Minggu, 31 Januari 2016

Arisan Lima Juta

Papi mau minjam uang lima juta. Mau ada arisan Marpaung di rumahnya.

"Kok mahal banget arisan aja lima juta?" tanya gue yang baru pertama kali ini seumur hidup dipinjam duitnya ama Papi.

"Ini kan kebanggaan, harus kita service. Biasanya arisan Bonataon itu gak pernah di rumah boru."

Artinya:

Ini kebanggaan buat Papi yang seorang Simanjuntak. Biasanya arisan tahun baru selalu dilakukan di rumah yang suaminya bermarga Marpaung. Ini kan yang Marpaung itu istri Papi, Mak Gondut.

Karenanya Papi hari ini memesan babi panggang karo di tempat terbaik. Nur mengupas kentang berkilo-kilo. Mak memasak ikan berekor-ekor.

Semua untuk menyambut datangnya para hula-hula.

Artinya:

Para lelaki dari marga Mami.

Yang datang hanya 20.

Mami membungkusi ikan dan babi yang berlimpah untuk dibawa pulang lalu pergi tidur dengan sedih.

Sabtu, 30 Januari 2016

The Quiet Film

"Sepi kali... kayak bukan nonton film," kata Mak Gondut kecewa setelah nonton Siti.

Berbeda sekali dengan reaksi gue dulu ketika pertama kali nonton Siti. Gue terdiam, tidak berkomentar. Diam-diam dalam hati berjanji tidak akan lagi mengacuhkan mbak-mbak penjual peyek. Gue berjanji akan membeli dagangan mereka walaupun gue gak suka peyek.

Diam yang sedih bercampur bahagia. Sedih karena Siti sepertinya tidak punya pilihan, sementara gue di sini berkelimpahan. Walau tidak ada adegan melankolis berdoa menangisi nasib diri sendiri, gue tetap peduli pada Siti. Bahagia karena akhirnya ada film Indonesia yang membuat gue peduli sama karakternya.

Setelah mempromosikan Siti di sebuah whatsapp group mantan arsitek ITB, ada satu orang yang berhasil dirayu menonton walau harus meninggalkan anaknya yang sakit. Dia sedih karena di satu bioskop hanya ada dua yang menonton.

Tapi gue tidak sedih. Gue sudah menyangka film seperti Siti tidak akan ramai ditonton. 

Mungkin saat ini dunia lebih suka film-film yang bersuara lantang. Makanya Carol yang isinya pandang-pandangan gak masuk nominasi Best Film. Dan Brie Larson yang teriak-teriak di Room dianggap lebih mampu ber-acting daripada  Saoirse Ronan yang menggambarkan perubahan si cewe Brooklyn hanya dengan cara bernapas dan menatap.

Bukan berarti dalam sepinya, mereka tidak meninggalkan jejak di hati.


Jumat, 29 Januari 2016

Berani

Oscar season is here. Gue berkubang di kotak gue di lantai 11, marathon berbagai film heits dari satu pelosok dunia. Hollywood.

Ternyata Amerika dulu sangat ketakutan. Takut masuk neraka sampai lesbian dianggap tindak kriminal. Takut sama presiden, sampai lupa kalau tugas stasiun berita adalah mempertanyakan. Takut komunis sampai memenjarakan penulis-penulis terbaiknya. Takut kelihatan gak macho sampai memilih pemimpin aktor-aktor sok macho sok bijak yang di film kayanya bijaksana.

Tapi selalu ada orang-orang berani yang ingin berubah. Kalau Amerika bisa berubah, Indonesia pun bisa.

Lalu baca kenapa Donald Trump mungkin jadi the next president. Banyak white Americans yang takut mereka gak lagi diurus dan lama kelamaan tergerus imigran. Mereka mau Amerika yang dulu.

Ternyata Amerika belum berubah.

Sejarah selalu berulang. Manusia ketakutan selalu tampak lebih mendominasi. Tapi hanya mereka yang berani yang akhirnya dibikin jadi film diperankan Cate Blanchett.

Lawannya takut bukan berani.

Cinta.


The Bah Big Short

Sudah banyak dokumenter tentang Krisis Ekonomi 2008 yang gue tonton. Baru kali ini gue nangis.

Mungkin karena yang ini bukan dokumenter, more dramatization. Mungkin karena gue lagi mens. Mungkin karena sekarang udah punya ponakan, lebih takut masa depan mereka disetir bankir-bankir tak bernurani.

Ada waktunya dahulu kala gue kagum dengan bankir-bankir bergaji ratusan juta.

Nggak lagi.

"Cepetan resign deh," kata gue sama kakak gue yang kerja di satu dari tiga bank paling serakah di dunia. Sewaktu kuliah, bisa kerja di sana sepertinya membanggakan.

Nggak lagi.

"Yang jahat kan yang di New York sana, Tid. Kaya gue-gue gini ya taunya kerja aja, dapet gaji, buat anak-anak."

Lalu dia menceritakan pekerjaannya, menganalisa performa kartu kredit. Semakin macet, semakin disukai. Justru yang kaya gue, yang selalu bayar tepat waktu, gak menguntungkan buat bank.

"Sayang bakat dan waktu lo kalau diabisin buat memperkaya sistem yang cuma untung kalau orang lain rugi. Mending lo kerja di perusahaan yang gajinya lebih gede, deket rumah, jamnya lebih manusiawi, lebih bermanfaat buat masa depan Duo Mokmoks"

"Kau carikanlah."

"Emang gaji lo berapa sih? Kita majuin Kepompong Gendut aja."

Hampir 500 juta.

Bah.

Rabu, 27 Januari 2016

Love Over Stupidity

Mak Gondut nge-whatsapp sebuah berita yang sepertinya dia copas dari whatsapp lain yang copas dari web aceh cyber berdesain ala matrix reloaded yang dicopas dari online sebuah koran terbelakang yang dikutip dari seorang Menteri Agama yang melihat LGBT hanya dari sudut pandang agama versi dia sendiri.

"Masyarakat hendaknya tidak menyalahkan dan menyudutkan pelaku LGBT, mereka adalah korban yang perlu bantuan."

Gue memilih tidak menjawab whatsapp Mak Gondut. Di saat banyak  hal yang seharusnya diurusi agama terjadi di dunia malah tidak mendapatkan bantuan, berdebat soal LGBT boleh atau tidak menjadi menjemukan. Korban perang Siria yang ditolak di mana-mana, misalnya.

"Perilaku LGBT bisa saja disebabkan oleh genetik atau keturunan dan faktor lingkungan yang telah menjadi gaya hidup. Mereka ini seharusnya dapat dirangkul dan diayomi serta dibimbing agar mendapatkan solusi yang terbaik."

Gue juga tidak akan mengkhotbahi betapa homoseksualitas sudah ada di semua spesies sejak dahulu kala.Kalau mereka mau mereka bisa baca sendiri. Tapi kalau mereka ada waktu membaca lebih baik membaca kenapa Arab Saudi bisa sesuka hati ngebom Yaman.

Mungkin karena didukung lingkungan, tetmasuk the big brothers Inggris dan Amerika. Arab Saudi ini seharusnya dirangkul dan diayomi agar tidak terus menerus membunuh orang demi keuntungan dagang senjata dan minyak.

"Bahkan, bisa saja mereka sebenarnya tidak ingin terus-menerus berperilaku seperti itu. Mereka bisa saja ingin bebas dari masalah yang mereka rasakan."

Ah itu kan perasaan sok tahu bapak saja. Gue sudah menerima kok kalau gue memang diciptakan begini, dan tidak ingin menjadi orang lain yang sesuai standar baik seorang menteri yang tidak berusaha mendalami masalah dan hanya menjawab berdasarkan komentar populer.

Lebih baik kita bersama-sama membicarakan hal-hal yang kita bisa sepakati. Hal-hal yang membuat lingkungan hidup kita lebih baik. Gak usah jauh-jauh ke Yaman dan Siria.

Bisa dimulai dengan gimana caranya si Nur yang kerja di rumah kita demi anaknya di kampung bisa merasa lebih berarti. Atau industri film yang akan dihapus dari Daftar Negatif Investasi dan dampaknya pada budaya dan ekonomi kita.

Selasa, 26 Januari 2016

Mamak-Mamak Beranak Kembar

"Tujuh ratus lima belas ribu rupiah," kata si mbak-mbak kasir spa.

Gue kaget. Kirain paling lima ratus ribu.Tapi gue udah terlanjur janji bayarin Chica nyalon. Minggu depan Chica kembali bekerja setelah empat bulan ngurusin Duo Mokmoks.

Chica pengen resign dan konsentrasi ngurusin Duo Mokmoks. Tapi dia takut gak punya uang. Takut anaknya malah jadi anaknya pengasuh. Takut kehilangan momen-momen ngerangkak Duo Mokmoks. Takut bosan di rumah dan malah jadi mamak kejam.

Karenanya biarlah hari ini dia leha-leha. Uang kan bisa dicari.

"Biar kakinya gak tebel kaya gini, mending tiap malam pakai baby lotion trus dibungkus kaos kaki, Mbak," kata terapis Chica sambil mengamplas telapak kakinya.

"Udah gak kepikiran, Mbak. Saya baru ngelahirin anak kembar."

"Saya juga baru melahirkan anak kembar, Mbak. Ini saya baru masuk lagi kerja," kata mbak-mbak terapis.

Sama-sama kembar cewe. Sama-sama baru empat bulan. Umur si Mbak pun sama dengan Chica.

Berat badannya beda sih.

Sambil terus mengasah kuku kaki Chica, dia menceritakan kedua anak kembarnya yang dua-duanya di bawah dua kilo. Karena dia gak punya uang bayar NICU yang sehari lima juta, anaknya tiga hari langsung dibawa pulang walaupun masih kuning. Tiap hari dia sinari sendiri dengan botol Coca Cola diisi air dan dua lampu sebagai pengganti NICU 5 juta.

"Untungnya udah 2.5 kg sekarang... jadi saya bisa kembali kerja."

"Gak takut ninggalin anak di rumah, Mbak?"

"Ya kadang satu saya bawa kerja juga, Mbak. Satu ditinggal sama mertua."

Sore itu Chica pulang dengan lebih tegar, menyadari kalau banyak yang lebih harus berjuang.

Memang sudah harusnya kami nyalon.

Senin, 25 Januari 2016

Berbagai Baju Dia

"Jadi gitu dek caranya presentasi ke client," katanya.

Ini pertama kalinya gue bekerja sama dengan dia, mengikuti proses dia mulai dari cari ide sampai nanti shooting, ngedit, dan presentasi lagi. Dia memang berbeda di depan client dan di depan kami. Hanya bajunya saja yang selalu hitam.

Walau cari idenya hanya 5 menit, ditulis hanya dalam waktu 5 menit karena dia lanjut mau kencan,  di depan client dia bisa mempresentasikan dengan meyakinkan, menggunakan frase-frase berbahasa Inggris yang seperti dipanen dari brandbook client.

Tiga jam gue mikirin ide cerita gak ketemu karena banyak batasan. Lokasinya harus satu. Harus bisa menarik orang selama 80 menit. Dan yang paling penting, product client harus masuk.

"Macam film Circle itu aja lah. Udah nonton kan kau?"

Gue mengangguk walau ternyata yang gue udah nonton Signs. Untung Circle ada di Netflix.

Sepertinya dia sudah menonton semua film di dunia. At least semua film yang premisnya bagus, bukan yang kata kritik bagus. Makanya bisa bikin ide cerita 5 menit jadi.

"Jadi begitu dari kami. Next kami akan...," katanya mengakhiri meeting. Tidak membiarkan client mengatur jadwal kami. Waktu kami sangat berharga.

Dalam hati gue bersyukur bisa mengamati cara dia bekerja dari dekat.

Selama makan siang, tidak ada obrolan soal film sedikitpun. Dia menceritakan seorang berondong beragama yang dia sosor di Facebook.  Sudah beda lagi dengan berondong kencan kemaren.

"Aku pengen kawin lah, Dek..."

"Lah abang pacaran tiga tahun aja bosan,  kok bisa pengen kawin?"

"Pesanlah dulu... pesan..."

Gue menyisir menu, tidak lagi ngomongin kawin.

Dia berbeda ke tiap-tiap orang. 

Minggu, 24 Januari 2016

There Is Enough For Everyone

"Jadi ibu kan bayar saya 90 ribu. Saya dapat 90 ribu kurang 20%. Yang punya mobil dapat 90 ribu kurang 20%," kata si supir sebuah taksi aplikasi.

"Lah terus perusahaan apps taksi ini dapat apa?" kata gue yang menghitung-hitung si apps taksi malah tekor 60%.

"Ya itu saya nggak ngerti, Bu. Bisnis sekarang udah gak konvensional lagi. Untungnya bisa dari informasi. Macam whatsapp yang merugi terus aja malah dibeli gede ama Facebook."

Atau memang bisnis ini bukan untuk nyari duit, tapi nyari data untuk menguasai 99% penduduk bumi yang tahunya hanya bertahan hidup. Toh the top 1% sudah punya 99% kekayaan dunia.

Sistem uang di dunia ini semakin tidak masuk akal. Dibuat sedemikian rumit agar yang miskin semakin tak paham dan yang paham semakin kaya.

Padahal tidak harus begini.

Bayangkan sebuah dunia di mana semua orang berkecukupan. Tidak ada yang perlu dibeli atau dijual. Semua bisa bepergian dengan cuma-cuma. Semua orang bisa fokus ke legenda hidup mereka dan tidak perlu mengerjakan hal yang mereka gak suka karena semua sudah berkecukupan. Semua orang tidak perlu merasa superior untuk mengobati insecurity mereka karena semua sudah happy menjalani hidup yang sesuai the joy that is only in their heart.

Tapi, selama gue masih butuh uang, gue tidak akan pernah bebas.

Apa sih yang gue butuh sampai harus pakai uang?

1. Tagihan air/ listrik/ pajak. - Ini gue udah salah banget sih karena tinggal di apartemen yang bisa sesuka hati bikin tarif. Seharusnya gue tinggal di rumah yang bisa bikin energi sendiri. 

2. Transportasi. - Kalau gak terlalu perlu, gak usahlah gue pergi-pergi. Lebih baik eksplorasi sekitar gue dengan lebih mendalam. Kalaupun harus pergi-pergi, public transportation is better. Jangan nambah-nambahin beban diri dan planet dengan beli mobil.

3. Makanan/ minuman. - Diet. You need that. Dan kalau sudah waktunya nanti, tanam sendiri. Cari rumah yang dekat sumber air yang belum terjamah perusahaan air minum.

4. Baju. - bikin sendiri? atau at least beli yang dibuat dengan fair trade dan tahan lama. Jangan berpartisipasi bikin Bodat-Bodat tambah kaya. OMG semakin nomor 4 kok semakin mirip Gandhi ya? Gue dah telat puluhan tahun.

5. HP/ Informasi/ Hiburan. - Internet adalah teknologi yang membuat gue bersyukur hidup di masa kini, membebaskan gue nyari informasi dari media alternatif, gak cuma dari media besar yang isinya dikontrol. Mungkin gak ya gue nanti gak pake HP? Benar2 berkomunikasi lewat wifi aja?

6. Kesehatan, termasuk pijit. - Kalau gue makan lebih sehat dan jalan lebih banyak, harusnya biaya ini bisa dihilangkan.

Tinggal di desa jadi semakin menarik.

Sabtu, 23 Januari 2016

Fat, Sick, and Nearly Dead

Seorang eksekutif muda 41 tahun beratnya 145 kg, dan kebanyakan kilo extra ini ngumpulnya di perut. Kegendutan ini membuat dia banyak muncul merah-merah di kulit dan harus makan obat terus menerus. Bosan seumur hidup makan obat, dia memulai revolusi diri dengan makan hanya juice buah dan sayuran selama 60 hari.

Hasilnya tidak hanya gatal-gatalnya hilang, beratnya pun sekarang 90 kg.

Lalu dia membantu seorang supir truk dengan penyakit yang sama persis dengan dia. Beratnya 250 kiloan, udah cerai dua kali, dan sepertinya dari caranya berjalan tidak punya lagi kebanggaan diri.

Kadang-kadang kegendutan memang mencerminkan gak sayang diri sendiri.

Karenanya, gue kembali melirik resolusi awal tahun. Setelah tahun baru yang dipenuhi coklat cheesecake dan tiramisu, berat gue 99,6 kg. Hampir sebulan berlalu, berat gue sempat 95kg. Tapi pasca berkunjung ke Ruku dan meeting dekat Ketoprak Ciragil,  berat gue kembali 99,6.

Melihat mereka, sepertinya 55 kg dalam 6 bulan masih terlihat sehat.  Berat ideal gue 55, jadi cukuplah 45 kg dalam 6 bulan.

170 cm dan 55 kg gue jadi kaya apa ya?

Google...

Jessica Alba.

Siapa sih Jessica Alba?

Sedih banget kalau gue diet cuma biar mirip Jessica Alba.

Tapi yang paling menarik dari dokumenter ini, setelah dia jadi 90kg dia jadi punya banyak duit karena pengeluarannya berkurang drastis. Dia jadi bisa invest duitnya di salah satu fashion designer lokal.

Kalau gue diet dan mengurus, gue gak perlu lagi beli baju di H&M dan M&S dan fast fashion lainnya. Bisa beli baju lokal yang biasanya gak ada buat orang gendut. Maybe in time gue bisa invest di fashion lokal yang fokus ke plus size women.

Baru deh 'dangdut tali kecapi biar gendut yang penting seksi' gak jadi slogan lucu-lucuan doang.

Jumat, 22 Januari 2016

Annual

"Jadi mereka mau bikin screening yang annual, nah pas kan tuh ama visi acara lo. Kalik aja bisa kerjasama."

Lalu kami melanjutkan ngobrol soal screening yang ingin dia kerjakan di Bandung. Konsistensi menjadi kunci penting. Harus annual.

"Maksud lo rutin kali ya?" katanya setelah annual gue yang entah ke berapa.

Ternyata annual artinya tahunan.

"Iya maksudnya rutin," jawab gue malu.

Selain konsistensi, penggunanaan bahasa yang gue tahu artinya juga penting.

Konsistensi artinya apa ya?

Kamis, 21 Januari 2016

Doa Papi

"Eda, ada job lagi nih," whatsapp seorang produser.

"Bilang dulu sama client kau itu. Gue 32 tahun dan 97 kg," jawab gue galak.

"Hahaha yang ini udah pasti kok."

Karenanya, besok pagi gue akan kembali ke Jakarta. Papi toh sudah gak mencret-mencret lagi. Script gue hampir selesai. Mungkin gue ngerjain iklan ini pertanda mereka mau sponsorin film gue.

Amin.

Malam ini gue totok wajah aja biar Papi senang.

"Tadi Papi udah bilang ke si Om dari Irian itu. Udah Papi angkat-angkat bilang istrinya cocok kali main pilim, tapi kayanya gak tertarik dia bayarin pilim," kata Papi di sela-sela merem-merem dipijit kupingnya.

"Gapapa lah, Pi. Ntar Atid cari sponsor aja," jawab gue santai.

Film tentang revolusi sandang, pangan, papan yang dimulai emak-emak dari rumahnya sendiri... kayanya emang gak cucok kalau dibayari orang yang berbau-bau Freeport.

"Besok Atid ke Jakarta ya, Pi."

"Ya Papi doakanlah dari sini."

Instalasi Gawat Yang Gak Mengenal Darurat

"Mami belum tidur. Sampai jam 3 pagi mami masih ngelap-ngelap mencret Papi, berceceran di tempat tidur rumah sakit. Ada tiga suster di situ, bukannya mau mereka nolongin. Kami malah disuruh-suruh pulang terus," keluh Mak Gondut menyesalkan kenapa tadi malam dia gak langsung bawa Papi ke rumah sakit Advent, malah ke rumah sakit tentara dekat rumah.

"Iyalah lain kali bawa ke Advent aja. Mami kan juga udah tua. Kesehatan Mami lebih penting daripada duit," jawab gue.

Tapi Papi ngotot pagi ini dia dibawa ke rumah sakit tentara lagi, kali ini yang di Cimahi. Dia bilang di rumah sakit tentara dia lebih diurus karena banyak temannya.

Bukan karena gratis.

Tapi harus langsung ke IGD karena BPJS Papi sebenarnya tidak memperbolehkan Papi langsung ke sini tanpa rujukan. Kecuali lewat IGD.

Sesampainya di IGD, gue turun dari mobil dan kebingungan harus melapor ke mana.

"Kalau bawa pasien, ke dalam aja bu. Di luar sini buat administrasi."

"Pasiennya bisa duduk di kursi roda atau harus tidur?" tanya suster di dalam.

Manalah gue tahu.  Harus gue balik ke mobil, nanya dulu?

Lalu dia mengambil tempat tidur dorong dengan tidak sigap.

Kalau yang gue bawa pasien gawat darurat beneran, sepertinya udah mati sekarang.

Papi diperiksa dokter jaga berbadan gym dan berbatik mahal.

"Oh ini masalah perut aja kok, Pak. Gak perlu dirawat," katanya, belum 10 detik memeriksa.

"Saya sudah telepon Dokter Itu, katanya langsung di-EKG aja dulu..."

"Gak perlu kok, Pak..."

"Bisa telepon Dokter Itu aja minta kemari?"

"Wahhh saya gak bisa nelepon-nelepon Dokter Itu nyuruh-nyuruh kemari.Bapak telepon aja sendiri," katanya cuek sambil mengangkat tangan dan menjauh pergi, kembali makan kripik bersama suster-suster.

Lalu tujuh calon dokter mengelilingi Papi, menanyakan pertanyaan yang itu-itu terus diulang-ulang sambil memegang rekam medis Papi. Kalau saja mereka bisa membaca, tidak perlu mereka menanyai Papi. Tapi setidaknya Papi jadi di-EKG. Walaupun harus diulang tiga kali karena salah pasang kabel dan kertas abis.

Lalu Dokter Itu datang dan semua menjadi lebih ramah. Gue akhirnya mengerti kenapa Papi lebih merasa dianggep di sini.

Tapi kalau Papi pasien gawat beneran, dari tadi Papi udah mati tiga kali.

Lain kali harus ke Advent.

Selasa, 19 Januari 2016

Mati Bahagia

"Disuntik kok," kata mbak-mbak berlipstik marun temen les Bahasa Inggris gue waktu SMA.

Gue terbaring pasrah di tempat tidur bangsal rumah sakit itu. Kedua tangan gue terikat di kedua sisi besinya yang reot. Gue tahu gue dihukum mati, tapi entah karena apa.

Di tempat tidur sana, Chica juga diikat... Papi menemani di sisinya.

Jarum itu menancap di leher gue.

Gue menutup mata sambil berterima kasih kepada Tuhan. Terus menerus mengulangi terima kasih yang sama, yang  selalu mengapung di kepala gue tanpa pernah dipanggil.

Sedikit demi sedikit, napas gue melemah. Lalu padam dalam sekejap seperti disengat listrik.

Oh ini toh rasanya mati.

Gue bangkit dengan perasaan bahagia. Sangat bahagia. Akhirnya gua merdeka.

Gue meloncat-loncat bahagia sambil berterima kasih, menghalangi si suster yang hendak keluar.

"You're welcome," jawabnya.

"Kok lo bisa denger gue?" tanya gue heran.

"I just sense it," jawabnya sambil lanjut keluar sepertinya bisa menembus gue. Tapi gue minggir, memberi dia jalan.

Ada gunanya juga dia les bahasa Inggris.

Lalu gue berjalan ke sana, ke tempat tidur Chica. Menanti Chica yang baru saja disuntik mati. Papi di sebelah sana, mengambil bangku baru. Sepertinya sadar gue juga butuh bangku.

Gue duduk menanti dengan bahagia menanti waktu bergosip lagi dengan Chica, sampai tiba-tiba ketakutan itu melintas...

Bagaimana kalau Chica mati tapi kami tidak bisa ngobrol satu sama lain?

Betapa sepinya hidup.

Eh, kematian...

Lalu gue terbangun sebelum tahu jawabannya.

Masih bahagia, karena ternyata kematian tidak menakutkan dan hidup tidak perlu menggapai apa pun yang gak akan gue kenang menjelang listrik itu padam.

Sejam kemudian tetap belum bisa tidur. Baru jam 3 pagi.

Lebih baik bangun.

Membaca whatsapp mami sejam yang lalu: Atid di mana? Mami masih di rumah sakit. Papi pingsan.

Senin, 18 Januari 2016

Takut

"Lo gak pernah saat teduh lagi?" tanyanya. Dulu dia saat teduh setiap pagi karena ngikutin gue.

Setiap pagi gue akan menyanyi dengan chords gitar yang walaupun cuma 4 tapi masuk ke semua lagu (or so I thought), baca alkitab, lalu berdoa. Setelah itu, hari gue akan lebih damai dan jauh dari membanding-bandingkan diri karena I know I am loved no matter what.

Tapi setelah membaca Sejarah Alkitab, Sejarah Tuhan, Sejarah masuknya Nomensen ke Batak... saat teduh terasa hanya untuk weak vulnerable ignorant people.

I am weak and vulnerable, but cannot be back to be ignorant even if I tried. Leaving me even weaker and even more vulnerable.

"Tapi kan tetep you are loved no matter what," katanya.

True.

Karenanya hari ini gue mencoba menyanyikan lagu yang gue tulis sendiri sepuluh tahun lalu. Something yang dimulai dengan 'Oh my child in your heart what are you worried about?' dan diakhiri dengan 'no glory but somehow it's enough'.

That ignorant girl was indeed wise.

So please take me through the dark, through the night, through the worst part of my heart. Through my fear, please be near. Menulis film tentang tidak takut dan tetap percaya there is enough for everyone memang menakutkan.

"Lo harus bangkitkan lagi percaya diri lo."

Sepuluh tahun yang lalu, gue juga gak percaya diri.

Percaya Tuhan.

Atau apapun namanya.

Minggu, 17 Januari 2016

Fear Or Doubt

"How do you manage to do the films when you have four children?" tanya mas-mas Hollywood Reporter.

"You do not have time for fear or doubt. You just go, either embarassing yourself or going to the right direction," jawab Cate Blanchett di Actress Roundtable THR yang gue tonton di saat gue seharusnya menulis.

I do not have four children. So I have a lot of time for fear or doubt.

Gue takut menulis karena gue merasa karakter di Kepompong Mak Gondut semuanya karikatur. Berapa banyak film Indonesia sudah memperlihatkan karakter ibu-ibu galak dua dimensi diperankan Mak Gondut? Why should I make another one?

Akhirnya tadi pagi gue malah jalan pagi diselingi batagor, jasuke, dan bala- bala.

Melihat logo Nestle, jadi kepikiran trilogi Kepompong Mak Gondut ini gak usah full action kaya The Force Awakens, mending tentang sandang, pangan, dan papan dengan musuh diri kita sendiri yang terlalu rakus dan insecure sampai Nestle dkk bisa sesuka hati nentuin harga.

Ah satu aja belum ditulis. Udah mikir tiga aja.

Dilanjutkan browsing dan nemu video Roundtable ini.

"Women do not need to be polite. If I have a daughter, the first word I teach her is 'fuck off'," kata Helen Mirren.

Keren ya cewe-cewe ini. Very complicated. Mending Kepompong Mak Gondut tuh isinya cewe-cewe keren. Malas nulis emak-emak rumpi vs emak-emak terpelajar.Why can't they be both? Rumpi and terpelajar.

Dilanjutkan nonton Youth, karena ada Jane Fonda. Kalik aja bisa ngasih insight apa rasanya jadi tua.

Baru menit ke lima belas, udah ada adegan pijit. Gak jafi nonton, langsung pergi ke Kalibata, refleksi sama Mas Sis.

Pulangnya malah nonton Carol.

Jangan-jangan gue malas menulis karena gue pengennya bikin film cinta, bukan komedi.

"Do what you want, not what you think you should." Teringat petuah emak-emak tua di Transparent.

Ya udah gue tulis aja empat film. Tiga trilogi komedi, satu film cinta.

"Do what you are most afraid of doing," nasehat Cate Blanchett pada actress muda pemain Cinderella.

Berarti harus ada adegan epic Ibu-Ibu se-RT tinggal serumah. I am so afraid of that, maunya adegan yang aman-aman aja.

Mumpung anak gue nggak empat.

Sabtu, 16 Januari 2016

Kingsmen, Spy, dan Sepet

Stucked menulis lagi. Lebih baik bergembira dan nonton film yang membuat gue gembira. Kalik aja dapat ide.

Tadi pagi Kingsmen. Kali ini Spy-nya Melissa Mc Carthy. Dua-duanya komedi action.

Baru lima belas menit, langsung gue matikan.

I love these films. Tapi dengan budget yang gue punya, mungkin hanya cukup untuk bikin satu adegan mereka.

Gue akhirnya nonton Sepet-nya Yasmin Ahmad.

Plot filmnya sekilas memang seperti plot  action B movie produksi Cina atau India, tapi karakter-karakternya nggak. Gadis Melayu yang suka film Cina dan cowo Cina. Cowo Cina yang suka baca puisi India dan joget Melayu. Semuanya terasa sangat dekat dengan sekitar gue.

Tidak ada adegan bombastis, tapi ngomongin hal-hal yang menurut gue penting untuk negara se-segregated Malaysia.

I am not spending ratusan juta hanya untuk bikin adegan action bombastis sementara adegan action di sekitar gue sangat  Adidasbastis,  Guccibastis, atau Coachbastis.

Bomnya gak bastis.

Apa yang penting untuk gue?

Mulai Menulis

Hari ini gue mulai menulis Kepompong Mak Gondut. Terakhir gue menulis empat tahun lalu.

Gue sudah suka karakter-karakter gue. Gue sudah tahu mau bikin film kaya apa. Gue udah membuat plot dengan ending yang bijaksana tapi tetap playful. Gue siap membuat komedi yang gak lucu-lucuan doang.

Babak 1 selesai ditulis.

Ada 7 babak lagi.

Daripada lanjut menulis Babak 2, gue memilih mengantarkan mobil ke rumah Chica. Lalu nemenin Chica belanja. Lalu nemenin Chica ngasuh Duo Mokmoks. Lalu ketiduran.

Lalu gue pulang, masih ada waktu menulis babak dua.

Besok aja deh.

Malam ini mending nonton Ex Machina.

Indah sekali film ini. Pintar. Penting. Well made.

Jadi takut menulis.

Besok paginya bangun, menulis babak dua. Not that funny.

Langsung nonton Stephen Chow - Journey To The West. Gak seindah Kungfu Hustle, tapi tetap bijaksana.

Tambah takut menulis.

Untuk apa gue membuat film kalau Stephen Chow dan Alex Garland sudah membuat film-film bijaksana dengan sangat indahnya?

Biar Mak Gondut eksis.

Masa Shu Qhi aja yang eksis.

Kamis, 14 Januari 2016

Efek Terorisme

Semua whatsapp group di handphone gue diiisi dengan live updates bom dan penembakan di Sarinah. Lebih cepat dari portal berita manapun.

"Source, please," kata seorang teman menyambut update bom di BPPT setelah Bom Palmerah ternyata hoax.

Source berita besar pun banyak yang salah. Gak rela kalah cepat dengan Whatsapp Group.

Gue duduk di sebuah kafe di Kalibata, yang biasanya menakutkan karena terlalu banyak pengajian militan tapi kali ini berasa sangat aman karena jauh dari tempat para Amerika beredar. Gue memandangi video-video di whatsapp. Berusaha merasakan sesuatu dari menonton adegan yang seperti film action low budget dengan one take wide shot. 

Pria itu terduduk di antara mobil parkir. Sepertinya kelelahan. Di depannya terbaring dua orang yang sepertinya barusan dia tembak. Lalu dia menarik sesuatu dari balik temannya. Sepertinya tidak sengaja. Lalu bom meledak.

"Maaf terlambat. Tadi baru pengajian dulu," kata orang yang gue tunggu, datang dengan baju koko putih, topi Muslim putih, dan jenggot.

Lalu kami ngobrolin tentang kemungkinan sponsorship film Kepompong Mak Gondut. Lalu tentang film yang ingin dia buat, tentang beragamnya manusia di gang tempat dia tinggal. Lalu gue pulang, mandi, dan makan. Lalu nominasi Oscar diumumkan.

Sedih karena Todd Haynes dan Carol dianggap terlalu biasa-biasa saja untuk dinominasikan jadi Best Film dan Best Director.

'Till it happened to you'-nya Lady Gaga dinominasikan menjadi Best Song. Sebuah lagu tentang bagaimana kita gak akan tahu perasaan korban pemerkosaan sampai kita sendiri yang diperkosa.

Sepertinya sampai terjadi pada gue, baru gue tahu rasanya jadi korban pengeboman. Atau merasakan kelelahan si pelaku sampai akhirnya meledakkan dirinya sendiri.

Whatsapp Group tetap dipenuhi live updates. Kali ini diisi meme himbauan RM Sederhana untuk menjauhi Restoran Amerika dan meme  polisi ganteng bersepatu Gucci dan berkacamata Clark Kent.

Lalu foto tentara-tentara hot.

Whatsapp group diisi perdebatan lebih hot tentara atau polisi.

Rabu, 13 Januari 2016

The Power Of Nodding

Dear Atid,

Some people will puke when you talk.

Some people will say movie like Carol has no significance.

Some people will love Ricky Gervais more than Tina and Amy.

Some people will see only Kate Beckinsale, and never Cate Blanchett.

Some people will have no sense of humor when you say Indonesia has no film industry.

Some people will do more movies than you.

Some people will never admit you did something right even when you won something.

On a day like this, you'd better do what Robert Downey Jr. and all the rest of the humankind who would rather spend their lives enjoying themselves did.

Nod, smile, and do whatever fuck you want.

Selasa, 12 Januari 2016

Selalu Dapat Parkir

Gue memasuki halaman parkir kumpulan jajanan Bandung yang selalu penuh. Sebuah mobil mundur, seakan mempersilahkan mobil gue parkir. Tepat di depan entry.

"Wah kayanya rejeki tempat parkir lo udah balik nih," kata Sally. Dulu gue selalu sompral PD dapat tempat parkir, dan memang selalu dapat.

Beberapa tahun terakhir ini nggak.

Akhir-akhir ini gue selalu dapat tempat parkir lagi, walaupun gak lagi PD seperti dulu.

"Mungkin karena akhir-akhir ini gue sering nganterin Papi ya?"

"Be nice to your parent...," kata Sally mengulangi kunci sukses Qazrina Umi di Demi Ucok yang sebenarnya gue curi dari blog Yasmin Ahmad.

Akhir-akhir ini gue nganterin Papi bukan dalam rangka be nice. Tapi memang Papi yang meminta. Orang semandiri Papi kalau sampai sudah minta pasti memang sudah butuh banget. Operasi mata papi yang ke tiga membuat Papi tidak boleh menyetir lagi.

Entah sampai  kapan.

Karenanya hidup gue akhir-akhir ini dipenuhi menyetir mobil sambil dengerin keypads HP hitam putih papi ditekan-tekan untuk mengirim ayat-ayat Alkitab mumpung XL 4G gratis 200 sms per hari. Atau menelepon Dandim sebuah pulau dekat Batam yang dia gak kenal tapi akan dia datangi Sinchia depan.

Atau gosip-gosip tentara Orde Baru. Bagaimana ajudan-ajudan Presiden digilir oleh anak Presiden.  Bagaimana si ajudan mandadak jadi pemimpin Angkatan setelah si pemimpin angkatan lama nempeleng taipan kesayangan presiden di lapangan golf.

"Tadinya Papi udah mau jadi Dandrem Pontianak.Eh ganti pemimpin, tiba-tiba semua nama dia ganti," kata Papi mengenang awal mulanya dia dibuang ke Irian.

Ternyata di Irian sedang ada pelatihan PNS untuk penduduk asli Irian. Pemda dan lain-lain menolak melatih mereka melihat apa yang terjadi pada Pelatihan PNS di Timtim. Karenanya saat Papi dipanggil mantan Danyon-nya yang sudah menjadi pejabat Depdagri, Papi memberanikan diri mengambil proyek tersebut walaupun 20% anggaran sudah dipotong.

"Itulah pelatihan termewah yang pernah ada di Rindam. Duitnya gak habis-habis. Padahal apa aja mereka mau makan, sudah kita sediakan. Semua kasur udah diganti sama si Om yang dari Surabaya itu. Semua mayor-mayor udah dapat Vespa Spring. Wadan Papi udah dapat Kijang..," kata Papi mengenang pelatihan yang biasanya dikerjakan Pemda dengan biaya lima kali lipat. 

"Memang gak adalah yang lebih korup dari Pemda," kata Papi yang menganggap Vespa Spring dan Kijang belum korupsi.

Cerita Papi hanya berhenti ketika kami sampai di tempat pijit Papi.

Gue langsung parkir. Pas di depan gang.

Senin, 11 Januari 2016

Actors And Directors

"David, where is David?" tanya J Law ketika untuk ke tiga kalinya dia naik di panggung Golden Globes.

Kamera Close Up ke David O Russell dengan bekas lipstick di pipi kanan.

"Every time I am on this stage, It is all because of you."

Tiga kali J Law menang Golden Globe, semuanya di film yang disutradarai David O Russell.

"When I died, I want us to be buried next to each other," katanya mengakhiri acceptance speech yang penuh pujian kepada sutradara yang menurut J Law selalu bikin film tanpa peduli ada yang nonton... atau the fame... atau the glory.

Tidak hanya J Law. Aktor-aktor pemenang Golden Globes tahun ini banyak yang menggunakan their one minute of fame untuk sutradaranya. Leonardo dan Innaritu. Matt Damon dan Ridley Scott. Kate Winslet dan Danny Boyle. Brie Larson dan Lenny Abrahamson. Lady Gaga dan Ryan Murphy...

Berbeda dengan acceptance speech tahun lalu yang dipenuhi isu sosial. Transgender, Black movement, ALS awareness, dan lain-lain.

Tahun ini terasa lebih personal.

Tahun depan, J Law akan jadi sutradara.

Minggu, 10 Januari 2016

Bad Fan Fiction

"I did ask her out, but she never returned my calls," kata J di sebuah talk show terkenal.

Si host bengong, tidak menyangka mendapat jawaban yang terlalu jujur dari actress seterkenal J.

"Maybe you can invite her to your show. Then I can sneak in and ask her myself."

Media dihebohkan dengan pengakuan cinta J pada R di TV nasional. Terganggu, R akhirnya mau juga datang ke acara talk show itu.

"You are aware that J is hiding behind and will pop up anytime soon to ambush you with the question."

"Yes. I think I need to come and put all this to rest. It is getting uncomfortable."

J pun muncul dari backstage disambut tatapan dingin R.

"I think you are very beautiful and any man or woman will be lucky to be your object of affection. Not me. I am in a steady relationship and I am not looking for a quick sensation."

"You cannot say that what happened between us was nothing."

"Whatever that was, it is gone now. I do not enjoy love as a circus on national television," jawabnya dingin.

J tenggelam dalam patah hati berkepanjangan. Untungnya dia ditawari peran dalam sebuah film patah hati. Tahun itu J dan R bersaing mendapatkan best actress Oscar.

J menang.

"Playing a brokenhearted girl when you are broken hearted is really not acting. I think you gave me the Oscar just cause you wanna hear what I will be saying here," kata J sambil tertawa riang disambut tawa seluruh hadirin.

Kamera cut ke close up R yang tetap dingin sementara sekitarnya senyum-senyum kepo.

"To the girl that broke my heart... I just wanna say... I love you," kata J.

R dan J tidak pernah terlihat bersama setelah itu. Hanya para  paparazzi kepo,  fans ngarep, dan produser mencium duit yang selalu berusaha untuk mempertemukan mereka.

Sampai 4 tahun kemudian, R dan J tampil bersama di acara talk show yang sama.

"I did not trust J. She is very young, impulsive and so excited for life. I was scared I was just another exciting moment for her that doesn't last that long. It is already four years now and I still fear that I am just a moment for her..."

J duduk di sampingnya, tetap tersenyum lebar penuh kemenangan.

"She's saying she's my girlfriend," kata J sambil tersenyum lebar, tidak sedikit pun terpengaruh insecurity R.

"So the Oscar speech really works?" tanya si host takjub.

J hanya mengangguk-angguk senang. R tetap ingin menjelaskan.

"Well, it did make me want to have a leap of faith to give this feeling a chance. But we still don't know what will happen in the future. She might get bored of me and  find another object that interest her more. Or I might get tired of feeling overwhelmed like this all the time and settle for a more peaceful life..."

"Then I will just have to win myself another Oscar to get you back," jawab J santai, membuat muka R merah padam.

Two American swethearts in love.

Saat tahun itu J dan R dinominasikan Best Actress Oscar lagi,  giliran R yang menang.

"I have a feeling you all voted for me just to hear what I am gonna say. So I made myself a long list cause I know I won't be cut off," kata R playful.

Kamera cut  ke close up J yang tersenyum bangga, tidak peduli dia baru saja kalah.

R mengeluarkan sebuah kertas panjang sampai ke lantai. R mulai membaca tanpa dipotong bunyi-bunyian pengusir.

"And last..."

R diam sebentar. Tetap tidak ada bunyi-bunyian pengusir.

"To the girl whose heart I broke... and then steal my heart away on this very stage..."

Hadirin menahan napas menanti I Love You Too.

"SUCK IT," teriak R sambil mengangkat tinggi-tinggi pialanya.

J tertawa terbahak-bahak.

R dibawa ke belakang panggung, ke tempat press conference para pemenang.  Acara dilanjutkan dengan hadirin gelisah menanti kepulangan R ke tempat duduknya.

Neil Patrick Haris terpaksa menghentikan acara sebentar ketika mata semua hadirin malah berpaling ke belakang, kepo menatap R yang menghampiri J. 

J langsung berdiri dan mencium R dalam. Lama...

"Well, ladies... That's what you get if you tell someone to suck it," katanya.

"Now can we please go back to The Oscars? We still have some Oscars to give away... anyone?"

J dan R berhenti ciuman cuma biar acara ini cepetan selesai dan mereka bisa cepat-cepat pulang. Ciuman lagi.

Nah abis ini gue gak tahu deh mengakhirinya gimana. Tapi harus tetap di panggung. I love the love story announced to the world.

Mungkin bagusnya R  dibikin mati biar ada scene dramatis romantis J menangisi R di panggung yang sama.

Hahahaha... what a bad fan fiction. Tapi gue ulang2 terus di kepala sepanjang nyetir Jakarta - Bandung.

Memang gue harus nulis film cinta.

Menulis Harapan

Gue terbangun di sofa. Ternyata jam 5 pagi.

Terakhir gue inget, gue sedang tidur-tiduran di sofa setelah menerima feedback script terbaru gue. Terlalu komik.

Memang.

Setelah bertemu banyak produser yang sepertinya tahu film apa yang bisa dijual, gue tidak berani lagi menyentuh hal-hal yang meresahkan gue.

Mulai teman-teman yang gak ngucapin selamat natal sampai the rise of fundamentalism. Mulai Jaguar yang gak mau ngantri sampai the lost of self respect. Mulai budaya ngopi impor sampai the fools of capitalism.

Yang gue tulis malah adegan action lucu-lucuan tanpa menyentuh suku, agama, ras, dan IP. No wonder pagi ini gue bangun dengan perasaan gak guna gue nulis.

Memang gak guna.

Kalau isinya begitu. Sama sekali gak mengobati keresahan gue. Ngapain dibikin mahal-mahal.

Mungkin film ini cuma akan jadi kicau kecil di tengah banyaknya film impor yang dengan sangat universal menyuarakan kegelisahan gue. Tapi gue butuh menulis yang sejujur-jujurnya. Barulah at least film ini berguna buat gue,  bikin gue sedikit punya harapan.


Kalau yang nonton juga jadi punya harapan, even better.

Sutradara Muda

"Tid, sori banget. Mereka mau sutradaranya yang muda."

Once upon a time, hanya actors yang dikatain tua di umur 32.

"Soalnya nanti kan mereka ada acara off air kaya press conference gitu-gitu..."

Gue jadi membayangkan yang buruk-buruk. Mungkin mereka maunya yang fabulously healthy sesuai image yang ingin dibentuk brand mereka.

I am not.

Gue jadi mempertanyakan self value gue.

Padahal gue bahkan gak suka makan produk mereka, coklat wannabe untuk cewe-cewe  yang konon terlalu sibuk mengejar karir sampai ga sempet makan. Tapi mendengar alasan mereka gak mau gue yang direct karena umur dan mungkin alasan lain yang menurut mereka politically incorrect dikasih tahu ke gue... gue jadi down.

Sebentar.

Detik berikutnya gue sudah kembali menulis film yang sepertinya memang sudah waktunya gue kerjakan. Jangan ditunda untuk membuat film tentang coklat jadi-jadian. Self value gue tidak ditentukan sebuah brand yang berpikir sutradara muda lebih baik.


Langsung makan coklat beneran.

Gigi dan Napas

Gue meringkuk kesakitan di tempat tidur karena sebuah gigi. Padahal hari ini gue mau meriset tentang The Science Of Breath biar cepat bikin film.

Dua hari yang lalu, gigi itu ditambal setelah mungkin setahun dibiarkan.

"Bau ya?" katanya hari itu ketika gue mengendus-ngendus giginya. Ada titik hitam di gigi belakang.

Gue mengangguk.

"Berarti setahun kemaren gue bau dong?" Hitam gue tak lagi titik. Sudah garis.

Dia mengangguk.

"Kok lo gak bilang?"

"Kan udah gue suruh ke dokter gigi."

"Kok gak bilang bau?"

"Abis lo gampang tersakiti."

Maksudnya hati, bukan gigi.

Dua hari yang lalu gue tambal gigi karena sakitnya sudah tak tertahankan lagi. Hari ini gue coba-coba ngunyah pakai gigi itu, ternyata tetap sakit.

Menurut The Science Of Breath, tubuh kita adalah sebuah sistem. Kalau ada satu yang terganggu, semua akan terganggu. Dengan pernafasan yang benar, sebenarnya kita bisa menyembuhkan diri sendiri. 

Pernafasan yang benar adalah dengan diafragma, membuat perut atas semakin membuncit.

Tapi gue tidak pernah bernafas dengan benar.

Gue teronggok di tempat tidur di hari yang harusnya berkarya.

"Body, mind, and soul. No one can be a master ignoring one of these three."


Gigi kecil pun tetap harus disayang.