"Lo ngapain aja sih di rumah? Kok dikasih
kerjaan gak mau?" omel sesama sutradara perjuangan.
"Bukannya gak mau. Hanya bayarannya
terlalu murah untuk perusahaan sejahat mereka. Kalau bayarannya mahal banget
sih mungkin gue pikirin dulu."
"Lha ini kenapa lagi? Buruh mana
lagi?"
"Nantilah gue ceritain kalau lo dah beres
kerjaannya. Kan lo butuh duit, lo ambil aja," jawab gue.
Akhirnya gak jadi juga. Gak ada kabar.
"Jadi mereka kenapa?" tanyanya di sela-sela jalan pagi.
"Kan gue nonton dokumenter soal industri
makanan di dunia. Ternyata di Brazil tuh ada ladang soya segede Eropa. Punya
mereka. Nah yang ngerinya lo tau petani-petani di sebelah ladangnya, malah
kelaparan..."
Tapi bukan itu yang membuat gue sedih.
Sepanjang wawancara si petani, di belakang
sana ada suara anak kambing terus-terusan mengembik ganggu.
"Untungnya kambing saya lagi beranak,
jadi anak saya bisa dikasih susu," kata si Petani di akhir wawancara.
Jadi si anak kambing makan apa?
Sementara di Eropa, perusahaan mereka
membuang-buang makanan setiap harinya. Kelaparan di dunia ini sebenarnya
organized crime.
"Tapi kan kita gak mungkin hidup tanpa
mereka," kata dia membayangkan harus give up susu coklat kegemarannya.
"Sebenernya kalau gue hidup tanpa mereka,
masalah gue hilang satu sih," kata gue menunjuk lemak perut tak
berkesudahan.
"Lo mau coffee?"
"Boleh."
Sebuah alat kopi instan dikeluarkan, siap
mengocorkan kopi kafe dengan satu klik saja.
Dan anak kambing terus mengembik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar