Selasa, 04 November 2014

Biografi Kesenian



Saya dilahirkan di zaman Soeharto di saat pendidikan Cara Belajar Siswa Aktif membuat kegiatan berkesenian saya hanya sebatas menggambar dua gunung, satu jalan melintas sawah, dan matahari di balik celah kedua gunung. 

Kadang di kanan atas. 

Saya mulai mengenal jenis gambar lain ketika komik Jepang mulai membanjiri Gramedia. Gambar saya pun mulai menyerupai karakter-karakter di Candy-Candy.

Baru ketika tahun 2000 saya pertukaran pelajar ke Amerika, saya mulai mengenal jenis kesenian lain. Saya mulai mencoba berbagai jenis media seperti  lukisan cat air, lukisan cat minyak, gambar realis, fotografi, kerajinan besi, keramik, paduan suara, band, dan lain-lain. Gambar saya tidak lagi seperti Candy-Candy.  

Sepulang dari Amerika, saya kuliah di  Arsitektur ITB walaupun tidak terlalu mengerti serunya membentuk ruang. Tapi Arsitektur satu-satunya jurusan yang mungkin saya pahami di institut yang diinginkan mama saya. Saat itu saya tak peduli kuliah apa, yang penting ITB. 

Di ITB, saya mulai menonton dan membuat film pendek. Saya sangat senang membuat film karena berbeda dengan bidang seni lain yang cenderung sepi, film media yang populer dan mudah dijangkau masyarakat luas. Setelah lulus, saya ingin menjadi filmmaker.

Setelah lulus, tentunya saya tidak berani dan akhirnya menjadi asitek. Baru setelah saya gagal mendapat visa kerja dan tidak punya pilihan lain selain bikin film, saya mulai membuat film pertama saya.

Film pertama saya judulnya cin(T)a, dibuat oleh orang-oang yang semuanya baru pertama kali membuat film. Filmnya sangat sederhana dan temanya berhasil mencuri perhatian muda-mudi yang naksir orang yang beda agama tapi gak bisa. Film ini memberikan saya Piala Citra untuk skenario dan menjadi tiket masuk saya mengenal filmmaker Indonesia yang komunitasnya cenderung kecil dan tertutup.

Film kedua saya diproduseri salah satu sutradara favorit saya, Nia Dinata. Sebuah dokumentar pendek tentang seorang anak SMP yang juara kontes menyanyi instant di TV yang akhirnya menjadi tulang puggung keluarga. Perjalanan membuat film ini membuat saya berpikir ulang tentang popularitas dan dampaknya kepada passion kita.

Karenanya film ke tiga saya tetap saya produseri sendiri, tanpa artis terkenal, dan didanai ribuan orang lewat program crowdfunding. Judulnya Demi Ucok, tentang seorang anak yang tidak ingin menjadi ibunya yang kawin dan melupakan mimpinya menjadi artis terkenal.  Film ini sangat penting bagi saya karena dibintangi ibu saya sendiri dan perjalanan crowdfunding mengharuskan saya menemui satu per satu orang dan sering kali menemui penolakan. Film ini adalah sebuah begging pilgrimage yang berakhir manis. Film ini menjadi Film Indonesia Terbaik pilihan Majalah tempo dan Ibu saya mendapatkan Piala Citra dan menjadi artis sesuai cita-citanya.

Film ke empat adalah ‘Selamat Pagi, Malam’, film pertama yang tidak saya sutradarai sendiri. DI film ini saya belajar lebih dalam tentang identitas,  seksualitas,  dan melihat keindahan dari keburukan Jakarta.

Industri film Indonesia yang semakin hari semakin krisis penonton menyebabkan saya sempat berpikir untuk tidak lagi menjadi filmmaker. Di jaman New Media ini, sepertinya kita harus lebih fleksibel dan kolaboratif dalam menciptakan karya. Tidak boleh terlalu terpaku pada format film komersial berdurasi 90-360 menit. Sebelum berhenti, saya akan membuat setidaknya satu film lagi, Raja Kata. Sebuah cerita sederhana tentang memaafkan yang terinspirasi dari ayah saya.



Statement Karya

Film adalah bidang seni yang menuntut kompromI paling tinggi karena sangat kolaboratif dan membutuhkan dana yang sangat besar. Karenanya, saya harus sangat berhati-hati dalam membuat film agar tidak terseret arus keinginan populer.

Sejauh ini, saya hanya membuat film yang meresahkan saya. cin(T)a merupakan keresahan saya tentang agama atau cinta. Lima Menit Lagi  tentang popularitas atau passion. Demi Ucok tentang nurut ke orang tua atau mengejar mimpi. Selamat Pagi, Malam tentang mencoba melihat keindahan dalam keburukan. Karenanya, saya membuat film untuk menjawab keresahan diri sendiri. Sambil berharap semoga keresahan ini juga dirasakan cukup banyak orang sehingga filmnya balik modal dan bisa bikin film selanjutnya.

Selama saya masih banyak keresahan dan uneg-uneg, mungkin saya masih akan terus membuat film. 








Sabtu, 01 November 2014

Belajar Terbang

Di depan pintu bar itu dipajang tulisan Ladies Only. Tapi Lucky dan dua teman lelakinya rela masuk demi menemani kami, dua anak burung dari negeri yang tak punya lesbian bar.

Gue melintasi dance floor sempit dengan kepala tertunduk, tidak berani menatap. Gue cuma berdiri ngintip-ngintip dari ujung ruangan mengamati lesbian Tokyo, sementara si anak burung lain sudah disamperin mbak-mbak berbahasa Inggris di bar.

Lucky dan dua temannya menjauh, seperti induk burung yang menendang anaknya keluar sangkar biar bisa terbang. Tapi sepertinya anak burung ini lebih memilih kembali ke sangkar.

Ini pertama kalinya gue ke Lesbian Bar.  Ternyata banyak juga yang cantik di antara buci-buci. 

Sayup-sayup di belakang sana, gue mendengar Lucky menceritakan kisah gue pada dua temannya. 

“Emang ini semuanya lesbian?” tanya gue pada Anak Burung 2.

“Ya iyalah, Mbak.  Namanya aja Gold Finger. Kalau gak suka cewek sih ya gak akan ke sini,” katanya 

“Lha elo nggak lesbi  ke sini,” tuduh gue.

“Ya gue kan bi,” katanya. 

Ini pertama kalinya gue denger confirmed dari mulut dia. Biasanya Anak Burung 2 berusaha terkesan dia eksperimen doang.

Anak burung 2 lanjut berburu. Anak burung 1 tetap diam mengamati  femme-femme yang datang dengan kostum polisi blasteran suster.

Hari ini malam Halloween.  

Papa burung memutuskan pindah ke restoran Thailand di sebelah biar Anak Burung 1 gak punya sangkar untuk kembali. Tapi Anak Burung 1 malah ngekor.

“Lo party pupper banget sih,” keluh Papa Burung.

“Ih baru tau? Emang kapan gue gak party pupper?” tangkis si anak burung yang  lebih pengen makan pad thai daripada kenalan sama femme-femme cantik. 

Bar memang bukan kandangnya.  Cukup baginya untuk melihat-lihat seperti apa sih lesbian bar. Setelah itu, kembali pulang dan menulis.

Anak Burung 2 yang dicurigai sudah sibuk ciuman di Bar me-whatsapp, ngajak Papa Burung pindah ke club buat dancing-dancing. Papa Burung yang sudah mulai ngantuk pun terpaksa ikut clubbing, menemani Anak Burung 2.

Gue berjalan melewati ribuan manusia dengan kostum Halloween yang merajai  jalan Nicome yang sebelum tengah malam mungkin dipenuhi mobil, Semuanya tertawa senang berusaha memanfaatkan momen Halloween untuk merayu dan dirayu and make the most of their youth. Gue menatap sekeliling, sambil bertanya-tanya what is wrong with me. Apa benar gue gak mau stay dan menikmati semua ini? Apa gue akan jadi party pupper seumur hidup kalau malah naik taksi dan pulang ke hotel?

Bukankah gue seharusnya pengennya di luar sini merayu dan dirayu and make the most of my youth?

Mungkin  deep down inside, I already found you. 

“Hotel Okura, please.”











Death

“I guess as we get older, we are not as funny,” jawab Lucky ketika ditanya kok bisa film ke duanya sangat berbeda dengan Madame X yang kocak dan penuh letupan. ‘In The Absence Of The Sun’ mellow to the low.

Si penerjemah Jepang ikutan mellow to the low mendengar jawaban Lucky.

“You are not old. How old are you?” tanyanya.

“34.”

“You still got a long way to go. People in Japan lives to a hundred.”

“Well, In Indonesia it is only 65.”

“Life expectancy that low?” tanyanya kaget. Padahal dulu dia pernah tinggal di Indonesia. Mungkin tinggalnya di Indonesia bagan expat, di mana udaranya bersih dan makanannya sehat.

Kalau dikonversikan ke mata umur Jepang,  Lucky sudah 50. Gue sedikit mudaan. Tapi akibat tak yoga dan gemar gula, mungkin jadinya lebih tua.

Gue tidak bertanya berapa umur Yumi. Tapi kalau orang tuanya sudah berumur 80, Yumi mungkin sekitar 50. Walau mukanya 30an.

“I am 48,” kata seorang mantan bintang porno.  Mukanya juga 30an.

Mungkin karena dia mantan aktor bintang porno Jepang yang sudah ngecrot di depan kamera di lebih dari seratus film. 

Nggak juga. 

Mungkin karena kulit mereka memang lebih tak berminyak dan cerah. Mungkin makanannya. Mungkin udaranya. Di Tokyo, gue bebas jerawat tanpa obat padahal tiap hari pulang ketiduran lupa cuci muka.  

Teringat papi yang sudah 67 dan selalu merasa waktunya bentar lagi. Papinya Papi meninggal umur 69, karenanya Papi yakin usianya tidak lama lagi. Apalagi mengingat  sudah 3 kali papi pingsan padahal sudah keluar masuk rumah sakit. Dan selalu dokter bilang dia sehat, tak boleh banyak pikiran, tapi nanti pingsan lagi.

Gue selalu tidak percaya setiap Papi bilang mungkin waktunya hanya dua tahun lagi. Papi terlihat sehat-sehat saja. Kematian seperti hal yang mustahil terjadi di hidup gue.

Sampai suatu sore di stasiun Sedagaya.

Sebuah whatsapp roaming dari Bang Gigit mengabarkan si Bobot, anjing menyebalkan yang selalu membuat gue merasa dibutuhkan dengan goyang-goyang ekor tiap gue pulang, ditemukan meninggal di kebun belakang.  

Sebelum gue berangkat ke Tokyo, memang Bobot mengurus. Sudah gak mau makan. Nafasnya terengah-engah.  Mak Gondut sudah mewanti-wanti agar parit kebun belakang ditutup. Anjing  kalau mau mati biasanya  kabur dari rumah.  Bobot jangan dikasih keluar-keluar. Nanti sore mau dibawa ke dokter.

Dan siang itu Bobot diam-diam pergi ke kebun belakang dan gek pernah kembali. Ditemukan sudah kaku.

Gue terdiam di peron, air mata mengalir tanpa suara, cuma menatap kosong, gak ikut rombongan yang terburu-buru keluar stasiun. 

“Yuk makan dessert yuk,” kata Lucky sambil menggiring ke toko kue serba green tea. 

Sejenak lupa Bobot.

Gue melanjutkan hidup berharap Bobot sudah bahagia di sana. Tapi tiba-tiba air mata netes sedikit saat wawancara radio, dan sedikit saat nonton film di sebelah bapak-bapak berkaki bau. Teringat nanti gue pulang gak ada lagi yang goyang-goyang ekor menyambut. 

Melewati stasiun Shibuya, Lucky sudah wanti-wanti jangan sampai gue dekat-dekat patung Hachiko. Tapi gue melipir dan berdoa sebentar.

Bobot tidak dibuatkan patung seperti Hachiko, padahal Bobot  lebih cantik. Bobot dikuburkan di depan jendela kamar Mak Gondut, hanya beda semeter dari tempat dia biasa bobo menemani Mak Gondut. Nanti kalau gue pulang, hanya ada bunga-bunga palsu pindahan dari ruang tamu yang sekarang menandai di mana Bobot bersemanyam.

Gue memandangi foto jenazah Bobot di FB Mak Gondut. Diselimuti kain putih, Bobot terlihat seperti bobo.

“Mukanya sih damai,” whatsapp-nya berusaha menghibur gue.

“Eh nggak ding. Mukanya nyolot.” 

Gue melihat lagi foto Bobot. 

Iya mukanya masih nyolot. Kupingnya berdiri galak. Siaga bacok kalau ekornya disenggol.

Gue tertawa. Iya ya gue gak perlu khawatir dengan Bobot. Preman aja serem ama doi, apalagi hantu dan malaikat maut. Bobot akan baik-baik saja di mana pun dia berada. Dia akan  bacok  siapa saja yang nyenggol ekornya di surga sana.

“Bobot mana masuk surga! Hanya manusia yang dipenuhi kasih Kristus yang masuk surga,” sambar Mak Gondut di satatus FB-nya.

Gue tidak membalas. Tidak membahas.

Di mana pun Bobot berada, semoga dia tahu dia disayang.

“Death really changes the way you see life,” kata Lucky mengenang sewaktu bapaknya meninggal. Dia jadi lebih tidak peduli the nonsense of life. 

Yang penting jambul harus hits. Potong rambut di mana ya?

Menyadari ternyata hidup bisa berakhir, semua keriaan Tokyo menjadi seperti tidak penting.

Gue melihat foto Papi dan Mami.  

Semoga Papi Mami tahu mereka disayang.

“Yuk biin pilim.”


Kartu Nama

“And the best film goes to… Heaven Knows What,” kata James Gunn bersemangat dari atas panggung Tokyo IFF yang kaku dan gak matching dengan aura James Gunn yang sangat hidup. 

Mas-mas Amerika sayang pacar yang pembicaraannya gue kupingin beberapa breakfast yang lalu ternyata sutradaranya. Selain Best Film, dia juga menang Best Director. 

“Bukan pacarnya bok! Istri. Itu udah pake cincin,” sambut Lucky saat gue ceritakan betapa manisnya si Best Director menelepon pacarnya.

“Abis pas nelepon, matanya berbinar-binar banget,” jawab gue yang belum nonton Gone Girl tapi sudah setuju dengan betapa membosankannya perkawinan.

“Ihhh emang kalau ama istri gak bisa berbinar-binar ya?” kata Lucky yang juga sebenanrnya malas kawin tapi gak rela kalau gue benar.

Gue gak menjawab karena terlanjur digiring Attendant tak berbahasa Inggris yang semalaman menjaga kami agar tak kabur. Dia menunjuk-nunjuk luar sambil ngomong something yang sepertinya Bahasa Inggris agar gue melanjutkan langkah ke lantai 49 Roppongi Hills. Semua filmmkaer, distributor, dan programmer sudah dikumpulkan di sana. Waktunya berburu.

Lucky mengarahkan gue menuju ke seorang sutradara Singapur dan distributornya yang kalik aja mau mendistribusikan film kita juga. Mumpung kita jadi closing film di Singapur, kalik aja mereka tertarik.

Belum ditawarin, mukanya udah pada judes. jadi gue batal menawarkan.

Lucky menyuruh gue untuk mingle-mingle. Gue bingung dan akhirnya malah mendekati Sharifa Amani dan tertawa-tawa membayangkan pemutaran ‘Muallaf’ back to back dengan ‘Sayang Can’t Dance’, dua film  yang dibintanginya. Yang satu menang di Tokyo, yang satu malu dia bahas. 

Semakinlah gue bahas.

Lucky balik dengan 2 kartu nama dari Japan Foundation. 

“Nih gue aja udah dapet kartu nama. Kok lo ngobrolnya ama Sharifa Amani muluk?” 

“Eh kalau yang kartu nama ini sih gue udah dapat kalik. Dah pernah ngobrol,” kata gue membela diri. Lagipula ternyata dekat-dekat Sharifa Amani malah sangat strategis,  karena semua lini perfilman kenal dia. Gak usah mingle-mingle, orang yang akan datangin dia dan gue tinggal ikutan nebeng dikenalin. 

“Kayanya next time emang mending artisnya dibawa deh. Enak banget kalau artisnya festival darling kaya dia,” kata gue.

“Well… harusnya kitanya sih yang jadi festival darling,” kata Lucky.

Tapi darlingnya malam ini si mas-mas breakfast. Filmmaker tanpa award terpaksa mengais-ngais kartu nama. Capek, mending ke tempat ruang merokok padahal gue gak ngerokok. Dan tentunya ketemu Malaysia-Malaysia lagi. Tertawa-tertawa, memang paling enaklah ngobrol sesama manusia pulau.

“Where is your executive producer?” tanya gue pada si produser Malaysia.

“Lagi meeting,” jawabnya.

“Tuh produser tuh kaya gitu. Meeting meeting,”  kata Lucky.

Gue mau protes bilang kan doi pejabat Astro. Dan dia udah memproduseri banyak film. Dan produser-produser first time ya  nasibnya masih nongkrong di Smoking Room. Tapi ya sudahlah. Mungkin gue memang bukan produser.

Langsung curhat-curhatan ama produser Malaysia, sesama produser first time.

“You have a screener? I can give it to my executive producer nanti kalau dia dah selesai meeting,” katanya.

Gue memberikan screener dengan bahagia. Sejujurnya, ini screener pertama yang gue beri dan gue rasa akan ada kelanjutannya. Dan semuanya dimulai dengan tertawa-tawa tanpa tukaran kartu nama.

“We should make something together,” katanya sambil membayangkan artis-artisnya disatukan dengan Adinia Wirasti dan si Lesung Pipit Filipina.

Gue setuju dan berjanji akan datang ke premiere dia tanggal 9 Desember nanti di Damansara.

Semoga film kita bisa beredar di Malaysia. Kalaupun tidak, setidaknya 9 Desember nanti akan kita akan menonton hasil karya sahabat-sahabat kita.

Fuck kartu nama.