"Sepi kali... kayak bukan nonton film," kata Mak Gondut kecewa setelah nonton Siti.
Berbeda sekali dengan reaksi gue dulu ketika pertama kali nonton Siti. Gue terdiam, tidak berkomentar. Diam-diam dalam hati berjanji tidak akan lagi mengacuhkan mbak-mbak penjual peyek. Gue berjanji akan membeli dagangan mereka walaupun gue gak suka peyek.
Diam yang sedih bercampur bahagia. Sedih karena Siti sepertinya tidak punya pilihan, sementara gue di sini berkelimpahan. Walau tidak ada adegan melankolis berdoa menangisi nasib diri sendiri, gue tetap peduli pada Siti. Bahagia karena akhirnya ada film Indonesia yang membuat gue peduli sama karakternya.
Setelah mempromosikan Siti di sebuah whatsapp group mantan arsitek ITB, ada satu orang yang berhasil dirayu menonton walau harus meninggalkan anaknya yang sakit. Dia sedih karena di satu bioskop hanya ada dua yang menonton.
Tapi gue tidak sedih. Gue sudah menyangka film seperti Siti tidak akan ramai ditonton.
Mungkin saat ini dunia lebih suka film-film yang bersuara lantang. Makanya Carol yang isinya pandang-pandangan gak masuk nominasi Best Film. Dan Brie Larson yang teriak-teriak di Room dianggap lebih mampu ber-acting daripada Saoirse Ronan yang menggambarkan perubahan si cewe Brooklyn hanya dengan cara bernapas dan menatap.
Bukan berarti dalam sepinya, mereka tidak meninggalkan jejak di hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar