Rabu, 31 Agustus 2016

Lanjut Bekerja

Atid, maaf... aku kayanya mundur dari tim kerja ini, silakan lanjut aja, kl perlu masukan, dg senang hati silakan WA/ tel atau ketemuan, begitu jg dg tim art. Aku merasa ga manfaat utk berada dlm iklim kerja spt ini, yg harusnya menyenangkan, membuka kemungkinan baru dan saling dukung spt rencana awal...memang butuh waktu untuk penyesuaian cara kerja dan prl dialokasikan waktunya, atau dicari solusi terbaiknya...Kl film ini low budget dan tak menyejahterakan, minimal kita bisa dapatkan kebersamaankebahagiaan kerja...

....anyway... this is not the way i work with people and it will never be...

Whatsapp dia membuat gue bertanya-tanya, ngapain gue ngerjain film ini? Agar orang mengkonsumsi dengan lebih bijak? Agar masuk festival? Agar gue lebih eksis? Simply gue suka membuat diri sendiri menderita?

Gue melihat kanan kiri. Kru yang tersisa masih mendiskusikan bagaimana membuat film ini terwujud padahal sudah sejam sejak meeting ini dibubarkan. Mungkin mereka juga deg-degan karena shooting tinggal 9 hari lagi dan banyak sekali hal yang masih harus direncanakan.

This is the way I work with my people. Seringkali banyak tekanan, tapi gue percaya mereka.

Lanjut bekerja.

Selasa, 30 Agustus 2016

Tiga Badai

Tiga anak kecil tiba-tiba muncul di kantor dan naik menyerbu kamar baby. Ternyata anak-anak teman SMA Chica yang tinggal di Qatar dan hendak bertemu baby-baby tapi Chica sibuk kerja.

Setelah tersadar dari shock gue, gue pun naik ke atas. Biola gue sudah dijadikan gitar. Sofa sudah dijadikan trampolin. Dan baby-baby sudah dijadikan objek selfie.

"I want the fat one," kata si anak sulung hendak gantian gendong Shema.

"Bukan fat! Cuma lebih besar," kata mamaknya berusaha politically correct.

Gue meratakan kaos gue, malas ikutan dituduh fat. Malas di-politically correctkan.

Lalu hujan turun. Si anak bungsu menjerit-jerit.

"Maklum anak gurun. Gak pernah liat hujan," kata mamaknya sambil memboyong mereka pergi.

Badai pun berlalu. Shema dan Sergie kembali mengeong tenang di kamarnya yang damai diiringi bunyi hujan dan petir. Gue mengamati mereka dan bertanya-tanya berapa lama lagi damai ini akan berlanjut sebelum duo baby ini pun berubah menjadi badai.

Sembunyiin biola.

Trotoar

Jalan pagi bersama Kubus. Ternyata trotoar sekeliling jalan-jalan rumah gua sudah bagus.

Bagus?

Lebih tepatnya sudah ada. Dan itu cukup bagus buat gua yang tumbuh tanpa trotoar dan ekor terancam ketoel motor. Sepertinya tidak 'standar internasional' karena gak ada bola beton besar mengawalnya seperti anjuran panca trotoar.  Tapi bagusan begini. Pohon-pohon tua tidak ditebang dan dibiarkan mengawal kami.

Kubus berak meninggalkan jejak. Mau ditinggalkan begitu saja oleh Mak. Terpaksa gue yang berjongkok menghalau berak dengan daun-daun kering.

Lalu kami melanjutkan jalan pagi diselingi gosip Aa Gatot yang menggantikan Jessica Mirna yang selama ini menghiasi hari Mak Gondut. Gue mengangguk-angguk saja sambil pandangan mengamati bekas SMA-ku dan bekas SMP-ku dan mengira-ngira apa yang sama antara trotoar ini dan kedua sekolah ini.

Rigid. Tak peka warna. Dihiasi gambar narsis pemimpinnya.

Pemimpin kami pun lulusan SMP dan SMA ini. Mungkin trotoar ini memang cerminan hasil pendidikan kita selama ini.

Kubus berak lagi.

Minggu, 28 Agustus 2016

Latihan Tanpa Makanan

Jam 1.

"Gak ada yang mau cemilan? Gorengan? Martabak?" tanya gue.

Tidak ada yang menyambut. Beginilah deritanya kalau bekerja dengan penari. Tidak ada gula-gula yang bisa melintas menggoda konsentrasi mereka.

Jam 4.

"Gak ada yang mau makan?"

"Kalau udah selesai, gue mau pulang aja."

Yang lain pun begitu.

Dan begitulah hari itu latihan ditutup tanpa diselingi penganan apa pun.

"Harusnya lo bersyukur punya cast crew gak suka makan," katanya.

Gue mengangguk terangguk. Seharusnya memang begitu. Fabulously Healthy Atid yang sudah direncanakan semenjak Repelita masih kita anggap cita-cita akhirnya akan terwujud.

Ajak Chica makan.

Sabtu, 27 Agustus 2016

Apa Susahnya Hidup Susah

"Gara-gara lo ganti nama jadi Sammaria Simanjuntak sih," kata Sally melihat angka 13 berderet memenuhi hidup gue sampai menjelang forty nanti.

Sudah beberapa kali Sally meramal gue dengan apps numerologi gratisannya. Sudah beberapa kali gue mendengar angka 13 akan menghadang. Ternyata gue masih saja gentar.

Padahal angka 13 tidak cuma hidup susah. Banyak pemimpin besar dan seniman hebat yang malah berkarya ketika angka mereka tiga belas. Harusnya gue bersyukur. Apa susahnya sih hidup susah?

Tapi mendengar Hegar jalan hidupnya penuh  angka delapan, artinya kemakmuran, gue mikir juga. Tidak usah pakai numerologi pun sebenarnya gue sudah tahu Hegar lebih makmur. Hegar lebih banyak dipanggil produser Jakarta. Mobilnya sudah Nissan Livina. Dan baru-baru ini Hegar gesit merambah dunia potong ayam.

Bu Marintan jalan hidupnya penuh angka sembilan, angka spiritual. Makanya dia selalu intuitif dan dekat dengan alam.

Awal jalan hidupnya damai, tidak ada konflik. Dia suka mengajar dan yang diajar suka diajar.

Hanya gue yang dipenuhi angka 13. Gue melanjutkan hunting konsumerisme Paris Van Java sambil bertanya-tanya  andai gue memilih jalan berbeda. Gue pasti sedang belanja H&M dan Zara tanpa berpikir duit dan dampaknya bagi lingkungan.

"Emang mereka kenapa ama lingkungan?" tanya Hegar.

Gue memilih menjawab seadanya dan membiarkan dia di jalan delapannya. Lanjut meminta Hegar merekam tulisan-tulisan  'Better Cotton, Better Fashion'  yang membuat mereka terkesan peduli.

"Kalau lo pakai nama asli, angka lo 5. Jadi jalan-jalan," kata Sally menyambut kami yang kembali karena kehabisan batre.

Gue terharu. Sally menghitung nama asli pasti manual. Nama gue terlalu panjang untuk dihitung gratisan.

"Jadi hidup lo kombinasi keduanya lah. Jalan-jalan dan hidup susah."

Sounds like a filmmaker.

Film & Performance Art

"Pertunjukan itu hasilnya abstrak, tapi prosesnya semua real, ada di panggung. Kalau bikin film itu hasilnya real, tapi prosesnya abstrak dan penuh rekayasa," kata seorang artistic director panggung yang baru pertama kali membuat film.

Coba-coba ditontonnya Behind The Scene 'Alice'. Terkaget-kagetlah dia melihat semuanya hijau. Bahkan baju aktornya aja hijau.

"Aktor film berarti harus jago pisan ya?" katanya membayangkan harus beracting dikelilingi hijau. Belum lagi urutan scene yang loncat-loncat membuat aktor harus siap ikut meloncat dari satu emosi ke emosi lain. Beda dengan pertunjukan yang aktornya bisa membangun emosi dari awal sampai akhir.

"Tapi kalau di film, aktornya banyak bala bantuan untuk membangun emosi. Bisa dengan editing, lighting, framing, sound... banyaklah. Kalau aktor panggung cuma punya badannya sendiri dan gak bisa salah. Makanya mungkin aktor film banyak yang manja ya?" jawab gue.

Makanya dulu seorang aktor bilang dia lebih suka teater.

"Theater is actor's art. Film is director's art," katanya.

Makanya teater lebih horizontal. Kalau film lebih vertikal. Semua tergantung sutradara.

Tapi melihat cara mereka bekerja, sebenarnya banyak yang bisa sutradara pelajari dari mereka. Berembuk bersama-sama di awal sepertinya bisa melahirkan banyak inovasi, daripada mengharapkan kejeniusan seorang yang borderline egomaniac.  Tapi berembuk ini butuh waktu lebih lama dan... dana.

Semoga waktu dan uang lebih bersahabat.

Floating/ Swimming

Apa-apa gak ya kalau gue gak bikin film lagi?

Kata link artikel facebook dari seorang penulis bijak yang kayanya namanya seharusnya gua tahu tapi nggak, tujuan hidup yang terlalu jelas itu malah akan menjauhkan gue dari diri gue sendiri. Selama ini kupikir hidup itu harus ada tujuan jelas biar tahu mau berenang ke mana. Kalau gak, kita hanya floating around ngabisin waktu yang gak banyak ini.

"Better floating around than swimming aimlessly," kira-kira begitu katanya.

Setelah mencoba membuat film dengan adil dan sepertinya tidak mungkin di industri ini, kupikir-pikir ada benarnya juga kawan ini.

Kukira tujuan hidupku mau jadi sutradara, atau mau bikin film. Tapi tujuan ini malah membuat gue merubah diri lebih mirip sutradara-sutradara lain. Gue berpakaian lebih mereka. Gue nonton film yang mereka nonton. Gue gak lagi mengerjakan apa yang gue suka dan memakai apa yang gue suka. Yang gue paling gak suka, gue mulai percaya kalau gak ada yang adil di dunia ini.

Saran doi gimana kalau gue ngejarnya way of life, bukan goal of life. Misalnya gue ingin jadi manusia yang lebih adil. Ya gue adillah dalam hidup sehari-hari termasuk  membuat film. Jadi gue gak akan terlalu stres ketika dihadapkan pada pilihan bikin film yang gak adil karena tujuan gue bukan membuat film. Kalau my way of life membawa gue membuat film, syukur... kalau nggak, ya cari media lain.

Hari gini kok rigid.

Lebih nerimo, lebih legowo, dan menghindarkan gue dari menjadi orang yang gue tak cintai.

Jadi pengen bikin something.

Mengeong Rindu

Semakin sering ketemu, semakin rindu.
Semakin rindu, semakin gampang ngeong.

Ya udah gak usah ketemu.

Semakin gak ketemu, semakin rindu.
Semakin rindu, semakin gampang ngeong.

Ya udah ketemu.

Rindu lagi, ngeong lagi.

Ya udah nerimo.
Ngeong-ngeong basamo.

Tiga Mamak

"Lu harus tuh urus sebelum 30 September. Kalau nggak, naik lagi jadi 3%. Kalau gue kemaren cuma bayar 0,5%. Bisa dicicil lagi tiga kali," kata Mamak 1.

Mamak 2 dan Mamak 3 hanya tertawa-tawa tak gentar. Yang satu istri pensiunan polisi. Yang satu istri pensiunan tentara. Seumur hidup mereka tahunya pajak bisa diatur.

Mamak 1 Cina, janda seorang pengusaha Surabaya.

"Kalau nanti mau jual rumah dan kita belum lapor, bisa-bisa kena penalti 200%," kata Mamak 1 menambahkan. Mamak 2 dan Mamak 3 tetap tertawa-tawa.

Mungkin mereka kira ini masih zaman Suharto.

Gue hanya menyetir tanpa ikut berkomentar. Malam ini premiere Tiga Perawan, dan gue ditugasi mengawal Tiga Mamak ini sementara anaknya mau red carpetan. Tempatnya di gedung orang Golkar. Sponsornya pun group orang Golkar.

Mungkin memang kita masih di zaman Suharto.

"Lu yang urusin lah, Tid. Mamah-mamah mah biasanya cuek ama yang beginian," kata Mamak 1 cemas. Gue mengangguk mengiyakan. Walau bukan mamah-mamah, gue pun cuek tax amnesty.

"Ah itu tax amnesty salah sasaran. Masa kita yang kena? Yang gede-gede itulah dikejar," kata Mamak 3 sekilas sebelum melihat Titik Puspa lewat. Langsung ngantri minta poto.

Mamak 2 dengan Tara Basro walaupun gak tahu itu siapa. Anaknya yang minta.

Premiere malam ini lebih meriah dari film-film lainnya. Ada penari, band, dan karpet merah. Mungkin karena memang budget-nya lebih besar dari film biasanya, walau tadi di panggung si Produser bilang gak ada duit promo.

Mungkin dengan tax amnesty ini, akan  banyak premiere karpet merah di film Indonesia. Mungkin gak ada pengaruhnya karena salah sasaran. Mungkin gak ada pengaruhnya karena duit film justru duit gak kena sasaran.

"Tid, fotoin mami dong!" kata Mamak 3 yang sudah tiba gilirannya berfoto dengan Titik Puspa.

Klik.

Selasa, 23 Agustus 2016

Sabar

Apa yang paling diperlukan untuk selamat menjadi storyteller di luar jalur mainstream?

Sabar.

Ketika dapat pinjaman dua kamera dan dua-duanya baterainya  drop.

Ketika art team baru yang sudah di set 3 jam yang lalu belum masang green screen.

Ketika studio sejuta 12 jam ini gak punya speaker dan masih dipenuhi lampu-lampu yang punya.

Ketika tim produksi gak mau meminjamkan orangnya karena itu bukan kerjaan dia. Dan memang bukan kerjaan dia.

Ketika gue sadar untunglah ini cuma test cam. Bukan shooting beneran.

Tapi orang-orang inilah yang nanti akan shooting beneran bareng gue.

Sembilan tahun yang lalu, waktu bikin cin(T)a, kami memulai dengan semuanya orang baru. Tapi sekarang kesulitan filmnya meningkat. Orang-orang baru jadi keteteran.

Bisa saja sih sabar kalau waktunya lama. Bisakah gue sabar kalau shootingnya dua minggu lagi? Apa yang penting buat gue?

Film dan pembuatannya adil.

Senin, 22 Agustus 2016

Para Penari Istana

Ada yang pagi-pagi sudah mendatangi tetangganya.

"Saya mau nari di sini. Sitayana, bukan Ramayana," katanya. Lalu si tetangga dijadikan api biru yang mengelilingi dia. Dia tentunya jadi Sitayana.

"Padahal dia sudah enam puluhan dan tak kecil lagi," kata salah satu muridnya. Tapi katanya nanti di Bali yang jadi Sita muridnya.

Ternyata dia lagi.

Pernah dia menari bersama segerombolan penari Jawa. Gantian. Saat Penari-Penari Jawa mentas, dia berisik di pinggir panggung memberi instruksi kepada murid-muridnya. Saat mereka manggung, yang Jawa duduk tak bergeming sedikit pun di pinggir panggung.

Saat pengajuan dananya ditolak oleh Departemen, dia berteriak-teriak mengamuk sampai ke lift.

Ada lagi penari lain yang sudah dijanjikan 800 juta oleh departemen untuk pagelaran 70 tahunnya setelah mengabdi bertahun-tahun menjadi penari istana. Tiba-tiba si Bapak berkelat-kelit tak jadi ngasih padahal semua persiapan sudah dimulai.

Dia hanya diam, mengambil semua berkasnya, dan kembali ke rumahnya tanpa dendam. Menghitung ulang semua dengan dana seadanya.

Tapi dari wajahnya yang diam, kita tahu dia menekan kemarahan.

Ada lagi yang memang tulus ikhlas dari sananya. Seperti si penari Jawa yang hanya diam di pinggir panggung tanpa bergeming.

Penari... penari... ceritamu banyak sekali.

Ingin kuberi kalian panggung.

Tentang Yang Lain

"Kita bertiga pernah ngobrol... Seandainya Sammaria bikin film yang tidak tentang dirinya sendiri... Lebih tentang karakter urban Batak sekitarnya, pasti filmnya lebih bagus," kata seorang aktivis film menceritakan diskusinya dengan dua pengamat/pembuat lain.

Gue hanya menjawab dalam hati. Seandainya Demi Ucok bukan tentang dirinya sendiri dan mamaknya sendiri, filmnya gak akan jadi. Terlalu banyak bensin dibutuhkan untuk menyelesaikan Demi Ucok. Butuh alasan yang sangat sangat personal sampai film tanpa bintang tanpa CGI selesai.

Dan tayang.

Lalu dia menceritakan tentang film-film yang ingin dia bikin. Tentang karakter-karakter terpinggirkan di Jakarta. Yang bukan dirinya sendiri. Yang belum jadi-jadi.

Apapun cerita gue, semoga gue bisa bikin film jujur. Bukan jujur honest, tapi truthful.

Sabtu, 20 Agustus 2016

Pilih-Pilih

Seorang ibu beranak tiga membuat sanggar seni untuk anak-anak. Di saat anak-anak lain sibuk ber-Frozen dan ber-Justin Bieber, anak-anaknya bermain gendang afrika dan membuat lagu tentang pergi ke gunung.

Brand pun mulai berdatangan mengajak mereka pentas untuk acara promo mereka. Keuangan sanggar mulai membaik.

Tapi Brand mengatur kostum, mengatur waktu, mengatur lagu mereka agar lebih sesuai image brand.

"Tapi yang bikin gue akhirnya gak terima adalah ketika mereka memilih pemeran," katanya menyembunyikan sedih dan amarah di balik ketenangannya.

Gak mau yang gendut. Gak mau yang kaca mata. Bagusan yang cantik. Mending yang udah terkenal.

"Ini kan anak-anak... Kalau dari kecil sudah kita bawa masuk ke dunia dengan pemikiran seperti itu,  buruk untuk masa depan mereka," katanya.

Akhirnya dia memilih jalan yang berbeda. Setelah setahun bekerja sama dengan sebuah badan  pendana untuk membuat teater musikal anak, mereka pun percaya padanya. Cast menjadi otoritas dia tanpa boleh diganggu gugat.

Dia pun memakai si gendut, si kacamata, si tak cantik, dan semua yang tak  dipandang industri hiburan yang semakin hari semakin membuat anak-anak kita cita-citanya menjadi cantik dan terkenal.

Sebagai anak gendut berkacamata tak cantik dan tak terkenal, gue bersyukur ada di sini.

Jujur/ Syukur

Seorang Ibu mengajak dua pengasuh baby-nya makan-makan di restoran.

"Gimana basonya?"

"Enak banget, Bu," kata Yang Tua.

"Biasa aja," kata Yang Muda.

Mungkin yang muda kurang bersyukur. Mungkin simply lebih jujur.

Guess siapa yang akan diajak next time si Ibu jalan-jalan.

Kamis, 18 Agustus 2016

Bangga

Sepasang atlet bulu tangkis berhasil memenangkan medali emas sebuah ajang olah raga yang seringkali jadi ajang konsumerisme berbulu heroisme. Gue berusaha tidak ikut-ikutan jadi anak dunia ke tiga yang silau dengan kata dunia, tapi melihat mereka berdua menggigit emas dengan jahil mau tak mau terharu juga.

Seperti kata artikel di facebook seorang teman bermata sipit, mereka adalah paduan yang pas untuk membungkam semua kata-kata pedih yang menghina perbedaan. Yang satu Islam, satu Kristen. Satu cowo, satu cewe. Satu pribumi, satu Cina.

Ternyata shuttle cock tidak mengenal ras, katanya.

Melihat rambut salah satu atlit, gue menulis komen, "Curiga shuttlecock tidak mengenal orientasi seksual."

Semenit kemudian, gue delete.

Curiga kita masih di tahap memahami perbedaan ras. Gak usah curi spotlight.

Rabu, 17 Agustus 2016

Merdeka

Di sela-sela roti Nutella, sebuah lagu berkumandang khidmat dari siaran TV One.

Ini lagu apa? Sepertinya lagu kebangsaan Indonesia. Dimainkan dengan drum band, orchestra ala Eropa, dan oleh pemuda pemudi berseragam macam tentara Eropa abad pertengahan. Tapi indah dan menggugah rasa bangga jadi orang Indonesia.

Oh hari ini hari kemerdekaan kita.

Gue tidak lagi mengunyah Nutella dan mulai mendengarkan TV One. Sudah sering gue mendengarkan lagu-lagu ini. Hanya biasanya dengan lirik-lirik patriotis yang untuk zaman sekarang malah mengingatkan pada pemuda-pemuda asal teriak NKRI harga mati.

Tapi jika dilantunkan tanpa lirik, malah membawa gue membayangkan zaman dahulu kala. Ketika Indonesia masih jajahan orang. Dan pemuda-pemudinya merindukan kemerdekaan. Dan slogan-slogan kebangsaan mungkin bukan hanya di mulut saja, memang mengalir ke jiwa raga mereka, dan tersampaikan  dengan sendu dan bangga pada gue melalui musik mereka.

Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya...

Apa yang bisa gue lakukan di kemerdekaan ini?

Makan buy 1 menu 17.000 di Tawan. Atau diskon 17+8+45% di Haagen Dasz.

Selasa, 16 Agustus 2016

Satu Scene

Akhirnya storyboard untuk satu scene 'Weaving Anteh'  selesai juga. Total 41 gambar. Dua jam-an. Gambar sendiri. Gak ada budget storyboard artist.

Masih ada 9 scene lagi.

Tiba-tiba malas mulai menjangkit. Gak bisa ya langsung shooting aja? Toh nanti gak ada yang bakal lihat storyboard ini.

Kalau ngegambarnya aja malas, apalagi shootingnya.

Teringat film-film yang lalu-lalu. At the end, yang gue inget bukan award-nya, bukan screening-nya, tapi ngebuatnya. Saat gue menikmati dan mencurahkan semua energi gue untuk the lot that has been given to me.

Cause all is vanity and striving after wind.

Lanjut scene dua dengan seksama.

Senin, 15 Agustus 2016

Seni dan Doa

"Bu, ntar set-nya gak jadi kaya teater ya? Gak realistis?" tanya Director Of Photography.

"Bisa jadi," kata gue.

But it wasn't a bad thing. For me. Gue udah pernah lihat stage dia. Mistis. Beda. Gak kaya set film memang, tapi gue pengen nyoba.

Dan bukan set mereka saja yang berbeda. Cara kerja mereka pun berbeda.

Tidak ada gambar kerja detail yang bisa di-breakdown menjadi daftar belanja/sewa. Haram menyebut kata budget, bilangnya list art.

Alhasil Line Producer mulai bertaring bekerja tanpa pegangan dokumen apa-apa. Mengharapkan keajaiban hari H set langsung jadi magic sepertinya impossible di kamusnya.

"Gue tuh setiap hari berdoa, berharap dituntun apa yang harus gue lakukan," kata si Production Designer dulu saat menceritakan pagelaran epiknya di sebuah lapangan tengah kota bersama 2500 penari. Hasilnya di luar dugaan.

Mungkin gue juga harus berdoa.

Line Producer tambah bertaring.

Minggu, 14 Agustus 2016

Baby Cewe

"Lo hamil? Pantesan muka lo bersinar," kata gue.

"Kata suami gue juga gue jadi lebih dandan," katanya.

"Mungkin anaknya cewe," kata yang lain.

"Atau cong!" kata gue.

Tidak ada yang menjawab.

Sabtu, 13 Agustus 2016

Talent & Personality

"Find one whose talent and personality you respect," nasehatnya dalam mencari kru.

Prakteknya, selain talent dan personality, budget-nya juga harus masuk.

Sudah budget-nya masuk, harus cocok dengan kru lain yang talent dan personality-nya gue respect tapi bukan berarti tanpa kesulitan.

"Kalau dia mau ganti jadwal seenaknya, sekalian aja dia yang bikin jadwal," kata kru pengatur jadwal sewot ketika kru baru minta ganti jadwal.

"Kok langsung pundung sih? Kalau gak bisa, ya bilang aja gak bisa. Simple," jawab gue sebel.

Membangun kru di Bandung bukan tanpa tantangan. Jam terbang rendah membuat banyak hal kecil bisa menjadi besar.

"Kami mohon fleksibilitasnya untuk menggeser jadwal produksi," kata panitia Jakarta seakan semua orang bisa menggeser jadwal mereka semua sesuai jadwal project ber-budget thank you ini.

Gue menghela napas mencoba mengingat-ingat kenapa gue menerima project ini.

Karena gue respect talent dan personality mereka.

Jadi nikmatilah ketidakpastian ini. Yang pasti, gue yakin mereka semua berusaha yang terbaik.

Jumat, 12 Agustus 2016

Yang Heits 60 Tahun Yang Lalu

Seorang nenek khawatir cucunya belum kawin juga padahal umurnya sudah 29. Itulah motivasi yang menggerakkan cerita keluarga seorang nenek, duda, dan tiga anak daranya dalam film yang dibuat 60 tahun yang lalu ini.

Ternyata 60 tahun kemudian, masalah kita masih sama.

Dulu sang sutradara membuat film ini karena perusahaannya butuh uang. Film seperti 'Darah dan Doa' dan segala cita-cita membuat film dengan identitas bangsa ternyata tidak cukup untuk menghidupi perusahaan. Dia harus bikin film seperti film musikal Hollywood yang laku saat itu.

Ternyata 60 tahun kemudian, masalah kita masih sama.

Tapi ada yang berubah. Cowo-cowo klimis berkumis tipis tidak lagi dianggap ganteng. Dansa-dansa cha cha cha ala Amerika tidak lagi dianggap kekinian.

Sekarang yang kekinian Korea. Jepang. Eropa. Amerika juga masih sih. Hipster-hipster pecinta kebudayaan lokal pun pahamnya impor dari luar sana.

60 tahun lagi, masihkah kita inferior?

Tak sabar menanti 2076.

Kamis, 11 Agustus 2016

Pelukan Rica-Rica

Seekor tikus merica seekor sapi lewat whatsapp

Sapi balas mengeong dan meraung

Si Tikus tiba-tiba melembut dan berjanji besok datang

Datang-datang, sapi langsung dirica lagi

Belum sempat mengeong, sapi dibekap di dada

Memang dirica lebih enak kalau dipeluk

Rabu, 10 Agustus 2016

Ismail Marzuki

"Tahu lagu-lagunya?" tanyanya.

"Beberapa," jawab gue.

"Coba sebut apa aja."

Gue terkekeh, ketahuan bohong.

"Itu namanya nggak tahu."

Yang gue tahu cuma doi sepenting itu sampai dijadiin nama taman yang bukan taman. Ternyata banyak sekali lagu wajib jaman SMP ternyata ciptaan doi. Gugur Bunga, Rayuan Pulau Kelapa, Sepasang Mata Bola, Juwita Malam, Selendang Sutera, Bandung Selatan Di Waktu Malam...

"Gue ketemu istrinya di Dayeuh Kolot," katanya menceritakan betapa sedih dan terpinggirkannya akhir hidup mereka. Dia berjanji suatu hari akan membuat film tentang Ismail Marzuki, dan kisah cintanya dengan Eulis si penyanyi keroncong yang hidup terlupakan di ujung Bandung.

Sudah tiga puluh tahun berlalu.

Ismail Marzuki masih cuma taman di benak pemuda pemudi macam gua.

"Sedih ya? Banyak ide tapi gak dibuat-buat," katanya tanpa meminta dikasihani.

Sempat sedih, tapi langsung ingat Jodorowsky's Dune.

"Kayanya waktunya sebentar lagi," katanya menyemangati diri sendiri.

Gue mengangguk-ngangguk.

Senin, 08 Agustus 2016

Modif Savage Garden

I believe I place my happiness in my own hands
I believe that I am what I eat and what I wear
I believe my parents did the best job they knew how to do
I believe I'm loved  when I need no love
I believe love comes with no conditions
I believe the grass is no greener on the other side
I believe I can't control or choose my sexuality
I believe that trust is more important than monogamy
I believe my most attractive features are my heart and soul
I believe I should choose my family
I believe the struggle for financial freedom is unfair
I believe the only ones who disagree are millionaires
I believe transparency keeps me from being unfair
I believe forgiveness is the key to my own happiness
I believe that God does not endorse TV evangelists
I believe in love surviving death into eternity

I believe what I think of people will reflect onto me

Nyumput

"Haiii!" katanya.

Gue menyambut cipika cipikinya sambil bersyukur untung tadi gue sempat sisiran dan ganti baju yang gak bangun tidur banget. Tak menyangka kalau Mom's Bakery di jam 7 pagi akan dipenuhi banyak orang yang gue kenal.

Gak banyak sih. So far baru dua.

Dua banyaklah untuk ukuran subuh-subuh.

"Di dalam ada direktur kita," katanya menyebutkan sebuah nama yang gue curigai sama dengan orang yang kemaren gue email mintain duit.

Gue melipir, bersembunyi di balik Shema ketika keluar.

Cukup dua saja yang gue kenal pagi ini.

Minggu, 07 Agustus 2016

Bedol Baby

Seminggu ini gue sibuk mempersiapkan kepindahan Chica ke Bandung biar kamarnya higienis dan baby friendly. Kukira sudah packing si Chica.

Dua jam sebelum mobil box datang, belum juga dia packing.

"Udah masuk-masukin asal aja. Mumpung kopernya gede-gede," kata gue melihat Chica ogah-ogahan packing.

"Pusing gue mau pindahan," jawabnya.

"Di sini pun kau pusing. Apa bedanya pusing di Bandung?" jawab gue sambil terus memasukkan kulkas, dispenser, dan semua barang di list gue ke mobil box sementara Chica memilih-milih baju.

"Itu kasur geser sini," kata gue.

Chica tidak bergerak.

"Gue kan Ibu Menyusui," katanya malas.

"Bah... kau puas-puaskanlah. Dua bulan lagi gak bisa kau pakai alasan itu," kata gue sambil menggeser kasur.

Jam 9.30 tepat mobil box dan semua barang sudah berangkat menuju Bandung.

Satu setengah jam kemudian, baru Chica siap bersama berplastik-plastik barang yang 'lupa' kebawa mobil box.

Bandung, we come home.


Harta Mak Gondut

"Itu koper jangan dibawa. Masukin lagi," kata Mak Gondut melihat koper Delsey Deden yang selalu dia pakai karena paling mahal dikeluarkan dari lemari gudangnya. Enam koper besar-besar lain yang gak pernah dia pakai tapi gak rela dikasih orang boleh dipakai.

"Mi, koper yang itu untuk baju bayi. Kan yang lain udah berdebu. Kasihan kalau Sergie Shema bajunya kotor," bujuk gue mengeluarkan jurus Sergie Shema yang selalu ampuh untuk Mak Gondut.

Berangkatlah gue membawa 6 koper ke Jakarta. Mak Gondut ikut.

"Mami lagi gak punya duit ya. Kau kan yang bayar bensin?"

Gue mengangguk.

Padahal Chica.

"Sekarang Mami harus punya uang 85 juta sebulan untuk bayar cicilan rumah," raung Mak Gondut sedih.

Dia membeli 5 apartemen/ rumah kos biar bisa jadi passive income di hari tua. Harus dicicil selama 6 bulan ke depan. Tadinya mengharapkan salah satu rumah yang dia punya sekarang terjual. Taunya susah sekali.

"Tapi biasanya kalau kejual, pasti harganya bagus," kata Mak Gondut yakin mengingat pengalamannya dulu-dulu. Tidak mempedulikan ekonomi dunia tengah berubah dan kemungkinan orang sudah kebanyakan rumah.

Gue tergoda ngomongin investasi itu sebaiknya yang produktif buat masyarakat, jangan jual beli rumah. Negara ini masih butuh makanan, baju, dan pendidikan yang bagus. Kalaupun mau investasi di rumah, lebih baik invest di anak-anak muda yang bervisi membangun kota yang lebih inklusif, bukan cuma meraup keuntungan dari selisih harga jual atau sewa.

"Mami mau pisang goreng?" tanya gue.

"Mau. Sama koran Kompas ya."

Gue membayar.

Padahal Chica.

Jumat, 05 Agustus 2016

Raungan Mami

Pagi-pagi Mak Gondut udah pergi gerak jalan ke Tahura. Cepat-cepat gue masukkan gendang-gendang Papua dan perisai-perisai perang yang sudah belasan tahun numpuk di gudang ke mobil, siap dikasih ke group seni anak yang sepertinya bisa membuat gendang-gendang ini lebih berguna. Daripada jadi sarang tikus. Kasihan baby-baby nanti kalau rumahnya penuh tikus.

Pulang-pulang, gue disambut raungan mami.

"Itu kan mami simpan buat hiasan kalau Mami bangun rumah bambu nanti..."

Terpaksa perisai-perisai gue ambil kembali.

"Gendangnya?"

"Pinjem dulu ya. Nanti kalau rumah bambunya jadi, Atid ambil lagi."

Lalu Mas Ucup disuruh masukin barang-barang kembali ke Gudang.

Kamis, 04 Agustus 2016

Bad Boy

"My teacher and my mom always said I was a bad boy," katanya menyesal setelah temannya menangis.

"No, I know you are not a bad boy. I saw you being nice," kata mamak anak yang dibikinnya nangis.

Gue hanya diam-diam di kursi depan, no comment. Malas dekat-dekat anak itu.

Baru masuk mobil, dia udah teriak-teriak histeris 'you are not welcomed in this car'. Turun dari mobil, dia menusuk-nusuk pantat dan perut gue sambil teriak 'why is it so big'. Sebelumnya gue melihat dia memegang-megang dada teman gue padahal sudah dilarang.

"Dia selalu dimarahin ama orang tuanya, Tid. Kasihan," kata mamak si anak nangis mencoba sabar. Sudah sebulan si bad boy dan mamaknya di Indonesia, menginap di rumah mereka. Waktu dipeluk-peluk suaminya, si bad boy langsung melembut. Kelihatan banget kayanya dia kurang dipeluk bapak.

"So why do you think Indonesia is a sexist country?" tanya mamak si bad boy untuk disertasinya, setelah anak-anak berhasil diungsikan ke bioskop.

"I don't even know where to start," jawab gue diplomatis. Partly karena banyak sekali statement sexist yang diterima wajar di negeri ini. Partly karena gue merasa anaknya sendiri potensial tumbuh jadi cowo sexist.

Lalu gue bercerita tentang kasus perkosaan dan bagaimana pejabat public menanggapinya di media sambil berharap dalam hati anaknya akan tumbuh menjadi nice boy.

Tahu Terakhir

"Sal, kemarilah kau! Ada tahu enak kali," kata gue. Daripada gue nungguin doi di rumah, mending gue menanti di sebuah surga tahu di Banceuy.

Tahunya nyesss, sambelnya full bawang putih. Kangkungnya segar. Jus jeruknya kuning menggoda.

"Ini kan yang punya wong itu," kata Sally menyebutkan seorang bapak norak yang pernah membuat poligami award dan tak pernah lagi gue datangi restorannya.

"Hah? Masa sih?" tanya gue tak rela mencari kebenaran. Baru menyadari font restorannya memang norak-norak mirip.

Tapi kenyataan memang menyakitkan.

"Mbak, pesan tahunya satu porsi lagi ya," kata gue dengan sedih.

Porsi perpisahan. Ini terakhir kalinya kumakan kalian.

Hik.

Rabu, 03 Agustus 2016

Beda-Beda

"Bilanglah ama si Chica itu, kalau bukan Mami yang bayarin jangan mau rombak rumahnya," kata Papi tiba-tiba. Padahal minggu lalu bilangnya 'ya papi ikut mami aja, kalau dia mau bangun ya biarlah'.

Tentunya gue gak bilang ke Chica. Sudah setengah jalan semua dikerjakan, baby-baby dipindahkan, demi bisa bangun kamar Papi Mami di belakang, masa mau dibatalkan cuma karena Papi lagi gak suka ama Mami. Alasannya entahlah. Mungkin bukan karena Mami, mungkin Papi frustasi sendiri karena semua rumahnya belum ada yang bisa dijual. Renovasi rumah seperti membuang-buang uang.

Papi langsung nelepon Chica. Alasannya beda lagi. 'ngapain kau bangun-bangun kalau sertifikatnya belum nama kau.' Dijawab dengan bijak oleh Chica 'ya yang penting niatnya buat nyenengin Papi Mami'. Chica mengira Papi terharu dengan jawabannya.

"Si Chica bilang memang dia yang mau bangun. Ya suka-suka dialah," kata Papi menyimpulkan pembicaraannya dengan Chica.

Gue mengangguk-angguk mengiyakan, lalu lanjut briefing tukang.

Senin, 01 Agustus 2016

Ada Waktu

Ada waktu meluruh, ada waktu bertumbuh.

Ada waktu tertawa, ada waktu menangis.

Ada waktu ditepuk, ada waktu menepuk.

Berbahagialah gue yang menangis, karena gue akan ditepuk.

*senyumsenyumsipusipu

The 30 Pages Lazy Script

"Sorry SE Asian filmmakers, but 30 pages is not a script - it's just laziness. I really cannot believe I have to clarify what a normal length of a script is, sheesh!" omel seorang produser film di yang membuat script lab di Facebook.

I was one of those lazy filmmakers.

Padahal sudah sebulan ini gue ngerjain proposal untuk apply ke workshop script dia. Bodoh, mungkin. Untalented, bisa jadi. Tapi lazy kayanya bukan gue sebulan terakhir ini.

Cerita Dongeng Bawah Angin memang butuh lebih banyak eksplorasi gerak, suara, dan artistik. Jadi script 32 halaman ini buat gue sudah paling tepat untuk ceritanya.

Mungkin dia gak sempat melihat betapa niatnya proposal dan visual treatment gue walaupun script-nya pendek. Mungkin dia sudah terlalu sibuk bekerja dengan Tsai Ming Liang dan Apicatphong.

Tapi tidak ada gunanya menjelaskan padanya. Apalagi balas menulis status Facebook menyebutkan satu per satu film panjang dengan script kurang dari 30 halaman yang gue tahu.

Maybe it is better to work really hard making a film out of this lazy script.