Selasa, 31 Desember 2013

My Own Ending

Dito suka banget nonton Sound Of Music. Dia sudah nonton berkali-kali, tapi DVD selalu diberhentikan di scene menari-nari dikelilingi biru langit danau dan hijau rumput Austria. Tidak pernah ada Nazi di Sound Of Music  Dito. Mereka terus menari dikelilingi langit rumput dan danau.

Gue selalu menertawakan Dito. Sampai gue nonton Blue Is The Warmest Color. Setelah si rambut biru tidak lagi biru, gue gak kuat lagi nonton. Adele terlalu banyak menangis, terlalu membangkitkan emosi-emosi yang gue gak ingin ingat. Karenanya, film Blue Is The Warmest Color selalu gue hentikan saat semua masih biru dan hangat.

Sejak kapan gue jadi mbak-mbak melankolis? In my defense, Lea dan Adele adalah actress pertama dalam sejarah yang dapat Palme Dor di Cannes. Jadi acting mereka memang luar biasa.

Bukan karena gue mbak-mbak melankolis?

I guess gue lebih kuat nonton tentara Nazi mengobrak abrik Austria daripada Mbak-Mbak Perancis berbibir seksi menangis.

Selasa, 18 Juni 2013

BIrthday Wish

Tumpengan hari ini merayakan ulang tahun Papi yang telat 2 hari. Papi tampaknya senang ulang tahun dikelilingi anak-anak angkat kepompong gendut.

"Papi mau dibikinin pilim gak?" tanya gue pada Papi.

"Papi mana bisa main pilim," Mami langsung nimbrung minta diajak main.

"Yang main jangan Papi, Slamet Raharjo," tangkis gue menepis Mak Gondut. Kan film buat Mami udah, sekarang giliran film Papi. Tapi Mak Gondut tetap merapat, berharap diajak maen.

"Papi mau yang maen siapa?" tanya gue manis.

"Mami,"  jawab Papi dengan senyum bulus.

Mami tersipu-sipu.


Senin, 17 Juni 2013

Narasi Membumi

"Kayanya semua lebih ketawa kalau nonton bagian yang ada orangnya Tid, bukan yang animasi," kata editor mengingatkan.

Episode 1 dan 3 Demi Turki sudah memasuki tahap piclock yang membuat makan gue tidak lagi berantakan. Lebih tenang, lega dengan hasilnya.

Ceritanya menyenangkan dan mudah dinikmati. Pace-nya cepat dan banyak animasi lucu.

Gue berharap observasi editor ini cuma karena tadi nontonnya pake laptop tua pinjaman dengan speaker rebek. Kalau Fatwa Indri dan Ridla  bisa mendengar narasinya, mungkinkah mereka ketawa?

Apakah narasinya terlalu banyak? Apakah gue terlalu banyak bicara?

Apakah ego gue menghambat gue menyadari kalau narasinya kurang lucu ?

Atau Fatwa Indri dan Ridla yang terlalu rata-rata?

Gue yang gak bisa deliver cerita kok malah nge-judge mereka rata-rata?

Tapi kalau gak pakai narasi, gue gak kepikiran cara lain untuk membuat pace Demi Turki lebih cepat.

Episode 1 dan 3 sepertinya sudah menarik. Tapi episode 2, 4, dan 5 butuh materi tambahan untuk mengisi screen time, kalau gak mau ceritanya jadi draggy.

Bisakah gue menciptakan narasi yang lebih membumi?

Minggu, 16 Juni 2013

Papi Ulang Tahun

"Ca, Papi ulang tahun Juni atau Juli sih?" tanya gue ke Mama Singa setelah siang-siang Deden bangun dan menanyakan apakah Papi ulang tahun.

"Benar-benarlah kau anak bungsu tak berbakti," aum Mama Singa.

Papi lagi di Manila, mengurangi satu list negara yang ia ingin kunjungi sebelum ia meninggal, bersama Mami. Tadinya Papi mau pulang ke Bandung tanggal 18, tapi diundur jadi tanggal 16. Gue gak ngeh kenapa Papi ngundurin jadwal pulangnya. Ternyata mungkin karena dia ulang tahun.

Ingin menebus dosa, gue berpikir apa yang bisa gue belikan pada Papi untuk dia ulang tahun.

HP baru, ah nanti dia ilangin lagi.

Topi pet baru, ah nanti dia ilangin lagi.

Sepatu lari baru, ah nanti dia gak pakai lagi. Bagi papi sepatu cukup satu.

Papi adalah manusia yang sangat sederhana. Bajunya itu-itu melulu kalau nggak dibeliin Mami. Papi tidak pernah suka barang bermerk. Semua barang yang dia pakai akan terlihat mahal, menurut dia.

Papi gak punya pengetahuan soal keindahan. Semua ruangan di rumah gue ditempeli kalender gratisan dari Apotik Bintang Semesta.

Hobi Papi adalah menyenangkan keluarga. Waktu gue kuliah, setiap pagi mobil gue sudah terisi penuh dengan bengbeng dan aqua nangkring di jok depan. Gue bahkan tidak pernah tahu berapa harga bensin premium sampai 2007, saat uang Papi tak lagi sebanyak sebelum pensiun.

Waktu gue mulai diet, di dapur selalu tersedia pisang, pepaya, dan aqua 1,5 liter berbotol-botol.

Hadiah ulang tahun apa yang perlu gue belikan untuk Papi?

Papi gak minta apa-apa. Mungkin cukup kalau gue gak nyusahin Papi.

Hhhh...

Sabtu, 15 Juni 2013

Another Risk

Hari ini kontrak pemain Dongeng Bawah Angin untuk segmen Dancing Gale ditandatangani. No turning back. Dongeng Bawah Angin akan tetap shooting dengan atau tanpa investor.

Teringat sebuah pentas drama musikal ambisius yang konon akan tampil di Jakarta Teater selama sebulan. Sebulan menjelang tampil, produsernya mengaku mereka tidak punya investor dan semua pentas dibatalkan hanya dengan kompensasi 50% fee yang baru akan dibayar pada 2015.

Gue tidak mau jadi produser seperti itu. Gue harus tahu bagaimana menghargai waktu dan mimpi orang lain. Bukan hanya merpati yang tak pernah ingkar janji. Produser pun seharusnya demikian.

Tapi bagaimana jika investornya menarik diri? Produser si drama musikal tadi juga mungkin tidak pernah berniat membatalkan karyanya sendiri. But shit happens. Investor bisa jadi mnarik diri, apalagi menjelang Pemilu 2014.

Papi menyarankan sebaiknya film ke tiga dan seterusnya dibayari sendiri. Kalau mau besar, harus berani ambil risiko.

Film pertama dan kedua gue dibayari orang lain dan selalu balik modal.   Dengan hanya 'meminjamkan' sebentar 100 juta, dia udah bisa dapat rights cin(T)a. Dengan hanya 'meminjamkan' sebentar 1 miliar, yang lain udah bisa dapat rights Demi Ucok.  Tahu akan balik modal, kenapa gak pake uang mami dulu?

Tapi gue takut, bagaimana jika gak balik modal? Investor Demi Ucok gak akan pusing kalau kehilangan 1 atau 2 M. Mami gue tahu uangnya tidak banyak. 2 M besar buat dia. Lebih baik dia  pakai jalan-jalan menikmati masa tuanya, bukan dihabiskan untuk memuaskan ego anak bungsu.

Makanya jangan merugi.

Tapi bagaimana gue tahu tabiat penonton Indonesia dan cuaca Jakarta?

Ah itu bukan urusan gua. Ada sutradara lain yang sudah merencanakan semuanya. Tugas gua adalah  mempersiapkan film ini sedalam mungkin tapi tetap bisa dicerna bankir2 tak berbudaya seperti Chica.

Today is another risk.

Pipis Berdarah

Semalaman begadang mengerjakan editan Demi Turki episode pertama. Makan gak teratur. Siangnya dipakai tidur.

Bangun-bangun pipis gue berdarah.

Apakah ini ginjal, infeksi virus, atau gonorhea?

Gue ke Anmo Peter Cung, berharap ini anyeng-anyengan biasa.

Gak sembuh.

What did I do? Tiap hari gue minum banyak air dan rajin bolak balik kamar mandi, sekalian menambah langkah pedometer.

Malas ke dokter karena pasti akan diberi segala macam obat-obatan yang belum tentu menyembuhkan.

Badan kita punya kemampuan untuk menyembuhkan diri sendiri. Tapi gimana? Biasanya gue banyak minum air putih. Kali ini bingung harus ngapain karena semakin banyak minum, semakin sering pipis, semakin sakit.

Mulai  hari ini gak boleh lagi begadang demi apapun. Badan gue harus lebih dihargai.

Gue melihat kursi editor yang dipakai berhari-hari, membuat sakit punggung dan potensi penyakit-penyakit lain. Gak worth it menyiksa diri cuma demi pekerjaan.

Tapi kursi editor bisa 10-13 juta.

Kesehatan kita tak terbeli.

Besok cari kursi bekas.





Kamis, 13 Juni 2013

My fourth 14.


4 bulan sejak 14 Februari 2013, gue menggendut lagi.

14 Februari berat gue 94 kg.
14 Maret 86 kg.
14 April 82 kg.
14 Mei 80 kg.
14 Juni 84 kg.

Padahal sudah 6 minggu shooting Demi Turki berjalan. Seharusnya berat gue sudah turun 4 kg dari 80, bukan malah naik 4 kg.

Kenapa gue semakin menggendut?
1. Gak renang. Gak yoga. Gak lari lagi.
2. Gak makan buah pagi malam lagi.
3. Gak mindful lagi.

Kenapa gue gak renang gak yoga dan gak lari lagi?
Karena banyak kerjaan ngedit.
No.
Karena waktunya dipakai nangis-nangis dan berburuk sangka.

Kenapa gue gak makan buah pagi malam lagi?
Karena pikirannya gak mindful. Semua yang lewat depan mata dilahap.

Kenapa gue gak mindful lagi?
Karena waktunya dipakai nangis-nangis dan berburuk sangka.

Kenapa waktunya dipakai nangis-nangis dan berburuk sangka?
Karena gak mindful.

Lain kali mau berburuk sangka lagi, lebih baik sambil lari.

Run, Atid... Run...

Another Parent


Gue gak mau jadi kaya emak gue.

Tapi kata Yasmin Ahmad, the key to success adalah be nice to your parent. Karenanya gue membuatkan film untuk emak gue dengan hasil sesuai kata Yasmin. Sukses tidak hanya datang untuk gue, tapi juga emak gue. Steven Soderbergh bisa menang Cannes umur 26, tapi  emaknya gak menang piala umur 60.

Di semua gegap gempita yang mulai mereda ini, gue teringat  my parents gak cuma satu. Ada papi yang sealu mendukung di belakang.  

Kalau harus memilih, gue lebih pengen jadi Papi daripada Mami. Walaupun kayanya gue semakin hari makin mirip Mami, banci spotlight.

Papi yang baik hati selalu menolong orang tanpa perlu spotlight. Hatinya lembut, walalupun kata-kata pujiannya tidak bisa dipercaya. Papi tentara orde baru yang terlatih menenangkan massa. Setiap ada Viking mendatangi, diputusin pacar, atau minjem bus buat liburan, gue selalu berpaling ke Papi. Papi selalu siap membantu tanpa harap kembali berbintang terms and conditions apply.

Papi tidak pernah berkhotbah Tuhan Tuhan tapi papi orang yang paling dekat dengan Tuhan. Tidak ada masalah di dunia ini yang bisa membuat Papi tidak santai karena Papi selalu yakin Tuhan memang maunya demikian. 

Kecuali kalau lagi kelaparan, dia bisa lebih singa dari Mak Gondut.

Tapi kalau kenyang, Papi  tidak pernah mengaum dan menghakimi siapapun.

Beda dengan gua. Kebanyakan perkataan, kurang perbuatan.


Gue gak pengen jadi Papi. But I don't mind having his heart and his faith. Kalau ada karakter bapak yang ingin gue filmkan semahal 10 miliar, itu harus papi.

Bukan karena gue trying to be nice to my parent, tapi gak semua cerita layak diceritakan dengan budget miliaran.

Papi is a character worth telling.

Selasa, 11 Juni 2013

Ever After

"I believe in divorce," kata seorang anak yang tumbuh dengan Bapak yang gemar selingkuh dan Mama yang kepikiran sampai sakit-sakitan. Mama istri ke dua bapaknya, tapi udah cerai dulu ama yang pertama. Setelah selingkuh dan tak juga ditalak cerai,  bapaknya makin menjadi. Kawin lagi, pindah agama, dan bikin perusahaan berbagi saham dengan si istri muda dan adiknya. Tua jatuh miskin dan harus bagi-bagi aset dengan  istri muda yang tentunya sudah kawin lagi.

Sampai meninggal, Mama tidak juga menceraikan. Pernah sih minta cerai tapi gak dikabulkan Pengadilan karena Bapaknya minta cerai secara Islam padahal nikahnya Katolik.

Melihat mamanya menderita sampai sakit-sakitan demi perkawinan yang tidak layak diperjuangkan, wajar dia tidak percaya manusia boleh diperangkap dalam ikatan yang dosa kalau diputuskan. Apalagi setelah menonton Borgias 2 season, ternyata Paus Vatikan pun punya selingkuhan.

Gue tumbuh di keluarga besar yang bebas perceraian. Dulu ada om gue yang mau cerai karena ketahuan selingkuh, disidang satu keluarga besar dan dimasukin penjara sama bapak gue. Tentunya sekarang mereka tidak  jadi bercerai walau gue yakin si om masih selingkuh.

Papi Mami tidak pernah selingkuh. Tapi gue gak yakin mami cinta sejati papi. Papi orang yang baik dan bersyukur. Semua yang diberikan Tuhan padanya akan dirawat dan dimanjakan dengan penuh perhatian.

Mami, sepertinya paling cinta dirinya sendiri. Jadi kalau ada yang merawat dia segitunya pasti akan dipertahankannya.

Pasangan cerai pertama yang gue kenal adalah mama teman SMP gue.  Mungkin ayah barunya bisa sayang pada mamanya, tapi bisakah sayang juga pada dia?

Pasangan cerai ke dua di hidup gue ketika gue exchange student di Amerika. Host Mom gue anaknya dua, beda-beda nama keluarga dengan dia. Jadi at least dia sudah cerai tiga kali.

Setelah bercerai dengan Host Dad gue, hidupnya berantakan. Tidak lagi tinggal di rumah berjacuzzi. Cerai terlihat jadi the easy way out, dan setelahnya hidupnya tidak juga lebih baik.  Kalau saja dia stick to any of her husband, mungkin dia bisa tua  bersama seperti mami dan papi. Gak terlalu happy tapi at least gak berantakan.

Gue gak mau menikah seperti mami dan papi. Gue mau  hidup dengan seorang partner yang bisa gue puja dan gue manjakan. Gue bilang cantik tiap hari. Gue teriakkan ke semua orang lewat lagu, film, dan tulisan.

"Trophy dong?" kata si pro perceraian.

A trophy with a hint of slavery. Kalau trophy kan dipajang doang, kalau ini gue pengen dia ngerasa paling cantik sedunia dan rela dijadikan budaknya.

Tapi gue gak pernah kawin. Mungkin Papi, Mami,dan lain-lainya juga pengen bahagiakan pasangannya di awal perkawinan. And long years of marriage brought them here.

Semua orang tahu yang terbaik buat dirinya sendiri. Si mama yang diselingkuhi sampai sakit-sakitan mungkin tidak merasa perlu dikasihani, dia malah merasa telah sukses menjadi istri yang setia sesuai iman Katoliknya. Si Papa yang gemar selingkuh juga tidak perlu dikasihani, mungkin dia telah menjalani hidup yang penuh passion tanpa penyesalan. Om gue yang tetap diam-diam selingkuh juga tidak perlu disalahkan, mungkin itu satu-satunya cara dia agar bisa survive hidup dengan tante gue yang kejam. Tante gue yang kejam juga tidak bisa disalahkan, mungkin itu satu-satunya cara dia menjaga agar perkawinanya tidak retak sesuai doktrin Protestannya. Host Mom yang hidupnya tidak lagi berjacuzzi juga tidak perlu dikasihani, karena mungkin dia bahagia bisa hidup mandiri.

Semua orang punya jalan sendiri, tidak boleh dihakimi.

Lebih baik menyanyi sambil menyiapkan diri untuk cinta yang hanya hari ini.


Senin, 10 Juni 2013

Sepatu Crocs Merah

Hari ini gue menjelajahi Jakarta bersama sepatu crocs merah yang gak mungkin gue beli sendiri.  Bentuknya seperti sepatu mbak-mbak kebanyakan. Dan merahnya mencolok mata.

Tapi hari ini gue memakainya dengan bangga dan tanpa lecet di kaki. Beda banget dengan hari kemaren.

Kemaren hari gue diawali dengan boots baru yang membuat gue terlihat edgy dan masa kini. Belum 2 jam menjalani lantai  tak berkerikil Kelapa Gading 3, gue sudah meraung minta pulang karena kaki lecet kanan kiri.

Untung Mama Singa baru beli crocs merah, dengan berat hati dipinjami ke gue. Tanpa mikir warnanya gak matching dengan jeans Lazuli Sarae gue, gue langsung pakai.

Ternyata yang nabrak bukan berarti tak serasi.

Dan yang kebanyakan bukan berarti tak nyaman.

Mulai hari ini,  gue tidak akan lagi menghakimi sepatu sebelum menanyakan ke kaki gua.

Terima kasih, mama singa.

Dijodohin

"Tadi tension banget ya," kata co-director Demi Turki setelah adegan di butik.

Echa dijodohin Mak Gondut dengan cowo yang gue yakin gak akan menghargai paha gempal Echa. Gue menentang habis-habisan dan malah dituduh Melda dan Chica pengen dijodohin juga.

Gue menepis tangan Chica dengan kesal.

"Tadi cuman adegan film kan?" tanya Chica.

Gue diam saja.

Setelah 30 tahun dijodohin dan ditolak dan membuat self image gue di ada di bawah batas kewarasan, gue tidak mau Echa melewati apa yang gue lewati. Echa butuh lelaki yang bisa menghargai dia apa adanya.

Dan dia juga harus belajar menghargai lelaki apa adanya. Jangan mencari Mr. Right hanya untuk menutupi ketidak pedean dia dan membiarkan The Geek In The Pink dan Skater Boy lewat begitu saja.

Ah kenapa ngurusin Echa? She  has her own journey.

Gue harus belajar menghargai manusia apa adanya. Jangan mencari Miss Right hanya untuk menutupi ketidakpedean gue dan membiarkan The Geek In The Pink dan Skater Girl  lewat begitu saja.

I love me.

Apocalypse

After Earth, another post-apocalyptic movie buatan Amerika. Semua penghuni Bumi sudah transmigrasi ke planet lain. Bukan karena Soeharto bangkit kembali dan menggalakkan Repelita V, tapi karena Bumi tidak lagi bisa dihuni. Semua mahkluk di bumi sudah berevolusi dengan satu tujuan, memusnahkan spesies rakus bernama Homo Sapiens yang sudah membuat Bumi menderita.

"Kenapa orang Amerika takut banget sama apocalypse?" tanyanya.

Mungkin karena American belum pernah mengalami apocalypse beneran. Karenanya kiamat menjadi begitu menakutkan. Yang kaya 9/11 saja dibuat jadi dama besar dan harus dibalas dengan membabibuta se-dasawarsadengan alasan nyari Osama.

Bandingkan dengan film-film apocalypse Jepang. Akhir dunia dihadaopi dengan hening dan puitis. Tidak ada jerit-jerit histeris dan efek-efek bombastis.

Mungkin karena orang Jepang sudah terbiasa dengan apocalypse. Nagasaki. Hiroshima. Meiji. Pearl Harbor.

Bagaimana kalau orang Indonesia yang bikin film apocalypse?

Setiap hari kita sudah dibombardir dengan apocalypse sehingga sudah imune dengan segala hal yang  tidak berjalan seperti seharusnya. 

Mungkin filmnnya isinya twitter semua.

Jumat, 07 Juni 2013

Sahabat

"Lo catet kata-kata gue. Gue punya feeling kita pasti nanti jadi sahabat," katanya yakin. Setelah merangkak dari bawah di industri showbiz, dan berkali-kali gagal dan tertipu, dia lebih memilih mengikuti kata hati daripada otak.

Tapi hati harus dilatih, dengan tiap hari meditasi.

Senang sekali kalau bisa bersahabat dengan dia. Artisnya hanya 12, tapi berkualitas.

"Kayanya semua orang sahabat dia deh," kata sahabat gue yang mengamati tweetnya.

Kembali ke bumi, gak lagi geer.

Kamis, 06 Juni 2013

IQ 75

"The World will never be the same once you see it through the eyes of Forrest Gump."

Pertama kali gue melihat dunia melalui pandangan Forrest Gump, gue SMP kelas 1. Gue tertidur di bioskop murah dekat Pasar Kosambi yang sekarang sudah tidak beroperasi lagi. Baru bangun ketika Jenny bercinta dengan Forrest Gump dan pergi begitu saja di pagi hari. Atid kecil tidak mengerti kenapa ada yang mau bikin film tak happy ending seperti ini.

19 tahun kemudian, gue kembali melihat dunia lewat mata  Forrest Gump lagi. Dua setengah jam berlalu penuh tawa haru dan diakhiri dengan gue pengen bikin film kaya gini.

Dunia di mata Forrest Gump sangat sederhana. IQ-nya 75. Forrest gak akan bisa masuk sekolah dasar biasa kalau saja Sang Mama tidak 'ee ee ee ee' sama Pak  Kepala Sekolah.

Forrest kecil tidak bisa berjalan lurus tanpa bantuan kawat kaki. Tapi Mama selalu bilang Forrest itu berbeda memang begitu seharusnya. Kalau Tuhan mau menciptakan semua orang sama, semua pasti diciptakan dengan kawat kaki.

Di akhir film, gue menyadari IQ 75 ternyata berkah luar biasa bagi Forest. Pikirannnya tidak cukup kompleks untuk menciptakan skenario buruk sangka. Dia hanya jalani hidup dengan hati lurus tanpa pretensi.  Tau -tau dia jadi bintang football kuliah, pahlawan perang Vietnam, juara pingpong sampai ke Cina, milioner udang, nabi berlari, sampai pemilik saham perusahaan Apple yang dikiranya memproduksi buah-buahan. Jualan 'buah' ini membuatnya tak pernah harus mencari uang lagi.

Terberkahilah semua yang ber-IQ rendah, karena mereka tidak tahu apa yang harus mereka sombongkan.

Setelah melihat dunia di mata forrest Gump ke dua kalinya, Atid 30 tahun memang tidak lagi sama. Dunia terlihat lebih sederhana. Tidak perlu dipahami, hanya perlu dijalani.

Sayangnya IQ gue 161, sehingga semua yang datang pasti diproses dan dianalisis dan tak jarang menghasilkan kemungkinan-kemungkinan ke depan yang menakutkan.  

"Kerjakan saja apa yang sudah Tuhan berikan," kata Mama Forrest sebelum meninggal, tanpa mengutip khotbah-khotbah rumit tentang talenta.

Gue pengen bercerita seperti Forrest Gump.

Hi, I'm Sammaria. Sari Astrid Mananda Maria.

The Wizard

"Mending 1 menit pertama dibuka dengan premis film ini. 4 gondut pengen kurus biar menang taruhan ke Turki."

Komen begini sih masih terbayangkan.

Fiuh. Setelah  minggu lalu dikirimi email undangan duduk bareng melihat rough cut Demi Turki, meeting hari ini berbuah senyuman.

Semua terselamatkan berkat seorang penyihir yang menyamar jadi graphic designer.

Erickson.

Di dunia film di mana kesan pertama dan branding itu penting, Erickson tampil tanpa banyak bicara.

Tau-tau karyanya menebus dosa kami pada Kompas TV.

Ntar gue tambahin bonus deh buat Erickson.

Duit dan sesosok Boru Hutapea.

Selasa, 04 Juni 2013

4 Tahun Lagi

"Manusia itu jatahnya 70 tahun, kalau lebih itu anugerah,"  kata Papi mengutip Daud.

Papinya Papi meninggal umur 68. Tahun ini Papi 66.

Papi berencana menghabiskan 4 tahun ini dengan jalan-jalan berdua bersama mami. Minggu depan ke Manila.

Tinggal India dan Myanmar, lengkap sudah cita-cita Papi mengunjungi dunia.

"Tapi kan Opung Mak umur 90an belum meninggal, Pi," jawab gue, risih ngobrolin kematian dengan papi sendiri.

"Ya papi sih doainnya dia cepat-cepat meninggallah. Kasian.Sekarang udah gak bisa apa-apa. Tidur terus," jawab Papi sambil menerawang.

Gue tidak mendoakan papi cepat-cepat meninggal. Tidak juga mendoakan umur panjang.

Katanya mati adalah keuntungan, jadi kematian tidak harus ditangisi, tapi disambut dengan perayaan.

Tapi seringkali gue lupa. Tidak hanya kematian yang harus dirayakan. Hidup pun demikian.

Yuk ke Myanmar.

Power Walking


Sepuluh ribu langkah per hari ternyata tidak sulit di Korea. Tanpa usaha, tiap hari pedometer gue menunjukkan angka 11-12 ribu. Kembali ke Bandung, angkanya kembali menjadi 4000-5000.

Di sela-sela deadline seperti ini, tidak mungkin olahraga. Jeleknya kantor di rumah, tidak ada kewajiban power walking memenuhi kuota langkah per hari.  Solusi yang bisa gue lakukan adalah minum air sebanyak-banyaknya agar tiap jam gue harus pipis. Lumayan jalan melintasi kantor ke kamar gue  bolak balik dapat 500 langkah.

Tapi kan sehari gue gak mungkin pipis 20 kali. Paling 10. Karenanya pedometer tak pernah mencapai angka 6000.
 
Kalaupun gue jalan ke luar, belum tentu sehat uga.  Metabolisme lancar, tapi paru-paru dipenuhi polusi udara hasilpembakaran angkutan kota yang bebas uji emisi.

Ah nasib pekerja film tanpa asuransi jiwa seperti gua. Kesehatan menjadi penting karena gue pengen mati tanpa melewati pembakaran uang di rumah sakit. Gue pengen mati sehat plek di hari tua tanpa perlu pompa ini pompa itu dengan biaya ratusan juta.

Mungkin gue harus berhenti melangsingkan Mas Yusuf dan mulai ngepel kamar sendiri.

Another Fat Funny Girls

Tiap episode, gue dapat baju baru dari Lazuli Sarae. Desainnya edgy dan membuat gue terlihat berbudaya.  Satunya 600 ribu jadi kecil kemungkinan  ketemu Mbak-Mbak salon Anata berbaju sama.

Ternyata enak juga di depan kamera. Dapat banyak barang gratisan.

Dapat gym 6 bulan gratis juga!  Kayanya gue di akhir Demi Turki beneran melangsing nih.
 
"All just for the the free gym?" tanyanya concern.

Dia sudah melihat banyak sekali program TV yang membuat wanita tambah terobsesi untuk kurus dan gak suka badannya sendiri. Betapa besarya dosa gua kalau gue manambah daftar acara yang membenarkan kalau cantik itu harus kurus.

Memangnya kenapa kalau gendut?

Kegemukan adalah indikasi kalau gue punya masalah. Bisa fisik, bisa psikologis. Buat gue, gak ada masalah fisik. Gue gak pernah mencapai berat ideal karena gue pemalas dan gak sayang ama badan gue. Gue terlalu stres untuk tidak berembunyi di balik gula-gula dan karbo lainnya.

Tapi  biar gue bisa melangsing tanpa menimbulkan depresi baru, gue harus sadar betul kalau gue gak perlu berubah.

I don't have to be happy. I don' have to be healthy. I dont have to lose weight.

But I do want to. Cause I have the power over my body.

Hati-hati lo pada nambah naksir.

Pemungut Cukai

Digibeta Demi Ucok yang dikirim pulang dari Festival Amsterdam ditahan di bea cukai. Katanya film ini tergolong barang impor, dan harus membayar bea cukai film sebanyak 12 juta.

Impor? Ini kan barang gue yang dikembalikan festival. Bukan buat diperdagangkan. 

Ternyata semua barang yang masuk ke Indonesia dianggap barang impor.

Peraturan bea cukai entah buatan menteri pintar mana yang gak masuk logika ini benar-benar merusak hari. Satu hari gue dihabiskan bolak balik Bea Cukai dan Fed ex  melalui  panasnya cengakreng.

Drama bea cukai ini menambah daftar panjang kisah kelam perfilman Indonesia yang belum untung sudah dipajak. Boro-boro memimpikan pemerintah mengembalikan pajak tontonan dengan menyekolahkan filmmaker, atau memberi subsidi bikin film seperti negara-negara beradab lainnya, filmmaker di ini malah dibebani pajak berlipat even sebelum filmnya untung.

Pas minjem alat, bayar pajak. Pas nyewa kru, bayar pajak. Bikin copy distribusi film, bayar pajak. Pas jualan tiket di bisoskop,  bayar pajak. Jual ke TV, bayar pajak.

Tidak ada duit yang tidak dipalak kawanan Gayus Tambunan dan dkk.

Baru tahu kenapa di Alkitab, pemungut cukai digolongkan kepada kawanan terhina bersama perempuan Sammaria.

Tiba-tiba datang pemberitahuan dari Bea Cukai, kali ini digibeta Demi Ucok dilepaskan. Lain kali jangan lupa memberi tahu kalau barang itu akan diimpor balik.

Perempuan Sammaria melengos. Sesama pendosa tidak boleh saling menghakimi.

Pijat Kurus


"Ayo kita ke pijat kurus...

Badan Kurus tanpa usaha..."

Chica bersenandung riang, siap-siap dipijat kurus.

Siapa bilang Pijat Kurus tanpa usaha?  Pertama kali gue pijat kurus, gue langsung curiga sejak di ruang tamu gue dihadang foto A1 pemilik klinik yang tak kurus.

Masuk ke dalam ruangan, gue dijajarkan bersama deretan ibu-ibu berlemak telanjang telungkup dan dipijit-pijit dengan tidak berpri-kelemakan. Yang terperas tidak hanya  lemak tapi juga sel-sel  darah putih dan sisa-sisa kesabaran. 

Pulangnya gue dibekali obat-obatan yang konon tidak membuat lapar berhari-hari. Memang benar tidak lapar.  Tapi di hari ke tiga selangkangan mulai dihadiri bercak-bercak darah padahal belum waktunya datang bulan.

Bisa kurus tanpa usaha? Bisa! Hanya bayarnya pakai sedikit liver dan sedikit ginjal.

Mungkin lebih baik berusaha, agar kita teap bersenandung riang dengan ginjal dan liver yang sempurna.

Senin, 03 Juni 2013

Jamila


Oh... da Jamila da Jamila da bintang pilim India
Boru Ni kalibat parumaen ni pandita
Asa godang do halak sega dibahen ho da Jamila
Diriphu anak boru ape naung ina-ina, oh Jamila...

Namanya bukan Jamila, tapi Imelda. Dia bukan bintang pilim India. Bukan anak kalibat, apalagi menantunya pendeta.

Tapi banyak laki-laki patah hati dibuatnya. Banyak yang tertipu mengira dia masih anak gadis, ternyata sudah ina-ina.

Tapi dulu.

Sekarang  Imelda bergoyang asyik diikuti lagu Jamila.  Walaupun dengan badan yang dua kali lipat masa lalu,  percaya dirinya masih seperti Imelda versi kilo 57.  Goyangnya gak kalah sama bintang pilim India.

Terbayang Imelda jadi bintang video klip Jamila di  Demi Turki. Harus banget ada lagu ini.

Hanya ternyata Jamila ini gak tahu siapa yang punya. Ada yang bilang Roy Sagala. Tihang Gultom. Ada juga yang bilang NN. 

Oh Jamila... Jamila. Ternyata tak hanya kamu yang membingungkan dan diperebutkan banyak lelaki. Lagumu pun demikian.

Patah Hati dan Herbalife


"Aturannya kan harus sehat! Gak boleh pakai obat-obatan," kata Bang Deden mengingatkan aturan maen Demi Turki mendengar Melda minum Herbalife tiap hari.

Dalam 8 bulan, kami harus turun 15 kilo seorang. 2 kilo sebulan seharusnya tidak mengancam kesehatan. Tapi 4 bulan berlalu, dan ternyata 4 Gondut belum juga mengurus.  Kecuali Atid yang patah hati dan turun 6  kg dalam seminggu.

Untung saja patah hati tidak termasuk dalam obat-obatan terlarang dalam pertaruhan Demi Turki, sehingga Atid tetap bisa melenggang kurus tanpa kena diskualifikasi.

Sekarang tinggal 4 bulan lagi. Sebenarnya menurunkan 15 kg dalam 4  bulan pun masih tidak membahayakan kesehatan. Dengan kedisiplinan dan olah raga, 4 kg sebulan bisa dicapai tanpa Herbalife.

"Ini kan herbal, bukan obat-obatan," tangkis Melda.

Akhirnya Deden menyerah. Asal tidak dikonsumsi pagi siang malam sebagai pengganti makanan, Herbalife tetap diperbolehkan.

Tapi gue tetap gak tertarik minum Herbalife. Bukan karena jelek bagi kesehatan tapi karena jelek bagi keuangan.

Pisang Lumut sesisir cuma 9000 ribu, bisa untuk sarapan 4 hari. Sementara Herbalife sehari 30 ribu.

Tapi paling  murah tetap patah hati. Hanya sayang, datang sepaket dengan ambeien.

5 Minutes of Me

Gue makan terus menerus. Kerjaan gue gak fokus. Gampang tersinggung dan menyalahkan sekitar.

Ini semua pasti karena Jakarta. Pemandangan kemacetan tanpa aturan dan jalan layang tak terselesaikan melintang siap mencederai kepala  mengacaukan inner peace dan kestabilan jiwa mahkluk-mahkluk eksternal seperti gua.  Gua butuh melihat yang teratur dan nyaman agar bisa bekerja dan menjaga kondisi badan dan pikiran tetap prima.

Tapi ternyata bukan salah ibu kota. Di Bandung pun gue mulai terganggu dan mengunyah tanpa henti. So there must be something wrong inside me, yang gak ada pengaruhnya dengan kinerja Jokowi.

Bagaimana cara agar gue bisa bekerja lebih efektif? 

Gue salah satu manusia paling beruntung yang tidak pernah perlu bekerja. Gue bersenang-senang  membuat karya yang gue suka dan dibayar dengan uang dan penghargaan.  Kenapa pekerjaan semenyenangkan ini tetap membawa tekanan?

Maybe I already work my body too hard. Badan gue bukan mesin. Dia butuh istirahat. Setiap jam. 5 Minutes of ME time. Sisanya gue bisa kembali fokus mengerjakan apapun yang dengan senang hati gue lakukan ketika badan tidak depresi.

5 menit ini bisa gue pakai untuk apa aja yang memanjakan badan dan pikiran gua. Bisa buat mendengarkan wahyu berlagu Jason Mraz, atau curhatan  New Radicals, atau jalan-jalan pipis ke kamar gue yang jauh dari kegalauan Kepompong Gendut.

Daripada bekerja 6 jam terus menerus, baru istirahat setengah jam, lebih baik gue istirahat 5 menit tiap jam. Biar badan gue lebih merasa sehat dan disayang, gak cuma dipecut terus berkarya berkarya dan berkarya as if hidup hanya untuk berkarya.  Badanku butuh berdendang bersama Jason Mraz.

Seleai berdendang,  bodi ini akan lebih hepi diajak bekerja. 55 Menit gue akan lebih bermanfaat.

From this minute on, I will enjoy every minute of my life.

Wedges, Crocs, dan Stilleto


Di atas stiletto 12 cm, dia berjalan dengan santai.

"Gue cuma pakai ini kalau ada acara doang. Sehari-hari ya gue pake wedges."

Sementara wedges buat gue sudah prestasi besar, lambang kewanitaan tingkat tinggi. Suatu hari gue terpaksa beli ankle boots wedges di saat kaki gue sudah beku akibat berjalan dengan sepatu basah di antara salju Perancis. Ternyata  wedges memperpanjang bagian bawah tubuh gue sehingga terlihat lebih ramping dan proporsional.  Tapi tidak buat dipakai sehari-hari melewati pedestrian tak kaki-awi di Jakarta. 

Sehari-hari gue pake sendal crocs item yang nyaman dan cocok dipakai untuk  semua jenis baju.

Hanya menurut gua, tentunya.

Banyak handai taulan yang terobsesi menggunting sendal crocs gue yang malang biar gak dipakai lagi.

Ada yang memberikan sepatu wakai kuning berdaun-daun hijau sebagai hadiah ulang tahun. Apakah ini cara Luckus mengatakan dia bosan liat sendal crocs gua tanpa silet dan gunting?

A woman is judged by the shoes she choose.

Apakah daily use of crocs hitam mendepak gue dari jejeran wanita sophisticated bercita rasa masa kini?

Apakah gue harus terlihat lebih ramping dan proporsional setiap hari dengan mengorbankan stuktur tulang telapak kaki?

Adakah sepatu nyaman yang bikin gue sophisticated ?

Ah terima saja memang gue bukan wanita sophisticated.

*kembali ke crocs hitam.

Menghakimi Opung Mak

Opung Mak memberikan cincin tunangannya kepada cucu kesayangan, Bang Deden. Tentunya harus laki-laki. Untuk yang perempuan, diberikanlah 3 gelang mas 24 karat kepada mereka yang paling baik  : Chica, Echa, dan gua.

Dari 50an cucu Opung, yang dikasih gelang hanya tiga. Chica dan Echa memang berbakti. Gue?

Apa karena gua mijit-mijit Opung tiap ketemu? Itu kan karena gue malas ngobrol ama Opung. Yang dia tanyakan selalu sudah makan kau? Makan kau! Nanti kurus!

Atau menceritakan betapa brengseknya Opung Pak, kurang ajarnya janda belakang, dan sederet kejelekan bodat lainnya. Gak ada yang perhatian padanya.

Padahal dulu Opung gak negatif. Opung yang gue inget di masa kecil selalu baik dan datang membawa hadiah.

"Dari dulu emang kayak gitu dia!" seru salah satu cucu yang sempat dimaki-maki pelacur karena satu kali waktu SMP  dia pulang malam.

Mungkin memang gue gak kenal Opung. Gue selalu tinggal di Luar Jakarta. Mungkin karena itu ingatan gue soal Opung bukan nenek pemaki-maki yang lidahnya setajam bulu babi.

Dalam hati gue berjanji, gue gak mau self centered. Kalau nggak tuanya akan jadi seperti Opung. Selalu berasa gak disayang. Selalu berasa orang lain bodat.

Tapi gue gak cukup tahu Opung untuk bisa menghakimi.

Yang gue tahu katanya Opung anak kapala negeri. Di saat wanita belum berekolah, dia sudah tamat sekolah guru. Ditambah masa itu masyarakat Batak masih menganggap gendut dan dada besar sebagai  lambang kesuburan, sehingga Opung Mak menjadi kembang desa. Tapi Opung Mak menolak dijodohkan. Dia memilih malu karena  terlambat kawin dan menunggu pujaan hatinya, si Managara Washington Simanjuntak.

Di masa itu, gadis seprogressive Kartini saja akhirnya menyerah dijodohkan dengan Bupati beristri banyak. Opung Mak sudah bisa punya sikap dan berkata tidak.

Tapi sekarang Opung Mak  selalu mengeluh Opung Pak hidung belang yang main mata sama janda sebelah. Baguslah dia mati.

Di waktu lain dia selalu bersenandung lagu merindu sambil memandang mesra foto Opung Pak. "Na sonang do hita na dua..."

Sudah 20 tahun sejak Opung Pak meniggalkan dia. Berkali-kali ada indikasi dia segera menyusul kekasihnya, tapi tidak juga.

Papi sempat berpikir  gak mau hidup lama-lama dan ngerepotin orang. Apakah Papi merasa direpotin Opung? Apakah Opung merasa Papi ngerasa direpotin?

Gue sempat berpikiran kalau Opung meninggal sekarang, episode 1 Demi Turki akan menjadi lebih festive. Terbayang footage kematian Batak yang dirayakan 3 hari 3 malam dengan tarian. A great way to start a story.

Dan cucu seperti ini yang dia beri gelang 24 karat. Pantas saja doi nyinyir.

Gue kembali memijit Opung, sambil membayangkan gue 70 tahun lagi ngapain. Mungkin gua masih aktif jalan-jalan membuat  film dan menyemangati manusia-manusia tua yang ingin mengejar mimpi.

Atau mungkin gue akan bersungut-sungut betapa anak muda tidak menghargai  film gua.

Selagi muda, jangan hakimi yang tua. Lo belum pernah tua. Lo gak tahu rasanya jadi dia.

Tuhan saja gak menghakimi, kenapa gue merusak diri sendiri dengan menghakimi? Rempong deh ah.

Lebih baik mengajak Opung menyanyi.

"Na sonang do hita na dua..."

Irama TV

Editor Sakit Perut. Sutradara panik. TV sudah mewanti-wanti, Rabu harus sudah jadi.

Pertama kalinya gue mengerjakan TV,  gue kira semua akan lancar. Isinya tentang gue yang pengen kurus, gue cuma perlu relax, jujur, dan keep a sense of humor in the shotlist. 

Ternyata tak ada kata relax di TV. Kita berlomba dengaan waktu. 15 Juni harus tayang, episode 1 belum terjabarkan.

Siapa suruh bikin program personal di TV?  Director lain bisa mengerjakan 1 episode dalam waktu 5 hari jadi. Gue gak bisa karena semua gue pikirkan dan jabarkan. Ini bukan proyek kejar tayang semata. Ini hidup gua dan saudara-saudara gua.

Terbiasa menulis film 80 menit berbulan-bulan, mengerjakan 2 episode x 24 menit dalam 3 hari bikin gue panik.

Ditambah editor sakit.

Dan komputer minta beli baru.

Di saat-saat menjelang deadline seperti ini, bukannya menulis, gue makan mengunyah keripik dan karbo tak kompleks lainnya sepanjang hari.

Profesionalisme dan masa depan gue dipertanyakan. Seharusnya gue mempersiapkan editor yang bisa menggantikan. Seharusnya gue bisa mengedit Avid. Jangan sampai tanpa jalan keluar seperti hari ini.

Atid, fokus. Kerjakan yang bisa dikerjakan. Sedikit demi sedikit. Mengunyah karbo tak bergizi tak menambah selesai.

Ah mungkin spesies personal kaya gue tak sebaiknya masuk ke TV.

Teringat pertama kali mengerjakan film cin(T)a, gue tertidur bermimpi shooting, terbangun teringat shotlist, dan terus berlanjut hingga setelah shooting berakhir. Gue berpikir gak akan lagi gue bikin film.

Dan sampai hari ini masih bikin film.

You are doing good, sayang. Don't be too hard on yourself, so you won't be too hard on your editor.

The worst thing you would get is not getting any TV job. And it is not the end of the world.  Selama masih ada Youtube, lo masih bisa bikin film.

Just focus on what you wanna say.

Tahun Baru

Keluarga bagi gua adalah wajah-wajah yang hanya gue temui tiap  malam Tahun Baru di Rumah Opung. Anak Opung ada sembilan, cucunya lima puluhan. Keluarga gue satu-satunya yang gak tinggal di Jakarta. Anak-anak Jakarta ini sepertinya lebih bahagia dari gua. Lebih terbuka, dan lebih bisa berbicara.

Setiap malam tahun baru, gua biasanya makan rendang dan  es krim walls kiriman tetangga sebelum diam-diam menyelinap ke atas  menghabiskan baca buku seharian di beranda atas. Baru turun kembali  ketika Opung bagi-bagi duit kepada deretan cucu. Sebenarnya gue berharap bisa menghabiskan malam tahun baru bersama sahabat-sahabat sekolah yang sepertinya lebih mengerti gua, tapi tidak bisa. Setiap Batak wajib bertahun baru di Rumah Opung.

Beranjak dewasa,  gue ada bahan obrolan. Gue bukan lagi anak daerah yang gak punya cerita. Sekarang gue baru pulang dari Amerika. Tapi sepertinya  mereka tetap tidak suka ngobrol dengan gua. Gue berubah dari anak daerah yang pemalu menjadi anak Amerika yang belagu.

Semakin dewasa, jumlah cucu semakin berkurang. Sebagian mulai menikah dan bertahun baru di rumah mertua mereka. Walaupun udah menjelang tiga puluh, gue tetap Batak dan gue tetap bertahun baru ke Rumah Opung.

Tahun ini isinya tinggal 2 keluarga, keturunan 2 anak lelaki Opung. Papi dan Bapak Tua.

Keluarga Papi tetap datang lengkap karena gua dan Deden belum menikah. Chica mertuanya Jawa, gak wajib ngumpul tiap Tahun Baru.

Mak Gondut sebagai sintua  akan memimpin kebaktian dan membagikan fotokopian acara kebaktian template dari HKBP pusat di kampung sana. Keluarga bernyanyi tanpa gairah tanpa alat musik.

Hanya Opung yang berani bilang 'aminnnn' di saat Mak Gondut belum selesai berdoa dan diamini seluruh keluarga. Tentunya hanya dalam hati.

Siangnya lebih meriah. Bang Pinon bergitar diiringi suara-suara Namboru melagukan medley Alusiau Anjuahu Molo adong na salah blabla bla, bersaing dengan adzan mesjid tetangga.

Opung akan terduduk termangu-mangu, tidak lagi membagi-bagikan sangu. Sekarang ingatannya mulai terganggu. Dia tidak tahu kalau Jepang sudah berlalu.
 
Tahun depan tidak ada yang tahu apakah Opung belum berlalu.

Jika Opung berlalu, ke manakah gue bertahun baru? Kebut-kebutan dan party-party bersama sahabat yang gue impikan dulu tidak lagi menarik hati. Sahabat-sahabat itu pun sudah menikah dan tidak lagi saling mengerti. Mungkin mereka ada yang menikah dengan Batak jadi tak bisa keluar pas Tahun Baru.

Tahun ini gue tiga puluh. Mungkin sudah waktunya gue menentukan di mana gue bertahun baru. Tidak lagi di Rumah Opung.

Tapi ke mana gue harus pergi?

Menang

In a culture so obsessed with winning, gue gak suka jadi kalah.

Saat nama Herwin Novianto dibacakan, gue gak merasa kalah. Gue aware kalau piala-piala  ini ada maunya.  Herwin Novianto bukan sutradara yang lebih baik dari Hanung Bramantyo. Atau Garin Nugroho. Atau Sammario.

Tapi ketika dulu nama gue yang dibacakan,  sempat ada perasaaan senang dan harap-harap kalau memang gue lebih baik dari yang lainnya. Setidaknya sekarang gue ada pengakuan.

Apakah semua pemenang sebenarnya loser inside? Butuh pengakuan baru bisa bahagia? Butuh orang lain lebih buruk dari kita.

Adakah cara lain membahagiakan diri selain menang dan mengalahkan orang lain?

Memenangkan orang lain. Melihat Mak Gondut menang, gue merasa lebih menang dari semua pemenang. Gak semua orang bisa menghantar emaknya memenangkan Piala.

Apakah gue anak berbakti  atau another loser inside? Apakah orang lain kurang berbakti kalau gak memenangkan piala buat emaknya?

In a culture so obsessed with winning, satu-satunya cara biar lo bisa bilang menang itu gak penting tanpa terdengar jadi sore loser  adalah ketika lo pemenang.

Dan hari ini gue bukan pemenang, jadi sebaiknya gue diam aja.

Tapi gue anak pemenang.

Bangga?

Banget.

Ah, emang loser inside.

Make Up

Snow BB Soothing Cushion

Lumi Block Primer

Power Essential Skin Refiner

Snow BB Creaam SPF 30+ PA ++

Dan deretan nama-nama pesanan Chica di Korea yang tidak menunjukkan apa fungsinya. Tenyata Snow BB Something Cushion itu bedak dan Block Lumi Primer itu foundation.

"It's not foundation. The foundation is Snow BB Cream SPF 30+ PA ++"

Gue mengangguk pura-pura mengerti.

Di sepanjang satu jalan kecil ini, gue sudah menemukan setidaknya 5 brand make up Korea damping berdampingan jualan tanpa ada tanda-tanda kekurangan pembeli. Nature Republic.  Laneige.  Innisfree. Skinfood. Misha.  Belum lagi brand impor Face Shop Body Shop Estee Lauder dan dengan nama-nama beragam hanya untuk menyebut bedak.

Dasar make up jaman sekarang. Bedak aja kok nyebutnya beda-beda. Gak boleh sama sama toko tetangga.

Belok sedikit, di jalan sebelah sudah berderet toko brand-brand make up yang sama.  Nature Republic.  Laneige.  Innisfree. Skinfood. Misha. Face Shop. Body Shop. Estee Lauder.

Sepertinya selama wanita masih insecure, pemerintah Korea tetap tidak akan pernah kekurangan devisa.

Baru sehari pakai make up, sudah muncul 2 jerawat di pipi gua. Jangan khawatir. Untuk mengobatinya, Laneige sudah menyiapkan obatnya yang akan membuat pori-pori tidak lagi tersumbat dan sekalian pembersihnya, yang sebaiknya dipakai tiap kita keringetan. Tentunya abis dibersihin pake make up lagi yaaaaa.

Gue menghela napas panjang dan berjanji besok gak akan pake make up lagi.

Gue cantik apa adanya.  

Dengan sedikit Sun block SPF 30 tiga puluh ribuan. Umur udah 30, Mbak. Butuh perlindungan.

Minggu, 02 Juni 2013

Out For Good

Gue pengen keluar dari  Indonesia. Gue pengen belajar bikin film.

Tapi film gue kurang arthouse untuk minta beasiswa dari festival, dan kurang komersil untuk berharap dilirik produser Hollywood.

Banyak filmmaker Iran minta suaka ke Paris, tapi negara gue kurang represif biar gue bisa kabur.

Pilihan terbaik saat ini adalah mengerjakan tugas gue sebaik-baiknya: Demi Turki, In The Absence Of The Sun, dan Dongeng Bawah Angin.

Mudah-mudahan angin akan membawa gue ke Paris.

Atau Amsterdam. New York. Seoul. Melbourne. Bombay. Toronto. Hong Kong. Bangkok.

Anywhere yang infrastruktur filmnya maju dan gay marriage legal.

Paris dong?

Sabtu, 01 Juni 2013

Narasi Frustasi

Mindfulness shows in everything you do. Not only eating.

"Hari ini semua lo makan," kata co-director lain mengingatkan, melihat gue menyambar kripik tempe sambil mengawasi monitor editor.

Hari ini dimulai dengan sebuah mindful banana sesuai doktrin breakfast Food Combining. Rencananya gue akan mulai merangkai narasi episode 3 Demi Turki dengan tenang agar Rabu nanti Kompas gak freak out ngeliat another rough cut tanpa storytelling yang gripping.

Begitu sampai di kepompong yang gendut dan berantakan, I lost my focus.

Oleh-oleh buat Daud ikut gue cicip. Kue-kue pasar yang rasanya biasa aja gue makan tiga. Seloyang pizza + french fries Daud + seperempat Calzone Deden + mojitos hijau artifisial + sisa milkshake Deden ikut masuk perut tanpa awareness. Pulang-pulang langsung menyambar tahu dan tempe goreng,dimakan sambil jalan naik tangga. Seporsi besar bihun goreng Naripan pun langsung disantap diiringi kicauan Mak Gondut. Diakhiri dengan kripik tempe dan sebuah peringatan dari Daud.

Gue menarik nafas panjang, mencoba fokus lagi. Biar gue gak merusak tubuh dan pikiran dengan racun-acun yang rasanya sebenarnya tak membuat perasaan bahagia, malah semakin frustasi. Tidak seperti soft tofu sopu dan green tea cookie kemarin. Hmmm...

Gue kembali ke kamar, meninggalkan para editor yang bekeja keras dengan alasan gak bisa menulis kalau berantakan.

Di kamar, gue tertidur dan baru bangun 11 jam kemudian.

Tidur dan makan kebanyakan: tanda-tanda frustasi?

Atid, don't be so tough on yourself.  You just had 7 days of  your first time being a jury in a festival far away from home,  a long hour flight, and a bus ride from Jakarta that takes longer than the flight. Thanks to kemacetan Jakarta di malam Jumat.

You deseve a lot of food and a lot of sleep. 

Don't judge yourself, so you won't judge others.

I love you.

Narasi Frustasi

Mindfulness shows in everything you do. Not only eating.

"Hari ini semua lo makan," kata co-director lain mengingatkan, melihat gue menyambar kripik tempe sambil mengawasi monitor editor.

Hari ini dimulai dengan sebuah mindful banana sesuai doktrin breakfast Food Combining. Rencananya gue akan mulai merangkai narasi episode 3 Demi Turki dengan tenang agar Rabu nanti Kompas gak freak out ngeliat another rough cut tanpa storytelling yang gripping.

Begitu sampai di kepompong yang gendut dan berantakan, I lost my focus.

Oleh-oleh buat Daud ikut gue cicip. Kue-kue pasar yang rasanya biasa aja gue makan tiga. Seloyang pizza + french fries Daud + seperempat Calzone Deden + mojitos hijau artifisial + sisa milkshake Deden ikut masuk perut tanpa awareness. Pulang-pulang langsung menyambar tahu dan tempe goreng,dimakan sambil jalan naik tangga. Seporsi besar bihun goreng Naripan pun langsung disantap diiringi kicauan Mak Gondut. Diakhiri dengan kripik tempe dan sebuah peringatan dari Daud.

Gue menarik nafas panjang, mencoba fokus lagi. Biar gue gak merusak tubuh dan pikiran dengan racun-acun yang rasanya sebenarnya tak membuat perasaan bahagia, malah semakin frustasi. Tidak seperti soft tofu sopu dan green tea cookie kemarin. Hmmm...

Gue kembali ke kamar, meninggalkan para editor yang bekeja keras dengan alasan gak bisa menulis kalau berantakan.

Di kamar, gue tertidur dan baru bangun 11 jam kemudian.

Tidur dan makan kebanyakan: tanda-tanda frustasi?

Atid, don't be so tough on yourself.  You just had 7 days of  your first time being a jury in a festival far away from home,  a long hour flight, and a bus ride from Jakarta that takes longer than the flight. Thanks to kemacetan Jakarta di malam Jumat.

You deseve a lot of food and a lot of sleep. 

Don't judge yourself, so you won't judge others.

I love you.

Jumat, 31 Mei 2013

Kafe Sehat

"Press Here to know the Korean Tea that fits your personality."

Di duit-duit  won terakhir menjelang boarding, gue gak jadi beli hot choco Burger King, terbelokkan melihat sebuah kafe dengan interior kayu-kayu coklat muda dan kue warna warni yang menarik mata. Warna warninya sangat rendah hati, tidak mencrang  seperti kue-kue Perancis-Perancisan di sebelahnya.

Si komputer bersabda  sebaiknya orang dengan bentuk wajah dan temperamen seperti gue, sebaiknya minum  Korean Blackberry  Tea and live a stress free life.

Tarik nafas, buang stress. Korean Blackberry Tea 5000 won, duit tinggal 3000 won.

Gue mulai melihat-lihat deretan kuenya. Green tea selalu mengundang mata. Dan hanya 1500 won.

Beli 2. Green Tea dan Almond.

So worth my last won.

You are what you eat. I feel so good after eating this green tea cookie. Dan berasa punya jati diri, karena memakan sesuatuyang benar-benar Korea.

Jadi teringat Indonesia. Apakah  yang benar-benar Indonesia? Ah, kata Indonesia aja tidak benar-benar Indonesia.

If I am what I eat, what am I?

I do not want to be whatever the billboard tell me to. I want to be a healthy tasty and well designed food.

Kamis, 30 Mei 2013

Confession Of A Fat Feminist

Namanya Ap Gu Jeong. Begitu keluar subway, dia sudah dihadang 3 rentetan billboard dokter-dokter pria bersenyum profesional lengkap dengan bukti-bukti foto  before after pasien mereka.

Berjalan naik tangga keluar dari bawah tanah, kiri kanannya berjejer iklan-iklan operasi pelastik dari ujung rambut sampai ujung perut. Kaki jarang yang mau operasi. Siapa yang mau liat kaki?

Ternyata ada.

Begitu keluar dari bawah tanah, kita disambut jalan besar terang benderang yang dihuni deretan gedung operasi pelastik dengan desain K pop sampai Renaissance,  lengkap dengan rekomendasi bintang lima dari Pemerintah Korea yang dengan senang hati menambah devisa negara.

One stop shopping for plastic surgery. Semua bisa dioperasi di sini, bahkan kaki.

Dia memandang refleksinya sendiri di kaca salah satu klinik. Apa yang ingin dia rubah? Wajahnya gak cantik tapi dia gak perlu cantik-cantik amat. Segini cukup. Tapi perut? Dia memandang perut buncit menahunnya yang udah diet 4 bulan dan sepertinya belum menunjukkan tanda-tanda pengempisan.

Apa sebaiknya dia sedot lemak?

Gak akan ada yang tahu. Bisa disamarkan. Gak kaya mbak-mbak berkacamata hitam atau bermasker yang banyak seliweran  di jalanan mendung ini. Dicurigai  baru operasi kelopak mata, hidung, dan sekitarnya.

Tapi cewe-cewe Korea tidak malu mengakui mereka operasi pelastik. 73 persen sudah terjamah tangan dokter. Terutama kelopak mata.

Ah lebih baik yang natural aja. Dia baru diet 4 bulan.  Murah dan menyehatkan.

"I really don't get why people go on diet. You should eat whatever you enjoy,"  kata seorang feminis.

Gampang buat dia ngomong gitu. Si feminis tinggi langsing pirang dan gak kelihatan 43.

Dia kembali memandang perut buncit menahunnya, dan menangkis tuduhan si Feminis dengan jurus-jurus demi kesehatan. Perut buncit rawan penyakit. Jadi dietnya beralasan. Dia berbeda dengan cewe-cewe insecure korban doktrin kecantikan versi industri kosmetik.

Tapi dalam hati dia tahu pasti. Ini bukan tentang kesehatan.

Dia pengen cantik.

Gue pengen cantik.



Rabu, 29 Mei 2013

The Jury

"The film is a fake. It doesn't have a feminist perspective, and the camera work is very sexist. I don't believe the film is made by a real lesbian."

"Don't you guys love this film? The director is very brave in terms of storytelling"

"There are too many technical problem."

"It observes the women problem in Asia. It should get a special mention."

"We should judge it by the work, not by the hiddden potential."

Pertama kalinya jadi juri, gue dimasukkan ke kumpulan 2 festival director yang sangat artikulatif dan 2 sutradara yang tak kalah artikulatif walau tak berbahasa inggris.

Semakin menyadari betapa pentingnya menjadi artikulatif dalam industri ini. Kita harus bisa menjelaskan perasaaan kita.

"Jangan kasih gue skrip, kasih gue gambar,"  teringat seorang sutradara yang tak bisa berkata-kata. Tapi filmnya tetap menyentuh.

Mungkin bukan artikulatif, tapi sensitif. Sutradara harus tahu apa yang ingin dia bicarakan.

Visually.

Kalau bisa verbally, lebih baik lagi.

Kaya Park Chan Wook. Visualnya sudah membangkitkan emosi yang tidak bisa gue mengerti. Mendengar dia berbicara dan menjelaskan perasaaan gue dalam kata-kata , visualnya jadi lebih mempesona.

So many things to observe before I can make Raja Kata.


Selasa, 28 Mei 2013

Film Mahal

"Only second feature... Not good for jury director...,"  katanya merendah dalam Bahasa Inggris patah-patah ketika dipilih jadi ketua juri.

Gue berusaha meladeni  dia ngobrol, kasian terkucilkan karena keterbatasan bahasa di rumahnya sendiri, Korea. Ibu-ibu sweet 40 tahunan yang lebih banyak ketawa dan mengangguk daripada ber-kalimat.

Kesan yang berbeda pas nonton filmnya.  Filmnya sangat tenang, percaya diri, efektif, galak, dan agak psycho!  Tak ada jejak ibu-ibu sweet yang berusaha mingle di antara crowd berbahasa Inggris cas cis cus.

Well written, well directed, well produced, dengan sinematografi dan art yang mempesona.

Film seperti ini yang gue pengen bikin. Film yang menang Berlin atau Cannes, tapi masih dimengerti bankir-bankir tak berbudaya kaya Mamasinga.

"Gambar kaya gitu mahal tapinya," kata mahasiswa beasiswa film di Korea.

Gue mau jadi director mahal! Gue mau bikin film kaya gini!

Tapi jangan gambarnya doang yang mahal. Isinya juga.

"Kayanya sutradara harus tua dulu deh, baru kontennya bisa mahal."

Gue melihat si Ibu-Ibu sweet yang masih berusaha berbahsa Inggris di sela-sela bir ke dua. Mungkinkah director muda tinggi hati bisa bikin film kaya dia?

Sepertinya sebelum memperkaya diri, gue harus memperkaya hati dulu.

Raja Kata, you will be expensively beautiful.

Senin, 27 Mei 2013

Gondut

Mak Gondut dapat piala lagi. Setelah dari SCTV, MAk Gondut dapat piala Pendatang Baru Wanita Terbaik dari RCTI.

Gue ketawa melihat namanya. Gondut. Tanpa Mak. RCTI tau aja doi tambah gondut akhir-akhir ini.

"Tahu Mami bakal menang dulu, gak Mami bikin nama Mami Mak Gondut'" katanya sambil menitahkan revisi poster Demi Ucok lengkap dengan gelar Doktor dan Master dari universitas  di kawasan Pasar Baru.

Bangga bercampur takut menyusupi Sammaria di Korea, tempat di mana gak ada yang nonton RCTI atau SCTV.  Tak ada TKI di sini.

Bangga: karena gue sekarang sejenis Gading Martin, species anak selebriti.

Takut: karena khawatir Mak Gondut terlalu terpesona dengan gemerlapnya 2 piala. Lupa kalau 5 menit kemudian orang akan lupa.

Tapi gak jadi khawatir melihat foto lainnya dengan telunjuk menunjuk ke atas, melambangkan nomor 1.

Ternyata doi tak lupa kampanye.

At least setahun ke depan gue tahu Mak Gondut gak akan dimensia.


Feminis

Begitu mendengar kata Feminis, yang terbayang di kepala gue adalah cewe-cewe galak pembenci laki-laki bersepatu boots butut yang ngegeng sama cewe galak lainnya.

Gak mungkin gue membenci laki-laki, tahu ada cowo kaya Papi.  Papi gue baek banget. Walaupun dia masih bapak-bapak yang gak bolehin anak cewe naek angkot, gue tahu itu karena dia sayang. Bukan karena merasa cowo lebih baik. Gak mungkin gue jadi feminis.

Ternyata cewe-cewe galak yang nge-geng sendiri  itu namanya separatis , bukan feminis. Banyak feminis yang pacarnya banyak, tasnya fendi, dan tiap hari pake SK 2.

Terlalu banyak label yang tidak gue mengerti.

Kalau untuk cewe-cewe yang merasa semua manusia itu berhak dipandang sama, labelnya apa?

Itu pluralis.

Bukannya pluralis itu buat kaum ekstremis yang menganggap semua agama sama saja?

Bukan. Pluralis itu sikap hidup yang tidak menyalahkan manusia lain (baik diam-diam atau terang-terangan)  dan menganggap golongan kita paling benar.

Kalau gue merasa benar, gue bisa tetap pluralis?

Bisa, asal gak menganggap orang lain salah.

Kalau orang kaya Hitler, pasti salah dong?

Tergantung nanya ke siapa di zaman apa. Sejarah itu tergantung penulisnya.

Ah mending gue cari aman aja. Gak usah mikirin orang lain, fokus ke masalah sendiri. Gue masih bisa dianggap feminis?

Bisa. Bahkan bisa jadi penulis terkenal.

Kalau gue kawin aja dan cari aman, gue bisa dianggap feminis?

Bisa, bahkan bisa jadi pahlawan nasional.

Semua itu harus dilihat konteksnya. Kenapa dia menikah? Kenapa dia harus cari aman?

Ah sayang, semakin kamu menyadari semua manusia itu benar, semakin bebas hidupmu.

See you in heaven, Mas Adolf.

Minggu, 26 Mei 2013

Body Image

Mengikuti saran temannya, seorang ABG Korea gak pake celana dalam biar cowo mau ML ama dia. Seorang Nenek tato alis biar pacar Nepalnya gak cari pacar baru yang seumuran. Seorang anak pengen pake BH karena teman-temannya punya pacar setelah ber-BH.

Menonton semua film ini, gue marah. What do you wanna suggest to your audience? Loose your underwear to get a boy?

Pantesan banyak banget toko make up di Korea. Dengan berbagai packaging lucu-lucu tapi di baliknya messagenya cuma satu: You are not good enough to be loved. Wear this and get others to love you.

Dan Operasi Plastik jadi kaya belanja baju.

Dan culture seperti ini yang mulai digandrungi ABG Indonesia?

Gue kembali ke masa-masa SMP di mana yang keren masih didominasi Amerika. Gue gak suka badan gue. Terlalu gendut, terlalu lebar, terlalu hitam, terlalu berbulu, terlalu berminyak, terlalu gak kaya model-model majalah Amerika. Dan sialnya, semua ABG seumur gue saat itu pun terkontaminasi doktrin kecantikan versi Beverly Hills 90210, jadinya gue tersisihkan dari perdagangan bursa pacar.

Kali ini I should have known better. Gue dikasih kesempatan bikn 13 episode Demi Turki. Apa yang pengen gue suarakan?

Gue bukan lagi ABG insecure umur 13 tahun. Gue punya seribu satu alasan kenapa cantik itu tidak identik dengan kurus.

Tapi gue juga gak mau sembunyi di balik delusi 'Big Is Beautiful'. Big is full of health problem.

Girls, get on your grip. We are blessed with a very beautiful Asian body. Take care of it. Love it. Jangan ditimbun lemak.

Gak perlu putih. Gak perlu ceking. Gak perlu perut rata. Kita bukan orang Eropa. Apalagi Korea.

Kulit kita kuning langsat. Tulang kita besar. Kulit kita berminyak. Rambut kita bergelombang.  Berbulu banyak. Asal tanpa lemak berlebih, pasti akan tetap mempesona.

Tiba-tiba 13 episode jadi berasa kurang.

Sabtu, 25 Mei 2013

Lost In Translation

English cannot take you around the world. Not in Korea.

Di sini lebih baik gue berbahasa Indonesia. Aksen Wisconsin gue gak berguna menghadapi generasi K pop yang berusaha melatih Inggris mereka. Lebih baikbicara sepelan mungkin dengan bantuan gerakan tangan dan kaki.

Gue ditemani seorang volunteer mantan NAVY bertato love love di  leher. Bahasa Inggrisnya bolelebo untuk ukuran Korea. Hari-hari pertama gue masih mengingat masa-masa susah gue di Amerika gak dimengerti lawan bicara, jadi gue berusaha meladeni Inggris Gangnam style-nya. Di hari ke tiga gue lebih banyak tersenyum dan tertawa, tidak berusaha berbicara.

Di hari ke empat gue udah menjelma menjadi Scarlett Johansen dalam Lost In Translation. Lebih banyak menatap kosong ke jendela sambil membayangkan di samping ada kamera.

Eh apa gue Bill Murray ya?

Strong Women Of The World

Ada yang pernah diperkosa. Ada yang pro Palestina. Ada yang dulunya pria.

Film mereka penuh perjuangan. Mereka penuh perjuangan. Pantas wajah mereka keras dan tanpa basa-basi. Wajah-wajah gak berusaha disukai, karena hidupnya terlalu banyak konfrontasi.

Dan di antara mereka ada gue, dengan film remeh temeh yang dibintangi emak sendiri. Berusaha berwajah keras pun tidak ada gunanya. My life has been a series of joy.

Ah tapi kan mereka gak pernah direcokinMak Gondut 30 tahun. So I have an excuse dong to be bitchy.

*pasang wajah keras


Jumat, 24 Mei 2013

Komunikasi

Bentuk komunikasi paling primitif adalah kata-kata. Begitu banyaknya kata, tidak mampu mewakili perasaan kita. Kalaupun mampu, bibir bicara beda.

Kita diciptakan untuk saling mengerti satu sama lain. Percuma bicara.

Tatap mata ini, kamu pasti mengerti.  Jeritan hati yang ingin mencintai walaupun bibir berkata benci.

Hari ini malam bulan purnama. Kalau sarigala melolong, belum tentu dia lapar.

Mungkin dia merindu sepasang mata mahkluk galak lainnya.

Gym

Dulu gue tergabung dalam Masyarakat Anti Gym. Sebegitu luasnya  Indonesia yang belum dijalani, ngapain gue lari di tempat di atas mesin jutaan rupiah?  Bayangkan jika semua energi hasil treadmill kaum urban Jakarta  dijadikan satuan listrik, mungkin pemadaman giliran tak lagi memusingkan Jokowi. Dan bahan bakar fosil tak perlu lagi disubsidi, digantikan  energi terbarukan hasil pembakaran lemak para selebriti.

"Itu  fitness model lama, Mbak. Fitness sekarang udah lebih banyak metoda dan kelasnya," tangkis instruktur ganteng berjiwa GKI ber-raga selebriti.

Dengan bermodal 6 bulan keanggotaan gratis, gue akhirnya mau nyobain.

Ternyata banyak kelas yang gue suka. Kelas seduce:  bisa menari seksi bersama lagu terbaru Britney.

Kelas body combat:  bisa mukulin musuh bayangan tanpa pernah dipukul balik.

Kelas core ball:  bisa maen bola-bolaan tanpa tuntutan menjadi dewasa dan bonus perut rata.

Kelas RPM: udah ah. Gak kuat...

Selesai fitness, gak ada lagi sisa tenaga untuk menghina kaum urban Jakarta. 

Mungkin kalau Obama, SBY, dan semua pemimpin dunia fitness,  gak akan ada lagi tenaga memikirkan perang berikutnya.

Let there be peace on earth, and let it begin with gym.

Grekka

4 Sepupu Gondut rela nge-gym 2 hari demi mengejar Instruktur E yang indah dipandang tapi ternyata sudah ada yang memiliki. 

Rencana jual pesona belanja oleh-oleh ke toko yang dimiliki Instruktur E dan istri dibatalkan. 4 Gondut Patah Hati melarikan diri ke kedai teman sendiri.

Namanya Grekka, kedai makanan Yunani dengan harga kaki lima.

One step closer to Turki, one step away from Turun Kiloan?

Jangan salah! Konon travelling ke Yunani malah bisa menurunkan kiloan. Tradisi makan di Yunani udah  4.000 tahun,  lebih tua dari Perjanjian Baru.  Bahan-bahannya menyehatkan: gandum, minyak zaitun, ikan,  wine, madu, sayuran dan buah-buahan.

Lo kira kenapa dewa dewi Yunani pada kece-kece? Makan Souvlaki tiap hari.

Ayo pesan-pesan.... Didiskon 50% amayang punya ;D

Souvlaki, daging.  Gue makan nasi menteganya aja. Mmmmm...

Moussaka, keju... Dikit gapapalah.

Loukoumades... Penuh gula...  tapi yang ini beda. Fusion ama peyeum, harus dicoba!

"Bikinin yang vegetarian dooong,"  protes gue pada yang punya.

Cream Spinach... Lezat dan kaya zat besi.

Memandang body di kaca, kok belum kaya Athena?

Mungkin bayamnya kurang banyak.

"Mas, satu lagi ya!"

Ambeien

Empat botol besar Aqua per hari. Makan hijau-hijau.  Power walking 5000 langkah.  Kenapa 3 hari ini boker gue susah dikeluarkan, vbetah banget nongkrong di ujung usus. Semakin hari semakin mengeras, menghambat antrian pengeluaran tai-tai baru.

"Ambeien gak cuma kurang minum atau kebanyakan duduk. Bisa juga karena susah let go," kata si Kunyir.

Damn.

Curiga seluruh populasi Jakarta ambeien. Kecuali SBY. Masalah hidupnya hanya Yenny Wahid gak jadi masuk Demokrat. UN kacau dan Freeport mematikan tak mengganggu hidup.

"Perasaan terintimidasi juga bisa membuat infeksi saluran kencing."

Pipis gue baik-baik aja.

*lirik kanan kiri.

Fatwa stress ngerjain laporan keuangan bulanan sendirian.

Mungkin Fatwa dan seluruh populasi radius Sammaria yang  bermasalah pipis.

Kita memang terdiri atas body mind and soul, masuk akal banget masalah pantat ini akibat perih di hati.

Jadi mana yang harus gue benerin dulu biar selalu cantik walafiat? Body, mind, atau soul?

Tiga-tiganya dong. Di dalam tubuh yang sehat pasti terdapat jiwa yang kuat. Mensana pasti inkorporesano.

Ah tapi instruktur gym berdada bidang banyak yang galau tuh?

Sehat ya. Bukan six pack.


Healing

"Katanya gue bisa jadi healer," katanya mengutip seorang healer tebengannya di Pulau Dewata yang konon pernah membaca Lola Amaria dan Nicolas Saputra.

Dulu juga pernah ada yang bilang gue bisa jadi healer. Bukan karena jempol gue besar dan enak mijitin punggung Mak Gondut, ndut ndut kaya kepompong.  Tapi karena perut gue besar.

"Energi dalam itu nyimpennya di perut," katanya sambil merokok. Dia tidak pernah makan di sela-sela pengobatan. Metabolisme menyerap terlalu banyak energi.

Makanya Plato dan Socrates selalu puasa menjelang berkarya. Lebih baik energinya dipakai berpikir daripada habis mengolah souvlkaki.

Sejak bergaul dengan mahkluk-mahkuk pemikir,  gue mulai percaya manusia bisa menyembuhkan diri sendiri. Kalau batuk gak harus langsung sedia OBH.Demam gak harus Termos Es. Mens gak harus feminax. Maag gak harus promag.

Lihatlah Bobot dan Boni. Kalau sakit tinggal makan rumput dan sembuh sendiri. Kalau Bobot dan Boni dianugerahi kemampuan menyembuhkan diri sendiri, kenapa kita tidak?

"Gue gak pernah minum obat. Kalau sakit, gue minum brotowali  yang tanam sendiridi belakang rumah."

Atau beli di Pasar  Dago. Belinya jalan kaki pagi-pagi, gak nyuruh bibi.

Pantesan 53 kulitnya masih sehat benderang.

Ketika sakit, yang dibutuhkan tubuh bukan obat, tapi istrirahat. Tubuh butuh konsntrasi energi membentuk sel-sel baru, jangan diganggu dengan aktivitas yang tak perlu.

Seperti mikirin jadwal film baru.

Ngik.

Makan apa kita besok?

Makanan: sumber penyakit nomor satu.  Tubuhmu adalah Bait Allah, jangan dirusak dengan kolesterol dan karbo tak kompleks.

Kali ini gue bersyukur diberi penyakit. Sementara sel-sel merenovasi diri, otak bisa flashback dan merenungi kenapa gue diberi kesehatan.

Untuk menyembuhkan?

Tapi kan Agustus nanti perut gue gak besar lagi...

Amin.

Sate Gereja

Jam 7 pagi, semua Sepupu Gondut sudah bersiap-siap ke Gereja. Terlalu telat untuk kebaktian jam 7.

Ternyata  4 Gondut langsung hadap kanan grak menuju Sate Gereja.

Sate itu sudah mereka makan sejak 1997. Saat tiap Senin Satu masih berrok merah-merah, dan  gereja masih jadi kewajiban yang bisa memerahkan rapor sekolah.

"Ah biasa aja rasanya," kata Kak Melda mengomentari sate. Mungkin Atid dan Chica terjebak nostalgia 1997, jadi tiap Minggu wajib ke  situ.

"Kalau yang ini enak," katanya berbinar-binar setelah mencicipi siomay yang konon tanpa babi. Melda langsung berburu di manakah dia berjualan. Minggu gereja, malamnya di kawasan pelacuran.

Siomay ternyata tidak mengenal  gelap terang kehidupan. Dari pendeta sampai pendosa, semua cinta.

Setengah jam kemudian, Bang Deden datang bergabung, langsung dijarah  4 Sepupu Gondut yang 5 menit yang lalu berikrar diet.

"Itu kan buat Kubus," protes Bang Deden.

Kubus dibungkusin sate baru.

Jam 10  bel berdentang, tanda kebaktian berikutnya akan dimulai.

4 Sepupu Gondut pulang dengan perut kenyang dan hati riang.

Manusia tidak hidup hanya dari firman saja.


Rabu, 15 Mei 2013

Echa

"Kak Atied...
Makasih bwt hari ini ya...
Aq senang..."

Echa whatsapp. Gak gue bales.

Makasih untuk apa? Tadi pagi gue shooting kegiatan dia mulai bangun pagi sampai ngantor buat footage Demi Turki. I didn't do anything worth her thank you.

Pagi-pagi Echa sudah bangun, nyapu halaman dan rumah yang tidak berpembantu. Dilanjutkan mencuci pakaian dan menjemur.

Konon Mamaknya punya harta berkarung-karung yang disimpan di bawah bantal dan 5 account bank BTN yang berbeda. Karenanya, tiap minggu Keluarga Simanjutak dapat gratis tiket Blitz Velvet 5 pasang. Sayangnya tidak ada tabungan berbonus pembantu. Echalah yang bertransformasi sementara adiknya yang di Kedokteran dibebastugaskan dengan alasan banyak tugas.

Gak kaya Echa. Akuntansi. Harus nyuci.


Baru sadar gak banyak yang gue tahu tentang Echa. Sepupu gue ada 50an. Gak semua gue kenal. Apalagi yang pendiam dan tersiksa seperti Echa.

Memori pertama gue tentang Echa adalah Echa Agustus 2010 di ruang tunggu Rumah Sakit Singapur, menunggu giliran  mendonorkan hatinya untuk Papa melalui operasi 10 miliar. Siap seumur hidup harus bolak balik rumah sakit sampai hatinya tumbuh lagi.

Tapi Papa keburu pergi, jadi hati Echa tak jadi dibagi.

Sekarang Echa rajin olahraga ke gym tetangga. Apakah karena tak ingin sakit seperti Papa?

"Si Meta masa nanya kaya gini sama aku kak. Kak, kalau aku kawin duluan gimana? Kan aku lebih cantik."

Tak terima dilangkahi adik, Echa berusaha cari pacar.

"Tapi yang aku sukak  sukanya cewek kurus," kata Echa.

Karenanya Echa ke gym kompleks tiap sore. Nyapu halaman dan mencuci baju tak cukup melangsingkan pantat Echa sesuai standar calon pacar.

Bukan pantat yang mengecil, Echa malah jadi bolot akibat kurang karbo.

"Aku sukanya anak band, kak. Kayak Kak Kutil inilah."

Sejak ikutan Demi Turki, Echa berkenalan dengan teman selebriti pertamanya.  Kutil, yang sebenarnya nama aslinya Jarwo, mantan gitaris grup Naif.
 

Kutil tidak mengiyakan. Tapi Echa percaya.

Mungkin inilah mengapa Echa berterima kasih. Berkat gue, Echa jadi bisa kenalan sama Naif.

Oh well then...

You're most welcome, Echa.


Selasa, 14 Mei 2013

Chica

"Gue stress sampai perut gue melilit baru hari ini," kata Chica sebelum bobo.

Demi Turki di ambang perpecahan karena 2 saudara kita bertengkar di Whatsapp. Satu cabut dari Whatsapp Group dan mengancam cabut dari Demi Turki.

"Gue kasian ama lo. Ini kan kerjaan lo. Lo pasti kepencet banget di antara mereka berantem."

Dan gue seharian berbinar-binar makan ketan susu srikaya. Lupa ada yang berantem.

"Apalagi bosnya bilang ini buang-buang waktu. Itu kan sama aja bilang kerjaan lo buang-buang waktu. Kan kasian didenger kru lo, si Osman,si  Kutil... kalau buat kita sih ini have fun aja. Buat kalian kan ini kerjaan."

Buat gue ini have fun juga kok.

Baru nyadar ternyata Chica sesensitif ini.

Gue makan ketan susu bukan berarti gak peduli. Hanya gue yakin 2 saudara gue ini sebenarnya saling sayang dan gak akan tega membuat gue kehilangan pekerjaan. Jadi gue tetap fokus merencanakan shooting wiken ini tanpa pernah terlintas siapapun akan mundur.

Half full glass - type.

Beda dengan Chica, si half empty glass yang peduli sekitar dan baik hati. Gue lebih memilih menikmati setengah sisa gelas gue sendiri dan sering gak ngeh gelas sekitar gue setengah kososng.

"Hari ini gue pulang cepat..." kata Chica penuh senyuman.

Jam 8 malam.

Biasanya jam 10 malam.

"Lo gak resign aja, hur?" tanya gue. Pergi jam 6 pagi, sampai jam 11 malam. Gak ada waktu nonton X Factor atau treadmill. Weekdays-nya habis untuk memperkaya some rich American, dan  nanam Farmville di sisa-sisa malam.

"Kalau gue gak kerja, gue ngapain? " tanya Chica bingung.

Nanam Farmville seharian hanya akan membuat Chica kehilangan jati diri.

"Sebenernya gue pengen kerjanya yang sosial sosial.  Kalau aja gue ketemu bos kaya Rick Warren, gue mau bantuin dia. Tapi kan orang kalau mau bantuin orang harus punya uang. Harus kerja."

Sebenarnya Chica gak kekurangan. Bang Gigit udah dikasih naik gaji berlipat-lipat biar istrinya gak usah kerja. Tapi Chica gak juga resign.

Sekarang tiap jam 5 - hopefully 10 malam, Bang Gigit pulang kantor harus bobo di mobil, nungguin istrinya  pulang malam.

Entah kenapa Chica masih bertahan. Padahal karena pekerjaan ini, Chica jadi kurang perhatian ama badan sendiri. Stress pekerjaan, tiba-tiba Chica udah jadi 94 kilo dan tidak lagi memperhatikan penampilan. Ke kantor selalu pakai baju curian (dari lemari gue) dan gak pilih-pilih Apa aja asal muat.

Padahal dulu konon waktu kuliah, Chica 60kg berpantat bohai pernah disuitin anak-anak Teknik Mesin pas lewat kandang mereka.

Sekali, tentunya.

Dan sekarang akibat kegendutan, Chica divonis dokter gak bisa punya anak.

"Kurusin berat badan dulu baru balik kemari," kata Dokter Galak.

Di Demi Turki ini, Chica ceritanya pengen banget punya anak makanya dia mau ngurusin badan. Tapi apakah yang terjadi di episode 13? Gue belum tahu.

Mungkin Chica berhasil  nurunin berat badan. Mungkin Chica lebih berani ngomong ke bosnya biar pulang lebih cepat. Mungkin Chica berhasil punya anak.

Atau mungkin gak ada yang perlu dirubah. Semua sudah baik apa adanya.

Baru kali ini gue bikin film di mana endingnya gak suka-gua gue. Harusnya tagline 'God is a Director' lebih cocok buat Demi Turki.

Sekarang gue cuma bisa menanti dengan kamera sambil harap-harap cemas dan berusaha memahami kalau kenapa semua baik adanya. Tapi kalau boleh gue yang menulis, pasti episode 13 Chica gue bikin bahagia.

Dan baju gue balik semua.

Amin.

Woody Allen

Gue pengen jadi kaya Woody Allen, lucu. Dia pandai mengkomedikan diri sendiri bahkan di momen-momen hidup paling tragedi: dikatain Yahudi, bercerai, tulisannya dianggap gak lucu, dipecat kerjaan, dan Tuhan.

"I don't like his movies. They are way too self centered," kata seorang actress yang pendapatnya sangat gue dengarkan.

Gue gak mau ketahuan narsis. Gue selalu berusaha membuat cerita yang bukan tentang gue, tapi selalu ujung-ujungnya curhat. Jiwa narsis + kurang imajinatif + biaya minim, jadilah film gue selalu tentang gue.

Kali ini takdir membawa gue ke sebuah reality show scripted yang membuat orang lebih banyak alasan menuduh gue narsis karena diperankan gue sendiri.

Dan budget minim menaruh gue di spotlight sebagai narator utama Demi Turki.

Gue takut.

Gue takut dibilang narsis. Gue takut orang gak suka nonton gue. Gue takut gak lucu.

Apa yang orang mau nonton?

Hhhh... I can't believe gue kembali ke titik pertanyaan ini. Gue kira setelah Demi Ucok, gue gak akan peduli lagi penonton mau nonton apa. Gue tahu gue lebih baik memikirkan apa yang gue mau tonton, bukan yang orang mau tonton.

Apakah gue mau noton gue?

Jawabannya adalah ya. Kadang-kadang gue lucu dan inspiratif kok. Kadang-kadang intimidating dan menyebalkan. Tapi gue malu mengakui gue pengen nonton gue.

Gue malu mengakui gue narsis?

Narsis. Do I really love myself that much?

Setelah hidup 30 tahun dengan badan ini, dijodohin gak laku-laku, bohong kalau gue bilang gue cinta diri sendiri. Gue takut untuk tampil di depan kamera karena gue gak suka badan gue. Gue gak suka suara gue. Gue gak suka attitude gue.

Kalau gue aja gak suka, ngapain juga penonton harus suka?

Gue pengen suka ama badan gue. Gue pengen sayang ama badan gue. Gue pengen menghargai suara gue. Gue pengen gak masalah melihat gue yang pemalas dan lemak di mana-mana.

Narsis?

I would love to be narsis. I would love to love myself more.


This is my way to be narsis. This is my way to love myself more.

Kalau dengan bikin ini, gue bisa suka ama badan gue, Bring it on!


Yang pengen gue tonton adalah 13 episode yang jujur, menghibur, dan menyentuh tentang cewe-cewe yang gak suka ama badannya sendiri.

Gue gak butuh nonton yang lucu doang. Gue menderita 30 tahun hidup di badan ini.  Badan yang gak bakal pernah dipajang cover Cosmopolitan. Badan yang gak dilirik kalau jalan. Badan yang dijodohin gak laku-laku. Gue mau Dramaaaaaaaaaaaaaaaaa !

Pasti banyak cewe-cewe di luar sana yang gak suka ama badannya sendiri. Mudah-mudahan abis nonton ini mereka bisa lebih sayang sama badan sendiri.

No!

Ini bukan buat orang lain. Gue bikin ini biar gue lebih bisa sayang sama badan gue sendiri.

Welcome me! The main narrator of Demi Turki. Mulai Juni di Kompas TV.

Sejenak menciut lagi. Orang udah pada sibuk. Ngapain juga mereka harus nonton gua?

Siapa bilang orang harus nonton?

Nggak harus kok. Kalau mereka gak mau, tinggal pindah channel.

Ribet amat.

Tapi...

I have a feeling you would not want to change the channel. It's a very interesting program indeed.

Dasar narsis.

Selasa, 07 Mei 2013

Melda

"Hari ini gue jalan pagi.  Dapet 7000 langkah!" whatsapp Melda di pagi hari. 

Melda, mantan figuran model iklan minuman energi yang mendadak jadi pemeran utama setelah sang bintang dicekal FPI,  kini melipat dua menjadi 100 kg.

"97 kg!"

Oh iya. 97 kg.  

Melda merindukan kejayaan masa mudanya, ketika semua mata lelaki menoleh dan dia dimusuhi semua cewe-cewe Naposo. Melda bertekad  akan merubah mindset dietnya dengan lebih menikmati makanan dan bergerak lebih banyak.

Melda rela melewati angsa tetangga yang mengancam jiwa demi jalan pagi. Terpaksa Melda jalan berpegangan tangan dengan tukang bangunan sebelah.

Harus 10 ribu langkah!

Walau hari ini lupa bawa pedometer.

Kemaren juga lupa.

"Ahhh paling ini euforia sesaat," sahut Bang Gigit, geng lelaki beristri gemuk yang tak lain sepupu Melda.

Sudah 10 tahun Melda diet, tapi tak kunjung terlihat. Turun 5 kilo, naek 10 kilo.

Kemaren Melda berhasil makan HANYA juice buah, juice sayur, pisang, 4 sendok nasi merah, salmon panggang, 1 biji baso ita suki, dan 1 lumpia duren.

Dan nyicip Red Bean #sumpeh! Cuman dikit!#

Total power walking 2,5 jam

Hari ini Melda mau foto passport sama suami. Kemaren sayang otaknya terlanjur sudah menerima info kalau di dekat pembuatan passport Depok ada duren buah enak.  Setelah browsing ketahuan namanya Sop Duren. Ada yang pake brownies, roti, ketan keju, dan  kelapa.

"Kenapa laki gue ngajaknya mesti di Imigrasi Depok?" kelluh Melda tak mampu menolak Duren Ketan Keju.

Ketemu klien, Melda menularkan body mind dialog sebelum makan pada para calon nasabah.   Singkong dan kue nampan benar-benar dicicip dikit doang.

Ketemu klien lagi. Kali ini Starbucks. Frappucino Red Bean ternyata tak bisa ditolak hanya dengan Body Mind Dialog.

Dua Frappuciono green tea dengan Red Bean pun dibawa pulang. Si Hani kegirangan seumur-umur baru sekali kebagian Green Tea Frappucino dari si majikan.  Hanya Red Bean  keliatannya  enak.

Diicip dikit=D

Jatah nasgor dari Hermina,mata Melda bilang aih aih aih... hidung slurrrpp....  Lambung bilang monggooo...

Cuma dimakan setengah.

Hubby Bernard bertanya, "Tadi nasgor sisa banyak banget?  Kirain lo lapar bgt."

Melda tersenyum bangga. Malamnya pun mie tiongsim cuma dimakan setengahnya.

"Ya udah sianya buat gue aja," hubby mencoba mengambil mie. 

Eits!

"Ntar malam mau gue makan lagi!Sekarang mau treadmill dulu sambilnonton DVD,"  kata melda sungguh-sungguh.

Nonton Silver Lineing Playbook sambil treadmill 2 jam. Romantis...

Langsung mandi, siap-siap lapar. Ada klepon, sisa tiongsim, dan lupis. Malam ini ditutup agak nakal. Tiongsim dilahap dengan alasan sayang. Mulai besok mental kaya-nya mesti diasah lagi.

Lebih sayang makanan atau sayang tubuh? Buanglah sampah pada tempatnya, bukan ke tubuh sendiri.

Melda tambah sayang tubuhnya sendiri.

"Itu Ibu beli baju melulu ya?" tanya Hubby pada Hani di sela-sela Frappucino Green Tea.

"Iya pak... mau aku bilangin jangan?"

"Nggak. Biarin aja."

Melda semakin kece, suami tambah naksir.

Sebelum ikutan Demi Turki, Melda jadi banyak hunting baju. Selama ini bajunya udah jelek semua, dan  nunggu beli dengan alasan nunggu kurus dulu. Ternyata efeknya bagus.

Pas ditanya dalam skala 10, berapakah self esteem Melda? Tadinya 2, sekarang 6.

Sebenarnya Melda mau jawab  8 tapi takut dibilang kepedean.

"Di Ambas banyak ternyata  jual baju besar cantik-cantik.

Belum kurus, sudah berasa pede. Kalau sudah ada cowo yg melirik lagi, artinya aku sudah melangsing #cant wait that to have that moment back #"

"Ih kayanya nanti paling kece bakal kak melda nih."

"Kalau udah kece, gue kuras duit si Bernard. Sekarang aja udah kleper2 dia ama aku."

"Kayanya gue tambah kece juga kak. Siap2 banyak yg minta ke lo kenalan ama gue ya. Bolehlah ntar lo prospek asuransi."

"Selama masih bisa tandatangan, pasti gue prospek!" seru Melda semangat.

Hari ini Melda mengakhiri hari dengan mendengarkan CD goLangsing. Posisi lagi gak emosional dan gak lapar berkat tiongsim. Malah ngantuk. 

Nite all... Janjian ya besok jalan pagi jam 5.30

Soang dan tukang bangunan, here I come!


Inferior Complex

"Di Lampung ini kan fasilitas belum maju, Mbak. Nggak kaya Jakarta,"  kata seorang filmmaker Lampung. Entah orang ke berapa yang ngomong dengan nada sama.

Di jaman Google dan BB High Definition,  apalah artinya fasilitas. Kenapa harus melihat ke Jakarta sementara di sekitar kita banyak yang harus diceritakan?
Baligo seorang putra daerah ARB bersama ketua KAMI yang mulai luntur warnanya.

Kopi Lampung yang gak boleh ketahuan kopi lampung karena tumbuh di Taman Nasional.

Gajah yang semakin terdesak.

Sambal Tempoyak  yang membuat rela sembelit.

Universitas daerah yang didominasi duit borjuis lokal.

Di antara sebegitu banyak cerita, kenapa kita harus seperti Jakarta? Kenapa harus Dewi Lestari yang berfilosofi kopi?

Tapi gue diam saja karena Jakarta juga sama saja. Selalu melihat ke Amerika. Atau Eropa. Atau Korea.

Setelah feodalisme berabad-abad, disambung penjajahan 3,5 abad, mungkin kita memang terlahir untuk diperbudak.

Hari ini gue gak mau menjadi budak. Gue akan bercerita apa yang mengganggu gue. Tidak didikte Jakarta, Amerika, dan semua film festivalnya.

Gak usah bikin film bagus.  Bisa jujur aja udah bagus.

Tidur

Semalam kurang tidur, gantiinnya harus 3 malam.

Tidur harus 6-8 jam biar kulit dan pencernaan tetap terjaga.

Tidur itu adalah cara jiwa kembali kepada penciptanya, setelah lelah dengan kepalsuan ragawi.

Kurang tidur bisa bikin orang berubah singa.

Setelah bermalam-malam kurang tidur,  di malam ke lima gue tidur 10 jam. Terbangun hanya karena jadwal shooting memanggil.

Hari ini badan gue lelah setelah lima hari jarang bertemu pencipta. Tinja 3 hari tertimbun di pantat. Jerawat muncul 2 di muka. What a perfect day to start a shooting day.

Hari ini bukan shooting biasa. Hari ini gua muncul bukan hanya sebagai sutradara, tapi juga di depan kamera. Tidak bersembunyi di nama lain, tapi tetap sebagai Sammaria.

Hari ini gue ingin tampil sebagai Sammaria yang kocak dan tidak menganggap susah dunia. Tapi sepertinya Sammaria yang jenaka tak akan muncul di episode ini. Cuma Sammaria yang pendendam dan kurang tidur, siap memakan siapa saja yang lewat di hadapannya. 

Aummmm.

Itu raungan macan. Bukan nguap. Hati-hati lo semua.

Aum.

Mindful Eating

Target minggu ini:
Naek angkot, biar lebih banyak gerak.
Nulis tiap hari, biar gak tambah gila.
Mindful eating, menikmati setiap gigitan.

Target 6 bulan ke depan:
bertahan di kilo  60 dan tetap sehat.
Pakai baju yang nyaman, fabulous, dan paling penting: GUE banget. Gak ada lagi apa aja asal muat.
Mindful di apapun yg gue lakukan.

Pagi ini gue awali dengan doa setelah training Go Langsing 2 hari. Awalnya gue skeptis dengan program menemukan diri sendiri seperti ini. Why would I need anyone to help me find myself?

Ternyata butuh.

Selama ini gue kira gue bisa langsing dengan tekad gue sendiri. 2 bulan diet gue jalani dengan modal revenge.

The best revenge is to look good.

"Muka kamu sedih terus," kata instrukturnya.

Dua bulan kemarin marah terus. Dua bulan tanpa dia, gue turun 14 kilo.

No more denial. Setelah gue tahu caranya bahagia,  tampaknya hidup gue hari ini akan lebih sederhana.

Sampai sebuah sms mengganggu.  Hari yang diawali doa berakhir dengan makian.

Sampai kapan gue menggantungkan kebahagiaan gue pada manusia malang lainnya? Berat badan gue pun tergantung orang?

Sudah cukup gue menyiksa badan gue. Badan gue bukan besi berani yang siap dikasih makan apapun di kala hati merana.  Pikiran gue bukan kaen Mangga Dua yang siap dirinso tiap terkena noda.

Sayang, sayangi badanmu. Sayangi hatimu. Udah tau gak ada yang mau. Siapa lagi yang sayang kalau bukan kamu?

Lebih baik jalan kaki,  hilangkan sedih di hati dan ambeien di pantat .

Tanpa ambeien, siapa tahu ada yang mau.

Selasa, 23 April 2013

Chain Of Ignorance

Sejarah terus berulang karena manusia tetap melakukan kesalahan yang sama: Gak peduli sesama.

The Chain Of Ignorance menjauhkan manusia dari  Enlightment.

It's hell on earth. Bukan neraka versi bakaran api abadi buat manusia-manusia berdosa dari agama yang berbeda. Hell is an inability to love which turns people from bearing each other's burdens into Isolated Individuals no longer related to each other but alone with their own selfish interest.

Love is replaced by its lowest form, Fear. Isolated individuals ini tidak lagi saling peduli sesama karena takut kekurangan. Ignorance bahkan sudah menjalar ke unit manusia yang dulunya pernah satu materi, orang tua dan anak.

Dongeng dimulai di suatu waktu ketika dunia masih matriarki dan mitologi didominasi dewi-dewi. Bulan masih berwarna oranye. Seorang anak laki-laki bernama Merah berusaha mendapatkan pujian Ayah dengan memanah seekor peacock jantan nan cantik. Gagal. Dia semakin haus kasih sayang ketika kemudian harus berbagi cinta Sang Ayah yang dipersunting Ibu Putih. Merah kemudian membunuh Ibu Putih dan dimulailah mitologi Patriarki lengkap dengan dewa-dewa pencemburu dan pemarah. Bulan berubah merah.

Lompat ke 1980, masa di mana Bumi masih dihuni manusia dan alien dianggap khayalan kosong. Seorang anak perempuan  kehilangan ayah dan ibunya sejak bayi. Dia tumbuh bersama buku harian sang Ayah dan percaya kalau mereka pergi diculik UFO. Dia menantikan ulang tahun ke17 saat dia akan dijemput Ayah.

Lompat ke masa Pasca Migrasi Alien. Seorang Ibu dituduh akan melahirkan monster karena kawin dengan Alien, spesies imigran dari galaksi lain yang dianggap lebih rendah dari manusia. Si Ibu dan Alien melakukan apapun untuk melindungi buah cinta mereka walaupun anaknya dituduh akan membawa kehancuran di Bumi.

Lompat ke masa sebelum Apocalypse. Dunia sudah hampir hancur dan tinggal menunggu sebuah megavulkano meletus untuk menghabisi 60% umat manusia. Para penasihat Raja menyarankan untuk menumbalkan salah satu putrinya untuk mencegah kehancuran. Mengira dia menyelamatkan umat manusia, Sang Ayah merelakan salah satu putrinya dibunuh.

Lanjut ke masa setelah Apocalypse. 40% mahkluk Bumi  yang tersisa berlindung di dalam sebuah kubus. Selamat dari kehancuran, mereka malah terjatuh kepada ego lama: siapa yang berkuasa setelah 6 tahun Musim Salju berakhir? Saling bunuh saudara seayah menyisakan 2 manusia terakhir di Bumi: seorang Ibu dan anak perempuannya yang lemah. Sang Anak ingin menari, tidak peduli permohonan Ibunya agar tetap berdiam diri dan menghemat oksigen. Sebentar lagi musim semi. Si anak tetap menari. Buat apa hidup kalau diam saja seperti orang mati.

Lima cerita di atas diisi dengan manusia-manusia yang tidak bisa menerima dirinya. Ada suatu masa di mana pria ingin jadi wanita dan merebut kekuasaan yang terlalu didominasi wanita.  Ada suatu massa di mana manusia dibohongi dengan kebenaran-kebenaran versi Penguasa. Ada suatu massa ketika manusia punya versi kebenarannya masing-masing. Dan ada satu massa ketika manusia menganggap dirinya lebih mulia dari mahkluk lain. Tapi semuanya diakhiri dengan sebuah cinta yang tak terbantahkan.

A mother's unconditional love for her daughter.

Dan bulan kembali oranye.

Bah serius kali jadinya? Kayanya butuh ngobrol ama Sali biar gak terlalu sublim. Butuh sentuhan-sentuhan duniawi dari otak penggemar MSG.

Atau yang maen Mak Gondut aja? Dijamin gak akan sublim.

Ah kenapa sih gue takut banget jadi sublim?
  

 

Senin, 22 April 2013

Menyutradarai Sutradara

"Kalau filmnya kaya gitu, gue gak mau ada di tim lu," katanya setelah menonton Demi Ucok.

Penyutradaraan, Script, dan Akting memang menjanjikan. Karenanya Demi Ucok menjadi sebuah komedi yang berhasil. Tapi di bagian-bagian yang dia sangat peduli: artistik dan kamera, Demi Ucok berantakan.

"Contohnya ya, di bagian Lapak DVD. Keliatan banget dari bayangan wajahnya take-nya beda-beda waktu."

Ngik.

"Padahal pas cin(T)a bagus. Mungkin karena kameraman dan art-nya berbeda," katanya.

Padahal Art-nya sama, kamera yang beda.  Gue berusaha membela diri dengan mengatakan kalau angle kamera itu tergantung sutradara, bukan kameraman. Demi Ucok berantakan di artistik dan kamera karena untuk film komedi prioritasnya beda. Yang paling penting untuk komedi adalah timing dan akting. Jadi selama comedic timing udah kena, Mak Gondut langsung gue istirahatkan. Art dan kamera bagus prioritas terakhir, lebih penting Mak Gondut bobo.

Tapi tetep. Art dan kameranya parah, walaupun dinominasikan untuk Best Art.

"Dan dari presentasi lima sutradara kemaren, kerasa banget punya lo mateng sendiri. Yang  lain masih kebanyakan mau, belum tau bikinnnya gimana," tambahnya.

And this is not a compliment. Gue produser lima-limanya. Kalau satu saja gagal, berarti produser yang gagal.

Tugas utama produser cuma dua: cari script dan cari sutradara. Gue yang memilih mereka semua sebelum gue mendengar konsep dan script mereka.

"Gue ngerti sih dari awal lo emang bilang pengen ngembangin teman-teman lu yang kata lu potensial. Gue juga liat mereka asik-asik dan potensial. Tapi gue kan bikin karya jarang ya. Tapi sekalinya bikin gue gak mau asal bikin. Nah dari presentasi terakhir, gue gak yakin akan jadi bener."

Gue terdiam memikirkan kata-katanya, berusaha tidak defense dan mensyukuri ada yang mengingatkan. Yang satu script-nya sempurna, tapi gak kelihatan yakin bagaimana merealisasikannya. Yang satu ilustrator yang hebat, tapi message-nya kebanyakan dan semuanya tidak diolah dalam cerita. Yang satu masih tahap riset kain dan belum pernah tahu rumitnya membuat stop motion. Yang satu bahkan belum tahu ceritanya berasal dari Padang bagian mana.

"Gue gak masalah kalau harus diundur, yang penting film ini jadinya bagus,"  setelah menjelaskan panjang lebar kalau keraguannya bukan hanya pada konten. Achievement visual pun demikian.

Gue menatap deretan angka  tanggal di kalender 2013, sambil angka-angka budget menunda produksi berenang di kepala.

"Kalau ditunda, seberapa lama ya kira-kira? "

"Ya tergantung progress sutradaranya. Gue perkirakan sih setahun."

Ngik.

Kepompong Gendut setahun hidup tanpa film?

"Ya lo bikin aja film lain dulu. Tapi terserah lu sih. Kalau mau tetap jalan dengan keadaan kaya gini ya boleh. Tapi gue gak mau ikut-ikutan," katanya tegas sambil tetap tersenyum.

"Atau mau ngembangin bareng-bareng dulu?  Paling penting sih emang duduk bareng, diskusi, nyamain referensi..."

Kembali melihat kalender. 

"Film Indonesia itu udah terlanjur jelek, jadi ada yang beda dikit udah dibilang bagus. Padahal kan udah mau globalisasi, jadi saingan kita mah gak akan film Indonesia lagi," katanya.

Dan selama ini gue selalu menyalahkan penonton yang tidak menghargai usaha gue.  Penonton mau dihibur dengan sesuatu yang matang, gak mau dengar cerita betapa segini aja udah bagus banget untuk Indonesia. Manusiawi.

"Sekarang ya lo harus lebih banyak turun tangan. Sutradaranya ya harus di-direct, biar frekuensinya sama."

Mendirect spesies kreatif memang butuh frekuensi tersendiri. DoP, art, actor, gue udah pernah gue direct. Tapi mendirect sutradara? Ini spesies baru yang udah punya ego kreatif masing-masing.

Teringat cerita Lucky tentang seorang produser badak yang harus berani dibenci.Makanya yoga tiap hari biar tetap bisa menikmati hari di tengah caci maki.

Am I Badak enough?
  
Ngik.