Rabu, 28 Oktober 2015

Buminya Manusia Kaya

Seorang teman marah-marah di status Facebook-nya. Buku Pram yang  katanya  mikrokosmos hubungan penjajah dan yang terjajah malah dijadikan ajang jualan berlian, bagian dari kampanye filmnya yang konon akan segera dibuat.

Mungkin pembuat filmnya belum nonton Blood Diamond. Mungkin juga sudah, tapi tidak terlalu peduli. Yang penting dapat sponsor untuk film yang gak mungkin murah itu. 

Gue melihat-lihat iklan berlian yang dimaksud. Memang perempuan-perempuan berkulit licin ini tidak seperti gambaran Nyai Ontosoroh, si gundik hits yang gigih mengolah kebon sambil mengedukasi diri agar tak lebih rendah dari penjajahnya.

Di bagian komentar, ada seorang temannya yang menceritakan  bagaimana dulu Pram menolak membiarkan Oliver Stone menyutradarai adaptasi buku ini karena doi gak mampu memahami karakter Annelies.

Annelies si anak haram campuran Belanda Jawa yang lebih merasa Jawa. Beda dengan kakaknya yang juga campuran tapi bercita-cita menjadi orang Belanda.  Apa yang Pram ingin gambarkan melalui perempuan ini sampai-sampai sutradara sekelas Oliver Stone ditolaknya?

Apa yang akan Pram katakan jika masih hidup dan melihat berlian Nyai Ontosoroh?

Mungkin jangan dulu berburuk sangka. Mungkin berlian ini satu-satunya kompromi  agar cerita penting ini bisa difilmkan. Mungkin kita harus bersyukur akhirnya Bumi Manusia dapat ditonton manusia-manusia Indonesia yang hanya punya waktu 2 jam, gak lebih.

Toh beberapa sutradara terbaik Indonesia yang tadinya hendak membuat film ini ternyata tidak cukup menjual untuk balik modal.

Sutradaranya kali ini seorang pengagum FPI yang dianggapnya berjasa memusnahkan kemaksiatan dari muka Indonesia.

Oh.

Di akhir cerita, Annelies mati tapi Minke tidak bisa berbuat apa-apa. Dia yang sangat mencintai Annelies bukan siapa-siapa di mata hukum. Sarikat yang dia mulai pun semakin lama semakin dipenuhi Fundamentalis.

Minke hanya bisa menulis.  

Lalu muncul Minke lain.

Something To Say

Akhirnya salah satu temen gue yang bilang pengen jadi penyanyi ada juga yang jadi penyanyi. Pagi itu dia tampil di TV dengan jas agak kimono yang duh masak dicampur sama celana sebetis.

Tapi ternyata kata anak masa kini trendi.

"Dia aja bisa, kok lo gak bikin album juga?" tanya gua kepada teman lain yang suaranya jauh lebih bagus.

"Ya kan dia packaging-nya bagus," jawab si teman bertekad diet.

Kata Yasmin Ahmad di Talentime, nyanyi emang not all about the pitch. Tapi kayanya maksud doi nyanyi harus pake hati deh, bukan harus cakep.

Banyak kali muka manis datang dan pergi tanpa meninggalkan kesan berarti. Yang bisa survive puluhan tahun masih didendangkan justru yang mukanya macam Bob Marley, Bob Dylan, Tina Turner...

Eh Tina Turner dulu cakep ya?

Tapi kan sekarang nggak dan masih didengarkan. Jadi gak harus cakep dong.

Lagian ternyata semua lagu top hits itu sebenarnya chords-nya sama. Cuma 4 chords yang diulang itu-itu aja.   

Bagian otak kita yang bernama basal ganglia memang lebih suka sesuatu yang familiar.  Apalagi ketika harus mendengarkan bunyi-bunyian kompleks seperti sebuah lagu.  Chords-nya sama aja deh, isinya aja yang dibedain.

Sama seperti struktur tiga babak di film. Semua film laku pasti strukturnya begitu, sesuai permintaan bangsal ganglia kita.

Jadi gampang banget dong jadi penyanyi?  Tinggal ngisi lirik dan nada ke empat chords itu?

You still have to have something to say. And that something to say-lah yang membuat Bob-Bob itu masih didengar sampai sekarang.

"Lo nyanyi buat apa sih?"

"Gue pengen nyanyi buat orang sakit. Kayanya mereka senang dengar suara gue."


Berarti gak harus diet dong?

Good Producers

"Why are most good producers in Indonesia women?" tanya salah satu petinggi MPAA yang di habitat asalnya produser didominasi pria.

"Because they have rich husbands," jawab gue yakin. Hanya spesies istri bersuami kaya yang bisa bikin film idealis tanpa takut kehilangan beberapa M.

Dia tertawa seakan baru menyadari kalau industri film Indonesia beda sama Amerika. Di Amerika, film buat nyari duit. Di sini, film buat buang duit.

But I don't have a rich husband.

Makanya ketika 'Selamat Pagi, Malam' turun cepat dari bioskop, gue mikir panjang lebar kali tinggi kalau harus memproduseri film lagi di iklim yang seperti ini. Mending beli rumah.

"Jadi, kalian kan gak ada yang kaya... masih mau jadi filmmaker?" tanya gue kepada puluhan anak di meja panjang workhop film yang menamakan dirinya workshop produser film Bandung.

Masih saja mereka mau, tak mempan ditakut-takuti.

Bah! Mereka muda dan naif.

Kalau gue bertanya ke gue sendiri, maukah gue menjadi filmmaker?

Ternyata gue dengan bodohnya tetap mau.

Mungkin karena film pertama gue film kaya cin(T)a yang benar-benar dimulai dari nol dan tanpa perencanaan.  Gue jadi tahu betapa serunya berjalan tanpa arah pasti. Everyday is a step of faith.

Dan hidup seperti itu jika dilihat ke belakang, membanggakan.

Mungkin gue harus kembali ke awal, kembali memasang kostum filmmaker indie with no money but a lot to say.

Jadi jika nanti si MPAA bertanya lagi "Why are most good producers in Indonesia women?"  


Gue akan menjawab. "Because we have a lot to say. We don't care you wanna hear it or not, we are saying it anyway."

Jangan Mak Gondut

"Jangan Mak Gondut lagi ah. Nanti semua film gue isinya Mak Gondut," jawab gue menolak usul Sally untuk peran Nenek yang cuma muncul satu scene.

Teringat analisa Bang Joko ketika kita mencoba menyimpulkan film beberaapa sutradara dengan hanya satu kalimat.  Bang Joko selalu punya karakter gay tapi selalu di pinggir. Yang lain gak pernah ada karakter ayah.

"Kalau si Atid pasti ada Mak Gondut!" katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh, membuat gue merasa seperti anak mami.

Makanya gue langsung menjauhkan segala kemungkinan Mak Gondut muncul lagi di film ini. Padahal gue yakin kalau dia yang main pasti lucu.

"Mak Gondut ajaaaa!" seru salah satu Produser saat gue mengusulkan Aming pasti hits jadi nenek-nenek.

Kenapa sih gue gak mau kerja sama Mak Gondut? Once upon a time, gue sangat bangga karena bisa mewujudkn mimpi Mak Gondut jadi artis.

Sebenarnya gak cuma Mak Gondut. Gue gak mau bekerja dengan yang itu-itu lagi. Mungkin karena dulu orang akuisisi sebuah TV pernah ngomong ke gue.

"Lain kali kalau bikin film, yang main jangan Jihan ama Sunny terus ya." 

Padahal Martin Scorsese juga selalu make Leonardo Dicaprio, tapi gak ada yang menyarankan dia ganti aktor lain. 

Tapi itu kan Martin Scorsese. Udah dicobanya berbagai jenis aktor sebelum settle dengan Leonardo. Mungkin ada bagusnya gue mencoba aktor-aktor lain yang gak terdaftar di zona aman gue.

Casting pun terus berlanjut. Mencari nenek-Nenek bulus yang mukanya keliatan hobby bikin gara-gara, tapi memang gak ada yang selucu Mak Gondut.

Akhirnya gue menyerah, toh hanya satu scene.

"Ini si Nenek sayang ya cuma muncul satu scene. Kayanya bisa kita utilize lagi deh," kata client.

Dan scene si Nenek pun bertambah.


Bah!

Minggu, 25 Oktober 2015

Indonesia @ Cannes

Google aja tentang film Indonesia di Cannes 2015. Isi beritanya semua tentang "Filosopi Kopi ke Cannes" dan satu dua kalimat di penghujung berita tentang 'A Fox Exploits Eh Apalah Tadi Itu',  sebuah film pendek yang juga mengiringi Filosopi Kopi ke Cannes.

Mungkin bukan salah wartawan-wartawan kebanyakan deadline itu. Mungkin mereka cuma kopipaste modifmodif dari press release yang dibagikan  panitia yang mungkin lebih ingin meladeni kepentingan kopi yang mensponsori kiprah mereka di Cannes.

Padahal Filosopi Kopi cuma masuk di pasar film Cannes, dan si film pendek itu masuk ke kompetisi Critics Week di Cannes. Sebuah prestasi yang luar biasa mengingat terakhir film kita yang masuk kompetisi Cannes itu Tjoet Njak Dien.

Artinya yang lolos seleksi masuk Cannes itu ya si film pendek. Bukan film-film yang cuma masuk pasar film. Bukan juga film yang masuk Short Film Corner, seperti film pendek si bintang muda bermuka indo yang diberitakan Infotainment.

"Angga sih udah berusaha ngejelasin ke wartawan-wartawan itu," kata si sutradara film pendek membela sutradara Filosopi Kopi. Tapi press release terlanjur dikopipaste modifmodif.

Jadi siapakah yang bertanggung jawab membuat press release yang membodohi pembaca ini?

Tidak ada yang mengaku.


Lebih baik memenuhi instagram dengan selfie-selfie bersama bintang-bintang Hollywood yang  berseliweran di Cannes.

Nabung Tanah

Mengantar jemput Mak Gondut sakit, di antara cerita Mak tentang Tantemu yang nenek kucing sampai betapa lucunya Mak di 'Lamaran',  gue baru ngeh kalau ternyata Tanah Mami banyak. 

Ada yang dulu dia beli 700 juta, sekarang harganya 15 M.  

Ada juga yang 700 juta sekarang 2.1 M.

Ada yang 70 juta, sekarang 300 juta.

"Nabung tanah itu paling baik," kata Mak Gondut mengajari gue untuk segera investasi properti. Harganya berlipat-lipat tanpa usaha berarti.

Gue terkesan juga dengan strategi si ibu rumah tangga yang gak pernah kuliah ini memastikan keluarganya tak pernah kekurangan.

Barulah ketika Mak Gondut hendak membeli apartemen murah yang dibuat Ridwan Kamil untuk warga muda Bandung, gue terusik.

Terbayang muka si Indri yang belum punya rumah.  Bukankah ini seharusnya hak dia?

"Nanti satu lantai mami suruh teman-teman lansia mami beli. Biar di situ mami ngumpul ama lansia-lansia."

Terbayang muka Sunny yang membayar dua setengah juta per bulan untuk sebuah apartemen yang dulu dibeli Mak Gondut 200 juta. Itu pun sudah dianggap murah.

Tanpa kita sadari, nabung tanah is the mother of capitalism. Tuan tanah berkuasa. Kelas Pekerja menghabiskan masa mudanya hanya untuk membayar sewa.

Kalau cuma ada satu Mak Gondut mungkin tak akan terasa. Tapi kalau seluruh lansia berpikiran serupa?

Gimana kalau motivasinya bukan lagi nabung tanah buat anak cucu, tapi pure greed?

Kita beli aja semua tanah, biar kita bisa jual berapapun harganya. Jadi kita gak usah bekerja terlalu keras. Biar orang-orang yang kerja giat di perusahaan kita demi bisa membeli rumah yang harganya terserah kita.

Coba lihat sekitar kita. Tanah-tanah di Jakarta developer-nya itu-itu saja.

Jadi mengerti kenapa ada keluarga yang melarang keturunannya bisnis properti. Boleh bisnis apapun, asal bukan bisnis tanah.

Karena tanah terbatas, tidak bisa ditambah.

Kita semua berhak atas a place to call home.