Selasa, 18 Juni 2013

BIrthday Wish

Tumpengan hari ini merayakan ulang tahun Papi yang telat 2 hari. Papi tampaknya senang ulang tahun dikelilingi anak-anak angkat kepompong gendut.

"Papi mau dibikinin pilim gak?" tanya gue pada Papi.

"Papi mana bisa main pilim," Mami langsung nimbrung minta diajak main.

"Yang main jangan Papi, Slamet Raharjo," tangkis gue menepis Mak Gondut. Kan film buat Mami udah, sekarang giliran film Papi. Tapi Mak Gondut tetap merapat, berharap diajak maen.

"Papi mau yang maen siapa?" tanya gue manis.

"Mami,"  jawab Papi dengan senyum bulus.

Mami tersipu-sipu.


Senin, 17 Juni 2013

Narasi Membumi

"Kayanya semua lebih ketawa kalau nonton bagian yang ada orangnya Tid, bukan yang animasi," kata editor mengingatkan.

Episode 1 dan 3 Demi Turki sudah memasuki tahap piclock yang membuat makan gue tidak lagi berantakan. Lebih tenang, lega dengan hasilnya.

Ceritanya menyenangkan dan mudah dinikmati. Pace-nya cepat dan banyak animasi lucu.

Gue berharap observasi editor ini cuma karena tadi nontonnya pake laptop tua pinjaman dengan speaker rebek. Kalau Fatwa Indri dan Ridla  bisa mendengar narasinya, mungkinkah mereka ketawa?

Apakah narasinya terlalu banyak? Apakah gue terlalu banyak bicara?

Apakah ego gue menghambat gue menyadari kalau narasinya kurang lucu ?

Atau Fatwa Indri dan Ridla yang terlalu rata-rata?

Gue yang gak bisa deliver cerita kok malah nge-judge mereka rata-rata?

Tapi kalau gak pakai narasi, gue gak kepikiran cara lain untuk membuat pace Demi Turki lebih cepat.

Episode 1 dan 3 sepertinya sudah menarik. Tapi episode 2, 4, dan 5 butuh materi tambahan untuk mengisi screen time, kalau gak mau ceritanya jadi draggy.

Bisakah gue menciptakan narasi yang lebih membumi?

Minggu, 16 Juni 2013

Papi Ulang Tahun

"Ca, Papi ulang tahun Juni atau Juli sih?" tanya gue ke Mama Singa setelah siang-siang Deden bangun dan menanyakan apakah Papi ulang tahun.

"Benar-benarlah kau anak bungsu tak berbakti," aum Mama Singa.

Papi lagi di Manila, mengurangi satu list negara yang ia ingin kunjungi sebelum ia meninggal, bersama Mami. Tadinya Papi mau pulang ke Bandung tanggal 18, tapi diundur jadi tanggal 16. Gue gak ngeh kenapa Papi ngundurin jadwal pulangnya. Ternyata mungkin karena dia ulang tahun.

Ingin menebus dosa, gue berpikir apa yang bisa gue belikan pada Papi untuk dia ulang tahun.

HP baru, ah nanti dia ilangin lagi.

Topi pet baru, ah nanti dia ilangin lagi.

Sepatu lari baru, ah nanti dia gak pakai lagi. Bagi papi sepatu cukup satu.

Papi adalah manusia yang sangat sederhana. Bajunya itu-itu melulu kalau nggak dibeliin Mami. Papi tidak pernah suka barang bermerk. Semua barang yang dia pakai akan terlihat mahal, menurut dia.

Papi gak punya pengetahuan soal keindahan. Semua ruangan di rumah gue ditempeli kalender gratisan dari Apotik Bintang Semesta.

Hobi Papi adalah menyenangkan keluarga. Waktu gue kuliah, setiap pagi mobil gue sudah terisi penuh dengan bengbeng dan aqua nangkring di jok depan. Gue bahkan tidak pernah tahu berapa harga bensin premium sampai 2007, saat uang Papi tak lagi sebanyak sebelum pensiun.

Waktu gue mulai diet, di dapur selalu tersedia pisang, pepaya, dan aqua 1,5 liter berbotol-botol.

Hadiah ulang tahun apa yang perlu gue belikan untuk Papi?

Papi gak minta apa-apa. Mungkin cukup kalau gue gak nyusahin Papi.

Hhhh...

Sabtu, 15 Juni 2013

Another Risk

Hari ini kontrak pemain Dongeng Bawah Angin untuk segmen Dancing Gale ditandatangani. No turning back. Dongeng Bawah Angin akan tetap shooting dengan atau tanpa investor.

Teringat sebuah pentas drama musikal ambisius yang konon akan tampil di Jakarta Teater selama sebulan. Sebulan menjelang tampil, produsernya mengaku mereka tidak punya investor dan semua pentas dibatalkan hanya dengan kompensasi 50% fee yang baru akan dibayar pada 2015.

Gue tidak mau jadi produser seperti itu. Gue harus tahu bagaimana menghargai waktu dan mimpi orang lain. Bukan hanya merpati yang tak pernah ingkar janji. Produser pun seharusnya demikian.

Tapi bagaimana jika investornya menarik diri? Produser si drama musikal tadi juga mungkin tidak pernah berniat membatalkan karyanya sendiri. But shit happens. Investor bisa jadi mnarik diri, apalagi menjelang Pemilu 2014.

Papi menyarankan sebaiknya film ke tiga dan seterusnya dibayari sendiri. Kalau mau besar, harus berani ambil risiko.

Film pertama dan kedua gue dibayari orang lain dan selalu balik modal.   Dengan hanya 'meminjamkan' sebentar 100 juta, dia udah bisa dapat rights cin(T)a. Dengan hanya 'meminjamkan' sebentar 1 miliar, yang lain udah bisa dapat rights Demi Ucok.  Tahu akan balik modal, kenapa gak pake uang mami dulu?

Tapi gue takut, bagaimana jika gak balik modal? Investor Demi Ucok gak akan pusing kalau kehilangan 1 atau 2 M. Mami gue tahu uangnya tidak banyak. 2 M besar buat dia. Lebih baik dia  pakai jalan-jalan menikmati masa tuanya, bukan dihabiskan untuk memuaskan ego anak bungsu.

Makanya jangan merugi.

Tapi bagaimana gue tahu tabiat penonton Indonesia dan cuaca Jakarta?

Ah itu bukan urusan gua. Ada sutradara lain yang sudah merencanakan semuanya. Tugas gua adalah  mempersiapkan film ini sedalam mungkin tapi tetap bisa dicerna bankir2 tak berbudaya seperti Chica.

Today is another risk.

Pipis Berdarah

Semalaman begadang mengerjakan editan Demi Turki episode pertama. Makan gak teratur. Siangnya dipakai tidur.

Bangun-bangun pipis gue berdarah.

Apakah ini ginjal, infeksi virus, atau gonorhea?

Gue ke Anmo Peter Cung, berharap ini anyeng-anyengan biasa.

Gak sembuh.

What did I do? Tiap hari gue minum banyak air dan rajin bolak balik kamar mandi, sekalian menambah langkah pedometer.

Malas ke dokter karena pasti akan diberi segala macam obat-obatan yang belum tentu menyembuhkan.

Badan kita punya kemampuan untuk menyembuhkan diri sendiri. Tapi gimana? Biasanya gue banyak minum air putih. Kali ini bingung harus ngapain karena semakin banyak minum, semakin sering pipis, semakin sakit.

Mulai  hari ini gak boleh lagi begadang demi apapun. Badan gue harus lebih dihargai.

Gue melihat kursi editor yang dipakai berhari-hari, membuat sakit punggung dan potensi penyakit-penyakit lain. Gak worth it menyiksa diri cuma demi pekerjaan.

Tapi kursi editor bisa 10-13 juta.

Kesehatan kita tak terbeli.

Besok cari kursi bekas.





Kamis, 13 Juni 2013

My fourth 14.


4 bulan sejak 14 Februari 2013, gue menggendut lagi.

14 Februari berat gue 94 kg.
14 Maret 86 kg.
14 April 82 kg.
14 Mei 80 kg.
14 Juni 84 kg.

Padahal sudah 6 minggu shooting Demi Turki berjalan. Seharusnya berat gue sudah turun 4 kg dari 80, bukan malah naik 4 kg.

Kenapa gue semakin menggendut?
1. Gak renang. Gak yoga. Gak lari lagi.
2. Gak makan buah pagi malam lagi.
3. Gak mindful lagi.

Kenapa gue gak renang gak yoga dan gak lari lagi?
Karena banyak kerjaan ngedit.
No.
Karena waktunya dipakai nangis-nangis dan berburuk sangka.

Kenapa gue gak makan buah pagi malam lagi?
Karena pikirannya gak mindful. Semua yang lewat depan mata dilahap.

Kenapa gue gak mindful lagi?
Karena waktunya dipakai nangis-nangis dan berburuk sangka.

Kenapa waktunya dipakai nangis-nangis dan berburuk sangka?
Karena gak mindful.

Lain kali mau berburuk sangka lagi, lebih baik sambil lari.

Run, Atid... Run...

Another Parent


Gue gak mau jadi kaya emak gue.

Tapi kata Yasmin Ahmad, the key to success adalah be nice to your parent. Karenanya gue membuatkan film untuk emak gue dengan hasil sesuai kata Yasmin. Sukses tidak hanya datang untuk gue, tapi juga emak gue. Steven Soderbergh bisa menang Cannes umur 26, tapi  emaknya gak menang piala umur 60.

Di semua gegap gempita yang mulai mereda ini, gue teringat  my parents gak cuma satu. Ada papi yang sealu mendukung di belakang.  

Kalau harus memilih, gue lebih pengen jadi Papi daripada Mami. Walaupun kayanya gue semakin hari makin mirip Mami, banci spotlight.

Papi yang baik hati selalu menolong orang tanpa perlu spotlight. Hatinya lembut, walalupun kata-kata pujiannya tidak bisa dipercaya. Papi tentara orde baru yang terlatih menenangkan massa. Setiap ada Viking mendatangi, diputusin pacar, atau minjem bus buat liburan, gue selalu berpaling ke Papi. Papi selalu siap membantu tanpa harap kembali berbintang terms and conditions apply.

Papi tidak pernah berkhotbah Tuhan Tuhan tapi papi orang yang paling dekat dengan Tuhan. Tidak ada masalah di dunia ini yang bisa membuat Papi tidak santai karena Papi selalu yakin Tuhan memang maunya demikian. 

Kecuali kalau lagi kelaparan, dia bisa lebih singa dari Mak Gondut.

Tapi kalau kenyang, Papi  tidak pernah mengaum dan menghakimi siapapun.

Beda dengan gua. Kebanyakan perkataan, kurang perbuatan.


Gue gak pengen jadi Papi. But I don't mind having his heart and his faith. Kalau ada karakter bapak yang ingin gue filmkan semahal 10 miliar, itu harus papi.

Bukan karena gue trying to be nice to my parent, tapi gak semua cerita layak diceritakan dengan budget miliaran.

Papi is a character worth telling.

Selasa, 11 Juni 2013

Ever After

"I believe in divorce," kata seorang anak yang tumbuh dengan Bapak yang gemar selingkuh dan Mama yang kepikiran sampai sakit-sakitan. Mama istri ke dua bapaknya, tapi udah cerai dulu ama yang pertama. Setelah selingkuh dan tak juga ditalak cerai,  bapaknya makin menjadi. Kawin lagi, pindah agama, dan bikin perusahaan berbagi saham dengan si istri muda dan adiknya. Tua jatuh miskin dan harus bagi-bagi aset dengan  istri muda yang tentunya sudah kawin lagi.

Sampai meninggal, Mama tidak juga menceraikan. Pernah sih minta cerai tapi gak dikabulkan Pengadilan karena Bapaknya minta cerai secara Islam padahal nikahnya Katolik.

Melihat mamanya menderita sampai sakit-sakitan demi perkawinan yang tidak layak diperjuangkan, wajar dia tidak percaya manusia boleh diperangkap dalam ikatan yang dosa kalau diputuskan. Apalagi setelah menonton Borgias 2 season, ternyata Paus Vatikan pun punya selingkuhan.

Gue tumbuh di keluarga besar yang bebas perceraian. Dulu ada om gue yang mau cerai karena ketahuan selingkuh, disidang satu keluarga besar dan dimasukin penjara sama bapak gue. Tentunya sekarang mereka tidak  jadi bercerai walau gue yakin si om masih selingkuh.

Papi Mami tidak pernah selingkuh. Tapi gue gak yakin mami cinta sejati papi. Papi orang yang baik dan bersyukur. Semua yang diberikan Tuhan padanya akan dirawat dan dimanjakan dengan penuh perhatian.

Mami, sepertinya paling cinta dirinya sendiri. Jadi kalau ada yang merawat dia segitunya pasti akan dipertahankannya.

Pasangan cerai pertama yang gue kenal adalah mama teman SMP gue.  Mungkin ayah barunya bisa sayang pada mamanya, tapi bisakah sayang juga pada dia?

Pasangan cerai ke dua di hidup gue ketika gue exchange student di Amerika. Host Mom gue anaknya dua, beda-beda nama keluarga dengan dia. Jadi at least dia sudah cerai tiga kali.

Setelah bercerai dengan Host Dad gue, hidupnya berantakan. Tidak lagi tinggal di rumah berjacuzzi. Cerai terlihat jadi the easy way out, dan setelahnya hidupnya tidak juga lebih baik.  Kalau saja dia stick to any of her husband, mungkin dia bisa tua  bersama seperti mami dan papi. Gak terlalu happy tapi at least gak berantakan.

Gue gak mau menikah seperti mami dan papi. Gue mau  hidup dengan seorang partner yang bisa gue puja dan gue manjakan. Gue bilang cantik tiap hari. Gue teriakkan ke semua orang lewat lagu, film, dan tulisan.

"Trophy dong?" kata si pro perceraian.

A trophy with a hint of slavery. Kalau trophy kan dipajang doang, kalau ini gue pengen dia ngerasa paling cantik sedunia dan rela dijadikan budaknya.

Tapi gue gak pernah kawin. Mungkin Papi, Mami,dan lain-lainya juga pengen bahagiakan pasangannya di awal perkawinan. And long years of marriage brought them here.

Semua orang tahu yang terbaik buat dirinya sendiri. Si mama yang diselingkuhi sampai sakit-sakitan mungkin tidak merasa perlu dikasihani, dia malah merasa telah sukses menjadi istri yang setia sesuai iman Katoliknya. Si Papa yang gemar selingkuh juga tidak perlu dikasihani, mungkin dia telah menjalani hidup yang penuh passion tanpa penyesalan. Om gue yang tetap diam-diam selingkuh juga tidak perlu disalahkan, mungkin itu satu-satunya cara dia agar bisa survive hidup dengan tante gue yang kejam. Tante gue yang kejam juga tidak bisa disalahkan, mungkin itu satu-satunya cara dia menjaga agar perkawinanya tidak retak sesuai doktrin Protestannya. Host Mom yang hidupnya tidak lagi berjacuzzi juga tidak perlu dikasihani, karena mungkin dia bahagia bisa hidup mandiri.

Semua orang punya jalan sendiri, tidak boleh dihakimi.

Lebih baik menyanyi sambil menyiapkan diri untuk cinta yang hanya hari ini.


Senin, 10 Juni 2013

Sepatu Crocs Merah

Hari ini gue menjelajahi Jakarta bersama sepatu crocs merah yang gak mungkin gue beli sendiri.  Bentuknya seperti sepatu mbak-mbak kebanyakan. Dan merahnya mencolok mata.

Tapi hari ini gue memakainya dengan bangga dan tanpa lecet di kaki. Beda banget dengan hari kemaren.

Kemaren hari gue diawali dengan boots baru yang membuat gue terlihat edgy dan masa kini. Belum 2 jam menjalani lantai  tak berkerikil Kelapa Gading 3, gue sudah meraung minta pulang karena kaki lecet kanan kiri.

Untung Mama Singa baru beli crocs merah, dengan berat hati dipinjami ke gue. Tanpa mikir warnanya gak matching dengan jeans Lazuli Sarae gue, gue langsung pakai.

Ternyata yang nabrak bukan berarti tak serasi.

Dan yang kebanyakan bukan berarti tak nyaman.

Mulai hari ini,  gue tidak akan lagi menghakimi sepatu sebelum menanyakan ke kaki gua.

Terima kasih, mama singa.

Dijodohin

"Tadi tension banget ya," kata co-director Demi Turki setelah adegan di butik.

Echa dijodohin Mak Gondut dengan cowo yang gue yakin gak akan menghargai paha gempal Echa. Gue menentang habis-habisan dan malah dituduh Melda dan Chica pengen dijodohin juga.

Gue menepis tangan Chica dengan kesal.

"Tadi cuman adegan film kan?" tanya Chica.

Gue diam saja.

Setelah 30 tahun dijodohin dan ditolak dan membuat self image gue di ada di bawah batas kewarasan, gue tidak mau Echa melewati apa yang gue lewati. Echa butuh lelaki yang bisa menghargai dia apa adanya.

Dan dia juga harus belajar menghargai lelaki apa adanya. Jangan mencari Mr. Right hanya untuk menutupi ketidak pedean dia dan membiarkan The Geek In The Pink dan Skater Boy lewat begitu saja.

Ah kenapa ngurusin Echa? She  has her own journey.

Gue harus belajar menghargai manusia apa adanya. Jangan mencari Miss Right hanya untuk menutupi ketidakpedean gue dan membiarkan The Geek In The Pink dan Skater Girl  lewat begitu saja.

I love me.

Apocalypse

After Earth, another post-apocalyptic movie buatan Amerika. Semua penghuni Bumi sudah transmigrasi ke planet lain. Bukan karena Soeharto bangkit kembali dan menggalakkan Repelita V, tapi karena Bumi tidak lagi bisa dihuni. Semua mahkluk di bumi sudah berevolusi dengan satu tujuan, memusnahkan spesies rakus bernama Homo Sapiens yang sudah membuat Bumi menderita.

"Kenapa orang Amerika takut banget sama apocalypse?" tanyanya.

Mungkin karena American belum pernah mengalami apocalypse beneran. Karenanya kiamat menjadi begitu menakutkan. Yang kaya 9/11 saja dibuat jadi dama besar dan harus dibalas dengan membabibuta se-dasawarsadengan alasan nyari Osama.

Bandingkan dengan film-film apocalypse Jepang. Akhir dunia dihadaopi dengan hening dan puitis. Tidak ada jerit-jerit histeris dan efek-efek bombastis.

Mungkin karena orang Jepang sudah terbiasa dengan apocalypse. Nagasaki. Hiroshima. Meiji. Pearl Harbor.

Bagaimana kalau orang Indonesia yang bikin film apocalypse?

Setiap hari kita sudah dibombardir dengan apocalypse sehingga sudah imune dengan segala hal yang  tidak berjalan seperti seharusnya. 

Mungkin filmnnya isinya twitter semua.

Jumat, 07 Juni 2013

Sahabat

"Lo catet kata-kata gue. Gue punya feeling kita pasti nanti jadi sahabat," katanya yakin. Setelah merangkak dari bawah di industri showbiz, dan berkali-kali gagal dan tertipu, dia lebih memilih mengikuti kata hati daripada otak.

Tapi hati harus dilatih, dengan tiap hari meditasi.

Senang sekali kalau bisa bersahabat dengan dia. Artisnya hanya 12, tapi berkualitas.

"Kayanya semua orang sahabat dia deh," kata sahabat gue yang mengamati tweetnya.

Kembali ke bumi, gak lagi geer.

Kamis, 06 Juni 2013

IQ 75

"The World will never be the same once you see it through the eyes of Forrest Gump."

Pertama kali gue melihat dunia melalui pandangan Forrest Gump, gue SMP kelas 1. Gue tertidur di bioskop murah dekat Pasar Kosambi yang sekarang sudah tidak beroperasi lagi. Baru bangun ketika Jenny bercinta dengan Forrest Gump dan pergi begitu saja di pagi hari. Atid kecil tidak mengerti kenapa ada yang mau bikin film tak happy ending seperti ini.

19 tahun kemudian, gue kembali melihat dunia lewat mata  Forrest Gump lagi. Dua setengah jam berlalu penuh tawa haru dan diakhiri dengan gue pengen bikin film kaya gini.

Dunia di mata Forrest Gump sangat sederhana. IQ-nya 75. Forrest gak akan bisa masuk sekolah dasar biasa kalau saja Sang Mama tidak 'ee ee ee ee' sama Pak  Kepala Sekolah.

Forrest kecil tidak bisa berjalan lurus tanpa bantuan kawat kaki. Tapi Mama selalu bilang Forrest itu berbeda memang begitu seharusnya. Kalau Tuhan mau menciptakan semua orang sama, semua pasti diciptakan dengan kawat kaki.

Di akhir film, gue menyadari IQ 75 ternyata berkah luar biasa bagi Forest. Pikirannnya tidak cukup kompleks untuk menciptakan skenario buruk sangka. Dia hanya jalani hidup dengan hati lurus tanpa pretensi.  Tau -tau dia jadi bintang football kuliah, pahlawan perang Vietnam, juara pingpong sampai ke Cina, milioner udang, nabi berlari, sampai pemilik saham perusahaan Apple yang dikiranya memproduksi buah-buahan. Jualan 'buah' ini membuatnya tak pernah harus mencari uang lagi.

Terberkahilah semua yang ber-IQ rendah, karena mereka tidak tahu apa yang harus mereka sombongkan.

Setelah melihat dunia di mata forrest Gump ke dua kalinya, Atid 30 tahun memang tidak lagi sama. Dunia terlihat lebih sederhana. Tidak perlu dipahami, hanya perlu dijalani.

Sayangnya IQ gue 161, sehingga semua yang datang pasti diproses dan dianalisis dan tak jarang menghasilkan kemungkinan-kemungkinan ke depan yang menakutkan.  

"Kerjakan saja apa yang sudah Tuhan berikan," kata Mama Forrest sebelum meninggal, tanpa mengutip khotbah-khotbah rumit tentang talenta.

Gue pengen bercerita seperti Forrest Gump.

Hi, I'm Sammaria. Sari Astrid Mananda Maria.

The Wizard

"Mending 1 menit pertama dibuka dengan premis film ini. 4 gondut pengen kurus biar menang taruhan ke Turki."

Komen begini sih masih terbayangkan.

Fiuh. Setelah  minggu lalu dikirimi email undangan duduk bareng melihat rough cut Demi Turki, meeting hari ini berbuah senyuman.

Semua terselamatkan berkat seorang penyihir yang menyamar jadi graphic designer.

Erickson.

Di dunia film di mana kesan pertama dan branding itu penting, Erickson tampil tanpa banyak bicara.

Tau-tau karyanya menebus dosa kami pada Kompas TV.

Ntar gue tambahin bonus deh buat Erickson.

Duit dan sesosok Boru Hutapea.

Selasa, 04 Juni 2013

4 Tahun Lagi

"Manusia itu jatahnya 70 tahun, kalau lebih itu anugerah,"  kata Papi mengutip Daud.

Papinya Papi meninggal umur 68. Tahun ini Papi 66.

Papi berencana menghabiskan 4 tahun ini dengan jalan-jalan berdua bersama mami. Minggu depan ke Manila.

Tinggal India dan Myanmar, lengkap sudah cita-cita Papi mengunjungi dunia.

"Tapi kan Opung Mak umur 90an belum meninggal, Pi," jawab gue, risih ngobrolin kematian dengan papi sendiri.

"Ya papi sih doainnya dia cepat-cepat meninggallah. Kasian.Sekarang udah gak bisa apa-apa. Tidur terus," jawab Papi sambil menerawang.

Gue tidak mendoakan papi cepat-cepat meninggal. Tidak juga mendoakan umur panjang.

Katanya mati adalah keuntungan, jadi kematian tidak harus ditangisi, tapi disambut dengan perayaan.

Tapi seringkali gue lupa. Tidak hanya kematian yang harus dirayakan. Hidup pun demikian.

Yuk ke Myanmar.

Power Walking


Sepuluh ribu langkah per hari ternyata tidak sulit di Korea. Tanpa usaha, tiap hari pedometer gue menunjukkan angka 11-12 ribu. Kembali ke Bandung, angkanya kembali menjadi 4000-5000.

Di sela-sela deadline seperti ini, tidak mungkin olahraga. Jeleknya kantor di rumah, tidak ada kewajiban power walking memenuhi kuota langkah per hari.  Solusi yang bisa gue lakukan adalah minum air sebanyak-banyaknya agar tiap jam gue harus pipis. Lumayan jalan melintasi kantor ke kamar gue  bolak balik dapat 500 langkah.

Tapi kan sehari gue gak mungkin pipis 20 kali. Paling 10. Karenanya pedometer tak pernah mencapai angka 6000.
 
Kalaupun gue jalan ke luar, belum tentu sehat uga.  Metabolisme lancar, tapi paru-paru dipenuhi polusi udara hasilpembakaran angkutan kota yang bebas uji emisi.

Ah nasib pekerja film tanpa asuransi jiwa seperti gua. Kesehatan menjadi penting karena gue pengen mati tanpa melewati pembakaran uang di rumah sakit. Gue pengen mati sehat plek di hari tua tanpa perlu pompa ini pompa itu dengan biaya ratusan juta.

Mungkin gue harus berhenti melangsingkan Mas Yusuf dan mulai ngepel kamar sendiri.

Another Fat Funny Girls

Tiap episode, gue dapat baju baru dari Lazuli Sarae. Desainnya edgy dan membuat gue terlihat berbudaya.  Satunya 600 ribu jadi kecil kemungkinan  ketemu Mbak-Mbak salon Anata berbaju sama.

Ternyata enak juga di depan kamera. Dapat banyak barang gratisan.

Dapat gym 6 bulan gratis juga!  Kayanya gue di akhir Demi Turki beneran melangsing nih.
 
"All just for the the free gym?" tanyanya concern.

Dia sudah melihat banyak sekali program TV yang membuat wanita tambah terobsesi untuk kurus dan gak suka badannya sendiri. Betapa besarya dosa gua kalau gue manambah daftar acara yang membenarkan kalau cantik itu harus kurus.

Memangnya kenapa kalau gendut?

Kegemukan adalah indikasi kalau gue punya masalah. Bisa fisik, bisa psikologis. Buat gue, gak ada masalah fisik. Gue gak pernah mencapai berat ideal karena gue pemalas dan gak sayang ama badan gue. Gue terlalu stres untuk tidak berembunyi di balik gula-gula dan karbo lainnya.

Tapi  biar gue bisa melangsing tanpa menimbulkan depresi baru, gue harus sadar betul kalau gue gak perlu berubah.

I don't have to be happy. I don' have to be healthy. I dont have to lose weight.

But I do want to. Cause I have the power over my body.

Hati-hati lo pada nambah naksir.

Pemungut Cukai

Digibeta Demi Ucok yang dikirim pulang dari Festival Amsterdam ditahan di bea cukai. Katanya film ini tergolong barang impor, dan harus membayar bea cukai film sebanyak 12 juta.

Impor? Ini kan barang gue yang dikembalikan festival. Bukan buat diperdagangkan. 

Ternyata semua barang yang masuk ke Indonesia dianggap barang impor.

Peraturan bea cukai entah buatan menteri pintar mana yang gak masuk logika ini benar-benar merusak hari. Satu hari gue dihabiskan bolak balik Bea Cukai dan Fed ex  melalui  panasnya cengakreng.

Drama bea cukai ini menambah daftar panjang kisah kelam perfilman Indonesia yang belum untung sudah dipajak. Boro-boro memimpikan pemerintah mengembalikan pajak tontonan dengan menyekolahkan filmmaker, atau memberi subsidi bikin film seperti negara-negara beradab lainnya, filmmaker di ini malah dibebani pajak berlipat even sebelum filmnya untung.

Pas minjem alat, bayar pajak. Pas nyewa kru, bayar pajak. Bikin copy distribusi film, bayar pajak. Pas jualan tiket di bisoskop,  bayar pajak. Jual ke TV, bayar pajak.

Tidak ada duit yang tidak dipalak kawanan Gayus Tambunan dan dkk.

Baru tahu kenapa di Alkitab, pemungut cukai digolongkan kepada kawanan terhina bersama perempuan Sammaria.

Tiba-tiba datang pemberitahuan dari Bea Cukai, kali ini digibeta Demi Ucok dilepaskan. Lain kali jangan lupa memberi tahu kalau barang itu akan diimpor balik.

Perempuan Sammaria melengos. Sesama pendosa tidak boleh saling menghakimi.

Pijat Kurus


"Ayo kita ke pijat kurus...

Badan Kurus tanpa usaha..."

Chica bersenandung riang, siap-siap dipijat kurus.

Siapa bilang Pijat Kurus tanpa usaha?  Pertama kali gue pijat kurus, gue langsung curiga sejak di ruang tamu gue dihadang foto A1 pemilik klinik yang tak kurus.

Masuk ke dalam ruangan, gue dijajarkan bersama deretan ibu-ibu berlemak telanjang telungkup dan dipijit-pijit dengan tidak berpri-kelemakan. Yang terperas tidak hanya  lemak tapi juga sel-sel  darah putih dan sisa-sisa kesabaran. 

Pulangnya gue dibekali obat-obatan yang konon tidak membuat lapar berhari-hari. Memang benar tidak lapar.  Tapi di hari ke tiga selangkangan mulai dihadiri bercak-bercak darah padahal belum waktunya datang bulan.

Bisa kurus tanpa usaha? Bisa! Hanya bayarnya pakai sedikit liver dan sedikit ginjal.

Mungkin lebih baik berusaha, agar kita teap bersenandung riang dengan ginjal dan liver yang sempurna.

Senin, 03 Juni 2013

Jamila


Oh... da Jamila da Jamila da bintang pilim India
Boru Ni kalibat parumaen ni pandita
Asa godang do halak sega dibahen ho da Jamila
Diriphu anak boru ape naung ina-ina, oh Jamila...

Namanya bukan Jamila, tapi Imelda. Dia bukan bintang pilim India. Bukan anak kalibat, apalagi menantunya pendeta.

Tapi banyak laki-laki patah hati dibuatnya. Banyak yang tertipu mengira dia masih anak gadis, ternyata sudah ina-ina.

Tapi dulu.

Sekarang  Imelda bergoyang asyik diikuti lagu Jamila.  Walaupun dengan badan yang dua kali lipat masa lalu,  percaya dirinya masih seperti Imelda versi kilo 57.  Goyangnya gak kalah sama bintang pilim India.

Terbayang Imelda jadi bintang video klip Jamila di  Demi Turki. Harus banget ada lagu ini.

Hanya ternyata Jamila ini gak tahu siapa yang punya. Ada yang bilang Roy Sagala. Tihang Gultom. Ada juga yang bilang NN. 

Oh Jamila... Jamila. Ternyata tak hanya kamu yang membingungkan dan diperebutkan banyak lelaki. Lagumu pun demikian.

Patah Hati dan Herbalife


"Aturannya kan harus sehat! Gak boleh pakai obat-obatan," kata Bang Deden mengingatkan aturan maen Demi Turki mendengar Melda minum Herbalife tiap hari.

Dalam 8 bulan, kami harus turun 15 kilo seorang. 2 kilo sebulan seharusnya tidak mengancam kesehatan. Tapi 4 bulan berlalu, dan ternyata 4 Gondut belum juga mengurus.  Kecuali Atid yang patah hati dan turun 6  kg dalam seminggu.

Untung saja patah hati tidak termasuk dalam obat-obatan terlarang dalam pertaruhan Demi Turki, sehingga Atid tetap bisa melenggang kurus tanpa kena diskualifikasi.

Sekarang tinggal 4 bulan lagi. Sebenarnya menurunkan 15 kg dalam 4  bulan pun masih tidak membahayakan kesehatan. Dengan kedisiplinan dan olah raga, 4 kg sebulan bisa dicapai tanpa Herbalife.

"Ini kan herbal, bukan obat-obatan," tangkis Melda.

Akhirnya Deden menyerah. Asal tidak dikonsumsi pagi siang malam sebagai pengganti makanan, Herbalife tetap diperbolehkan.

Tapi gue tetap gak tertarik minum Herbalife. Bukan karena jelek bagi kesehatan tapi karena jelek bagi keuangan.

Pisang Lumut sesisir cuma 9000 ribu, bisa untuk sarapan 4 hari. Sementara Herbalife sehari 30 ribu.

Tapi paling  murah tetap patah hati. Hanya sayang, datang sepaket dengan ambeien.

5 Minutes of Me

Gue makan terus menerus. Kerjaan gue gak fokus. Gampang tersinggung dan menyalahkan sekitar.

Ini semua pasti karena Jakarta. Pemandangan kemacetan tanpa aturan dan jalan layang tak terselesaikan melintang siap mencederai kepala  mengacaukan inner peace dan kestabilan jiwa mahkluk-mahkluk eksternal seperti gua.  Gua butuh melihat yang teratur dan nyaman agar bisa bekerja dan menjaga kondisi badan dan pikiran tetap prima.

Tapi ternyata bukan salah ibu kota. Di Bandung pun gue mulai terganggu dan mengunyah tanpa henti. So there must be something wrong inside me, yang gak ada pengaruhnya dengan kinerja Jokowi.

Bagaimana cara agar gue bisa bekerja lebih efektif? 

Gue salah satu manusia paling beruntung yang tidak pernah perlu bekerja. Gue bersenang-senang  membuat karya yang gue suka dan dibayar dengan uang dan penghargaan.  Kenapa pekerjaan semenyenangkan ini tetap membawa tekanan?

Maybe I already work my body too hard. Badan gue bukan mesin. Dia butuh istirahat. Setiap jam. 5 Minutes of ME time. Sisanya gue bisa kembali fokus mengerjakan apapun yang dengan senang hati gue lakukan ketika badan tidak depresi.

5 menit ini bisa gue pakai untuk apa aja yang memanjakan badan dan pikiran gua. Bisa buat mendengarkan wahyu berlagu Jason Mraz, atau curhatan  New Radicals, atau jalan-jalan pipis ke kamar gue yang jauh dari kegalauan Kepompong Gendut.

Daripada bekerja 6 jam terus menerus, baru istirahat setengah jam, lebih baik gue istirahat 5 menit tiap jam. Biar badan gue lebih merasa sehat dan disayang, gak cuma dipecut terus berkarya berkarya dan berkarya as if hidup hanya untuk berkarya.  Badanku butuh berdendang bersama Jason Mraz.

Seleai berdendang,  bodi ini akan lebih hepi diajak bekerja. 55 Menit gue akan lebih bermanfaat.

From this minute on, I will enjoy every minute of my life.

Wedges, Crocs, dan Stilleto


Di atas stiletto 12 cm, dia berjalan dengan santai.

"Gue cuma pakai ini kalau ada acara doang. Sehari-hari ya gue pake wedges."

Sementara wedges buat gue sudah prestasi besar, lambang kewanitaan tingkat tinggi. Suatu hari gue terpaksa beli ankle boots wedges di saat kaki gue sudah beku akibat berjalan dengan sepatu basah di antara salju Perancis. Ternyata  wedges memperpanjang bagian bawah tubuh gue sehingga terlihat lebih ramping dan proporsional.  Tapi tidak buat dipakai sehari-hari melewati pedestrian tak kaki-awi di Jakarta. 

Sehari-hari gue pake sendal crocs item yang nyaman dan cocok dipakai untuk  semua jenis baju.

Hanya menurut gua, tentunya.

Banyak handai taulan yang terobsesi menggunting sendal crocs gue yang malang biar gak dipakai lagi.

Ada yang memberikan sepatu wakai kuning berdaun-daun hijau sebagai hadiah ulang tahun. Apakah ini cara Luckus mengatakan dia bosan liat sendal crocs gua tanpa silet dan gunting?

A woman is judged by the shoes she choose.

Apakah daily use of crocs hitam mendepak gue dari jejeran wanita sophisticated bercita rasa masa kini?

Apakah gue harus terlihat lebih ramping dan proporsional setiap hari dengan mengorbankan stuktur tulang telapak kaki?

Adakah sepatu nyaman yang bikin gue sophisticated ?

Ah terima saja memang gue bukan wanita sophisticated.

*kembali ke crocs hitam.

Menghakimi Opung Mak

Opung Mak memberikan cincin tunangannya kepada cucu kesayangan, Bang Deden. Tentunya harus laki-laki. Untuk yang perempuan, diberikanlah 3 gelang mas 24 karat kepada mereka yang paling baik  : Chica, Echa, dan gua.

Dari 50an cucu Opung, yang dikasih gelang hanya tiga. Chica dan Echa memang berbakti. Gue?

Apa karena gua mijit-mijit Opung tiap ketemu? Itu kan karena gue malas ngobrol ama Opung. Yang dia tanyakan selalu sudah makan kau? Makan kau! Nanti kurus!

Atau menceritakan betapa brengseknya Opung Pak, kurang ajarnya janda belakang, dan sederet kejelekan bodat lainnya. Gak ada yang perhatian padanya.

Padahal dulu Opung gak negatif. Opung yang gue inget di masa kecil selalu baik dan datang membawa hadiah.

"Dari dulu emang kayak gitu dia!" seru salah satu cucu yang sempat dimaki-maki pelacur karena satu kali waktu SMP  dia pulang malam.

Mungkin memang gue gak kenal Opung. Gue selalu tinggal di Luar Jakarta. Mungkin karena itu ingatan gue soal Opung bukan nenek pemaki-maki yang lidahnya setajam bulu babi.

Dalam hati gue berjanji, gue gak mau self centered. Kalau nggak tuanya akan jadi seperti Opung. Selalu berasa gak disayang. Selalu berasa orang lain bodat.

Tapi gue gak cukup tahu Opung untuk bisa menghakimi.

Yang gue tahu katanya Opung anak kapala negeri. Di saat wanita belum berekolah, dia sudah tamat sekolah guru. Ditambah masa itu masyarakat Batak masih menganggap gendut dan dada besar sebagai  lambang kesuburan, sehingga Opung Mak menjadi kembang desa. Tapi Opung Mak menolak dijodohkan. Dia memilih malu karena  terlambat kawin dan menunggu pujaan hatinya, si Managara Washington Simanjuntak.

Di masa itu, gadis seprogressive Kartini saja akhirnya menyerah dijodohkan dengan Bupati beristri banyak. Opung Mak sudah bisa punya sikap dan berkata tidak.

Tapi sekarang Opung Mak  selalu mengeluh Opung Pak hidung belang yang main mata sama janda sebelah. Baguslah dia mati.

Di waktu lain dia selalu bersenandung lagu merindu sambil memandang mesra foto Opung Pak. "Na sonang do hita na dua..."

Sudah 20 tahun sejak Opung Pak meniggalkan dia. Berkali-kali ada indikasi dia segera menyusul kekasihnya, tapi tidak juga.

Papi sempat berpikir  gak mau hidup lama-lama dan ngerepotin orang. Apakah Papi merasa direpotin Opung? Apakah Opung merasa Papi ngerasa direpotin?

Gue sempat berpikiran kalau Opung meninggal sekarang, episode 1 Demi Turki akan menjadi lebih festive. Terbayang footage kematian Batak yang dirayakan 3 hari 3 malam dengan tarian. A great way to start a story.

Dan cucu seperti ini yang dia beri gelang 24 karat. Pantas saja doi nyinyir.

Gue kembali memijit Opung, sambil membayangkan gue 70 tahun lagi ngapain. Mungkin gua masih aktif jalan-jalan membuat  film dan menyemangati manusia-manusia tua yang ingin mengejar mimpi.

Atau mungkin gue akan bersungut-sungut betapa anak muda tidak menghargai  film gua.

Selagi muda, jangan hakimi yang tua. Lo belum pernah tua. Lo gak tahu rasanya jadi dia.

Tuhan saja gak menghakimi, kenapa gue merusak diri sendiri dengan menghakimi? Rempong deh ah.

Lebih baik mengajak Opung menyanyi.

"Na sonang do hita na dua..."

Irama TV

Editor Sakit Perut. Sutradara panik. TV sudah mewanti-wanti, Rabu harus sudah jadi.

Pertama kalinya gue mengerjakan TV,  gue kira semua akan lancar. Isinya tentang gue yang pengen kurus, gue cuma perlu relax, jujur, dan keep a sense of humor in the shotlist. 

Ternyata tak ada kata relax di TV. Kita berlomba dengaan waktu. 15 Juni harus tayang, episode 1 belum terjabarkan.

Siapa suruh bikin program personal di TV?  Director lain bisa mengerjakan 1 episode dalam waktu 5 hari jadi. Gue gak bisa karena semua gue pikirkan dan jabarkan. Ini bukan proyek kejar tayang semata. Ini hidup gua dan saudara-saudara gua.

Terbiasa menulis film 80 menit berbulan-bulan, mengerjakan 2 episode x 24 menit dalam 3 hari bikin gue panik.

Ditambah editor sakit.

Dan komputer minta beli baru.

Di saat-saat menjelang deadline seperti ini, bukannya menulis, gue makan mengunyah keripik dan karbo tak kompleks lainnya sepanjang hari.

Profesionalisme dan masa depan gue dipertanyakan. Seharusnya gue mempersiapkan editor yang bisa menggantikan. Seharusnya gue bisa mengedit Avid. Jangan sampai tanpa jalan keluar seperti hari ini.

Atid, fokus. Kerjakan yang bisa dikerjakan. Sedikit demi sedikit. Mengunyah karbo tak bergizi tak menambah selesai.

Ah mungkin spesies personal kaya gue tak sebaiknya masuk ke TV.

Teringat pertama kali mengerjakan film cin(T)a, gue tertidur bermimpi shooting, terbangun teringat shotlist, dan terus berlanjut hingga setelah shooting berakhir. Gue berpikir gak akan lagi gue bikin film.

Dan sampai hari ini masih bikin film.

You are doing good, sayang. Don't be too hard on yourself, so you won't be too hard on your editor.

The worst thing you would get is not getting any TV job. And it is not the end of the world.  Selama masih ada Youtube, lo masih bisa bikin film.

Just focus on what you wanna say.

Tahun Baru

Keluarga bagi gua adalah wajah-wajah yang hanya gue temui tiap  malam Tahun Baru di Rumah Opung. Anak Opung ada sembilan, cucunya lima puluhan. Keluarga gue satu-satunya yang gak tinggal di Jakarta. Anak-anak Jakarta ini sepertinya lebih bahagia dari gua. Lebih terbuka, dan lebih bisa berbicara.

Setiap malam tahun baru, gua biasanya makan rendang dan  es krim walls kiriman tetangga sebelum diam-diam menyelinap ke atas  menghabiskan baca buku seharian di beranda atas. Baru turun kembali  ketika Opung bagi-bagi duit kepada deretan cucu. Sebenarnya gue berharap bisa menghabiskan malam tahun baru bersama sahabat-sahabat sekolah yang sepertinya lebih mengerti gua, tapi tidak bisa. Setiap Batak wajib bertahun baru di Rumah Opung.

Beranjak dewasa,  gue ada bahan obrolan. Gue bukan lagi anak daerah yang gak punya cerita. Sekarang gue baru pulang dari Amerika. Tapi sepertinya  mereka tetap tidak suka ngobrol dengan gua. Gue berubah dari anak daerah yang pemalu menjadi anak Amerika yang belagu.

Semakin dewasa, jumlah cucu semakin berkurang. Sebagian mulai menikah dan bertahun baru di rumah mertua mereka. Walaupun udah menjelang tiga puluh, gue tetap Batak dan gue tetap bertahun baru ke Rumah Opung.

Tahun ini isinya tinggal 2 keluarga, keturunan 2 anak lelaki Opung. Papi dan Bapak Tua.

Keluarga Papi tetap datang lengkap karena gua dan Deden belum menikah. Chica mertuanya Jawa, gak wajib ngumpul tiap Tahun Baru.

Mak Gondut sebagai sintua  akan memimpin kebaktian dan membagikan fotokopian acara kebaktian template dari HKBP pusat di kampung sana. Keluarga bernyanyi tanpa gairah tanpa alat musik.

Hanya Opung yang berani bilang 'aminnnn' di saat Mak Gondut belum selesai berdoa dan diamini seluruh keluarga. Tentunya hanya dalam hati.

Siangnya lebih meriah. Bang Pinon bergitar diiringi suara-suara Namboru melagukan medley Alusiau Anjuahu Molo adong na salah blabla bla, bersaing dengan adzan mesjid tetangga.

Opung akan terduduk termangu-mangu, tidak lagi membagi-bagikan sangu. Sekarang ingatannya mulai terganggu. Dia tidak tahu kalau Jepang sudah berlalu.
 
Tahun depan tidak ada yang tahu apakah Opung belum berlalu.

Jika Opung berlalu, ke manakah gue bertahun baru? Kebut-kebutan dan party-party bersama sahabat yang gue impikan dulu tidak lagi menarik hati. Sahabat-sahabat itu pun sudah menikah dan tidak lagi saling mengerti. Mungkin mereka ada yang menikah dengan Batak jadi tak bisa keluar pas Tahun Baru.

Tahun ini gue tiga puluh. Mungkin sudah waktunya gue menentukan di mana gue bertahun baru. Tidak lagi di Rumah Opung.

Tapi ke mana gue harus pergi?

Menang

In a culture so obsessed with winning, gue gak suka jadi kalah.

Saat nama Herwin Novianto dibacakan, gue gak merasa kalah. Gue aware kalau piala-piala  ini ada maunya.  Herwin Novianto bukan sutradara yang lebih baik dari Hanung Bramantyo. Atau Garin Nugroho. Atau Sammario.

Tapi ketika dulu nama gue yang dibacakan,  sempat ada perasaaan senang dan harap-harap kalau memang gue lebih baik dari yang lainnya. Setidaknya sekarang gue ada pengakuan.

Apakah semua pemenang sebenarnya loser inside? Butuh pengakuan baru bisa bahagia? Butuh orang lain lebih buruk dari kita.

Adakah cara lain membahagiakan diri selain menang dan mengalahkan orang lain?

Memenangkan orang lain. Melihat Mak Gondut menang, gue merasa lebih menang dari semua pemenang. Gak semua orang bisa menghantar emaknya memenangkan Piala.

Apakah gue anak berbakti  atau another loser inside? Apakah orang lain kurang berbakti kalau gak memenangkan piala buat emaknya?

In a culture so obsessed with winning, satu-satunya cara biar lo bisa bilang menang itu gak penting tanpa terdengar jadi sore loser  adalah ketika lo pemenang.

Dan hari ini gue bukan pemenang, jadi sebaiknya gue diam aja.

Tapi gue anak pemenang.

Bangga?

Banget.

Ah, emang loser inside.

Make Up

Snow BB Soothing Cushion

Lumi Block Primer

Power Essential Skin Refiner

Snow BB Creaam SPF 30+ PA ++

Dan deretan nama-nama pesanan Chica di Korea yang tidak menunjukkan apa fungsinya. Tenyata Snow BB Something Cushion itu bedak dan Block Lumi Primer itu foundation.

"It's not foundation. The foundation is Snow BB Cream SPF 30+ PA ++"

Gue mengangguk pura-pura mengerti.

Di sepanjang satu jalan kecil ini, gue sudah menemukan setidaknya 5 brand make up Korea damping berdampingan jualan tanpa ada tanda-tanda kekurangan pembeli. Nature Republic.  Laneige.  Innisfree. Skinfood. Misha.  Belum lagi brand impor Face Shop Body Shop Estee Lauder dan dengan nama-nama beragam hanya untuk menyebut bedak.

Dasar make up jaman sekarang. Bedak aja kok nyebutnya beda-beda. Gak boleh sama sama toko tetangga.

Belok sedikit, di jalan sebelah sudah berderet toko brand-brand make up yang sama.  Nature Republic.  Laneige.  Innisfree. Skinfood. Misha. Face Shop. Body Shop. Estee Lauder.

Sepertinya selama wanita masih insecure, pemerintah Korea tetap tidak akan pernah kekurangan devisa.

Baru sehari pakai make up, sudah muncul 2 jerawat di pipi gua. Jangan khawatir. Untuk mengobatinya, Laneige sudah menyiapkan obatnya yang akan membuat pori-pori tidak lagi tersumbat dan sekalian pembersihnya, yang sebaiknya dipakai tiap kita keringetan. Tentunya abis dibersihin pake make up lagi yaaaaa.

Gue menghela napas panjang dan berjanji besok gak akan pake make up lagi.

Gue cantik apa adanya.  

Dengan sedikit Sun block SPF 30 tiga puluh ribuan. Umur udah 30, Mbak. Butuh perlindungan.

Minggu, 02 Juni 2013

Out For Good

Gue pengen keluar dari  Indonesia. Gue pengen belajar bikin film.

Tapi film gue kurang arthouse untuk minta beasiswa dari festival, dan kurang komersil untuk berharap dilirik produser Hollywood.

Banyak filmmaker Iran minta suaka ke Paris, tapi negara gue kurang represif biar gue bisa kabur.

Pilihan terbaik saat ini adalah mengerjakan tugas gue sebaik-baiknya: Demi Turki, In The Absence Of The Sun, dan Dongeng Bawah Angin.

Mudah-mudahan angin akan membawa gue ke Paris.

Atau Amsterdam. New York. Seoul. Melbourne. Bombay. Toronto. Hong Kong. Bangkok.

Anywhere yang infrastruktur filmnya maju dan gay marriage legal.

Paris dong?

Sabtu, 01 Juni 2013

Narasi Frustasi

Mindfulness shows in everything you do. Not only eating.

"Hari ini semua lo makan," kata co-director lain mengingatkan, melihat gue menyambar kripik tempe sambil mengawasi monitor editor.

Hari ini dimulai dengan sebuah mindful banana sesuai doktrin breakfast Food Combining. Rencananya gue akan mulai merangkai narasi episode 3 Demi Turki dengan tenang agar Rabu nanti Kompas gak freak out ngeliat another rough cut tanpa storytelling yang gripping.

Begitu sampai di kepompong yang gendut dan berantakan, I lost my focus.

Oleh-oleh buat Daud ikut gue cicip. Kue-kue pasar yang rasanya biasa aja gue makan tiga. Seloyang pizza + french fries Daud + seperempat Calzone Deden + mojitos hijau artifisial + sisa milkshake Deden ikut masuk perut tanpa awareness. Pulang-pulang langsung menyambar tahu dan tempe goreng,dimakan sambil jalan naik tangga. Seporsi besar bihun goreng Naripan pun langsung disantap diiringi kicauan Mak Gondut. Diakhiri dengan kripik tempe dan sebuah peringatan dari Daud.

Gue menarik nafas panjang, mencoba fokus lagi. Biar gue gak merusak tubuh dan pikiran dengan racun-acun yang rasanya sebenarnya tak membuat perasaan bahagia, malah semakin frustasi. Tidak seperti soft tofu sopu dan green tea cookie kemarin. Hmmm...

Gue kembali ke kamar, meninggalkan para editor yang bekeja keras dengan alasan gak bisa menulis kalau berantakan.

Di kamar, gue tertidur dan baru bangun 11 jam kemudian.

Tidur dan makan kebanyakan: tanda-tanda frustasi?

Atid, don't be so tough on yourself.  You just had 7 days of  your first time being a jury in a festival far away from home,  a long hour flight, and a bus ride from Jakarta that takes longer than the flight. Thanks to kemacetan Jakarta di malam Jumat.

You deseve a lot of food and a lot of sleep. 

Don't judge yourself, so you won't judge others.

I love you.

Narasi Frustasi

Mindfulness shows in everything you do. Not only eating.

"Hari ini semua lo makan," kata co-director lain mengingatkan, melihat gue menyambar kripik tempe sambil mengawasi monitor editor.

Hari ini dimulai dengan sebuah mindful banana sesuai doktrin breakfast Food Combining. Rencananya gue akan mulai merangkai narasi episode 3 Demi Turki dengan tenang agar Rabu nanti Kompas gak freak out ngeliat another rough cut tanpa storytelling yang gripping.

Begitu sampai di kepompong yang gendut dan berantakan, I lost my focus.

Oleh-oleh buat Daud ikut gue cicip. Kue-kue pasar yang rasanya biasa aja gue makan tiga. Seloyang pizza + french fries Daud + seperempat Calzone Deden + mojitos hijau artifisial + sisa milkshake Deden ikut masuk perut tanpa awareness. Pulang-pulang langsung menyambar tahu dan tempe goreng,dimakan sambil jalan naik tangga. Seporsi besar bihun goreng Naripan pun langsung disantap diiringi kicauan Mak Gondut. Diakhiri dengan kripik tempe dan sebuah peringatan dari Daud.

Gue menarik nafas panjang, mencoba fokus lagi. Biar gue gak merusak tubuh dan pikiran dengan racun-acun yang rasanya sebenarnya tak membuat perasaan bahagia, malah semakin frustasi. Tidak seperti soft tofu sopu dan green tea cookie kemarin. Hmmm...

Gue kembali ke kamar, meninggalkan para editor yang bekeja keras dengan alasan gak bisa menulis kalau berantakan.

Di kamar, gue tertidur dan baru bangun 11 jam kemudian.

Tidur dan makan kebanyakan: tanda-tanda frustasi?

Atid, don't be so tough on yourself.  You just had 7 days of  your first time being a jury in a festival far away from home,  a long hour flight, and a bus ride from Jakarta that takes longer than the flight. Thanks to kemacetan Jakarta di malam Jumat.

You deseve a lot of food and a lot of sleep. 

Don't judge yourself, so you won't judge others.

I love you.