Jumat, 08 Januari 2016

Hidup Tanpa Mereka

"Lo ngapain aja sih di rumah? Kok dikasih kerjaan gak mau?" omel sesama sutradara perjuangan.

"Bukannya gak mau. Hanya bayarannya terlalu murah untuk perusahaan sejahat mereka. Kalau bayarannya mahal banget sih mungkin gue pikirin dulu."

"Lha ini kenapa lagi? Buruh mana lagi?"

"Nantilah gue ceritain kalau lo dah beres kerjaannya. Kan lo butuh duit, lo ambil aja," jawab gue.

Akhirnya gak jadi juga. Gak ada kabar.

"Jadi mereka kenapa?" tanyanya di sela-sela jalan pagi.

"Kan gue nonton dokumenter soal industri makanan di dunia. Ternyata di Brazil tuh ada ladang soya segede Eropa. Punya mereka. Nah yang ngerinya lo tau petani-petani di sebelah ladangnya, malah kelaparan..."

Tapi bukan itu yang membuat gue sedih.

Sepanjang wawancara si petani, di belakang sana ada suara anak kambing terus-terusan mengembik ganggu.

"Untungnya kambing saya lagi beranak, jadi anak saya bisa dikasih susu," kata si Petani di akhir wawancara.

Jadi si anak kambing makan apa?

Sementara di Eropa, perusahaan mereka membuang-buang makanan setiap harinya. Kelaparan di dunia ini sebenarnya organized crime.

"Tapi kan kita gak mungkin hidup tanpa mereka," kata dia membayangkan harus give up susu coklat kegemarannya.

"Sebenernya kalau gue hidup tanpa mereka, masalah gue hilang satu sih," kata gue menunjuk lemak perut tak berkesudahan.

"Lo mau coffee?"

"Boleh."

Sebuah alat kopi instan dikeluarkan, siap mengocorkan kopi kafe dengan satu klik saja. 


Dan anak kambing terus mengembik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar