Selasa, 19 Januari 2016

Mati Bahagia

"Disuntik kok," kata mbak-mbak berlipstik marun temen les Bahasa Inggris gue waktu SMA.

Gue terbaring pasrah di tempat tidur bangsal rumah sakit itu. Kedua tangan gue terikat di kedua sisi besinya yang reot. Gue tahu gue dihukum mati, tapi entah karena apa.

Di tempat tidur sana, Chica juga diikat... Papi menemani di sisinya.

Jarum itu menancap di leher gue.

Gue menutup mata sambil berterima kasih kepada Tuhan. Terus menerus mengulangi terima kasih yang sama, yang  selalu mengapung di kepala gue tanpa pernah dipanggil.

Sedikit demi sedikit, napas gue melemah. Lalu padam dalam sekejap seperti disengat listrik.

Oh ini toh rasanya mati.

Gue bangkit dengan perasaan bahagia. Sangat bahagia. Akhirnya gua merdeka.

Gue meloncat-loncat bahagia sambil berterima kasih, menghalangi si suster yang hendak keluar.

"You're welcome," jawabnya.

"Kok lo bisa denger gue?" tanya gue heran.

"I just sense it," jawabnya sambil lanjut keluar sepertinya bisa menembus gue. Tapi gue minggir, memberi dia jalan.

Ada gunanya juga dia les bahasa Inggris.

Lalu gue berjalan ke sana, ke tempat tidur Chica. Menanti Chica yang baru saja disuntik mati. Papi di sebelah sana, mengambil bangku baru. Sepertinya sadar gue juga butuh bangku.

Gue duduk menanti dengan bahagia menanti waktu bergosip lagi dengan Chica, sampai tiba-tiba ketakutan itu melintas...

Bagaimana kalau Chica mati tapi kami tidak bisa ngobrol satu sama lain?

Betapa sepinya hidup.

Eh, kematian...

Lalu gue terbangun sebelum tahu jawabannya.

Masih bahagia, karena ternyata kematian tidak menakutkan dan hidup tidak perlu menggapai apa pun yang gak akan gue kenang menjelang listrik itu padam.

Sejam kemudian tetap belum bisa tidur. Baru jam 3 pagi.

Lebih baik bangun.

Membaca whatsapp mami sejam yang lalu: Atid di mana? Mami masih di rumah sakit. Papi pingsan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar