meni pedi bentar. Krimbat. Facial.

Lari pagi di antara pepohonan tua yang menyuplai oksigen segar.

Tidur gak perlu pake AC.

Bandung, abdi bogoh.

Dan gue 'dipaksa' ke Jakarta.

Nyetir 5 jam per hari dengan kecepatan 12 km/jam.

Dilempar pengemis karena cuma ngasih gopek.

Gak bisa buka jendela karena asap knalpot metro mini.

Gak kuat jalan karena bau got.

Pendapatan kecil tapi harus punya 100 ribu sehari. bensin 50. makan 50. Itu pun kalau gak di mall.

Tiap hujan, takut pulang. Takut terjebak 6 jam di jalan.

Walau 6 hari seminggu gue di Jakarta, gue masih gak mau ngaku kalau gue tinggal di Jakarta.

Apa ini hanya sementara sampai gue akhirnya jatuh cinta pada Jakarta?

Jakarta dengan segala carut marutnya, sumber inspirasi setiap hari. Singapur dengan MRT tanpa grafitinya, tidak lagi membuat gue jatuh hati.

Aku ingin jatuh cinta tanpa dipaksa.

Kamis, 18 November 2010

Cowboys In Paradise

Berlin. Korea. Melbourne. Brisbane. Singapur. Poster dihiasi nama negara-negara yang dikunjungi film dokumenter ini.

Tentunya tidak ada Indonesia.

Padahal isinya tentang Indonesia. Bali, tepatnya. Pulau di mana Dewata bersemayam dan Eat Pray Love bercinta. Walau lebih banyak cinta di Bali yang ini, nasibnya tak seberuntung Eat Pray Love. Boro-boro dihadiri mentri, pemutarannya malah dilarang.

Mungkin karena bintangnya bukan Julia Robert. Bintangnya para cowboy Kuta, sebutan kaum borju Denpasar untuk beach boys dari kalangan miskin Bali yang gemar menemani bule-bule kesepian. Entah kenapa dinamakan cowboy, padahal hidupnya tak pernah dekat-dekat sapi. Kecuali sapi kaya.

Mereka bukan gigolo. Mereka hanya menemani yang mereka beneran suka, baik orangnya ataupun hartanya. Tapi mereka gak pernah minta uang. Bule-bule itu yang dengan rela hati membayari sekedar makan, minum, DVD player, sepeda motor, mobil, sampai rumah.

Banyak juga yang diboyong pulang ke negara pacar, membuat para ABG Bali banyak yang bercita-cita jadi cowboys biar bisa diboyong pacar. Padahal mereka tahu banyak yang akhirnya pulang lagi, gak betah tinggal di negara dingin walau udah disekolahin.

Delapan lima menit menonton sisi lain Bali, banyak yang gue pelajari dari para koboi kuta. Tentang bagaimana memikat hati wanita. Ternyata wanita tak butuh muka. Wanita tak butuh harta. Wanita hanya butuh tertawa. Wanita hanya butuh cinta.

Liat saja sales Eat Pray Love.

Sampai film selesai, gue masih belum mengerti kenapa film ini dilarang beredar di Indonesia.

Apakah karena ada istri Indonesia yang bangga suaminya jadi Koboi Kuta?

Apakah karena ada ibu Indonesia yang bercita-cita anaknya 'nemenin' bule?

Apakah karena Bali terlihat menjual sex tourism?

Come on. Ini realita. Anyone with a common sense akan sadar kalau film ini hanya memotret sebagian kecil masyarakat Bali.

Mungkin yang dibutuhkan negara ini bukan Undang-Undang anti Pornografi. Tapi anti Parnografi.

Agar tidak lagi kita membuat keputusan-keputusan berdasarkan pikiran parno para pemimpin kurang nyali.

Agar tidak lagi pemuda Indonesia cita-citanya ngawinin bule biar dibawa keluar dari negaranya.

Agar tidak ada lagi pemuda Indonesia yang harus menemani bule tua karena susah nyari kerja.

Dan ini bukan pekerjaan gampang, dibutuhkan karisma dan kerja keras luar biasa.

Liat aja tampang mereka. Betul-betul butuh karisma.

Hormat untuk koboi kuta.

Singapur Tanpa Kamu

Aku mencari-cari rasa sepi di Singapur tanpa kamu, tapi gak ketemu. Aku malah baik-baik saja, menikmati tawa sahabat dan ramen 13 dollar.

Mungkin memang aku tidak cinta kamu.

Are you happy, Babe? I hope you are. Cause I am.

Singapur tidak lagi sama, dengan atau tanpa kamu. MVRDV dan Rem Koolhaas sudah ikut meramaikan wajah kota. Paul Rudolph jadi terlihat sangat zen karena mereka.

Tapi tangga-tangga transluscent MVRDV tidak mampu membuat gue tersenyum seperti tangga-tangga Paul Rudolph. I still smell you there.

Changi, I still smell you.

Wheelock place, I still smell you.

Esplanade, I still smell you.

Sommerset, I still smell you.

Botanic Garden, I still smell you.

Hawaii, I still smell you.

Damn. Kamu kan gak pernah ke Hawaii. How come I smell you there?

Mungin memang aku cinta kamu.

Senin, 15 November 2010

Tunjangan Kesepian

Datang tak diantar pulang tak dijemput.

Bukan jalangkung si abang jalangkung. Tapi bang gigit si abang tak jangkung, kena tipus ke rumah sakit. Datang ke rumah sakit tak diantar istri karena sibuk kerja. Pulang tak dijemput karena sibuk belanja BH.

Mumpung ada voucher sogo sejuta. Dapet dari mana lagi kalau bukan malak Bang Gigit.

Padahal lima hari Bang Gigit di rumah sakit, tak sehari pun Mama Singa datang menjenguk. Alasannya sibuk/ Bandung jauh/ Biar bang gigit cepat sembuh. Tapi Mama Singa malah minta tunjangan kesepian.

Rp 150 ribu/hari.

Karena Bang Gigit pulang lewat jam 12 siang, diitung nambah jadi 6 hari.

Padahal Mama Singa tiap hari kelayapan bersama teman-teman. Kasihan Bang Gigit sendirian di rumah sakit. Gak sendirian sih. Banyak yang jenguk. Bahkan kadang ada yang salam tempel. Sejuta pula.

Sayang ketahuan Mama Singa. Tunjangan kesepian naik jadi 200 ribu/ hari.

Bang Gigit mencoba menawar. 100 ribu/ hari dehhh.

Jadinya 225 ribu/hari.

Nasib. Nasib. Nasib sudah menjadi bubur. Tak dapat ditarik kembali.

Till death do us apart.

Onrop Nerek

Lo kira gampang bikin musikal?

Emang gak gampang, Mas Bram. Tapi Joko Anwar did it. And it was... something.

I have no idea what musical is, but that Onrop makes me laugh. It shouts some voices I wanna shout. Setelah dua minggu terakhir ini nonton 2 teater yang bikin hampir tertidur, dengan suka rela dan sukacita gue berdiri bertepuk tangan setelah dihibur 2 jam oleh cast n crew Onrop.

Terutama Ario Bayu. He had me at...

“Vaginaaaaaa!”

Setelah gagal mencium para polisi moral, Ario Bayu meneriakkan kata-kata ‘kotor’ agar ditangkap dan dibuang ke pulau Onrop. Pulau Onrop adalah tempat pembuangan orang-orang yang melanggar undang-undang anti onropaksi dan onropgrafi.

Ada Edwina, si sutradara babi.

Ada Sri Mulyana, si mentri yang mending kabur ke luar negeri.

Ada Leila Bukori, si feminis yang gak bisa nulis manis-manis.

Dan sederetan nama-nama mirip orang-orang paling keren se-Jakarta.

The most funny part is, pembukaan program pengusikan pejabat ini ditulis oleh beberapa pejabat yang diusik.

Moral of the story: Jika Indonesia di tahun 2020 nanti memutuskan membungkam semua orang yang dianggap tidak sesuai dengan standar moralnya di sebuah pulau, I know what to tell them.

Vagina.

Sabtu, 13 November 2010

Asuransi

Asuransi jiwa atau Asuransi Sakit Kritis?

Lebih baik lo ambil Asuransi Sakit Kritis. 90% orang metong pasti sakit kritis dulu. Jantung, kanker, darah tinggi, dan 34 daftar akibat gaya hidup warga kota lainnya.

Keburu harta lo abis duluan bayar rumah sakit, baru pas mati lo dapet deh tuh duit asuransi jiwa lo.

Mending kalau mati. Kalau sembuh? Terpaksa lo jual tuh rumah, mobil, anak , istri, dan ternak.

Akhirnya metong dalam penyesalan. Menyesal kenapa dulu gak kuturuti nasehat tante agen asuransi paling berpengaruh di Pomparan Ompu Si Marlinang itu?

Dengan Yaris baru hasil jualan polisnya, kami dijemput untuk ditraktir makan. Tentunya sambil dirayu... eh, diprospek untuk menjadi agen pembaharu berikutnya.

"Apalagi sekarang lo punya tanggungan piaraan satu," sambung tante agen.

Si piaraan yang dimaksud nggak merasa, malah asyik makan bulgogi ganggang sulai. Dikiranya yang dimaksud adalah si Kubus, golden retriever baru di rumah.

Si Kubus gak perlu asuransi karena rajin lari pagi. Tubuhnya langsing tanpa ancaman kanker dan tumor, para sahabat lemak tubuh.

"Lo ambil yang 300 ribu sebulan aja."

Si piaraan gak mau ngambil asuransi, gak seksi.

Pernah Paulo Coelho menolak endorse sebuah program asuransi karena disuruh bilang , "Life is great. but just in case."

Or something like that.

Lebih baik hidup senang-senang, mati alhamdulilah, sakit ya tembak diri. Beres. Atau ikut Sali berobat ke Boyolali. Murah, walau ada sedikit abu merapi menyertai.

Hachiiii!

"Atau lo tawarin aja tuh ke temen-temen film lo. Freelance gitu pasti pada gak punya asuransi kan?"

Temen-temen gue juga pro tembak diri/ Boyolali.

"Kalau gitu lo ambil program warisan. Biar kalau lo tembak diri, keluarga lo gak ditinggal kesusahan."

Si piaraan baru tergoda. Kasihan keluarga kalau ditinggal metong.

Haruskah gue menghindari resiko padahal gue tahu tak ada apa pun di dunia ini yang sangup menghindarkan gue dari resiko? Tak juga polis tante.

Jadi untuk apa susah? Bukan lo yang mengurus keluarga lo. Universe will.

Si piaraan kembali menikmati bulgogi gratisan.

"Apalagi kalau makan lo daging-daging gini terus..."

Jadi males makan. Damn.

Menikmati bulgogi tanpa asuransi jadi masuk daftar dosa bagi keluarga urban.

Apa gue ambil asuransi saja? Toh sebulannya hanya seharga dua BH.

Pilihan lainnya ya mulai sekarang gue harus hidup sehat. Olahraga. Banyak ketawa. Punya pacar. Gak makan daging. Mungkin hidup vegan kaya Portia, Ellen, dan Jason Mraz is not a bad idea after all.

Jadi gue bisa hidup bahagia dan tetap beli BH.

OK. No more daging. Kan banyak makanan enak bukan daging.

Contohnya kedai sebelah, Dairy Queen. Blizzard-nya mengundang selera.

"Dan mengundang jantung koroner!"

Tante agen senyum-senyum penuh kemenangan.

Damn.

Jumat, 12 November 2010

You're an Ant

"Go watch the audiences. It is the best film school you'll ever get," kata Nadia Tass.

Umur 26 doi udah menang 8 Oscar Kangguru termasuk Best Directing. Kalik aja tante ini ada benarnye.

Jadinya today ai paksa diri duduk manis menatap film ai sendiri 5 Menit Lagi Ah Ah Ah bersama none-none Ford Foundation. Baru pertama kali 5 Menit Lagi Ah Ah Ah ditonton outsider, ai sudah ah ah ah menonton.

Trauma pengeditan yang kelamaan.

Jadi gue nonton penonton aja ah.

Ahhh si none bule ini cantik juga rambutnya dicet item.

Fokus!

Liat reaksi mereka.

Ayhhh si none bule ini kok ketawa mulu ya? Emang filmnya semenarik itu?

Setelah film selsai, gue merasa tante Nadia ada benarnya. I learn more about my movie watching them. I know what works and what does not work.

I somehow sense this movie appeals more to bule.

I somehow sense this movie is way too long.

I somehow sense this movie does not work as an anthology. The 3 films are way too different.

But who cares about the movie? Who cares about the director? It is an issue.

None-none gak ngomongin film, apalagi sutradaranya. Mereka heboh ngerumpiin cowo-cowo gak pernah grow up yang menjadikan wanita sumber pendapatan mereka di film ini.

Ke manakah film ini akan dibawa? Siapa saja yang seharusnya menonton film ini? Pemerintah? Aktivis perempuan? Aktivis anak?

Gue cuma duduk di sana, mendengarkan, berusaha mengingat budi baik apa yang pernah gue lakukan di kehidupan sebelumnya sampai gue diperbolehkan menjadi bagian film ini.

Malah teringat sabda Yasmin Ahmad, "If your movie is all about you, then the biggest it can be is you. And you're an ant."

Kenapa semut gendut ini suka sekali menonjolkan diri?

Kamis, 11 November 2010

The Girl Who Was Never Sad

She is either the happiest person in the world or the queen of denial.

I don’t wanna write about her. It makes me feel like the most ungrateful bitch in this world. I’d rather believe that humans are designed to be sad sometimes. Just like me.

“Coba describe sedih itu apa.”
“Unfulfilled passion.”
“Itu kekecewaan.”
“Lo gak sedih kalau kecewa?”
“Ya nggaklah.”

Now stay away from me, you kuntilanak.

What is life without sadness? Saat patah hati, gue seneng bisa nulis. Saat disakiti, gue seneng bisa bikin film. Kalau gak ada kesedihan, ntar gak bisa dapet piala.

“Untung gue bukan filmmaker. Jadi gak butuh sedih,” katanya.

I am glad to be sad.
I am sad to be glad.

Saat kebaktian perjamuan indah bersama keluarga, gue sedih kenapa dia gak bisa jadi keluarga. Saat ngupi-ngupi siang hari bersama another pengangguran ngaku cutradara, gue sedih kenapa gue gak bisa sekeren dia. Saat matahari jam 4 sore menembus kaca mobil dan membuatku merasa lebih cantik, gue sedih kenapa gue gak naik bus dan melewatkan begitu banyak ide cerita berjalan.

Maybe I really am an ungreateful bitch.

It is my punishment for thinking too much about myself.

Ada masa-masa di mana gue gak pernah mendoakan diri gue sendiri dan hanya mendoakan orang lain. Gue merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.

Ada masa-masa di mana gue gak lagi mendoakan orang lain maupun diri sendiri. Isi doa gue hanya berterima kasih atas segalanya, bahkan untuk abu vulkanik dan goncangan air asinnya.

Masa-masa di mana gue percaya disaster and happiness bukan antonim. War and peace juga bukan.

Sweet old days. Ignorance really was a blessing.

Let's go to the next school of life. Where nothing goes right and nothing feels wrong.

Good times, Bad times, give me some of that.

Stranger Than Dangdut

Realita Sunda Kelapa membuat sinetron kita terdengar lebih logis.

Si ibu bergigi nyengsol memandang surat bermaterai dengan curiga.

“Adegan yang diambil cuma adegan salaman, foto bersama, dan dangdutan di panggung,” kata gue berusaha meyakinkan.

Tentunya gue gak bilang...

Adegan salaman: kamera close up ke perut anaknya yang bunting 7 bulan pas kawinan.
Adegan foto bersama: si pengantin bilang suaminya ditangkap polisi.
Adegan dangdutan: si pengantin duduk di kursi tamu sendirian. Pelaminan kosong.

Mungkin si ibu takut karena keluarga si menantu preman toke ikan.

"Mereka gak akan nonton dokumenter ini, Bu. Ini bukan film komersil. Ini film dokumenter tentang bagaimana wanita menyiasati kemiskinan. Paling yang nonton mahasiswa."

Si ibu melemparkan keputusan ke si ayah. Kami mengarungi Sunda Kelapa, menuju pelelangan ikan yang sore-sore masih sepi tapi tetap bau bangkai beribu ikan mati.

Si ayah mencoba menulis tanggal. Kesulitan mengeja 11 November 2010.

Surat ditandatangan. Amplop berisi duit 500 ribu tak jadi gue pindahtangankan.

Sempat berpikir diberikan saja mengingat keluarga mereka sepertinya sedang menyiasati kemiskinan. Gak jadi ngeliat TV layar datar besar yang gak matching sama tuangan tak berkursi itu.

Anak mereka dinikahkan jadi istri kedua toke ikan/ bandar narkoba dengan harapan menunjang karir dangdut anaknya yang baru 18 tahun. Sudah jadi istri, suaminya malah masuk penjara. Keluar penjara, malah ngelarang dangdutan.

Hilanglah penghasilan keluarga.

"Kalau gak ingat dia mantu, udah mau ibu teluh."

Gak peduli si mantu turunan Banten. Gue juga turunan Bugis. Mau apa lo?

"Semoga sukses, Bu," kata gue basa-basi mengakhiri pertemuan. Menirukan gaya salah satu executive creative director yang pernah mewawancara gue. I didn't get the job.

Gue masuk mobil dan menghidupkan AC, mengusir jauh-jauh bau sengit Sunda Kelapa dari hidup gue. Dettol menghilangkan jejak-jejak kuman Sunda Kelapa dari tangan gua. Kembali ke dunia middle class gue di mana revolusi selalu dimulai mengatasnamakan mereka.

But the memory remains. Bisakah gue bahagia tahu ada bagian Jakarta yang harus mendorong gerobak air sejauh 2 km untuk mandi? Bisakah gue bahagia tahu ada bagian Jakarta di mana semua anak di atas 2 tahun hapal lirik Keong Racun?

"Welcome to the real world," kata Ucu.

Selamat tinggal dunia di mana yang penting adalah IP dan kartu nama.

Sepertinya Ucu has no problem being happy, padahal dia udah ngeliat lebih banyak manusia. Tak hanya Sunda Kelapa.

All is vanity and striving after wind. What else can we do but being happy in this fiction we called reality?

Gue baru menyadari kenapa dangdut begitu merajai Sunda Kelapa. Karena hanya dangdut yang liriknya nestapa, tapi musiknya gembira.

Karena hanya dengan dangdut, mereka bisa menangis sambil tertawa.

a, b

“Lo suka gak ama gue?”

“Lo mau yang jujur atau yang boong?”

“Yang menyenangkan didengar.”

“Gimana gue bisa tahu?”

“Take risk. Jadi ?”

a. Suka banget.
b. Suka banget. Kalau lo suka gue.

“Kenapa lo suka ama gue?”

a. Emang bisa tahu ya?
b. Karena lo suka ama gue. Or I thought so.

“Lo mau nyium gue?”

a. Yes.
b. Mau kalau lo mau.

“Will you love me forever?”

a. If I don’t find anyone better.
b. Huahahahhahaaha. You're funny.

“Kenapa sih semua orang ada maksud ?”

a. Cause you are fucking beautiful.
b. Cause we are human.

"Do you think I'm beautiful?"

a. You're beautiful.
b. Huahahahhahaaha. You're funny.

“Why can’t we just be friends?”

a. Cause you are fucking beautiful.
b. Cause we are human.

“Do you wanna be more than friends?”

a. Yes.
b. Yes.

“Then I can’t see you anymore.”

"Is this what I get for taking the risk?"

"I only hear what I want to hear."

“That's ok. I’ll turn you into a movie.”

Silent.

“I hate you.”

“I love you too.”

Obama, Koil, and European Union.

Hari ini mereka bertiga berusaha menyemangati gue untuk berkarya bagi Indonesia.

Indonesia adalah bagian diri saya.

Entah politis entah tulus, yang pasti kata-kata Obama membuat banyak manusia Indonesia bangga.

Indonesia juga bagian diri saya, Mister. Sebagian diri saya berteriak menyesal. Dan sebagian lagi berusaha bersyukur.

Kita orang pintar dengan otak bersinar
Hanya butuh semangat untuk hidupi rakyat


Ah Otong. Ternyata tak hanya rambutmu yang bersinar. Otakmu juga. Membuatku jatuh hati.

Sayangnya hidup tak semudah menyanyi. Sulit merasa bersinar ketika berkali kali dirimu disebut third world country oleh mas-mas European Union ini.

Mereka akan bantuin kita, para penduduk third world country, dengan memberikan dana film financing total 15 juta euro per tahun.

Kenapa?

Karena kita orang pintar dengan otak bersinar. Siap diekspor untuk memajukan negara mereka.

vanity

Produser terkenal itu memberi gue kartu nama.

She knows my name.

I was happy.

I was always a straight A student. This part of me was always glad to get approval from the teachers.

I am so ashamed of myself.

Temen gue cantik. Temen gue ganteng.

He knows my name.

Cipika-cipiki.

I was happy.

I was a nerd. This part of me was always glad to hang out with the populars.

I am so ashamed of myself.

Why do I make movies?

She wanted to make a movie simply for 2 audiences: her parents. Yet it touched so many hearts.

He wanted to make a movie to distract people. He created characters whom people cannot relate so we won’t see into oursevelves all the time.

Why do I make movies?

The fame. The fortune. The feeling of doing something for others.

All is vanity and striving after wind.

Even making movie just for the sake of me is vanity and striving after wind.

Oh shut up and do it.

Domba-Domba Tersesat

Gereja.

Di ruangan ini gue biasa mendengar pendeta bersabda hanya Yesus satu-satunya jalan.

Di ruangan ini gue biasa mendengar putuskan pacarmu yang beda agama.

Di ruangan ini gue biasa mendengar selamatkanlah domba-domba yang tersesat.

Hari ini ruangan megah berlangit-langit tinggi ini dipenuhi dialog Cina dan Annisa. Mereka meneriakkan pertanyaan-pertanyaan yang gak pernah berani gue tanyakan dengan mulut gue sendiri.

Rencananya film ini tidak diputar di dalam gereja tetapi di ruangan kecil belakang gereja, tempat biasa para pemuda mendalami alkitab setiap hari Sabtu. Ternyata yang dateng banyak sekali.

Mungkin karena filmnya tenar. Mungkin karena murid-murid Mak Gondut terancam dapet E kalau gak nonton. Mungkin juga karena Tuhan sedang jahil.

Gue bikin film ini karena gereja tidak memberi ruang untuk gue bertanya mengapa kita diciptakan beda-beda kalau Tuhan hanya ingin disembah dengan satu cara.

Dan hari ini gue dikasih ruang.

The big one.

Gue berdiri di depan gereja, bercerita betapa hebatnya Tuhan yang kita sembah dengan berbagai nama dan dengan berbagai cara.

Seekor domba tersesat berdiri di samping gue sambil tertawa-tawa.

Di belakang sana another domba tersesat berjilbab menonton.

And I thank God, knowing I have no need to save them.

A Healthy Suicide

Hari ini gue mau bunuh diri. Bunuh diri in a healthy way.

Writing.

Sayangnya bunuh diri gue membosankan. Terutama karena karakternya utama ceritanya membingungkan. Dramanya gak jelas. Malu-malu. She is not interesting enough.

Berhubung script ini cerita personal gue, I learn something today about myself.

Gue membingungkan. Gue gak jelas. Gue malu-malu. I am not interesting enough.

Ingin ngotot bertahan dengan visiku sebagai sutradara muda, tapi hati kecilku bekata dia benar juga. She really is not interesting enough.

I really am not interesting enough.

Ouch.

Sekarang gue mengerti kenapa dia gak pernah bikin cerita personal. Lebih mudah bunuh diri daripada menulis jujur.

Gue berusaha mengubah karakter utama, tapi sulit menulis karakter utama yang lebih interesting sementara gue sendiri gak interesting.

Karenanya gue membuat karakter utama yang super lame. That I can do.

Anehnya, my script gets to be more interesting.

Selain lame, ternyata gue juga rempong. Gak rela membunuh all the little darlings dan memilih satu tema saja agar fokus, gue malah bikin 2 film.

1 Resign Club
2 Demi Ucok

Karakternya sama. Sama-sama komedi. Sama-sama tentang pencarian jati diri.

Yang pertama tentang passion. Yang ke dua tentang sexuality.

Lumayan booo jadi dua film. Jadi kita bisa cut ongkos pre produksi untuk produksi film ke dua kita.

Dan dua-duanya tetap personal.

Dua-duanya tetap bunuh diri.

Bunuh diri berkali-kali. Seperti Alain de Botton. Satu-satunya cara biar dia bisa nulis jujur adalah menganggap ini adalah cerita terakhirnya. Habis ini, either he is dead or his career is dead.

And you know what the scary part is?

Ternyata doi gak mati-mati juga.

Social Network

I learn more about promo and marketing watching Social Network.

Keep it simple. Keep it cool. Listen to what your audience want.

I learn more about self pride watching Social Network.

No name card. No time impressing others. Just do it and get your 250 billion.

I learn more about myself watching social network.

I will definitely choose Sean Parker over Eduardo. I will definitely choose achievement over friendship.

I will definitely be antisocial to create the largest social network in the world.


Damn.

I am scared of myself watching social network.

God, I don’t need 250 billion dollars.

I don't mind 1 billion only if I still get to keep Eduardo.

Seni

Hari ini pertama kalinya gue menonton sebuah pertunjukan teater di komunitas seni terkenal di Jakarta.

Pengen tertidur, rugi udah bayar 100 ribu. Pengen nonton, tak tahan ingin memaki.

“Give me back my 100ribu!”

Not my 100 ribu. Gue dibayarin Bang Ucok. So it’s not mine to ask.

“Give him back his 200 ribu!”

Gak bisa. Pertunjukan sudah usai. Tirai sudah turun.

Wait. No tirai di teater ini. Maklum teater dadakan di gedung serba guna.

You shut up sajalah. Masih untung ada teater. Namanya juga seni di negara berkembang.

Penyuluhan AIDS campur sinetron ini menyebut diri seni?

Gue gak ngerti apa itu seni. Tapi kalau teater inilah yang kita sebut seni,
seni menjadi kehilangan kuasa menarik simpati.

Seni itu membosankan.

Seni itu tidak bisa kupahami.

Seni itu eksklusif, hanya untuk kita yang berbudaya dan pintar.

Adakah seni untuk masyarakat bodoh sepertiku?

Aku butuh seni yang tidak sombong. Seni yang bisa membuatku tertawa. Seni yang membuatku merasa.

I need my Little Miss Sunshine.

Seni, kalau kita masih tinggi hati dan tidak mau mendengar mereka, hanya sibuk mendengar apa yang bagus di kita kita kita dan Eropa, lama-lama kita akan semakin tidak berseni.

Aku kangen karismamu, Seni.

The Day I Stop Trying

There are so many interesting people here.

A 21 year old with an Oscar.
A 30 year old with a Sundance grand jury prize.
A first time filmmaker competing for the best movie with his USD 2000 feature.
A 26 year old with 23 international awards.

This nerd inside me thinks I will look more interesting if I hang out with them.

But it doesn’t work. They are still cool. They do not mind hanging out with me. And I am still a nerd.

So I stop trying to be interesting and start to be interested in them. Not a hard job to do.

Suddenly I became more interesting.

then I wanna be me

If Ellen de Generes had to be gay to be somebody like herself, then I wanna be gay.

If Yasmin Ahmad had to be a woman to be somebody like herself, then I wanna be a woman.

If Paulo Coelho had to give himself to the devil to be somebody like himself, then I wanna give myself to the devil.

Even Your perfect Rick Warren will never take anyone who have never had a major breakdown in their life cause they will be more judgemental and have no simpathy toward us, the sinners.

You’ve got to fall apart and put it back together again.

If I have to be me to be somebody like them, then I wanna be me.

Don't See Me

Don’t see me

You will see all lies

A hopeless attempt to impress you

Knowing the moment I stop trying

Is probably the moment I get you

Or the moment I lose you

But that’s ok

Cause the moment I stop trying

At least I won’t lose myself