Sabtu, 31 Desember 2016

Relakan

Tahun ini kita relakan
Tanpa film, tanpa iklan
Tanpa turun berat badan
Dan harapan-harapan yang tak kesampaian

Tapi kita jalan-jalan gratisan
Nonton-nonton dapat bayaran
Bikin musikal  pembelajaran
Dan keindahan-keindahan yang tak direncanakan

Karenanya tahun depan
Kita sambut tanpa tekanan
Berbahagialah yang menceritakan harapan
Karena kita akan dicukupkan

Segala Bisa

Batuk, gemuk, ketombe...
Usir dengan minyak kelapa
Takut, benci, gak pede...
Usir dengan tawa dan cinta

Sombong

Ketakutan berbulu sombong
Membuat kita malu merangkak
Apalah guna kita berbohong
Inspirasi tak datangi yang congkak

Rumah Mimpi

Kalau batuk lima hari
Sudah membuat sulit bermimpi
Kenapa tak juga jaga diri
Mimpi tak mewujud sendiri

Sekejap

Wahai, Debu-Debu Seksi...
Singsingkan lengan cinta
Jauhkan cemas di hati
Lompat dan bersinar sekejap

Minggu, 25 Desember 2016

Beda

Hari Minggu kali ini
Seharusnya berbeda
Hanya cukup di hati
Mampu berikan makna

Selamat

Hanya mereka yang merdeka
Yang berkuasa atas kata-katanya
Dan beroleh hidup yang kekal
Selamat Hari Natal.

Cinta

Aku tahu aku terlalu muda
Tapi aku ingin bercerita tentang cinta
Cinta yang benar-benar kurasa
Yang bukan kata mereka

Pohon Harapan

Dia bercerita tentang seorang ibu penjaga pohon harapan
Yang terus menanam di tengah deraan ketakutan
Karena harapanlah yang membuat dia tetap bertahan
Dia memilih menceritakan harapan
Bukan ketakutan

Sahabat Dan Pejabat

Terima kasih atas semua sahabat
Yang terus berjuang tanpa kenal penat
Terima kasih atas semua pejabat
Yang kebodohannya membuat kita kuat

Ikhlas

Ikhlas terus bekerja ketika yang lain menjilat
Ikhlas tidak mengeluh ketika yang lain mengumpat
Ikhlas tidak menuntut ketika yang lain dianggap hebat
Ikhlas hanya anugerah, tak bisa dibuat-buat

Omora-Omora

Omora-Omora di sekitar kita
Mengira dirinya dibutuhkan masyarakat
Omora-Omora di dalam diri kita
Siap merasa hebat setiap saat

Orang Tua Suka Bicara

Dulu dia hanya seorang tua yang suka bicara
Menceritakan diri tidak pada waktunya
Sekarang dia mengira dia penjaga harapan
Diulang dan diulangnya agar yang lain berkorban

Memaksa Besar

Harapan yang ingin tumbuh mengakar
Kau paksa keluar agar pohonmu melebar
Kenapa yang kecil kau paksa besar?
Jika besar mengorbankan akar

Sabtu, 17 Desember 2016

Kartu Kredit Mami

Kartu kredit mami
Kugesek dua kali
Apalah gunanya gengsi
Gengsi pangkal tak seksi

Yang Ada

Gak dikenal ya gak papa
Gak disebut ya gak papa
Gak dianggep ya gak papa
Selama ada udara, cinta, dan gula

Pink

Dia gak mau jubah pink muda
Buat anak kelas tiga, katanya
Kalau bukan jubah, tasnya yang salah
Sepertinya dia gak suka marah-marah

Right

When you don't know why you have to fight
And you thought everyone else was right
Just remember that life is not that hard
Find the joy that is only in your heart

Integritas

Jujur peduli mandiri
Tanggung jawab kerja keras disiplin
Sederhana berani adil
Apalah arti tanpa sabar di hati

Tahun ini nambah tiga belas
Ikhlas Ikhlas Ikhlas...

Senin, 12 Desember 2016

Cuma

Aku cuma ingin kurus
Tak didikte gula-gula
Aku cuma ingin cukup
Gak takut bayarin mereka

Apalah

Apalah arti sebuah nama
Apalah arti sebuah berita
Besok pun mereka lupa
Hanya tawa ini milik kita

Sungut

Jangan habiskan hari
Merengut dan bersungut-sungut
Lebih baik kita menari
Sambil ngecilin perut

Ayam Lesbong

Ayam-ayam lesbong dipersatukan
Di kotak indomie di uber belakang
Kenapa satu kata bisa menyakitkan
Jika diucapkan tanpa kasih sayang

Penista-penista

Penista penista kapan kau paham
Takkan geram kasih kau sebut haram
Tak akan mampu kasih kau bungkam
Karena kasih bukan pendendam

Gosip

Gosip-gosip di belakang
Membuat jiwa penat bertualang
katakan, maafkan, lanjutkan
Mimpi hanya datangi yang senang

Tua-Tua Pemimpi

Kita ini tua-tua pemimpi
Mengais bangga di remah harapan
Apa tak lebih baik puas diri
Bahagia tak dilahirkan kemuliaan

Kasih Diri

Kasihilah sesamamu manusia
Seperti dirimu sendiri
Apa pulak itu cinta sesama
Jika diri saja tak dimengerti

Minggu, 04 Desember 2016

Secukupku

Berapakah secukupmu
Beginilah secukupku
Yang kurang harus lapar
Yang lebih harus dibayar

Ingin

Semua ingin dihargai
Didengarkan atau dipuji
Apalah rugi memuji
Jika kita jadi sehati

Pilihan

Setiap kunyahan itu pilihan
Menjadi lemak atau kekuatan
Setiap kata itu harapan
Menjadi duri atau penghiburan

Bangga

Kenapa hatimu tak lagi bangga
Bukankah cukupmu lebih berharga
Dari sekedar piala
Dan rumah di PIK dua

Ragu

Jika ini jalanku
Kenapa kau beriku ragu
Benarkah tak nikmat hidup
Tanpa tahu benar tak satu

Here Before

We've been here before
Let's try somewhere new
Where you love me more
And I don't hurt you

Better Than You

I am better than you
I am holier than you
Those are my way of
Saying I am not enough

Rabu, 30 November 2016

Terlalu Cantik

"Masih terlalu cantik ya," katanya melihat editan hampir akhir film pendek tentang si pekerja penenun kain.

Mungkin dia lebih bisa menghargai keindahan di yang gak cantik.

Mungkin gue terlalu tak cantik untuk menghargai yang tak cantik.

Senin, 28 November 2016

Gone

When I'm gone
I hope I have taught myself
All the love I don't hold on
And the beauty of passing it on

Berikutnya

Hari-hari berikutnya
Kuisi dengan doa
Syukur kamu pernah ada
Dan tak akan terlupa

Secukupnya

Berilah kami pada hari ini
Makanan kami yang secukupnya
Agar jangan lupa kami
Dunia ini ada yang punya

Nangis

Kenapa menangis wahai babi dalam comberan
Hanya karena kau harus pindah kubangan
Bersyukurlah sudah kuberi kau kecukupan
Dan kegelisahan untuk kau ceritakan

Pergi

Sahabat datang dan pergi
Akhirnya kita sendiri
Hanya syukur di hati
Ampuh usir depresi

Pug Menari

Seekor pug duduk sendiri
Berharap ada suatu hari
Di mana pug akan menari
Dan hatinya tak lagi iri

Syukur

Dalamnya luka takkan terukur
Oleh jiwa yang pura-pura riang
Ambil tintamu ucapkan syukur
Untuk cinta yang tak kan terulang

Minggu, 27 November 2016

Pleasure

No eternity, no serenity
More pleasure, more exposure
I am craving for the sincerity
Of unmanufactured pleasure

Jumat, 25 November 2016

Cinta

Mungkin orang seperti kita
Tak boleh kebagian cinta
Karena hanya yang mulia
Yang boleh rasakan cinta

More To Life

You sang this is all we know
I sang there's more to life
You said I can love you both
I stopped and sang and survived

For You

I'll go anywhere for you
Malioboro to Ang Mo Kio
I'll sing anything for you
But not you

Rabu, 16 November 2016

Keluarga

Mereka butuh lima puluh juta
Sebulan hidup di Jakarta
Mereka tidak lagi bercinta
Sejak beranak dua

Selasa, 15 November 2016

Bahagia

Ini bukan karya kita
Bukan waktunya jumawa
Ini tempat mereka tertawa
Dan mengajari kita bahagia

Minggu, 13 November 2016

Resah

Resah gelisah
Mungkin karena tak cukup
Mungkin karena tak syukur
Mungkin karena Supermoon

Sabtu, 12 November 2016

Mabuk

Share dan Like di Facebook
Membuatmu mabuk
Banjir masih menggenang
Mencintai masih dilarang

Jumat, 11 November 2016

Partisipasi

Seni partisipasi
Tarik-tarikan kompetensi
Kapankah demokrasi
Harus diinterupsi

Kamis, 10 November 2016

Dengar

Setelah parade Beyonce, Miley, dan J Lo gak didengar
Mungkin sudah waktunya kita berhenti sebentar
Mungkin selama ini kita merasa benar
Dan tak lagi ingin mendengar

Pantaslah kita tak didengar

Rabu, 09 November 2016

Jembatan

Lebih banyak orang Amerika yang memilih Hillary. Tapi Trump menang karena para pemikir dan musisi dan seniman dan budayawan yang sebenarnya bisa menjadi jembatan  berkumpul di situ-situ saja. Di California, New York, Washington, DC, Illinois... di tempat-tempat di mana uang, kekuasaan, dan keriaan bertebaran.

Gue mengerti kenapa mereka berkumpul di situ-situ saja. Takut. Ketakutan yang sama yang membuat gue pengen pindah ke Bali saja. Gak mau di Jawa Barat.

Ketakutan yang membuat Wisconsin yang gue kenang ramah berbalik menjadi state pendukung Trump. Karena teman-teman Wisconsin gue yang lebih toleran, bermasa depan, dan bisa jadi jembatan lebih banyak sekarang tinggal di California, New York, Illinois, DC, atau Washington.

Kalau saja mereka tetap di Wisconsin, mungkin hasilnya akan beda. Membuat gue bertanya ke diri gue sendiri...  mau gak gue hidup di antara yang beda dengan gue? Dengan yang pemarah? Dengan yang diam-diam gue tuduh bodoh?

Jembatan cuma berguna di mana ada jurang.

Tuhan, pegang tanganku.

Senin, 07 November 2016

Tuai

Lihat di sana
Semua siap dituai
Panen ruah tak guna
Jika tak tuai diri

Kemari

Mari kemari
Ke tempat kamu dulu menari
Yang lalu biarlah berarti
Waktunya  bermimpi lagi

Sabtu, 05 November 2016

Surga

Surga ada di sini
Di diri kita sendiri
Mari terus menari
Rayakan damai  di hati

Jumat, 04 November 2016

Teman

Gue pengen punya teman
Yang suka makan dan jalan
Menertawakan kehidupan
Sambil pegangan tangan

Kamis, 03 November 2016

Waktu

Waktu tidak menunggu
Kamu mau pijit dulu
Dia terus berlalu
Tanpa peduli mimpimu

Rabu, 02 November 2016

Biasa

Ada satu masa kita bersama-sama
Ada satu masa kita tak lagi bersapa
Hari datang dan pergi membuat kita berbeda
Suatu hari kita sadar ini memang biasa

Ada

Ada yang membela agamanya
Ada yang membela keberagaman
Ada yang membela yang tak punya suara
Ada yang lebih mulia?

Senin, 31 Oktober 2016

Mooncup

Berbahagialah mereka yang sering meraba vagina
Karena hanya mereka
Yang tak gentar mooncup hari pertama

Berbagi

Tolong jauhkan saya
Dari mereka yang  ingin mengubah dunia
Biarkan saya berbagi
Dengan mereka yang berbenah diri

Semesta

Dulu gue percaya
Semesta ada untuk gua
Kapan gua percaya
Gua ada untuk semesta

Tergantung

Dari dulu sampai sekarang
Kamu pendosa yang beruntung
Kenapa malah sekarang
Kamu jadi tergantung

Cerita Cinta

Hari ini gue habiskan nonton film cinta
Sambil berharap bisa bercerita
Tentang cinta sedramatis mereka
Tanpa babak bosan dan bertanya-tanya

Sementara Itu

Jessica divonis
Dahlan Iskan mencoba tertawa
Siti Fadila menyerang balik
Gue nonton Clarke dan Lexa

Dulu

Ingatkah kita dulu
Berkarya tak pakai uang
Kenapa kita sekarang
Menunggu, menunggu, dan menunggu

Sendiri

Malam ini gue sendiri
Seperti kemarin dan kemarinnya lagi
Lalu gue mulai bernyanyi
Tentang hidup yang selalu tercukupi

Senin, 24 Oktober 2016

Nasty Woman

All you nasty woman
Go and vote Clinton
All proud nasty woman
Go watch Bridget Jones

Uang Senang

Uber, pijit, nonton, dan makan
Semua perlu uang
Diam di rumah nonton bajakan
Yang penting hati senang

Jumat, 21 Oktober 2016

Susah Senang

Danau bawah, danah tenang
Diam-diam menghanyutkan
Hidup susah, hidup senang
Sama saja membanggakan

Kamis, 20 Oktober 2016

Duit

Pejamkan mata

Duitnya cukup, kerjanya seru
Ngangguk
Kalau ada yang nggak
Tolak

Rabu, 19 Oktober 2016

Legenda Kita

Jangan remehkan bahagia
Senista apapun bentuknya
Karena mungkin di sana
Legendamu berada

Senin, 17 Oktober 2016

Syukur

Aku bersyukur ada kamu
Walau kamu tidak ada
Karena hanya yang merdeka
Yang sanggup rasakan cinta

Berharga

Aku berpakaian indah
Dan bersepatu nyaman
Dan bernapas tenang
Karena aku berharga

Bisa

Aku ingin bersembunyi
Sampai aku cantik dan menarik
Mungkin besok mungkin lusa
Padahal hari ini pun bisa

Juara

Terlalu banyak piala
Terlalu sedikit peserta
Tapi kita tetap bangga
Mengira kitalah juara

Marah

Kenapa kalian mendukung dia
Si pemarah yang tak kenal santun
Mungkin kalian pun marah
Mungkin kalian bosan dituntun

Harga Jiwa

Mereka menipu demi dua ratus ribuan
Tak sadar apa yang mereka gadaikan
Jiwa yang bangga dan berkecukupan
Yang tak perlu harta dan jabatan

Bangga

Gelas-gelas Cina
Di lemari kita
Kuteguk airnya
Tidak dengan bangga

Sederhana

Dia ingin mencintai dengan sederhana
Gue ingin hidup dengan sederhana
Ingin mati dengan sederhana
Karena sederhana membawa merdeka

Cerita

Kenapa harus bercerita?
Kepada mereka yang tak merdeka
Karena dulu cerita
Yang membuat kamu merdeka

Diri

Gue tertawa terlalu keras
Gue menari terlalu seksi
Gue berujar terlalu pintar
Terlalu sulit jadi diri sendiri

Berhenti

Riuh-riuh koar-koar
Membuat jiwa tak lagi mendengar
Apa ruginya berhenti sebentar
Agar hati sempat mendengar

Resah

Hari-hari kuulang
Macam tak punya tujuan
Masih resah gelisah
Macam tak punya Tuhan

Hujan

Hujan turun menyiram vodka
DJ menolak ganti nada
Tapi kita tetap berdansa
Karena bahagia tak kenal cuaca

Tahu

Aku terbangun karena aku tak tahu
Aku berjalan walau tahu tak akan tahu
Berbahagialah kita yang tahu kita tak tahu 
Karena dijauhkan dari yang selalu tahu

Hidup Cukup

Apa sia-sia hidup
Untuk sekedar bertahan hidup
Apa tak mulia hidup
Merasa semua cukup

Gerombolan Asal

Berramai-ramai kita
Memuji si cantik pembela negara
Sementara di Papua
Manusia meregang nyawa

Taman

Jika memang aku harus hidup, Tuhan
Biarlah kubangun sebuah taman
Di mana semua berkecukupan
Dan lesbi-lesbi berpegangan tangan

Benci

Kenapa kau benci mereka
Wahai sesama kaum pendosa
Lebih baik menari dan tertawa
Karena waktu terlalu berharga

Berserah

Percuma kau bersusah-susah
Bercerita dan berceramah
Jika jiwamu tak kenal pasrah
Dan lupa indahnya berserah

Cinta

Sepatunya bikin dia tambah tinggi
Bikin gua tambah cinta
Mungkin bukan cinta
Katanya cinta lebih mulia

Menyanyi

Menyanyilah wahai jiwaku
Seperti kamu bernyanyi dulu
Sebelum kamu tahu
Kamu tidak merdu

Cinta

Sepatunya bikin dia tambah tinggi
Bikin gua tambah cinta
Mungkin bukan cinta
Katanya cinta lebih mulia

Akibat Rakus

Karbo dan gula-gula
Menggerogoti raga
Cenat-cenut di dada
Bukan karena cinta

Sia-Sia

Buat apa bersusah payah
Jika semuanya sia-sia
Lebih baik bersuka ria
Tapi hati ingin berkarya

Balada Produser

Apa mau kau bilang?
Selain tonton dan beli daganganmu?
Miliaran kau buang
Berapa buat gaffer-mu?

Bahagia

Aku ingin bercinta
Tanpa perlu drama
Aku ingin bahagia
Dengan apa adanya

Kota Gaya

Pohon diganti beton
Biar gaya waktu PON
Biarlah datang banjir
Yang penting punya skylift

Dan

Delphine dan Cosima
Carol dan Therese
Alex dan Piper
Sammaria dan...

Merayakan Sepi

Terlalu banyak kata
Terlalu banyak cerita
Kita butuh puisi
Untuk merayakan sepi

Selasa, 20 September 2016

Misteri Milo

"Kalau Atid nanya mau sesuatu gak, berarti itu dia yang mau," kata Indri kepada Sally.

"Kata Indri, kalau lo nanya mau sesuatu gak, berarti lo yang mau," jawab Sally ketika gue bertanya Sally mau milo nggak.

Bah.

Langsunglah kubuat milo sendiri, gak nawar-nawarin lagi diiringi cekikikan mereka.

Entah siapa yang naro milo di sini. Padahal gue sudah berjanji tak akan ngemil coklat lagi. Apalagi coklat milik perusahaan kaya raya berladang soya segede Eropa.

Dulu Milo-Milo ini ada di dapur bawah. Gue bawa ke atas agar dihabisin sama anak-anak di kepompong.  Tapi tiap mereka minum, gue tergoda cicip sedikit.

Untungnya tinggal dikit. Jadi besok gue bisa lanjut hidup bebas coklat.

Taunya besoknya jumlah milo mendadak bertambah. Plus beng beng tiga kotak.

Siapa lagi pelakunya kalau bukan Papi.

"Ah nonanya kan kalau gak mau gak akan ngambil," kata Papi ketika gue minta jangan beli milo lagi.

Pantaslah aku gondut.

Minggu, 18 September 2016

Gak Ada Yang Gratis

Gak ada yang gratis di ibu pertiwi ini. Semua harus dibayar, one way or another.

Kalau tidak dengan uang, dengan waktu.

Kalau tidak dengan waktu, dengan pikiran.

Kalau tidak dengan pikiran, dengan perkataan.

Kalau tidak dengan perkataan, dengan kemerdekaan.

Jadi wahai kau babi air, next time kau kira kau mau makan gratisan, pikir dahulu. Kemerdekaanmu mungkin lebih berharga daripada gula-gula penambah lemak.

Maher

Gue mengamati sepasang suami istri tak diundang teronggok maen Ipad di tempat tidur gue. Sepertinya tidak ada keinginan menyingkir walau gue udah nguap-nguap mengusir.

"Wifi di sini lebih kencang, dek," kata si istri sambil geser pantat sedikit, mencari lekuk yang lebih nyaman menampung lemaknya.

Bah.

Kalau kata nubuat alkitab, hanya kelahiran si Maher yang akan mengakhiri penjajahan Sammaria di tanah mereka. Ini kan yang lahir Shema dan Sergie. Kenapa Sammaria malah terjajah?

"Maher kan sheMA dan sHERgie," kata mamaknya sambil buka instagram baju baby. Nyari dress yang cocok untuk ulang tahun pertama mereka. Sudah sebulan, tak kunjung selesai pencarian.

Sammaria teronggok di sofa.

Jumat, 16 September 2016

Baru Tahu

"Bokap lo di mana?"

"Gak tahu," katanya.

Sudah lama gak pulang.

"Udah berapa lama?"

"Lamalah."

"Setahun?"

"Lebih."

"Dua tahun?"

"Segituanlah."

Lalu dia menceritakan saat TV di rumahnya diambil orang untuk bayar hutang. Dan saat listrik di rumahnya dipadamkan. Dan ibunya mengumpulkan sisa kain untuk dijadikan celana anak-anak, dijualin ke tetangga.

"Tapi syukurlah udah pernah ngerasain semuanya. Jadi sekarang baik-baik aja," katanya.

Gue terdiam, baru tahu.

Popok Ungu

Seekor tikus berekor montok
Golak golek di selimut ungu

"Tikus... tikus... itu celana atau popok?" tanya seekor sapi.

Si sapi langsung digebuk

Lalu dipeluk

Rabu, 14 September 2016

Paket Hidup

Kebayakan makan, gak nulis-nulis, dan depresi biasanya datang sepaket.

Makan secukupnya, berkarya, dan damai sialnya juga datang sepaket.

Tinggal pilih.

Suka/ Tak Suka

Aduh, si Sally datang. Gue melirik playlist lagu iMac gue. Masih kosong.

Teringat dulu Sally pernah bilang playlist lagu Sunny yang full Utada Hikaru jelek.

"Bukan jelek. Gue cuma gak suka," kata Sally membenarkan, dulu.

Gue memilih-milih lagu yang kira-kira akan mrmbuat Sally mengira selera gue keren. Soundtrack Pan's Labyrinth. Soundtrack Mon Oncle. Soundtrack Amelie...

I need some beat...

No, I need to be proud of myself.

Kenapa gue selalu butuh approval orang lain? Padahal itu akan menjauhkan gue dari mengenal selera gue yang sebenarnya.

"Kalau kita gak tahu kita sukanya apa  asal kita tahu apa yang kita gak suka, itu cukup," kata Sally di hari dia merasa tak perlu lagi menghakimi.

Pasang Taylor Swift.

Senin, 12 September 2016

Nama

Apalah arti sebuah nama, kata Shakespeare. Tampaknya abang william ini gak pernah shooting low budget.

Kalau shooting dibayar murah, mungkin the least you can do adalah ngapalin namanya.

Dia bukan art. Dia Yudha, Tio, Uus, dan Henhen.

Dia bukan lighting. Dia Didin, Gepeng, dan Yosi.

Dia bukan kamera. Dia Hegar, Ogai, dan Eki.

Dia bukan clapper. Dia Oki.

Dia bukan conti girl. Dia Oci.

Dia bukan astrada. Dia Ale.

Dia bukan runner. Dia Theo.

Dia bukan make up. Dia Petek.

Dia bukan still photo. Dia Valen.

Dia bukan Behind The Scene. Dia Borne.

Dia bukan produksi. Dia Erika, Awal, dan Indri.

Dia bukan some random girl yang bantuin masangin mesin tenun. Dia Petri.

Setiap menyebut nama mereka satu-satu, gue diingatkan kalau film ini tidak akan jadi kalau ada satu saja yang berkurang.

Banyak arti sebuah nama.

Aku Menyanyi

"Gue kasih lihat dari sekarang ya biar lo gak ngamuk di set," kata Line Producer di pagi shooting hari ke dua.

Gue menyusuri foto-foto di kameranya. Kerangkeng kain tinggal janji tak berwujud. Green screen ternoda kopi atau entah minuman apa. Kostum Anteh belum jadi. Limbah kain gimana nanti.

"Ya udah," jawab gue tenang. Berserah. Apapun yang terjadi, terjadilah.

"Ntar lo gak bakal ngamuk di set?"

"Paling gue menyanyi," ancam gue. Biar pekak kalian semua.

Mereka tertawa. Dikiranya gue bercanda.

Barulah ketika ternyata tim art tidak tahu donggel dan tali kemaren ditaro di mana, padahal scene ini harusnya continuity, mereka sadar nyanyian gue mematikan.

Lagunya pun Anang dan Krisdayanti.

"Cintailah diriku untuk selamanyaaaa...." nyanyi gue memekakkan telinga.

Mereka pun gerak lebih cepat.

102 Detak Per Menit

"Normalnya antara 60-80," kata Papi.

Kalau misalnya jantung itu daya pakainya cuma 1000 detak, berarti gue cuma bisa hidup 10 menit. Yang kecepatannya 50 detak per menit, bisa hidup 20 menit. Biasanya yang jantungnya lambat berdetak itu yang biasa olah tubuh. Macam atlet, penari, dan kuli-kuli tak merokok.

Gue sedikit terdiam. Usia gue baru 33. Mike Mohede pun segitu ketika ditemukan meninggal di tempat tidur. Jantung sekarang tak lagi langganan orang tua. Yang muda pun bisa diserang seketika. Apalagi yang mokmok macam gua.

Waktunya hidup sehat.



Sepi Abis Shooting

Selalu setelah riuh shooting, di saat semua kembali tenang, dan kotak-kotak berserakan di garasai, ada perasaan sendu menyelusup padahal hujan tak turun dan angin tak bertiup.

"Aku pun kalau kalian pulang, rasanya begitu. Kalau di komik Jepang, macam ada burung lewat," kata Chica.

"Ini rasanya bukan begitu. Ini mah kaya ada angin lewat trus daun berguguran," kata gue.

Chica  pun mengangguk-angguk sambil mengamati langit Bandung yang semakin mendung.

"Makan yuk."

Yuk.


Kambing Mengembik

"Mbeeeekkkk...."

"Itu kambing yang mau dipotong ya?" tanya Chica mencoba menengok pelataran rumah tetangga dari kamar lantai tiga ini, mencari-cari sosok kambin yang gak sempat menyamar jadi panda. Jadilah ditangkap dan dipotong beramai-ramai.

"Mbeeeeekkkk..."

"Ah nggak mungkin kambing. Kayak suara orang mocking kambing," kata gue.

Suara itu terlalu rendah untuk kambing. Borderline melenguh. Biasanya lebih cempreng.

"Ya sangkin udah menderitanya makanya suaranya begitu," kata Chica.

Ah, paling mocking.

Setengah jam kemudian si suara misterius masih mengembik melenguh. Kalau memang itu hanya orang mocking kambing, hebat sekali gak cape-cape.

Kalau memang kambing, kasihan.

Rabu, 07 September 2016

Shooting Lagi

Akhirnya malam ini tiba juga. Besok gua  shooting lagi. Cerita yang memang gua pengen bikin. Bukan pesanan. Bukan paksaan.

Diawali dengan tawaran membuat film pendek 30 juta yang akhirnya gua terima juga karena temanya menarik dan gak ada yang lain yang nawarin gue bikin film. Lalu nambah 100 juta karena ada organisasi perempuan yang keresahannya pun sama dengan gua.

Semua shot sudah direncanakan. Waktu sudah diperkirakan. Filmnya sudah setengah jadi di kepala.

Malam ini gue melipat baju ganti dan handuk, dimasukkan ke tas. Kalik aja gue butuh mandi dan berbahagia. Merapikan buku catatan dan skenario. Kalik aja gue lupa. Mengisi ulang baterai MP3. Kalik aja gue butuh sanctuary di tengah-tengah purgatory setting lampu.

Sudah jam 11 malam. Gue berbaring di kasur. Besok bangun pagi. Gak bisa tidur, bukan karena resah gelisah. Ada damai yang aneh menyelusup.

Semua yang datang membantu dibayar ala kadarnya. Gue berjanji gak akan marah-marah. Apapun yang terjadi, terjadilah. Berserah dan nikmati semua yang datang, disyukuri dan dianggap petunjuk ilahi yang mengarahkan gue ke jalan yang benar.

Ini film Anteh. Bukan film gua.

Duit Mami

"Tid... Tid..." teriak Mak Gondut dari lantai bawah.

Dengan langkah malas gue bangkit dari kasur, turun ke bawah. Mau apa lagikah mamakku kali ini? Dianterin ke stasiun? Facebook salah password? Gak bisa post instagram?

Gue menghampiri Mak Gondut yang sedang berdiri di antara lautan ulos yang baru saja dia keluarkan setelah belasan tahun mengendap di lemari. Si Siti berjongkok di bawah sana melipat-lipat dan memisahkan ulos sesuai telunjuk Mak Gondut.

"Mami mau jual tanah mami... ada sisa uang 6M. Kita bikin museum kaya Madame Tussaud aja, Tid?"

Bah.

"Mana cukup 6 M bikin museum Madame Tussaud. Mending Mami bikin Mak Gondut Center," jawab gue asal.

"Oh gitu? Apa isinya?" tanya Mak Gondut lebih tertarik mendengar namanya menggantikan madam entah berentah.

”Ya buat film, acting, teater... apalah yang bisa bikin film kita lebih baik. Bisa makai talent sekitar. Atau kalau Mami mau stand up ama teman-teman mami lansia juga bisa."

"Gak cukup kalau sekalian kita bikin film?" tanya Mak Gondut.

Barulah gue melek. Gak percaya dengan pendengaran gue.

"Mau pakai duit Mami?"

"Ya tapi harus baliklah. Biar nanti kita bisa bikin lagi," katanya.

Bertahun-tahun gue ke mana-mana cari uang buat film, gak dapat-dapat. Kalau dapat, untungnya mau gue bikin Kepompongville biar sementara gak bikin film tetap bisa berkarya bersama talent-talent lokal.  Masa dapatnya tiba-tiba begini? Dengan belek di mata dan ulos di kanan kiri?

"Tapi kau cari jugalah duit lain. Biar lebih heboh filmnya. Jangan lewat gitu aja," tambah Mak Gondut mengembalikan gue ke dunia nyata yang terlalu kebetulan untuk dijadikan drama.

Gue malah gentar. 

Ini duit emak gue sendiri. Bisa dibeliin rumah, tanah, disumbang ke orang miskin... Dikasih ke si Siti biar si Siti gak perlu ngelipetin ulos di rumah orang. Balik ngumpul ama keluarganya di kampung...

Kenapa harus jadi film?

"Karena orang-orang miskin selalu ada padamu,  tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu," kata Mak Gondut.

Eh, Yesus.

Kalau bukan ini jalannya, tolong jauhkan pembeli-pembeli dari tanah mami. Kalau memang ini, tolong bersama-sama kami.

Senin, 05 September 2016

20.000

Jumlah penonton wiken pertama hanya dua puluh ribu. Memang bukan film gua. Tapi gua langsung terhenyak.

Padahal filmnya menyenangkan. Bintang-bintangnya bertebaran. Sutradara dan produsernya banyak kenalan. Promonya jalan-jalan.

Kenapa bisa angkanya serendah ini?

Karena terlalu banyak berbahasa inggris? Karena isinya tentang perempuan urban? Karena tariannya kurang maksimal? Karena musiknya kurang dikenal? Karena terlalu liberal?

Karena sial?

Produser AADC aja pernah bikin film 25 Milyar tapi flop. Produser Habibie Ainun pun sequelnya gak selaku itu.  Lebih banyak film gak laku daripada laku.

Cuma pertanyaannya, mampukah kita terus membuat film setelah kehilangan uang?

Mungkin uang bukan hambatan utama.

Mental.

Industri ini memang bikin banyak jiwa mental.

Ridiculous

"Sejak dengar filmnya 12 menit tapi script cuma 4 halaman, gue udah curiga," kata Line Producer menanggapi sutradara yang hendak batal diet setelah pusing menyusun jadwal shooting.

180 shot harus selesai dalam waktu 26 jam.  Dikiranya  26 jam buat shooting semua. Ternyata sudah termasuk setting art, setting camera, istirahat, dan sholat jumat.

Sisa 18 jam.

"Gue kurangin shot deh," kata sutradara.

"Jangan kurangin shot. Diatur lagi aja biar gak ridiculous," kata Line Producer.

"Ini tuh udah dipangkas dari 50 jam. Gak ridiculous," kata sutradara mulai meninggi.

"Maksud gue diatur lagi mana shot yang bisa disatukan. Jangan dikurangin. Sayang," kata Line Producer tetap sabar.

Setelah atur mengatur, ternyata memang bisa shooting 18 jam tanpa ngurangin shot. Asal semua dikelompokkan dengan strategis.

Gue jadi menyesal tadi sudah meninggi suaranya. Ternyata si Line Producer benar. Solusi bukan cuma ngurangin shot. Tapi bisa kerja lebih strategis.

Lain kali harus lebih strategis. Dan jangan langsung ngambek dibilang ridiculous.

Mungkin memang iya.

Minggu, 04 September 2016

Diet

"Gue dan Aji pernah ngobrol, kayanya elu mah gak berhasil-berhasil diet justru karena langsung ekstrim semua gak boleh," kata Sally menyambut 'besok gue diet ah' yang ke sekian.

Si pencatat adegan pun tertawa-tawa mengiyakan. Sejak dia kenal gua, sudah berkali-kali gue bilang besok mau diet.

Gue kenal dia empat hari yang lalu.

"Gak usah bikin target ekstrim. Ntar malah stres sendiri," kata yang lain menyambut 'september ini gue 90kg ah' yang ke sekian.

Sepertinya semua orang lebih tahu gue daripada gue sendiri.

Jumat, 02 September 2016

Still

Studio tanggal 10 udah di-book orang. Kita telat karena kemarin-kemarin harus menunggu kepastian mesin tenun bisa dibongkar apa nggak. Kalau nggak, mau bikin replika atau pindah set? Bla bla bla.

Terpaksa pindah hari shooting ke tanggal 9.

Gak bisa tanggal 9 karena butuh satu hari membuat dinding hijau kami berubah putih sesuai request pelanggan tanggal 10. Harus tanggal 8.

Pemeran gak bisa. Mau rapat awal semester di tempatnya mengajar.

Pilihannya pindah lokasi atau shooting tanpa green wall.

Pindah lokasi tak ada studio seluas ini di Bandung. Dan semurah ini.

Shooting tanpa green wall? Bisa sih, tapi Erickson kerjanya lebih berat.

Ya udah shooting tanpa green wall. Nanti diset aja pakai kain hijau.

Eh pemeran cuma bisa setelah jam 12.

Ya udah mulai jam 12 sampai tengah malam. Pemeran inapkan di hotel biar besoknya mulai  shooting lagi jam 6.

Semua darurat ini gue hadapi tanpa khawatir. Mungkin gue sudah terbiasa. Mungkin gue sudah kembali percaya semua ini ada baiknya.

Erickson yang pusing.

Kamis, 01 September 2016

Timeline dan Setrika

"Ya nanti kainnya disetrika dulu," katanya.

Mendengar kata setrika, senyum gue mengambang. Sudah lama gue tidak mendengar kata setrika di rapat film ini. Setelah tim art mengundurkan diri dan art kembali digantikan orang film, kata setrika kembali mengumandang.

"Nanti saya bikin timeline-nya. Biar kebayang gimana 8 hari ini ngapain aja."

Mendengar kata timeline, kepala gue mengangguk-angguk. Seperti musafir yang lama tak bertemu air, gue dibanjiri kata-kata biasa yang ternyata gue rindukan: timeline, budget, setrika, cheat cheat... Kata-kata yang membuat gue lebih yakin pekerjaan akan selesai pada waktunya.

Dua hari ini menyadarkan gue kalau bikin film itu pekerjaan kotor di dasar gunung keindahan bernama kesenian.

"Kalau teater kan olah rasa, kita olah hasil," katanya dilanjutkan pilihan bahan yang bisa dipakai untuk mengakali mesin tenun replika terlihat realistis.

Gue membiarkan dia kembali diskusi budget dengan Line Producer. Apakah benar film itu hanya olah hasil? Apakah itu yang membuat film kita gak bagus-bagus?

Film Indonesia sering dianggap sebelah mata oleh dunia seni, karena dianggap  seni kompromi. Ya gak bisa disalahkan juga mengingat banyak filmnya begini.

Banyak yang gue belum mengerti.

Rabu, 31 Agustus 2016

Lanjut Bekerja

Atid, maaf... aku kayanya mundur dari tim kerja ini, silakan lanjut aja, kl perlu masukan, dg senang hati silakan WA/ tel atau ketemuan, begitu jg dg tim art. Aku merasa ga manfaat utk berada dlm iklim kerja spt ini, yg harusnya menyenangkan, membuka kemungkinan baru dan saling dukung spt rencana awal...memang butuh waktu untuk penyesuaian cara kerja dan prl dialokasikan waktunya, atau dicari solusi terbaiknya...Kl film ini low budget dan tak menyejahterakan, minimal kita bisa dapatkan kebersamaankebahagiaan kerja...

....anyway... this is not the way i work with people and it will never be...

Whatsapp dia membuat gue bertanya-tanya, ngapain gue ngerjain film ini? Agar orang mengkonsumsi dengan lebih bijak? Agar masuk festival? Agar gue lebih eksis? Simply gue suka membuat diri sendiri menderita?

Gue melihat kanan kiri. Kru yang tersisa masih mendiskusikan bagaimana membuat film ini terwujud padahal sudah sejam sejak meeting ini dibubarkan. Mungkin mereka juga deg-degan karena shooting tinggal 9 hari lagi dan banyak sekali hal yang masih harus direncanakan.

This is the way I work with my people. Seringkali banyak tekanan, tapi gue percaya mereka.

Lanjut bekerja.

Selasa, 30 Agustus 2016

Tiga Badai

Tiga anak kecil tiba-tiba muncul di kantor dan naik menyerbu kamar baby. Ternyata anak-anak teman SMA Chica yang tinggal di Qatar dan hendak bertemu baby-baby tapi Chica sibuk kerja.

Setelah tersadar dari shock gue, gue pun naik ke atas. Biola gue sudah dijadikan gitar. Sofa sudah dijadikan trampolin. Dan baby-baby sudah dijadikan objek selfie.

"I want the fat one," kata si anak sulung hendak gantian gendong Shema.

"Bukan fat! Cuma lebih besar," kata mamaknya berusaha politically correct.

Gue meratakan kaos gue, malas ikutan dituduh fat. Malas di-politically correctkan.

Lalu hujan turun. Si anak bungsu menjerit-jerit.

"Maklum anak gurun. Gak pernah liat hujan," kata mamaknya sambil memboyong mereka pergi.

Badai pun berlalu. Shema dan Sergie kembali mengeong tenang di kamarnya yang damai diiringi bunyi hujan dan petir. Gue mengamati mereka dan bertanya-tanya berapa lama lagi damai ini akan berlanjut sebelum duo baby ini pun berubah menjadi badai.

Sembunyiin biola.

Trotoar

Jalan pagi bersama Kubus. Ternyata trotoar sekeliling jalan-jalan rumah gua sudah bagus.

Bagus?

Lebih tepatnya sudah ada. Dan itu cukup bagus buat gua yang tumbuh tanpa trotoar dan ekor terancam ketoel motor. Sepertinya tidak 'standar internasional' karena gak ada bola beton besar mengawalnya seperti anjuran panca trotoar.  Tapi bagusan begini. Pohon-pohon tua tidak ditebang dan dibiarkan mengawal kami.

Kubus berak meninggalkan jejak. Mau ditinggalkan begitu saja oleh Mak. Terpaksa gue yang berjongkok menghalau berak dengan daun-daun kering.

Lalu kami melanjutkan jalan pagi diselingi gosip Aa Gatot yang menggantikan Jessica Mirna yang selama ini menghiasi hari Mak Gondut. Gue mengangguk-angguk saja sambil pandangan mengamati bekas SMA-ku dan bekas SMP-ku dan mengira-ngira apa yang sama antara trotoar ini dan kedua sekolah ini.

Rigid. Tak peka warna. Dihiasi gambar narsis pemimpinnya.

Pemimpin kami pun lulusan SMP dan SMA ini. Mungkin trotoar ini memang cerminan hasil pendidikan kita selama ini.

Kubus berak lagi.

Minggu, 28 Agustus 2016

Latihan Tanpa Makanan

Jam 1.

"Gak ada yang mau cemilan? Gorengan? Martabak?" tanya gue.

Tidak ada yang menyambut. Beginilah deritanya kalau bekerja dengan penari. Tidak ada gula-gula yang bisa melintas menggoda konsentrasi mereka.

Jam 4.

"Gak ada yang mau makan?"

"Kalau udah selesai, gue mau pulang aja."

Yang lain pun begitu.

Dan begitulah hari itu latihan ditutup tanpa diselingi penganan apa pun.

"Harusnya lo bersyukur punya cast crew gak suka makan," katanya.

Gue mengangguk terangguk. Seharusnya memang begitu. Fabulously Healthy Atid yang sudah direncanakan semenjak Repelita masih kita anggap cita-cita akhirnya akan terwujud.

Ajak Chica makan.

Sabtu, 27 Agustus 2016

Apa Susahnya Hidup Susah

"Gara-gara lo ganti nama jadi Sammaria Simanjuntak sih," kata Sally melihat angka 13 berderet memenuhi hidup gue sampai menjelang forty nanti.

Sudah beberapa kali Sally meramal gue dengan apps numerologi gratisannya. Sudah beberapa kali gue mendengar angka 13 akan menghadang. Ternyata gue masih saja gentar.

Padahal angka 13 tidak cuma hidup susah. Banyak pemimpin besar dan seniman hebat yang malah berkarya ketika angka mereka tiga belas. Harusnya gue bersyukur. Apa susahnya sih hidup susah?

Tapi mendengar Hegar jalan hidupnya penuh  angka delapan, artinya kemakmuran, gue mikir juga. Tidak usah pakai numerologi pun sebenarnya gue sudah tahu Hegar lebih makmur. Hegar lebih banyak dipanggil produser Jakarta. Mobilnya sudah Nissan Livina. Dan baru-baru ini Hegar gesit merambah dunia potong ayam.

Bu Marintan jalan hidupnya penuh angka sembilan, angka spiritual. Makanya dia selalu intuitif dan dekat dengan alam.

Awal jalan hidupnya damai, tidak ada konflik. Dia suka mengajar dan yang diajar suka diajar.

Hanya gue yang dipenuhi angka 13. Gue melanjutkan hunting konsumerisme Paris Van Java sambil bertanya-tanya  andai gue memilih jalan berbeda. Gue pasti sedang belanja H&M dan Zara tanpa berpikir duit dan dampaknya bagi lingkungan.

"Emang mereka kenapa ama lingkungan?" tanya Hegar.

Gue memilih menjawab seadanya dan membiarkan dia di jalan delapannya. Lanjut meminta Hegar merekam tulisan-tulisan  'Better Cotton, Better Fashion'  yang membuat mereka terkesan peduli.

"Kalau lo pakai nama asli, angka lo 5. Jadi jalan-jalan," kata Sally menyambut kami yang kembali karena kehabisan batre.

Gue terharu. Sally menghitung nama asli pasti manual. Nama gue terlalu panjang untuk dihitung gratisan.

"Jadi hidup lo kombinasi keduanya lah. Jalan-jalan dan hidup susah."

Sounds like a filmmaker.

Film & Performance Art

"Pertunjukan itu hasilnya abstrak, tapi prosesnya semua real, ada di panggung. Kalau bikin film itu hasilnya real, tapi prosesnya abstrak dan penuh rekayasa," kata seorang artistic director panggung yang baru pertama kali membuat film.

Coba-coba ditontonnya Behind The Scene 'Alice'. Terkaget-kagetlah dia melihat semuanya hijau. Bahkan baju aktornya aja hijau.

"Aktor film berarti harus jago pisan ya?" katanya membayangkan harus beracting dikelilingi hijau. Belum lagi urutan scene yang loncat-loncat membuat aktor harus siap ikut meloncat dari satu emosi ke emosi lain. Beda dengan pertunjukan yang aktornya bisa membangun emosi dari awal sampai akhir.

"Tapi kalau di film, aktornya banyak bala bantuan untuk membangun emosi. Bisa dengan editing, lighting, framing, sound... banyaklah. Kalau aktor panggung cuma punya badannya sendiri dan gak bisa salah. Makanya mungkin aktor film banyak yang manja ya?" jawab gue.

Makanya dulu seorang aktor bilang dia lebih suka teater.

"Theater is actor's art. Film is director's art," katanya.

Makanya teater lebih horizontal. Kalau film lebih vertikal. Semua tergantung sutradara.

Tapi melihat cara mereka bekerja, sebenarnya banyak yang bisa sutradara pelajari dari mereka. Berembuk bersama-sama di awal sepertinya bisa melahirkan banyak inovasi, daripada mengharapkan kejeniusan seorang yang borderline egomaniac.  Tapi berembuk ini butuh waktu lebih lama dan... dana.

Semoga waktu dan uang lebih bersahabat.

Floating/ Swimming

Apa-apa gak ya kalau gue gak bikin film lagi?

Kata link artikel facebook dari seorang penulis bijak yang kayanya namanya seharusnya gua tahu tapi nggak, tujuan hidup yang terlalu jelas itu malah akan menjauhkan gue dari diri gue sendiri. Selama ini kupikir hidup itu harus ada tujuan jelas biar tahu mau berenang ke mana. Kalau gak, kita hanya floating around ngabisin waktu yang gak banyak ini.

"Better floating around than swimming aimlessly," kira-kira begitu katanya.

Setelah mencoba membuat film dengan adil dan sepertinya tidak mungkin di industri ini, kupikir-pikir ada benarnya juga kawan ini.

Kukira tujuan hidupku mau jadi sutradara, atau mau bikin film. Tapi tujuan ini malah membuat gue merubah diri lebih mirip sutradara-sutradara lain. Gue berpakaian lebih mereka. Gue nonton film yang mereka nonton. Gue gak lagi mengerjakan apa yang gue suka dan memakai apa yang gue suka. Yang gue paling gak suka, gue mulai percaya kalau gak ada yang adil di dunia ini.

Saran doi gimana kalau gue ngejarnya way of life, bukan goal of life. Misalnya gue ingin jadi manusia yang lebih adil. Ya gue adillah dalam hidup sehari-hari termasuk  membuat film. Jadi gue gak akan terlalu stres ketika dihadapkan pada pilihan bikin film yang gak adil karena tujuan gue bukan membuat film. Kalau my way of life membawa gue membuat film, syukur... kalau nggak, ya cari media lain.

Hari gini kok rigid.

Lebih nerimo, lebih legowo, dan menghindarkan gue dari menjadi orang yang gue tak cintai.

Jadi pengen bikin something.

Mengeong Rindu

Semakin sering ketemu, semakin rindu.
Semakin rindu, semakin gampang ngeong.

Ya udah gak usah ketemu.

Semakin gak ketemu, semakin rindu.
Semakin rindu, semakin gampang ngeong.

Ya udah ketemu.

Rindu lagi, ngeong lagi.

Ya udah nerimo.
Ngeong-ngeong basamo.

Tiga Mamak

"Lu harus tuh urus sebelum 30 September. Kalau nggak, naik lagi jadi 3%. Kalau gue kemaren cuma bayar 0,5%. Bisa dicicil lagi tiga kali," kata Mamak 1.

Mamak 2 dan Mamak 3 hanya tertawa-tawa tak gentar. Yang satu istri pensiunan polisi. Yang satu istri pensiunan tentara. Seumur hidup mereka tahunya pajak bisa diatur.

Mamak 1 Cina, janda seorang pengusaha Surabaya.

"Kalau nanti mau jual rumah dan kita belum lapor, bisa-bisa kena penalti 200%," kata Mamak 1 menambahkan. Mamak 2 dan Mamak 3 tetap tertawa-tawa.

Mungkin mereka kira ini masih zaman Suharto.

Gue hanya menyetir tanpa ikut berkomentar. Malam ini premiere Tiga Perawan, dan gue ditugasi mengawal Tiga Mamak ini sementara anaknya mau red carpetan. Tempatnya di gedung orang Golkar. Sponsornya pun group orang Golkar.

Mungkin memang kita masih di zaman Suharto.

"Lu yang urusin lah, Tid. Mamah-mamah mah biasanya cuek ama yang beginian," kata Mamak 1 cemas. Gue mengangguk mengiyakan. Walau bukan mamah-mamah, gue pun cuek tax amnesty.

"Ah itu tax amnesty salah sasaran. Masa kita yang kena? Yang gede-gede itulah dikejar," kata Mamak 3 sekilas sebelum melihat Titik Puspa lewat. Langsung ngantri minta poto.

Mamak 2 dengan Tara Basro walaupun gak tahu itu siapa. Anaknya yang minta.

Premiere malam ini lebih meriah dari film-film lainnya. Ada penari, band, dan karpet merah. Mungkin karena memang budget-nya lebih besar dari film biasanya, walau tadi di panggung si Produser bilang gak ada duit promo.

Mungkin dengan tax amnesty ini, akan  banyak premiere karpet merah di film Indonesia. Mungkin gak ada pengaruhnya karena salah sasaran. Mungkin gak ada pengaruhnya karena duit film justru duit gak kena sasaran.

"Tid, fotoin mami dong!" kata Mamak 3 yang sudah tiba gilirannya berfoto dengan Titik Puspa.

Klik.

Selasa, 23 Agustus 2016

Sabar

Apa yang paling diperlukan untuk selamat menjadi storyteller di luar jalur mainstream?

Sabar.

Ketika dapat pinjaman dua kamera dan dua-duanya baterainya  drop.

Ketika art team baru yang sudah di set 3 jam yang lalu belum masang green screen.

Ketika studio sejuta 12 jam ini gak punya speaker dan masih dipenuhi lampu-lampu yang punya.

Ketika tim produksi gak mau meminjamkan orangnya karena itu bukan kerjaan dia. Dan memang bukan kerjaan dia.

Ketika gue sadar untunglah ini cuma test cam. Bukan shooting beneran.

Tapi orang-orang inilah yang nanti akan shooting beneran bareng gue.

Sembilan tahun yang lalu, waktu bikin cin(T)a, kami memulai dengan semuanya orang baru. Tapi sekarang kesulitan filmnya meningkat. Orang-orang baru jadi keteteran.

Bisa saja sih sabar kalau waktunya lama. Bisakah gue sabar kalau shootingnya dua minggu lagi? Apa yang penting buat gue?

Film dan pembuatannya adil.

Senin, 22 Agustus 2016

Para Penari Istana

Ada yang pagi-pagi sudah mendatangi tetangganya.

"Saya mau nari di sini. Sitayana, bukan Ramayana," katanya. Lalu si tetangga dijadikan api biru yang mengelilingi dia. Dia tentunya jadi Sitayana.

"Padahal dia sudah enam puluhan dan tak kecil lagi," kata salah satu muridnya. Tapi katanya nanti di Bali yang jadi Sita muridnya.

Ternyata dia lagi.

Pernah dia menari bersama segerombolan penari Jawa. Gantian. Saat Penari-Penari Jawa mentas, dia berisik di pinggir panggung memberi instruksi kepada murid-muridnya. Saat mereka manggung, yang Jawa duduk tak bergeming sedikit pun di pinggir panggung.

Saat pengajuan dananya ditolak oleh Departemen, dia berteriak-teriak mengamuk sampai ke lift.

Ada lagi penari lain yang sudah dijanjikan 800 juta oleh departemen untuk pagelaran 70 tahunnya setelah mengabdi bertahun-tahun menjadi penari istana. Tiba-tiba si Bapak berkelat-kelit tak jadi ngasih padahal semua persiapan sudah dimulai.

Dia hanya diam, mengambil semua berkasnya, dan kembali ke rumahnya tanpa dendam. Menghitung ulang semua dengan dana seadanya.

Tapi dari wajahnya yang diam, kita tahu dia menekan kemarahan.

Ada lagi yang memang tulus ikhlas dari sananya. Seperti si penari Jawa yang hanya diam di pinggir panggung tanpa bergeming.

Penari... penari... ceritamu banyak sekali.

Ingin kuberi kalian panggung.

Tentang Yang Lain

"Kita bertiga pernah ngobrol... Seandainya Sammaria bikin film yang tidak tentang dirinya sendiri... Lebih tentang karakter urban Batak sekitarnya, pasti filmnya lebih bagus," kata seorang aktivis film menceritakan diskusinya dengan dua pengamat/pembuat lain.

Gue hanya menjawab dalam hati. Seandainya Demi Ucok bukan tentang dirinya sendiri dan mamaknya sendiri, filmnya gak akan jadi. Terlalu banyak bensin dibutuhkan untuk menyelesaikan Demi Ucok. Butuh alasan yang sangat sangat personal sampai film tanpa bintang tanpa CGI selesai.

Dan tayang.

Lalu dia menceritakan tentang film-film yang ingin dia bikin. Tentang karakter-karakter terpinggirkan di Jakarta. Yang bukan dirinya sendiri. Yang belum jadi-jadi.

Apapun cerita gue, semoga gue bisa bikin film jujur. Bukan jujur honest, tapi truthful.

Sabtu, 20 Agustus 2016

Pilih-Pilih

Seorang ibu beranak tiga membuat sanggar seni untuk anak-anak. Di saat anak-anak lain sibuk ber-Frozen dan ber-Justin Bieber, anak-anaknya bermain gendang afrika dan membuat lagu tentang pergi ke gunung.

Brand pun mulai berdatangan mengajak mereka pentas untuk acara promo mereka. Keuangan sanggar mulai membaik.

Tapi Brand mengatur kostum, mengatur waktu, mengatur lagu mereka agar lebih sesuai image brand.

"Tapi yang bikin gue akhirnya gak terima adalah ketika mereka memilih pemeran," katanya menyembunyikan sedih dan amarah di balik ketenangannya.

Gak mau yang gendut. Gak mau yang kaca mata. Bagusan yang cantik. Mending yang udah terkenal.

"Ini kan anak-anak... Kalau dari kecil sudah kita bawa masuk ke dunia dengan pemikiran seperti itu,  buruk untuk masa depan mereka," katanya.

Akhirnya dia memilih jalan yang berbeda. Setelah setahun bekerja sama dengan sebuah badan  pendana untuk membuat teater musikal anak, mereka pun percaya padanya. Cast menjadi otoritas dia tanpa boleh diganggu gugat.

Dia pun memakai si gendut, si kacamata, si tak cantik, dan semua yang tak  dipandang industri hiburan yang semakin hari semakin membuat anak-anak kita cita-citanya menjadi cantik dan terkenal.

Sebagai anak gendut berkacamata tak cantik dan tak terkenal, gue bersyukur ada di sini.

Jujur/ Syukur

Seorang Ibu mengajak dua pengasuh baby-nya makan-makan di restoran.

"Gimana basonya?"

"Enak banget, Bu," kata Yang Tua.

"Biasa aja," kata Yang Muda.

Mungkin yang muda kurang bersyukur. Mungkin simply lebih jujur.

Guess siapa yang akan diajak next time si Ibu jalan-jalan.

Kamis, 18 Agustus 2016

Bangga

Sepasang atlet bulu tangkis berhasil memenangkan medali emas sebuah ajang olah raga yang seringkali jadi ajang konsumerisme berbulu heroisme. Gue berusaha tidak ikut-ikutan jadi anak dunia ke tiga yang silau dengan kata dunia, tapi melihat mereka berdua menggigit emas dengan jahil mau tak mau terharu juga.

Seperti kata artikel di facebook seorang teman bermata sipit, mereka adalah paduan yang pas untuk membungkam semua kata-kata pedih yang menghina perbedaan. Yang satu Islam, satu Kristen. Satu cowo, satu cewe. Satu pribumi, satu Cina.

Ternyata shuttle cock tidak mengenal ras, katanya.

Melihat rambut salah satu atlit, gue menulis komen, "Curiga shuttlecock tidak mengenal orientasi seksual."

Semenit kemudian, gue delete.

Curiga kita masih di tahap memahami perbedaan ras. Gak usah curi spotlight.

Rabu, 17 Agustus 2016

Merdeka

Di sela-sela roti Nutella, sebuah lagu berkumandang khidmat dari siaran TV One.

Ini lagu apa? Sepertinya lagu kebangsaan Indonesia. Dimainkan dengan drum band, orchestra ala Eropa, dan oleh pemuda pemudi berseragam macam tentara Eropa abad pertengahan. Tapi indah dan menggugah rasa bangga jadi orang Indonesia.

Oh hari ini hari kemerdekaan kita.

Gue tidak lagi mengunyah Nutella dan mulai mendengarkan TV One. Sudah sering gue mendengarkan lagu-lagu ini. Hanya biasanya dengan lirik-lirik patriotis yang untuk zaman sekarang malah mengingatkan pada pemuda-pemuda asal teriak NKRI harga mati.

Tapi jika dilantunkan tanpa lirik, malah membawa gue membayangkan zaman dahulu kala. Ketika Indonesia masih jajahan orang. Dan pemuda-pemudinya merindukan kemerdekaan. Dan slogan-slogan kebangsaan mungkin bukan hanya di mulut saja, memang mengalir ke jiwa raga mereka, dan tersampaikan  dengan sendu dan bangga pada gue melalui musik mereka.

Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya...

Apa yang bisa gue lakukan di kemerdekaan ini?

Makan buy 1 menu 17.000 di Tawan. Atau diskon 17+8+45% di Haagen Dasz.

Selasa, 16 Agustus 2016

Satu Scene

Akhirnya storyboard untuk satu scene 'Weaving Anteh'  selesai juga. Total 41 gambar. Dua jam-an. Gambar sendiri. Gak ada budget storyboard artist.

Masih ada 9 scene lagi.

Tiba-tiba malas mulai menjangkit. Gak bisa ya langsung shooting aja? Toh nanti gak ada yang bakal lihat storyboard ini.

Kalau ngegambarnya aja malas, apalagi shootingnya.

Teringat film-film yang lalu-lalu. At the end, yang gue inget bukan award-nya, bukan screening-nya, tapi ngebuatnya. Saat gue menikmati dan mencurahkan semua energi gue untuk the lot that has been given to me.

Cause all is vanity and striving after wind.

Lanjut scene dua dengan seksama.

Senin, 15 Agustus 2016

Seni dan Doa

"Bu, ntar set-nya gak jadi kaya teater ya? Gak realistis?" tanya Director Of Photography.

"Bisa jadi," kata gue.

But it wasn't a bad thing. For me. Gue udah pernah lihat stage dia. Mistis. Beda. Gak kaya set film memang, tapi gue pengen nyoba.

Dan bukan set mereka saja yang berbeda. Cara kerja mereka pun berbeda.

Tidak ada gambar kerja detail yang bisa di-breakdown menjadi daftar belanja/sewa. Haram menyebut kata budget, bilangnya list art.

Alhasil Line Producer mulai bertaring bekerja tanpa pegangan dokumen apa-apa. Mengharapkan keajaiban hari H set langsung jadi magic sepertinya impossible di kamusnya.

"Gue tuh setiap hari berdoa, berharap dituntun apa yang harus gue lakukan," kata si Production Designer dulu saat menceritakan pagelaran epiknya di sebuah lapangan tengah kota bersama 2500 penari. Hasilnya di luar dugaan.

Mungkin gue juga harus berdoa.

Line Producer tambah bertaring.

Minggu, 14 Agustus 2016

Baby Cewe

"Lo hamil? Pantesan muka lo bersinar," kata gue.

"Kata suami gue juga gue jadi lebih dandan," katanya.

"Mungkin anaknya cewe," kata yang lain.

"Atau cong!" kata gue.

Tidak ada yang menjawab.

Sabtu, 13 Agustus 2016

Talent & Personality

"Find one whose talent and personality you respect," nasehatnya dalam mencari kru.

Prakteknya, selain talent dan personality, budget-nya juga harus masuk.

Sudah budget-nya masuk, harus cocok dengan kru lain yang talent dan personality-nya gue respect tapi bukan berarti tanpa kesulitan.

"Kalau dia mau ganti jadwal seenaknya, sekalian aja dia yang bikin jadwal," kata kru pengatur jadwal sewot ketika kru baru minta ganti jadwal.

"Kok langsung pundung sih? Kalau gak bisa, ya bilang aja gak bisa. Simple," jawab gue sebel.

Membangun kru di Bandung bukan tanpa tantangan. Jam terbang rendah membuat banyak hal kecil bisa menjadi besar.

"Kami mohon fleksibilitasnya untuk menggeser jadwal produksi," kata panitia Jakarta seakan semua orang bisa menggeser jadwal mereka semua sesuai jadwal project ber-budget thank you ini.

Gue menghela napas mencoba mengingat-ingat kenapa gue menerima project ini.

Karena gue respect talent dan personality mereka.

Jadi nikmatilah ketidakpastian ini. Yang pasti, gue yakin mereka semua berusaha yang terbaik.

Jumat, 12 Agustus 2016

Yang Heits 60 Tahun Yang Lalu

Seorang nenek khawatir cucunya belum kawin juga padahal umurnya sudah 29. Itulah motivasi yang menggerakkan cerita keluarga seorang nenek, duda, dan tiga anak daranya dalam film yang dibuat 60 tahun yang lalu ini.

Ternyata 60 tahun kemudian, masalah kita masih sama.

Dulu sang sutradara membuat film ini karena perusahaannya butuh uang. Film seperti 'Darah dan Doa' dan segala cita-cita membuat film dengan identitas bangsa ternyata tidak cukup untuk menghidupi perusahaan. Dia harus bikin film seperti film musikal Hollywood yang laku saat itu.

Ternyata 60 tahun kemudian, masalah kita masih sama.

Tapi ada yang berubah. Cowo-cowo klimis berkumis tipis tidak lagi dianggap ganteng. Dansa-dansa cha cha cha ala Amerika tidak lagi dianggap kekinian.

Sekarang yang kekinian Korea. Jepang. Eropa. Amerika juga masih sih. Hipster-hipster pecinta kebudayaan lokal pun pahamnya impor dari luar sana.

60 tahun lagi, masihkah kita inferior?

Tak sabar menanti 2076.

Kamis, 11 Agustus 2016

Pelukan Rica-Rica

Seekor tikus merica seekor sapi lewat whatsapp

Sapi balas mengeong dan meraung

Si Tikus tiba-tiba melembut dan berjanji besok datang

Datang-datang, sapi langsung dirica lagi

Belum sempat mengeong, sapi dibekap di dada

Memang dirica lebih enak kalau dipeluk

Rabu, 10 Agustus 2016

Ismail Marzuki

"Tahu lagu-lagunya?" tanyanya.

"Beberapa," jawab gue.

"Coba sebut apa aja."

Gue terkekeh, ketahuan bohong.

"Itu namanya nggak tahu."

Yang gue tahu cuma doi sepenting itu sampai dijadiin nama taman yang bukan taman. Ternyata banyak sekali lagu wajib jaman SMP ternyata ciptaan doi. Gugur Bunga, Rayuan Pulau Kelapa, Sepasang Mata Bola, Juwita Malam, Selendang Sutera, Bandung Selatan Di Waktu Malam...

"Gue ketemu istrinya di Dayeuh Kolot," katanya menceritakan betapa sedih dan terpinggirkannya akhir hidup mereka. Dia berjanji suatu hari akan membuat film tentang Ismail Marzuki, dan kisah cintanya dengan Eulis si penyanyi keroncong yang hidup terlupakan di ujung Bandung.

Sudah tiga puluh tahun berlalu.

Ismail Marzuki masih cuma taman di benak pemuda pemudi macam gua.

"Sedih ya? Banyak ide tapi gak dibuat-buat," katanya tanpa meminta dikasihani.

Sempat sedih, tapi langsung ingat Jodorowsky's Dune.

"Kayanya waktunya sebentar lagi," katanya menyemangati diri sendiri.

Gue mengangguk-ngangguk.

Senin, 08 Agustus 2016

Modif Savage Garden

I believe I place my happiness in my own hands
I believe that I am what I eat and what I wear
I believe my parents did the best job they knew how to do
I believe I'm loved  when I need no love
I believe love comes with no conditions
I believe the grass is no greener on the other side
I believe I can't control or choose my sexuality
I believe that trust is more important than monogamy
I believe my most attractive features are my heart and soul
I believe I should choose my family
I believe the struggle for financial freedom is unfair
I believe the only ones who disagree are millionaires
I believe transparency keeps me from being unfair
I believe forgiveness is the key to my own happiness
I believe that God does not endorse TV evangelists
I believe in love surviving death into eternity

I believe what I think of people will reflect onto me

Nyumput

"Haiii!" katanya.

Gue menyambut cipika cipikinya sambil bersyukur untung tadi gue sempat sisiran dan ganti baju yang gak bangun tidur banget. Tak menyangka kalau Mom's Bakery di jam 7 pagi akan dipenuhi banyak orang yang gue kenal.

Gak banyak sih. So far baru dua.

Dua banyaklah untuk ukuran subuh-subuh.

"Di dalam ada direktur kita," katanya menyebutkan sebuah nama yang gue curigai sama dengan orang yang kemaren gue email mintain duit.

Gue melipir, bersembunyi di balik Shema ketika keluar.

Cukup dua saja yang gue kenal pagi ini.

Minggu, 07 Agustus 2016

Bedol Baby

Seminggu ini gue sibuk mempersiapkan kepindahan Chica ke Bandung biar kamarnya higienis dan baby friendly. Kukira sudah packing si Chica.

Dua jam sebelum mobil box datang, belum juga dia packing.

"Udah masuk-masukin asal aja. Mumpung kopernya gede-gede," kata gue melihat Chica ogah-ogahan packing.

"Pusing gue mau pindahan," jawabnya.

"Di sini pun kau pusing. Apa bedanya pusing di Bandung?" jawab gue sambil terus memasukkan kulkas, dispenser, dan semua barang di list gue ke mobil box sementara Chica memilih-milih baju.

"Itu kasur geser sini," kata gue.

Chica tidak bergerak.

"Gue kan Ibu Menyusui," katanya malas.

"Bah... kau puas-puaskanlah. Dua bulan lagi gak bisa kau pakai alasan itu," kata gue sambil menggeser kasur.

Jam 9.30 tepat mobil box dan semua barang sudah berangkat menuju Bandung.

Satu setengah jam kemudian, baru Chica siap bersama berplastik-plastik barang yang 'lupa' kebawa mobil box.

Bandung, we come home.


Harta Mak Gondut

"Itu koper jangan dibawa. Masukin lagi," kata Mak Gondut melihat koper Delsey Deden yang selalu dia pakai karena paling mahal dikeluarkan dari lemari gudangnya. Enam koper besar-besar lain yang gak pernah dia pakai tapi gak rela dikasih orang boleh dipakai.

"Mi, koper yang itu untuk baju bayi. Kan yang lain udah berdebu. Kasihan kalau Sergie Shema bajunya kotor," bujuk gue mengeluarkan jurus Sergie Shema yang selalu ampuh untuk Mak Gondut.

Berangkatlah gue membawa 6 koper ke Jakarta. Mak Gondut ikut.

"Mami lagi gak punya duit ya. Kau kan yang bayar bensin?"

Gue mengangguk.

Padahal Chica.

"Sekarang Mami harus punya uang 85 juta sebulan untuk bayar cicilan rumah," raung Mak Gondut sedih.

Dia membeli 5 apartemen/ rumah kos biar bisa jadi passive income di hari tua. Harus dicicil selama 6 bulan ke depan. Tadinya mengharapkan salah satu rumah yang dia punya sekarang terjual. Taunya susah sekali.

"Tapi biasanya kalau kejual, pasti harganya bagus," kata Mak Gondut yakin mengingat pengalamannya dulu-dulu. Tidak mempedulikan ekonomi dunia tengah berubah dan kemungkinan orang sudah kebanyakan rumah.

Gue tergoda ngomongin investasi itu sebaiknya yang produktif buat masyarakat, jangan jual beli rumah. Negara ini masih butuh makanan, baju, dan pendidikan yang bagus. Kalaupun mau investasi di rumah, lebih baik invest di anak-anak muda yang bervisi membangun kota yang lebih inklusif, bukan cuma meraup keuntungan dari selisih harga jual atau sewa.

"Mami mau pisang goreng?" tanya gue.

"Mau. Sama koran Kompas ya."

Gue membayar.

Padahal Chica.

Jumat, 05 Agustus 2016

Raungan Mami

Pagi-pagi Mak Gondut udah pergi gerak jalan ke Tahura. Cepat-cepat gue masukkan gendang-gendang Papua dan perisai-perisai perang yang sudah belasan tahun numpuk di gudang ke mobil, siap dikasih ke group seni anak yang sepertinya bisa membuat gendang-gendang ini lebih berguna. Daripada jadi sarang tikus. Kasihan baby-baby nanti kalau rumahnya penuh tikus.

Pulang-pulang, gue disambut raungan mami.

"Itu kan mami simpan buat hiasan kalau Mami bangun rumah bambu nanti..."

Terpaksa perisai-perisai gue ambil kembali.

"Gendangnya?"

"Pinjem dulu ya. Nanti kalau rumah bambunya jadi, Atid ambil lagi."

Lalu Mas Ucup disuruh masukin barang-barang kembali ke Gudang.

Kamis, 04 Agustus 2016

Bad Boy

"My teacher and my mom always said I was a bad boy," katanya menyesal setelah temannya menangis.

"No, I know you are not a bad boy. I saw you being nice," kata mamak anak yang dibikinnya nangis.

Gue hanya diam-diam di kursi depan, no comment. Malas dekat-dekat anak itu.

Baru masuk mobil, dia udah teriak-teriak histeris 'you are not welcomed in this car'. Turun dari mobil, dia menusuk-nusuk pantat dan perut gue sambil teriak 'why is it so big'. Sebelumnya gue melihat dia memegang-megang dada teman gue padahal sudah dilarang.

"Dia selalu dimarahin ama orang tuanya, Tid. Kasihan," kata mamak si anak nangis mencoba sabar. Sudah sebulan si bad boy dan mamaknya di Indonesia, menginap di rumah mereka. Waktu dipeluk-peluk suaminya, si bad boy langsung melembut. Kelihatan banget kayanya dia kurang dipeluk bapak.

"So why do you think Indonesia is a sexist country?" tanya mamak si bad boy untuk disertasinya, setelah anak-anak berhasil diungsikan ke bioskop.

"I don't even know where to start," jawab gue diplomatis. Partly karena banyak sekali statement sexist yang diterima wajar di negeri ini. Partly karena gue merasa anaknya sendiri potensial tumbuh jadi cowo sexist.

Lalu gue bercerita tentang kasus perkosaan dan bagaimana pejabat public menanggapinya di media sambil berharap dalam hati anaknya akan tumbuh menjadi nice boy.

Tahu Terakhir

"Sal, kemarilah kau! Ada tahu enak kali," kata gue. Daripada gue nungguin doi di rumah, mending gue menanti di sebuah surga tahu di Banceuy.

Tahunya nyesss, sambelnya full bawang putih. Kangkungnya segar. Jus jeruknya kuning menggoda.

"Ini kan yang punya wong itu," kata Sally menyebutkan seorang bapak norak yang pernah membuat poligami award dan tak pernah lagi gue datangi restorannya.

"Hah? Masa sih?" tanya gue tak rela mencari kebenaran. Baru menyadari font restorannya memang norak-norak mirip.

Tapi kenyataan memang menyakitkan.

"Mbak, pesan tahunya satu porsi lagi ya," kata gue dengan sedih.

Porsi perpisahan. Ini terakhir kalinya kumakan kalian.

Hik.

Rabu, 03 Agustus 2016

Beda-Beda

"Bilanglah ama si Chica itu, kalau bukan Mami yang bayarin jangan mau rombak rumahnya," kata Papi tiba-tiba. Padahal minggu lalu bilangnya 'ya papi ikut mami aja, kalau dia mau bangun ya biarlah'.

Tentunya gue gak bilang ke Chica. Sudah setengah jalan semua dikerjakan, baby-baby dipindahkan, demi bisa bangun kamar Papi Mami di belakang, masa mau dibatalkan cuma karena Papi lagi gak suka ama Mami. Alasannya entahlah. Mungkin bukan karena Mami, mungkin Papi frustasi sendiri karena semua rumahnya belum ada yang bisa dijual. Renovasi rumah seperti membuang-buang uang.

Papi langsung nelepon Chica. Alasannya beda lagi. 'ngapain kau bangun-bangun kalau sertifikatnya belum nama kau.' Dijawab dengan bijak oleh Chica 'ya yang penting niatnya buat nyenengin Papi Mami'. Chica mengira Papi terharu dengan jawabannya.

"Si Chica bilang memang dia yang mau bangun. Ya suka-suka dialah," kata Papi menyimpulkan pembicaraannya dengan Chica.

Gue mengangguk-angguk mengiyakan, lalu lanjut briefing tukang.

Senin, 01 Agustus 2016

Ada Waktu

Ada waktu meluruh, ada waktu bertumbuh.

Ada waktu tertawa, ada waktu menangis.

Ada waktu ditepuk, ada waktu menepuk.

Berbahagialah gue yang menangis, karena gue akan ditepuk.

*senyumsenyumsipusipu

The 30 Pages Lazy Script

"Sorry SE Asian filmmakers, but 30 pages is not a script - it's just laziness. I really cannot believe I have to clarify what a normal length of a script is, sheesh!" omel seorang produser film di yang membuat script lab di Facebook.

I was one of those lazy filmmakers.

Padahal sudah sebulan ini gue ngerjain proposal untuk apply ke workshop script dia. Bodoh, mungkin. Untalented, bisa jadi. Tapi lazy kayanya bukan gue sebulan terakhir ini.

Cerita Dongeng Bawah Angin memang butuh lebih banyak eksplorasi gerak, suara, dan artistik. Jadi script 32 halaman ini buat gue sudah paling tepat untuk ceritanya.

Mungkin dia gak sempat melihat betapa niatnya proposal dan visual treatment gue walaupun script-nya pendek. Mungkin dia sudah terlalu sibuk bekerja dengan Tsai Ming Liang dan Apicatphong.

Tapi tidak ada gunanya menjelaskan padanya. Apalagi balas menulis status Facebook menyebutkan satu per satu film panjang dengan script kurang dari 30 halaman yang gue tahu.

Maybe it is better to work really hard making a film out of this lazy script.

Sabtu, 30 Juli 2016

Pasar Tebet

Jalan-jalan ke Pasar Tebet, untuk mencari sesuap nasi. Ternyata semua ada di sini.

Ada martabak, ada cendol. Ada sop, ada gulai. Ada gorengan, ada rebusan. Tinggal dipilih dipilih dipilih.

Duduklah gue di angkringan. Dari bentuknya sih seperti berbeda, seperti dijaga dan dipelihara. Ternyata yang punya sudah pindah Amerika, mengajar Antropologi di sana. Tinggal adiknya di sini, menjaga angkringan dan pulang ke Jogja tiap wiken.

Lalu lanjut ke salon sebelah, krembat, scrub, dan potong rambut. Ditawari cheese stick buatan adik sendiri, yang enak banget sampai lebaran kemaren diborong 70 toples sama orang departemen Bogor. Tak perlu jauh-jauh potong rambut mahal-mahal ke Pondok Indah.

"Pasar Tebet kan memang pasar artis," katanya.

Gue menoleh kanan kiri. Tak ada pun kutengok artis.

Atau mungkin gue yang sudah jarang nonton TV.  Lebih senang menonton Pasar Tebet. Ceritanya lebih beragam.

Truk Kostrad

Sebuah truk hijau bertuliskan Kostrad merapat ke pagar Chica. Tiga tentara turun dan membantu mengangkut meja, kursi, patung rusa, alat barbeque, dan treadmill ke dalamnya, membebaskan rumah Chica dari barang-barang tajam dan tidak Sershem friendly.

Dulu Kostrad dibentuk untuk 'membebaskan' Papua yang mereka sebut Irian Barat. Panglima pertamanya Soeharto. Makanya Kostrad-lah yang turun duluan 'menumpas' G30S/PKI dan banyak 'penumpasan' lain di zaman Orde Baru. Termasuk Timor Timur, di bawah Panglima Prabowo. Saat peristiwa 98, Prabowo masih menjabat Pangkostrad.

Tidak ada yang tahu jumlah pasti personil mereka. Rahasia. Hari ini gue bertemu tiga.

"Makasih ya, Mas," kata gue sambil memberikan amplop berisi 120 ribu ke masing-masing tentara.

"Panggil ito aja," kata si tentara yang ternyata Panjaitan.

"Makasih, Ito."

Sebelum berangkat, truk mogok dulu sebentar.

"Biasa kok ini, ito," katanya.

Lima menit kemudian, Truk Kostrad sudah menuju Bandung.

Operasi pembebasan Irian Barat, 65, Tim-Tim, 98... Hari ini porto Kostrad di kepala gue bertambah satu.

Operasi pembebasan Rumah Chica.

Kamis, 28 Juli 2016

Tikus Kambing

Seekor sapi mengunyah rumput, seekor tikus mengunyah kambing.

Sapi serudug-serudug senang, lalu mundur-mundur kebauan.

Tikus... tikus... kau tikus apa kambing?

Tikus merapat, menjilat-jilat. Biar Sapi tertular kambing.

Rabu, 27 Juli 2016

Ghostbusterita

Setelah gue menetapkan 5 prioritas yang akan mengisi waktuku yang terbatas ini, nonton tentpoles Hollywood jadi terasa tak mendesak. Bahkan Jennifer Lawrence dibiruin aja gagal membawa gue ke bioskop.

Tapi Ghosbusters harus. Review di internet terbagi dua ekstrim. Dicurigai karena fanboy-nya Ghostbusters gak suka karena ghostbusters didominasi cewe-cewe yang tak ada seksi-seksinya. In solidarity with the bitches, pergilah gue ke bioskop.

Tapi kali ini gue harus setuju dengan para fanboys. Melissa Mc Carthy dkk lucu sih... hanya ceritanya berantakan banget. Padahal yang bikin Paul Feig, yang nge-direct Mc Carthy di Spy. Ghostbusters ini persahabatannya terlalu dipaksakan, bahkan ketika mereka lari-lari menyelamatkan Kevin, resepsionis mereka yang hot, I honestly don't care.

Tapi tak apa-apalah. Nontonnya bareng salah satu prioritas, jadi 3 jam hidupku tetap layak dikenang.

Selasa, 26 Juli 2016

3500W

Chica diperbolehkan kerja dari rumah. Chica tak menyambut bahagia karena merasa kenapa harus dia yang diasingkan? Karena dia perempuan?

Karena gaji Bang Gigit lebih gede, jawabku dalam hati.

Kenapa gaji Bang Gigit lebih gede? Karena Chica perempuan?

Tak lagi hatiku menjawab. Lebih baik langsung set-up work space buat Chica biar dia nyaman di rumah.

Listrik rumah dinaikkan jadi 3500 W biar ruang tengah bisa nambah AC dan si kembar bisa main di sana.
Beli matras dan pagar biar gak heboh ngejar-ngejar mereka.
Naikin internet jadi 10 MB.
Bandungkan perabotan-perabotan bersudut tajam mumpung Kodam Jaya mau minjemin truk.
Pasang kaca di lubang-lubang angin biar AC lebih dingin.

Blas!

Tiba-tiba lampu daerah belakang mati, menambah satu lagi to do list.

"Ini bukan korslet, Mbak. Sekringnya udah kendor, jadi sering turun walaupun dayanya belum maksimal."

Harus nunggu PLN yang mengganti kalau gak mau disangka nyuri listrik.

"Harusnya 5000 Watt, mbak," katanya lagi.

AC ruang tengah ternyata 1500 W. Pompa air 800 W. Rice cooker 350 W. Dispenser 150 W. AC kamar masing-masing 220 W, 220 W, dan 400 W. Belum catokan dan setrikaan.

"5000 watt kok udah kaya kantor aja?" kata Bang Gigit.

"Memang kantor," kata Chica bitchy.

Siap, bos.

Senin, 25 Juli 2016

Sepeda Baru, Bubur, dan Martabak

Kring kring kring bunyi sepeda. Sepedaku roda dua. Kudapat dari OLX. Hanya dua juta saja.

Eh tapi kok ada gambar bendera Inggrisnya?

Gak keliatan kalau di foto. Ya sudahlah, toh benderanya black on black. Kebanyakan orang akan menganggap keren, bukan inferior complex.

Langsunglah kukayuh sepeda bekas nan baru itu menuju pasar untuk belanja sayur dan buah-buahan tradisional. Belum setengah jalan, kepala sudah berkunang-kunang.

Biasanya gue gak makan pagi, biasa aja. Biasanya gue gak sepedaan, cuma duduk manis menulis.

Akhirnya berhenti di bubur ayam mengakhiri perjuangan hampir dua minggu tak makan karbo. Oh nikmatnya gula-gula ini mengaliri darah.

Sorenya makan martabak coklat kacang susu.

Piknik Perkotaan

Dua warga Ujung Berung datang berkunjung. Mereka tidur di kamar gue dengan jendela terbuka, menatap lampu-lampu Jakarta.

'Enak juga piknik di perkotaan,' katanya setelah seharian stress melihat riuhnya Jakarta dan padatnya Kalibata City.

Paginya kami jalan-jalan ke taman, dengan seragam lari lengkap dengan botol minuman, tentunya bukan untuk lari. Makan soto mie pedagang dadakan, tak bisa lama-lama karena ditungguin ibu-ibu hamil yang melirik kursi kami. Pindah ke Roti Pisang Bakar yang sudah biasa ditongkrongin ABG, mendiskusikan sejarah yang terus berulang diselingi pisang bakar coklat.

Diskusi dilanjutkan di apartemen ditemani MSG-MSG berplastik.

Lalu mereka pun pulang, kasian kucingnya ditinggal sendirian. Meninggalkan gue kembali menulis sendirian.

Piknik perkotaan telah membawa pencerahan dua skenario, menambah penuh tempat sampah yang selama ini bebas pelastik, dan menyadarkan gue menulis terus bikin gak bisa menulis. Harus banyak piknik.

The Beauty Of Thinking Small

Dia bertanya kalau perang dunia tiga nanti kami milih siapa? Islam atau West? Sejarah terus berulang, semua tanda menunjukkan akan ada perang dunia tiga. Sebagai liberal minority, dia merasa dia lebih baik milih West karena bla bla bla bla...  baca aja link ini, katanya. Link tentang prediksi perang dunia Rusia lawan West.

Seorang teman bilang sebaiknya kita tetap waras dan menjaga populasi orang waras di sekitar kita. Jangan sampai ada yang beda sedikit disikat.

'That reminds me of my mom,' katanya.

Mamanya yang melarang pernikahannya cuma karena agama. Pekerjaannya yang tidak memicu kreativitas, cuma jadi drafter kemauan client. Mimpinya menjadi penulis yang terhalang karena butuh duit.

Lebih seru memikirkan perang dunia tiga, daripada ngobrol dengan mamanya atau mulai menulis.

She sounds just like me.

Banyak yang tidak bisa gue ubah. Yang bisa gue ubah hanya diri gue sendiri.

Ramai Gulita

Kemaren Chica gak punya pembantu, gue sibuk jadi infal. Tiba-tiba hari ini ada empat, kukira aku sudah bebas.

Empat orang clueless yang belum tentu bisa dipercaya ternyata membutuhkan kesabaran lebih, sementara Chica sibuk mengasuh dua baby-nya dengan harapan dua mbak-mbak ini berinisiatif mempelajari caranya mengurus anak. Gue di belakang,  mengatur dua lainnya agar rumah ini tak jadi sarang tikus, kadal, dan biawak seperti sebelumnya.

"Tapi tidurnya di mana?" tanya gue mengingat cuma ada dua tempat tidur di kamar mereka. Memang Chica hanya mengharapkan ada dua orang buat jaga baby, satu lagi pulang pergi aja buat ngurus rumah. Eh taunya papi bawa dua.

"Ya suruh aja berdua-berdua," kata Mak cuek.

Gue pun mengatur kasur tambahan untuk mereka.

Lalu lampu mati.

Jumat, 22 Juli 2016

Di Rumah Aja

"Atid seharian di rumah aja?" tanya Papi.

"Tadi keluar kok meeting," jawab gue berbohong.

Mau bilang 'iya seharian nulis' malas. Sudah delapan tahun gue jadi filmmaker. Tapi Papi belum juga ngeh kalau di rumah seharian bukan berarti gak kerja.

Mau bilang 'papi juga di rumah aja' gak tega. Karena Papi sebenarnya suka sekali jalan-jalan. Karena penyakit-penyakitnya, Papi jadi harus nyesuaikan jadwal Mami dulu biar jalan-jalan ada temannya.

Sebenarnya pengennya memang keluar-keluar sih. Jalan-jalan, bikin film, promo film...

Tapi Paulo Coelho aja diam di rumah 6 bulan nulis sebelum 6 bulan lagi jalan-jalan.

Tapi gue diemnya udah hampir dua tahun.

Berarti jalan-jalannya dua tahun.

Kamis, 21 Juli 2016

Minta Maaf

The verdict from IPT 1965 is in. Genocide!

Indonesia dibantu US, UK, dan Australia terbukti telah melakukan 10 kejahatan perang, salah satunya genocide. Negara gue di mata internasional sekarang sama seperti Rwanda, Kamboja, dan negara-negara menyeramkan lain  di berita TV.

Eh, beda. Kita lebih jugul.

Seorang mantan jendral yang kuasanya seperti presiden langsung membuat pernyataan kalau negara tidak akan meminta maaf sesuai rekomendasi IPT. Janganlah diharap memulai penyelidikan atau ngasih kompensasi, seperti 2 rekomendasi lainnya.

'The Act Of Killing' dan 'The Look Of Silence' aja masih dilarang.

Teringat beberapa moment di 'The Look Of Silence'. Beberapa keluarga pelaku malah menyerang Adi, menambah luka. Tapi ada juga keluarga pelaku yang langsung meminta maaf, membuat Adi lebih lega, dan tidak mengurangi martabat si peminta maaf sedikitpun.

Gue jadi termenung sendiri memikirkan, "Kenapa minta maaf lebih sulit dari memaafkan?"

Tapi lagi-lagi gak bisa mengubah orang lain. Apa yang bisa gue lakukan untuk sedikit mengobati luka kita?

Yang pertama kepikiran adalah roadshow cin(T)a. Jalan-jalan putar film sambil ketemu penonton menjadi healing process tersendiri buat gue dari penyakit kronis self rightousness. People came to me and tell me their personal stories. Mungkin 'Dongeng Bawah Angin' pun harus gue bawa roadshow seperti cin(T)a biar memecahkan diam-diam tanpa maaf ini.

Ironisnya... dulu roadshow cinta dibayari banyak orang, di antaranya si jendral dan om-om gubernur di 'Act Of Killing'.

Selasa, 19 Juli 2016

Mooncup

"Gue beli online dari sini, tapi ntar dikirim ke rumah lo," rayu gue mumpung doi lagi di Amerika.

"Hahaha apaan ini bo?" tanyanya. Walau  lewat Whatsapp, tetap terbayang muka keponya.

"You don't wanna know," jawab gue malas diskusi vagina.

Si Indri gue suruh pesankan dari Bandung, berhubung internet di apartemen gue gak stabil. Gagal mulu autorisasi kartu kredit.

"Atid, ini apa?" tanya Indri juga kepo.

"Liat aja di website ada tutorialnya," jawab gue. "Kita jadi gak perlu buang softex lagi."

Tiap mau buang softex kan drama banget harus dicuci-cuci dulu. Bisa aja gak dicuci tapi horor mengingat di Indonesia  semua sampahnya masih ditumpuk aja di Landfill. 

"Indri boleh mesan juga gak? Ntar Indri cicil dua bulan dua kali bayar."

"Boleh banget. Nanti kalau oke, kita promoin ya."

Biar Indonesia gak jadi lautan softex bekas berdarah-darah.

Senin, 18 Juli 2016

Sendiri

"What happened? tanyanya penasaran, kenapa dia putus dengan The Puma yang membuat dia gak keluar kamar selama summer.

"Life happened," jawabnya santai.

Orang datang dan pergi. Akhirnya kita sendiri.

Awalnya pun kita sendiri.

Life happened. People grew apart. No need drama.

Minggu, 17 Juli 2016

Draft Layak Share

Akhirnya hari yang gue nanti-nanti ini datang juga. Pagi-pagi script 'Kepompong Mak Gondut' sudah memasuki babak draft  siap share sama para pembaca pertamanya, mereka yang mewakili penonton rata-rata yang belum tercemar teori-teori film dan bakal mengomentari script ini dengan jujur tanpa keinginan menjaga perasaan gue.

"Aduh gak sempet, Tid," kata si Bankir Tak Berbudaya sambil sibuk menyuapi dua baby-nya.

"Bentar ya... lagi ribet daftar-daftar nih," kata yang lain tanpa keinginan menjaga perasaan gue.

Akhirnya di-email ke Deden.

Lalu gue lanjut menulis Dongeng Bawah Angin yang ternyata malam ini memasuki babak draft layak share juga. Horeee! Berbulan-bulan buntu, eh dalam sehari jadi dua script film panjang.

Eh... udah pagi ternyata. Dua hari dong.

Udah lama gak begadang.

Udah lama gak excited.

Sabtu, 16 Juli 2016

Papi Nyetrika

"Nomor telepon si Eni berapa, Tid?" tanya Papi. Dia mau membujuk Eni, mbak-nya Baby Shema dan Sergie biar balik mudik lebih cepat dengan iming-iming duit tambahan.

"Uang kan bisa dicari. Kasihan si Chica ngurus bayi dua. Berat itu," kata Papi.
Tapi jangan bilang-bilang Chica.

Bukannya balik lebih cepat, Eni malah gak akan balik lagi. Papi datang ke Jakarta dengan niat bantu jaga cucu sampai datang suster baru.

Mami juga.

Di hari ke lima, Mak Gondut udah ngeluyur ke mall.  Papi tinggal di rumah, nyetrika baju cucu sementara mamak bapaknya menemani cucu kembar yang merewel sejak mbaknya gak pulang-pulang. Selesai nyetrika, Papi menjemur cucian batch baru dari mesin cuci yang memanggil-manggil tanda selesai bekerja.

"Tid, bantu Papi pindahin cucian ya. Kayanya mau ujan."

Sejak jantungnya di-ring, Papi gak boleh lagi ngangkat barang berat. Kalau tidak terpaksa, pasti Papi gak akan minta bantuan. Gue yang sedang menguras dispenser langsung mindahin jemuran.

"Tid, sibuk gak? Mau nganter Papi beli aqua sebentar?" tanya Papi. Sejak retina matanya dioperasi, Papi gak bisa nyetir lagi.

Kami pun pergi membawa galon-galon kosong untuk ditukar dengan yang berisi. Lalu mampir di tukang kunci, beli kunci baru biar kunci si Eni gak bisa dipakai lagi. Tak lupa beli makanan buat mamak bapak si Kembar.

Sampai di rumah, Papi langsung memasang kunci baru, mengambil jemuran yang sudah kering, lalu menyetrika lagi sampai si Kembar keluar, siap dikasih makan malam.

Selesai makan malam, Papi menggendong-gendong si Kembar. Yang satu digendong, yang lain mengeong iri. Terpaksa Papi gendong mereka bergantian sampai tertidur.

Malam, Mak Gondut pulang membawa Iphone baru.

"Janganlah kau taro foto Papi setrika di Facebook. Kan malu nanti Papi. Masa laki-laki nyetrika?" kata Mak Gondut sewot melihat gue ngepost foto Papi.

"Ah biasa aku dari kecil ngerjain kerjaan rumah," kata Papi.

Gue melihat Facebook.  228 likes. Lebih banyak dari likes foto profile pic gue  mendelik galak yang cuma seratusan likes.

So proud to be his daughter.


Jumat, 15 Juli 2016

Sapi Merindu

Seekor Tikus datang bertandang. Sapi Rindu buntut bergoyang.

Sapi merapat minta disayang. Tikus kepanasan, malah ditendang.

Sapi menjauh, menangis bombay.  Tikus tahu, langsung disangray.

Sapi sapi kok sensi kali. Udah sensi diam sendiri.

Tikus tikus kok galak kali. Walau galak, cantik sekali.

Kamis, 14 Juli 2016

Kurang Nemplok

"Waktu bayi Atid baik, gak pernah ngerepotin," kata Papi mulai cranky mengawasi Shema dan Sergie yang lebih memilih meraba-raba engsel pintu extra debu daripada Mothercare mereka.

Dulu gue bisa dibiarkan main sendiri, gak perlu diekorin seperti Shema dan Sergie. Gak suka nangis-nangis. Gak suka rewel kalau disuapin. Gak suka lasak ke sana kemari meraba-raba yang tak boleh diraba. Gak pernah jatuh-jatuh. Jalan selalu hati-hati.

Mungkin gue bukan baik, hanya malas gerak. Mungkin mamak bapaknya udah sibuk dengan dua balita lain, gue jadi malas mengeong. Gak guna. Lebih baik main sendiri. Mungkin gue emang terlahir baik, makanya dicuekin dan mereka ngurus yang lain yang lebih ngerepotin.

Pantas sekarang sukanya nemplok. Dulu kurang.

Rabu, 13 Juli 2016

Puji Diri

"Semua anak Mama, memuji nama Mama, Glory glory Halemama...," nyanyi Chica narsis sambil memandikan Baby Shema.

Gue tertawa.

"Ini semuanya maunya ama Opungnya aja ya," kata Papi narsis sambil mengambil Baby Sergie yang menangis dari gendongan gue.

Gue sebel.

Puji diri versi Chica menyenangkan karena she didn't mean it. Puji diri versi Papi menyebalkan karena he did mean it, and in the process he implies that other people (me) is worse than him.

Kenapa kalau sensi gue jadi pake bahasa Inggris?

Tapi mungkin Papi memuji diri karena anak-anaknya kurang memuji. Kalau Chica kan selalu dibanjiri dengan tatapan kagum baby-baby yang belum tahu dunia ini. Anak Papi udah tahu dunia, udah tahu ada yang lebih keren dari bapaknya.

So?

Gue harus lebih banyak memuji Papi.

Selasa, 12 Juli 2016

Rewrite

Sebelum mulai menulis, gue kira film ini adalah film paling keren sedunia. Lebih keren dari Labirinnya Del Toro. Setelah sejam menulis, gue mulai sadar film ini dangkal sekali.  Setelah dua jam, gue mulai gak pede. Siapa yang mau nonton?

Tapi kita tetap menulis, dan mengedit  dan mengedit, membuang all the keren darlings.

What is left is not that keren. Tapi penting untuk gue.

Senin, 11 Juli 2016

Hak Mamak-Mamak

Lima hari ini gue menjadi nanny Shema dan Sergie, sementara Indonesia Mudik. Rasanya seperti tanggung jawab tanpa henti, bahkan kebawa sampai mimpi. Jangan sampai Sergie kepentok. Shema kenapa gak mau makan? Mau minum? Digendong?

Di hari ke lima, gue pulang ke apartemen dengan merdeka. Tidur hari ini terasa lebih bahagia. Sementara Chica tetap di sana, seumur hidup memastikan anaknya baik-baik saja tanpa ada tempat untuk tidur merdeka.

Setelah lima hari ngerasain ngurus anak, gua makin yakin kalau mamak-mamak itu memang berhak rese. Jangankan mereka mau kerja... mau foya-foya pun seharusnya kita dukung.

"Tid, ipod mami kok baterenya mati-mati?" kata Mak Gondut.

"Ntar kita beli baru ya."

Minggu, 10 Juli 2016

Women Directors

"I don't like directors. They always talk about their works," kata seorang sutradara cewe di sela-sela chinese food 10 dollaran.

Bapaknya sutradara. Mamaknya sutradara. Pacar mamaknya pun sepertinya orang film. Mereka semua ada di sini, di Hawaii, walaupun bukan buat liburan keluarga. Buat festival film.

Tujuh tahun kemudian, gue melihat dia lagi. Kali ini di Youtube. Di antara 9 filmmaker cewe lain yang dikasih duit oleh sebuah majalah untuk membuat dokumenter pendek tentang women of the year pilihan majalah mereka. Kali ini dia mendengarkan sutradara lain dengan penuh perhatian sampai giliran dia bicara tentang her woman of the year, seorang billionaire cewe muda yang sangat detail dibandingkan dengan semua orang yang pernah dia temui sebelumnya.

Gue mencoba menerka-nerka kenapa dia berubah. Mungkin tujuh tahun telah membuat dia lebih mengerti pentingnya basa-basi, bahkan sekarang dia full make up dengan rambut di-blow sempurna. Mungkin talk kali ini buat dia lebih menarik karena semua background-nya bukan film. Ada yang penari, actress, fotografer, psychologist/ theologist... hanya dia yang film. Mungkin kali ini sutradaranya cewe semua.

"How is it different to be a woman director in Hollywood?"

"You bring not only a different perspective to the table, but a whole different way of work. We were talking about how she (the billionaire) was involved in all aspects of her business. A man would never do that," kata seorang sutradara lain.

She worked with Steve Jobs before.


Tukang Gigit Yang Sensitif

Baby Sergie di kasur, diam-diam mengulat.
Baby Shema di kasur, diam-diam merayap.

Hap.
Kaki Sergie dilahap.

Baby Sergie mengeong, meraung kesakitan.
Baby Shema celingak celinguk, berseri-seri.
Gue  tertawa-tawa.

Hap.
Jari gue pun dilahap.

Gue menarik tangan kesakitan, mungkin terlihat marah.
Baby Shema menangis.

"Adu... maap ya, Shema... Icil gak marah kok. Yuk gigit lagi yuk...," kata gue sambil menawarkan kelima jari.

Shema menjauh, nemplok ke mamaknya. Gak mau lagi gigit-gigit.

Lima menit.

Bersih Gudang Chica

Dari hasil bersih-bersih rumah Chica, gue berhasil menjaring 9 blouse, 5 kaos, 2 outerwear, 2 sepatu, 3 set kartu, 1 modem, dan 1 selimut.  Si Eni (atau gantinya berhubung doi gak balik lagi) dapat dua karung pakaian. Pak Brewok tukang sampah kompleks dapat TV, kipas angin, rak piring, rak sepatu, dan berkarung-karung aneka barang yang selama ini numpuk di ruang belakang.

"Nah lo liat kan betapa banyaknya sampah yang lo hasilkan? Abis ini kalau beli barang harus lebih conscious deh, soalnya ini sampah-sampah di negara kita belum diolah. Dibiarin aja numpuk di Landfill."

Chica mengangguk-angguk bagaikan setuju.

"Atau at least kalau beli barang, pastiin yang kualitasnya bagus doang biar tahan lama. Gak bentar-bentar buang."

Chica kembali mengangguk-ngangguk sambil bertanya...

"Jadi kapan kita ke Ikea?"

Jamur @ Steak House

Karena gue berhasil membereskan gudang rumah Chica dari sampah, tikus, dan kadal, gue diajak Bang Gigit makan di Steak House yang satu porsinya 400 ribu. Gue hanya bisa makan jamur 68 ribu, sementara Chica mesen burger 250 ribu.

Ternyata sapi mahal sekali.

Dulu pernah nemenin Chica makan di steak house yang lebih merakyat, harga satu porsinya 200 ribu. Gue makan potato wedges, 20 ribu saja.

Kenapa daging sapi mahal sekali? Wajar mengingat luas lahan dan banyaknya air dan pangan yang dikorbankan buat menggemukkan satu sapi saja. Belum lagi kalau daerahnya bukan padang luas, entah berapa banyak hutan harus ditebang biar sapi-sapi bisa berkeliaran sempurna.

Kenapa kita masih makan sapi?

Chica memandang gue dengan tatapan 'dasar sutradara ada gilak-gilaknya' sambil kembali menikmati burger 250 ribunya. Gue membalas dengan tatapan 'dasar bankir tak berbudaya' sambil menikmati jamur garlic dan menyerempet ke mac and cheese Chica.

Keju kan hasil sapi juga.

Eni Tak Pulang Lagi

Diiringi bunyi petir palsu dari youtube 'lullaby with rain drops', kabar itu datang. Si Eni, mbaknya Shema dan Sergie tak pulang lagi.

Mau kawin, katanya. Ke Batam. Gak bisa ngabarin sendiri. HP-nya yang masih nyicil ke Bang Gigit kecemplung di kali. Disampaikanlah lewat adiknya yang kerja di rumah Papi.

Mama Singa mengaum, merasa dikhianati.

Sebentar.

Di petir berikutnya, Mama Singa sudah sibuk memikirkan nasib anaknya. Haruskah dia resign? Bisakah dia nyari nanny lain yang bisa dipercaya? Bisakah dia mengurusi dua anaknya sendiri?

Ternyata Chica tak sendiri. Banyak nanny lain di rumah lain yang juga tak pulang lagi. Industri nanny memang menggiurkan, karena new parents yang clueless adalah target market yang mau mengeluarkan uang berapa pun untuk anaknya.

Sementara di Finlandia sana, urusan nanny menjadi urusan negara. Karena orang tua dan anaknya adalah aset negara. Orang tua usia produktif penting bagi produktivitas negara. Anak adalah masa depan negara, sebaiknya di siang hari diurus oleh tenaga profesional yang jelas lebih ahli dari orang tuanya sendiri dan lebih terpercaya karena dijamin negara. Dibuatlah sebuah sistem daycare yang affordable.

Kembali kemari, Chica masih pusing resign atau tidak. Bang Gigit gak mau Chica resign, takut Chica jadi bitchy. Sementara para menteri sibuk meributkan reklamasi yang konon akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita.

Toh manusia kita banyak.

Rabu, 06 Juli 2016

Ngejodohin Deden

"Bukan ngejodohin. Ngenalin!" koreksi Mak Gondut.

Gue dilarang pulang ke Jakarta sampai hari ini biar bisa ikut ketemu sama keluarga cewe Batak berikutnya yang mau dia jodohin eh kenalin. Bukan buat gue, sayangnya. Buat Deden. Kalau gak ada gue, Deden gak mau ikut.

Kukira udah bebas aku dari perjodohan.

"Di Kedai Mandiri mau?" tanya gue mencoba mencari alternatif yang lebih murah.

"Di Hummingbird lah," sahut Mak Gondut gak mau kalah gaya.

"Asal kau siap bayar," kata Papi becut, ingat dia yang selalu jadi korban pembayaran.

Kali ini targetnya cantik. 27. Pendiam, tapi abangnya nggak. Abangnya bercerita tentang betapa seni rupa Indonesia terlalu elit dan betapa dia kecewa fashion Indonesia tidak punya identitas. Tapi sepertinya enggan gue sarankan menelusuri roots dan sejarahnya. Lebih tertarik urban, katanya.

Target hanya diam memperhatikan, sambil sesekali  tersenyum ramah tiap mata gue ketemu matanya sampai pesanannya datang. Sebuah steak ayam porsi besar bersama kentang-kentang.

"Makannya banyak, tapi langsing ya. Si Atid makannya secuil-secuil tapi tetap gendut," kata Papi disambut delikan sebal gue.

Dia hanya tersenyum sopan, macam bukan cewe Batak.

"Jadi gimana, Den?" tuntut Mak Gondut begitu sampai di rumah.

"Masa baru ketemu sekali udah mami tanya gimana?" sahut Deden judes, membuat Mak Gondut kembali ke sofanya. Nyari kutu anjing, sambil kupingnya tetap dipasang mendengarkan gue dan Deden ngobrol.

"Tapi pasti di rumah, itu anak dominan. Mamak bapaknya nurut ama dia," kata Deden menganalisa hati-hati. Mungkin takut terjebak sama cewe-cewe sejenis Mak Gondut. Mungkin malah nyari.

Mak memites kutu anjing sambil tersenyum.

Selasa, 05 Juli 2016

Move To Trash

Seharian menyortir foto-foto lama, gue baru sadar gue menyia-nyiakan banyak waktu.

Banyak foto yang gak meninggalkan emosi. Misalnya foto diri di negara-negara eksotis dengan muka berusaha eksis. Foto Group dengan pose standar dan senyum kelamaan nunggu click. Yang gue keep malah foto-foto candid dengan emosi seadanya, gak penting tempatnya di mana.

Sisanya move to trash.

Gue juga baru sadar ekspresi gue paling truthful itu kalau sedang memperhatikan. Terlalu banyak senyum atau tertawa demi keriaan.

Move to trash.

Dan ternyata dulu gue gak jelek-jelek amat. Berat gue 78, saat itu rasanya gendut. Kalau gue ngeliat sekarang, I really should have no reason to be insecure. Ada banyak foto-foto gue cakep di periode tanam bulu mata yang cukup girly jadi umpan menangkap suami walaupun senyumnya palsu.

Move to trash.

So many time wasted for making trash. Sekarang gue sedikit lebih paham apa yang gak mau gue kerjakan di sisa hidup gue.

Langsung memperhatikan.

Senin, 04 Juli 2016

Banyak-banyaklah Belanja Agar Ekonomi Terus Bertumbuh

Itulah salah satu judul artikel tabloid anak koran terbesar di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I tahun 2016 hanya 5 persenan karena pemerintah berhemat. Jadi diharapkan masyarakatlah yang belanja lebih banyak biar pertumbuhan ekonomi kita sama dengan tahun lalu.

Apa artinya pertumbuhan ekonomi 5% itu?

Kalau saja tak kubaca itu buku 'Capital In The 21st Century', gak ngertilah aku kalau pertumbuhan 5% itu udah gede banget. Cuma terjadi di saat-saat negara lagi membangun. Sekarang pun gak ngerti-ngerti amat sih.

Hanya bayangin aja kalau negara ini rumah. Pas kita bangun rumah, tentu  banyak sekali perubahan.  Otomatis belanja kita gede. Kalau diindeks, pasti angkanya gede.

Tapi setelah rumahnya jadi, kita butuh apa lagi? Ya paling perabot,  dan printilan-printilan, makanan, hiburan... Belanja kita menurun. Indeks juga turun. Bukan berarti kita gak sejahtera.

Bayangin kalau rumah kita udah jadi dan  belanja kita tetap sebesar ketika kita bangun rumah? Mau jadi apa rumah kita? Overfloaded ama barang yang gak kita perlu.

Di saat kita sudah menyaksikan mas-mas ambisius di Wallstreet hanya bikin negara bangkrut, sementara di Canada yang bankir-bankirnya cuma ngurusin pensiun dan  hidup secukupnya malah baik-baik aja... kok bisa ya ada yang masih menyarankan kita mengikuti gaya hidup ekonomi yang jelas-jelas udah gagal? Kenapa kita masih merasa ekonomi yang cuma bisa jalan kalau kita belanja belanja belanja itu satu-satunya gaya hidup?  

I have enough.