Sabtu, 05 Juli 2014

There
















































Akhirnya "Selamat Pagi, Malam" turun dari bioskop. Tapi perjalanan kita belum selesai. 

If there’s no place for us here, maybe there's a place for us there.

There.


Galeri Kita

Dia punya galeri baru, dikasih nama salah satu teman kita yang mati. Kebanyakan kerja, kata mereka.

Mungkin.

Gue pengen punya galeri kaya dia. 

Do I?

Be careful what you wish.

Punya galeri seperti itu harus dia lewati dengan dibenci banyak orang yang merasa tenaganya dimanfaatkan tanpa dibayar dan diberi credits yang sesuai. 

Dan hari ini dia berkampanye, “Prabowo sudah kaya, nggak mungkin korupsi.”

Wakwaw.

Jangan percaya orang yang dasinya jutaan tapi bayar pegawai kecil.  

Tapi orang seperti gue seringkali silau dengan apa yang di luar. Mahkluk seperti Jokowi mungkin sudah gue lewati kalau pertama kali bertemu.

Padahal kalau gue bisa hidup sederhana, banyak  sekali masalah dunia yang bisa gue minimalisir. 

Kalau gue makan sederhana, gue tidak perlu keluar uang banyak. Tidak perlu asuransi akibat dosa klesterol menahun.

Kalau gue beberes kamar sendiri, gue tidak perlu bayar iuran gym per bulan. Gak perlu nambah pembantu.

Kalau gue menguruskan badan, gue tidak perlu beli baju lagi. Sudah ada satu lemari khusus baju kekecilan yang I wish someday bakal muat siap menyambut tubuh singset ini. Bahkan ada yang belum pernah dipakai sama sekali. Dibeli karena harapan yang tak kunjung kesampaian.

Asal gue bisa hidup sederhana. Tapi kadang diri ini tidak pede berjalan dengan baju yang itu-itu lagi.

Mungkin kita gak butuh galeri. Hanya butuh revolusi diri. 

Enam Rakyat





Mak Gondut meminjam bayi tetangga untuk menambah simpati warga. Diperkirakan dengan image keibuan, warga sekitar akan memilih dia. Manuver terakhir Mak Gondut di hari perhitungan suara yang bebas logo partai.


Ternyata yang milih hanya enam. Dikurangi gue papi dan doi, berarti hanya tiga.

“Gak usah bilang dia,” kata Papi sepulang dari tempat perhitungan suara. Biarkan Mak Gondut bobo setelah berbulan-bulan lelah berkampanye.

“Nanti kita ajak makan es krim aja, biar hepi.”





Downgrade

Hati-hatilah membeli bantal dan guling enak. Sekali beli yang mahal, gak bisa downgrade.

Hati-hatilah membeli kasur enak. Sekali beli yang mahal, gak bisa downgrade.

Seperti juga tas, kata Luckus.

* No comment, gak pernah. Paling mahal 3 juta.

Seperti juga headphone. Sekali rasain yang enak, kuping gak bisa downgrade.

Seperti juga cinta. Sekali rasain yang enak, hati gak bisa downgrade. 


*sigh

Ikut Rhoma Atau Dira

“Ibu Indri mah milihnya Jokowi. Abisnya Prabowo mah Kristen,” kata Indri polos.

Gue tertawa.

All for the wrong reason, tapi I guess senjata makan tuan ya.

Dengan Ibu adik Kristen dan anak gay, gue bingung kenapa banyak partai Islam garis keras berdiri di belakang Prabowo.  

“Sebenernya Ibu Indri tuh ngefans pisan sama Rhoma Irama. Pas tahu Rhoma Irama dukung Prabowo ya si Ibu teh galau. Akhirnya ya terpaksa pisah dulu sama Bang Haji. Tetap dukung Jokowi.”

“Emang Rhoma Irama sebanyak itu ya yang suka?”

“Si Ibu mah suka pisan.”

Kalau Indri sih sukanya agnes Monica.

“Dira Sugandi juga, Atid,” protes Indri masih sebal karena gue bilang Indri suka Agnes di depan Dira Sugandi.

Oh iya Dira juga.

“Jadi Indri pilih siapa?”

“Jokowi we lah.”

Jumat, 04 Juli 2014

Satu Demi Satu

Ada film-film terpilih hasil bajakan dari Daud, Lucky, dan Teteh di hard disc 1 tera yang belum gue tonton.

Ada buku-buku di 3 jejer rak yang belum gue baca.

Ada 4 film yang harus dibuat sebelum gue pensiun dan leha-leha.

Ada 23 juta yang harus dicari untuk akhir Juli ini.

Semuanya bersatu padu membuat gue tambah bingung apa yang duluan harus diselesaikan.

Sepertinya dulu semuanya gampang.

Well, sebelumnya gak pernah gampang juga sih. Hanya dulu gue berasa gak ada beban.

Sekarang juga gak ada beban. Gue aja yang sok menciptakan beban-beban tak tampak ini. 

PAdahal gak ditonton juga gapapa. Gak dibaca juga gapapa. Gak dibuat juga gapapa.

Tapi gak dibayar, Indri dan Fatwa bisa murka.

Ayo mulai dari sedikit demi sedikit. Jangan donlod film dulu. Jangan beli buku dulu. Jangan nambah project dulu. 


Kerjakan satu-satu.

Curious Atid

“Find the joy that is only in your heart,” kata spanduk  di sekolah minggu itu.

Bah. Bijak kali ini anak-anak.

Sebenarnya anak kecil dari dulu sudah dikasih kunci bahagia ya. Hanya mungkin gue lupa.

Atau mendengarkan tapi gak mudeng.

Atau waktu kecil memang udah tahu, jadi gak perlu dibilangin. Makin gede makin lupa.

Hei atid kecil yang selalu curious dan menjadikan semua ruangan istana petualangannya, where are you?



Korban First Impression

Gue terlalu gampang terpesona dengan first impression.

Dengan mbak-mbak bule yang kayanya kenal semua orang, gue langsung suka. Tanpa detail pekerjaan, akhirnya semua berantakan. Ya mungkin karena di tidak dibayar.

Next project : no such thing as a free lunch. 

Bapak-bapak berkumis di Bogor nyuruh makan protein dan lemak only. Konon membuat artis-artis itu tambah padat. Sebulan dijalani,   badan gue tetap sapi dengan emosi serigala. Padahal udah bayar sejuta setengah. 

Next : nothing instant in this world.

Dia mengenalkan gue dengan media yang konon banyak pembacanya. Dijanjikan dibuatkan acara pas Ulang Tahun Jakarta, semua tanpa hitam di atas putih. Gue sangat berterima kasih padanya. Dan tak mungkin menolak ketika ditawari kerjaan yang gue gak suka.

Next : Generosity is power. If u don’t want anyone to have power over you, better be generous to others.

Konon gak ada yang perlu kita pelajari di dunia ini. Sebenarnya gue udah tahus emua hal di atas, hanya budeg dan bebal karena silau dengan impression dan impression. Padahal kan gue marie France.


Ah, yang itu juga gagal.

Film Bodoh

“Generositiy is power,” kata Frank Underwood, Fadli Zon versi pintar di serial House Of Cards yang oleh David Fincher dibuat jadi protagonis.

Kenapa ya orang-orang di White House ini ngobrolnya asik kayak lagi  ngerumpi tapi berbobot?

Sementara film-film kita selalu terlihat sok berat tapi dengernya mau ketawa? Bahkan diperankan oleh aktor yang pernah belajar teater di kandangnya Shakespeare pun, dialog-dialog di film ini tidak terselamatkan kakunya. 

Apakah karakter-karakter sok serius ini sebenernya tameng para filmmaker yang sebenarnya gak tahu apa-apa soal politik dan mafia Jakarta yang dibicarakannya? 

Ujung-ujungnya karakter film kita semua jadi KW  film Hollywood.

No wonder kita ditinggalkan penonton kita.

Mungkinkah kita gak ditonton bukan karena penonton kita inferior complex? Bukan karena bioskop kita kemahalan. Bukan karena udah banyak hiburan lain di smartphone masing-masing.

Tapi simply karena film kita not that good.

“Ah di Indonesia sih semua masalah marketing. Semua bisa digiring,” katanya yakin.

Somehow gue gak percaya kita sebodoh itu.


Jakarta Rampok

“Jakarta itu mahal”, katanya.

“Emang lo pernah di Jakarta?” tanya gue.

“Kan gue emang rumahnya di Jakarta. Ampe SMA.” 

“Tapi kan SMA lo masih dibayarin orang tua kan???”

“Tetep. Lo naik angkot 2000. Trus sambung metro mini 4000. Itu sekali jalan. Belum minum, kan harus tuh panas. Trus baliknya kalau kemalaman ga ada angkot harus pake ojeg.”

Taksi is not an option. 

Sementara untuk filmmaker yang harus terlihat produser, mau gak mau naik taksi terus. 

Kadang-kadang ojeg, kalau bukan mau ketemu orang dan gak butuh rambut wangi kalau cipika cipiki.

Pernah mencoba naik metro mini, penuh kepanasan. Kosong, tambah kedengeran bunyi kaleng beradu kaleng.  Pulangnya langsung taksi lagi.

Kereta di beberapa jam oke, kalau gak tiba-tiba nabrak truk minyak. Kalau lagi rush hour, siap-siap tidak berprikepindangan.

Bawa mobil di Kalibata City, siap-siap waktu nyari parkir 2 jam setiap malam. Terpaksa parkir di luar, di jalan depan yang kalau malam 4 jalurnya berubah menjadi lahan parkir di bawah asuhan pemuda-pemuda FBR.  Dengan 10 ribu rupiah mobil anda dijamin masih ada hingga pagi. 

Kelengkapan di luar jaminan.

Tapi besoknya jam tujuh setengah lapanan harus udah dipindahin biar yang lain bisa keluar.

Gue jam tujuh setengah lapanan udah standby di mobil siap memindahkan mobil. Mobil-mobil di depan gue masih parkir dengan sesuka hati dan seprtinya tidak ada tanda-tanda akan dipindahkan pemilik. Para pemuda FBR tadi malam yang semalam menagih 10 ribu pun tidak lagi berkeliaran.  Juga tidak ada tanda-tanda petugas menyegel ban, mungkin terlalu banyak ban yang harus disegel.

Gue menyerah dan kembali nanti sajalah. Kapan-kapan. 

Dengan keadaan kaya gini, naik mobil bukan jawaban. Lebih baik ke mana-mana naik taksi.

Ahok bilang sanggup membuat Jakarta bebas macet dalam 2 tahun kalau warganya semua naik transportasi umum.

Godaan mobil murah pun berdatangan, diijinkan Pak SBY, bertentangan dengan kemauan para pengurus Jakarta.


Waktunya pulang ke Bandung. Nanti saja kembali 2 tahun lagi saat Pak Ahok sudah jadi gubernur dan penghuni Jakarta sudah mau naik angkutan umum.

Modifikasi Diri

Gue menggosok-gosok lengan atas gue yang lebih dingin dari bagian tubuh lainnya. Lemak lemak hilir mudik berlawanan arah dengan arah gosokan. 

Bagian terlemah tubuh ini sepertinya tangan. Terbuka sedikit, langsung gue bersin-bersin. Hilanglah sudah harapan memakai baju tanpa lengan kalau tak mau terserang demam. Tapi toh gak akan juga gue pakai begituan, nanti bisa-bisa lemak tangan gue berkibar ditiup angin, walau tak seberkibar dia.

Dia, leher. Jadinya ke mana-mana pakai syal. Jadi lebih fashionable.

Apa mungkin akan ada suatu hari di mana tangan-tangan ini akan firm seperti mereka para wanita-wanita yoga? Dari jauh seperti berotot, tapi ketika dipegang lembut sangat. 

“Dia baru boobs job ya?” tanya seorang teman yang tak tertarik membahas lengan.

Sesama tetek besar, gue membela dalam ketidaktahuan. Mungkin karena dia mengurus. Mungkin nanti kalau gue mengurus juga, tetek gue pasti lebih disangka boobs job.

“Gue sih mau kalau boobs job. Yang gak mau sedot lemak,’” kataya sambil memperagakan dokter mengubek-ngubek lemak perutnya seperti abang-abang soto angkar mengaduk jeroan dengan dayung. 

“Mending gue diet dan olah raga sampai mampus.”

Tapi boobs job tetap mau. Karena olahraga mampus gak bisa bikin tete gede. 

Gue membayangkan maintenance saat suatu masa dulu gue pakai bulu mata palsu. Membawa-bawa ekstra bulu di mata benar-benar menyusahkan dan menyita waktu gue yang harus seminggu sekali ke salon. Aplagi kalau nambah balon-balonan di dada. 

Kalau orang seperti mereka saja tak pede dengan badannya, wajarlah ya kalau gue juga insecure dengan badan gue.

Gue gak punya waktu buat maintenance boobs job. Gue udh banyak kerjaan: nonton DVD seharian.

“Kalau lo boobs job, lo gak akan sempat nonton DVD seharian. Pasti banyak yang ngajak keluar.”


Bah.

Mimpi Frustasi

Tadi malam gue bermimpi.

Shooting diselingi dengan DJ dan party. Si actress yang tadinya heran ada DJ akhirnya setuju karena dia bisa party sementara kita setting.

Gue menguping pembicaraannya dengan lawan mainnya. Dia ingin meneruskan kisah on screen mereka sehari lagi. Lawan mainnya ragu tapi mau. Sayangnya tidak ada adegan ciuman karena gue keburu pergi. 

Gue mencari taksi, mumpung taksi masih ada di Karawang walau dini hari. Supir taksinya menyebalkan, walaupun penumpangnya lebih menyebalkan. 

Entah kenapa gue minta diturunkan. Dia tidak mau kecuali gue membayar 200 ribu, sesuai ongkos yang dijanjikan membawa gue dari Karawang ke Jakarta.

Gue memfoto-foto semua identitasnya yang sudah tergaruk tak terbaca. Penumpang di belakang (Yes, I suddenly share the cab) bilang biarkanlah gue turun dan biar si bapak-bapak sok bijaksana ala Kolonel Sanders versi Jawa ini yang membayar semua ongkosnya, tak perlu dibagi.

Di pinggir jalan, gue bertanya angkotke mana ke pada segerombolan wanita bisu berjilbab. Angkot nomor 18 disusul metro mini jurusan Cibubui, semuanya dituliskan besr-besar dengan darahnya yang putih di dinding berjamur. 

Gue malah sampai ke sebuah padepokan Cina yang tampaknya bisa menyembuhkan berbagai penyakit.  Gue disuruh ke kamar mandi dulu sebelum giliran diperiksa.

Kamar mandinya mewah, tapi ketika bilik-bilik itu dibuka, klosetnya  old school dengan kerak-keak jarang dibersihkan dan air stand by kekuningan. Setidaknya tidak ada tahi mengapung.

Gue sedang boker, seorang tentara seenaknya masuk dan memandangi gue tanpa nafsu.  Gue bilang kamar mandi cowo dii bilik sebelah. Dia celingak celinguk enggan pergi. Tidak ada nafsu, hanya angkuh. Terpaksa gue cebok di depan dia.

Keluar kamar mandi, gue melihat sudah ada goodie bags ulang tahun. Satu pasien sebelum gue keluar membawa kue ulang tahun dengan icing  mawar coklat. Kue satunya mawar pink. 

Gue tidak jadi diperiksa dan kembali ke kantor Kepompong Gendut. Entah bagaimana caranya. Seorang teman telah menunggu sambil  menangis.

Gue berikan laptop gue untuk menghibur. Gue keluar sebentar, mencari segelas air untuk dia. 

Begitu kembali dia langsung bertanya dengan kaget, masih di sela-sela tangisnya.

“Do you have sex with her?”

Moral of the story: Jangan lagi meminjamkan laptop ke orang. walau hanya dalam mimpi.

Asuransi

Tiga bulan yang lalu Fatwa berhenti asuransi. Rencananya mau ikut BPJS, 60 ribu saja sebulan. Asuransi 100 ribuan.

Tiga hari yang lalu dia gak bisa bangkit dari tempat tidur, kesakitan. Ternyata ada janin di luar kandungan. Operasinya 14 juta.

“Lain kali kalau mau pindah asuransi make sure harus udah masuk asuransi satunya,” sabda Fatwa sambil mengelus-elus baret 14 jutanya.

“Jangan pernah berhenti asuransi.  Gue udah lihat betapa waktu itu klien gue lebih bahagia lihat muka gue datang daripada orang tuanya datang,” kata mantan agen asuransi.

Sementara Paulo Coelho  gak mau punya asuransi karena membatasi keajaiban hidup. Dan Sammaria yang konon gampang banget terpengaruh sama orang yang dia sudah suka, langsung bertahan gak mau punya asuransi.  

“Tapi perusahaan lo punya BPJS kan? Wajib lho,” kata Sally mewanti-wanti.

Gue memandangi wajah Fatwa dan Indri yang sepertinya gak pernah baca Paulo Coelho. Tapi bisa sewaktu-waktu butuh operasi 14 juta.


Yuk antri BPJS.

Cuma Sampai 9 Juli

Dulu kita harus hati-hati. Banyak politikus yang menunggangi untuk mendompleng image.

Kini, Jokowi dan Prabowo yang harus hati-hati. Banyak banci eksis yang menunggangi mereka biar view you tube-nya nambah.

Salah satu cara untuk eksis saat ini adalah bikin video kampanye Jokowi.

Salah satu cara untuk kaya saat ini adalah bikin video kampanye Prabowo.

Nama-nama antah berantah jadi ramai-ramai mendukung Jokowi. Sampai kerjaannya sendiri dilalaikan. Alasannya Jokowi kalau sampai kalah, kita bisa sengsara.

Sumbangsih tebaik untuk bangsa ini  adalah dengan mengerjakan bagian kita sebaik-baiknya. Jokowi dan Prabowo udah banyak yang bantuin, termasuk para pemilik kapling tambang dan properti negeri ini. 

Tapi ada juga yang dengan mengagumkan bisa menyisihkan waktu di tengah-tengah kesibukan mereka tanpa melalaikan kewajibannya.  

Semua orang berhak terlibat dalam pesta demokrasi ini. Toh hanya sampai 9 Juli. Tidak apa-apalah.

*kembali kerja


Bersatu Kita Teguh, Berdua Kita Teguh

























“Males banget deh. Makin kenal makin tak sayang,” katanya di whatsapp group sambil memposting gambar yang menyudutkan Jokowi.

Gue sudah siap memborbardir dia dengan tuduhan bermacam-macam. Gimana mau kenal kalau riset lo sebatas gambar-gambar fitnah?

Black campaign akhir-akhir ini semakin membuat muak.  Dua kubu saling menghina. Yang satu bikin film pendek dengan slogan fun campaign yang sama sekali gak lucu. Yang satu bikin epic battle gak lucu. Mau dukung Jokowi sekalipun, kalau bawaannya udah ngehina-hina sotoy, gue gak ketawa.

Memang Jokowi harus kita dukung karena mencerminkan harapan. Tapi gak usah menghina yang kaum seberang. Di belakang Jokowi pun banyak manusia-manusia menjijikkan. Semuanya sama saja boroknya, hanya yang satu masih ada harapan. Tapi harapan bisa jadi bumerang, melihat  Jokowi  bisa jadi mengulang cerita melempemnya SBY yang dulu kita harapkan. 

Kalau nomor 1 menang, ya gue amini juga. Maybe WE deserve-nya emang dipimpin yang kayak Prabowo.

“Wah Atid bener banget, siapapun pilihannya yang penting kita sebagai bangsa Indonesia tetap bersatu ya gak?” whatsapp teman lain yang dicurigai pendukung 1 tapi gak mau ngaku.

“Ya nggaklah. Kalau Prabowo menang gue langsung cabut dari negara ini. Hidup ini singkat, ngapain dihabisin berkarya di negeri yang menterinya Tifatul? There’s no place for us here,” jawab gue sambil tetap promo film Selamat Pagi, Malam.

“Udah pada nonton belum tuh?” Kata si makin kenal makin tak sayang mempromosikan film gue. Sepertinya cuma dia yang sudah nonton di whatsapp group yang lebih tertarik meributkan calon presiden ini.

Dilanjutkan dengan dia curhat betapa tiga tahun belum pernah diperbolehkan cuti.  Di kantornya dia sudah apatis,  tidak berguna proaktif. Mending nunggu dikasih THR baru resign.  Dia pengennya tidur-tidur meluk anaknya. Tapi uang tetap dibutuhkan.

Tak ada yang peduli dengan dia.

Gue jadi malu sendiri sudah menghamikimi membayangkan sulitnya hidupnya. Di negara yang masyarakatnya sudah jenuh dan resah ini, mungkin memang riset politik adalah prioritas nomor ke sekian. Lebih baik waktunya dipakai meluk-meluk anak sehabis kerja seharian.

Mungkin kalau gue jadi dia, gue pun demikian.

Kita hanya sesama warga yang butuh berjuang. Siapapun pemimpinnya, tetap 5 tahun ke depan akan susah. 


Lebih baik tidak saling memusuhi. Kita saling membutuhkan.

Albert dan Lez

Konon ada dua mahkluk yang menghuni diri kita. Si rasional bernama Albert yang menuntun kita ke jalan yang benar, dan  si reptil pemalas Lez yang selalu mengajak kita tidur dan bermain. Kalau kita dengerin Lez terus, kita akan menjadi manusia yang  tidak bertanggung jawab. Karenanya, Albert kita harus dilatih agar bisa menguasai Lez.

Begitulah teori sebuah artikel whatever yang baru setengah baca gue sudah open new window.

Sebagai insinyur yang terlalu banyak dididik di ITB, gue percaya Lez lah yang menuntun Albert ke personal legend-nya menjadi scientist. Kalau nggak, Albert pasti akan lebih memilih jadi engineer yang lebih pasti banyak duit.  Joy has been my guide since the beginning of my happiness, ketika gue resign dan mengikuti jalan hidup sebagai storyteller.

Teringat cerita Sally tentang Yori Sebastian. Setiap ditawari pekerjaan, dia selalu menutup mata  dan membayangkan apakah pekerjaan ini akan membuat dia bahagia. 

Kalau iya, baru liat duitnya.

Kalau duitnya cukup,walau tak banyak,  pasti dia kerjakan dengan bahagia.

Tapi akhir-akhir ini gue mulai lupa apa yang membuat gue bahagia. Terlalu banyak terjebak dengan image dan katanya katanya dan ketakutan gak punya uang yang akhirnya membuat gue lupa tutup mata dan membayangkan apakah ini akan membuat gue bahagia.

*tutup mata


Ayo Lez, kita panggil uang.

Nabi Nuh Menari

“Nabi Nuh dan tiga anaknya dan tiga menantunya…”

Sebuah kaset bernyanyi rebek, dan boneka-boneka yang digerakkan orang dari balik kotak di bawahnya bergerak-gerak seakan merekalah keluarga Nuh yang naik perahu di tengah banjir sambil bernyanyi  tentang kisah  mereka sendiri.  

Di belakang keluarga Nuh, ada singa harimau gajah dan Finding Nemo ikut menari. 

Gue mendengarkan kisah banjir yang sudah gue dengar sejak kecil. Tapi kali ini tidak terdengar lagi kisah betapa besarnya iman Nuh seperti yang sudah mereka doktrinkan.

Ternyata kisah Alkitab pasca membaca Sejarah Alkitab, Sejarah Tuhan, dan Utusan Damai di Kemelut Perang  sangat berbeda. Gue tidak lagi melihat Nuh sebagai karakter yang beriman dan menyelamatkan umat manusia dari kepunahan. Nuh telah berubah menjadi alegori yang tidak bisa gue percaya bulat-bulat.

Tapi di negara di mana Noah dilarang tayang karena dianggap menggambarkan nabi, teater boneka dengan Nuh berkaca mata dan Finding Nemo ini mungkin sudah dianggap progresif. 


Jadi pengen nonton Noah. 

Jerawat Jijik

Jerawat jijik muncul di hidung kanan, apa artinya?

Katanya ada yang rindu.

Rindu palamu.

Gue jorok dan tak merawat diri. Tidur tanpa cuci cuci di atas seprai yang sudah menumpuk debu dua bulan tak diganti.

Juga karena detoks yang tak jadi-jadi padahal sudah beli kelapa ijo di kosambi.

Akhirnya jerawat jijik ini bersarang di hidung, membuat gue malas keluar-keluar. Padahal hari ini harus merekam gambar Mak Gondut mau pentas wayang.

Gue pandangi foto gue di kaiwinan Jihan tahun lalu. Not bad.  Really good compared to now.

Atau emang dasar gue  fotogenic? 

Ya udahlah kalau gitu gue di rumah aja seumur hidup. Fotonya aja yang beredar.

Tenang. Semua orang sudah sibuk kok dengan jerawat masing-masing. Gak akan ada yang merhatiin jerawat lo.

*kembali bobo tanpa cuci cuci

Eh tapi kan kalau gak ada jerawat nih muka nggak sakit-sakit. Udahlah berhenti pemalas dan bergerak sikit. Enak kok cuci muka.

Akhirnya mandi.


Byur.

Mak Tampil

“Mak Gondut tuh bisa jadi icon banget sih,” katanya.

Gue diam tidak menjawab.

“Karakternya unik soalnya. Gak ada lagi yang kaya dia.”

Baru setengah jam yang lalu gue nangis-nangis. Mak Gondut menuduh orang mengganti password facebook-nya. Padahal gue yakin ini akibat dia gaptek. Tapi memang dia tidak pernah mau menyalahkan diri sendiri. Selalu ada orang lain yang menyebabkan.

Lalu kenapa gue yang nangis?

Mungkin karena gue berharap emang Mak Gondut bisa jadi icon ibu yang penyayang dan segalanya demi anak walau rese? Tapi tidak. Dia hanya emak-emak rese biasa.

Padahal tadi siang gue udah yakin akan membuat Kepompong Mak Gondut dengan Mak Gondut sebagai bintangnya.  Tapi malam ini gue gak mau lagi kerja sama Mak Gondut. Yang dia pedulikan cuma spotlight untuk dirinya sendiri. Mungkin ini waktunya papi yang dapat spotlight.

“Ya asal mami senang papi pun senang,” kata papi bulus sambil duduk-duduk di teras. Kebayang kalau bikin film tentang papi isinya cuma duduk-dduk di teras dan mandiin anjing. Gak menarik dibuat film tapi sangat menarik di kehidupan nyata. Gak banyak orang yang gak self centered kaya Papi.

Lihat aja Mami. Gue takut kalau gue bikin Kepompong Mak Gondut, dia semakin gila spotlight. Dan kebanyakan spotlight bisa membutakan.

“Ya namanya juga orang tua, atid. Ya gapapalah,” kata Indri menyuruh gue mengenang gue di masa bayi yang tentunya tak gue ingat.

Dulu gue diurusi dan seluruh dunia Mak Gondut  berpusat di gue. Mungkin ini waktunya dia menikmati spotlight. 

“Mami ini relalah demi kalian main pilim. Mami cuma bantu anak. Kalau judulnya Mak Gondut, mami perhatikan pasti laku,” kata Mak Gondut dengan pengertiannya sendiri.

Gue menghela napas panjang.

Be nice to your parent? Ternyata Demi Ucok aja gak cukup.

So help me God.


24 Jam Terakhir

“Kalau hidup lo tinggal 24 jam, dan lo bisa ketemu siapa aja, lo bakal ketemu siapa?” tanyanya di ruang tunggu dokter malam itu.

Gue berpikir sejenak. Hanya sejenak. Malas lama-lama.

“Gue di rumah ajalah, nonton DVD.”

Bahkan bukan DVD. Donlotan. Gak perlu bergerak sedikit pun untuk membeli.

“Siapa aja. Selebriti juga bisa.”

Gue masih di rumah.

“Lo bisa multiply diri. Gak harus ketemu satu orang.”

Gue masih di rumah.

Dia pun mulai bercerita tentang 24 jam terakhirnya yang ternyata dihabiskan dengan gosip-gosip nyampah bersama teman baiknya, dan multiply diri ketemu om-nya di sebuah kota kecil di Sumatera Utara yang mungkin tidak lagi mengenali dia. Terakhir ketemu ketika dia masih kecil banget, belum berjerawat dan bertetek.

Lalu suster memanggilnya. Dia masuk tanpa mengajak gue. Gue sama sekali tidak tersinggung dan mulai mencari  kol goreng Mc Darmo yang berjelaga tapi sedap rasanya.

Seharusnya gue sudah bisa menebak, dia bertanya bukan tanpa sebab. 

Setelah ayam, tahu, tempe, dan rokok 2 batang barulah dia mulai bercerita. Dokter menyuruhnya  tes penyakit yang menurutnya memalukan.

Sebagai wanita dengan banyak teman waria, gue tidak kaget atau menghina. Banyak teman gue yang kena, dan hidup normal tanpa cela.

“Bokap gue kalau tahu gimana?”

“Ya nggak usah kasih tahu.”

Dia menambah rokok ke tiga.

Ke empat.

Ke lima.

Sampai tidak ada lagi sisa.

Dia mengira-ngira siapa yang menularkannya. Mungkin si Filipino sialan yang  secara impulsif dia tiduri tanpa pengamanan. Baru menyesal ketika sadar ada rash kulit di punggungnya. 

“Kalau HIV tuh rash kulitnya kaya apa sih?” katanya sambil googling-gooling.

“Temen-temen gue yang HIV sih kayanya gak pada punya rash ya.”

“Ada tauk,” katanya sambil terus menelususri gambar.

“Gue harus ngasih tahu semua pacar gue gak ya? Yang sepuluh tahun terakhir aja.”

“Aduh gue gak kebayang deh pasti drama. Emang ada berapa?”

“Gak sampai 20 sih.”

“Gak usah deh.”

“Tapi kalau gue jadi mereka, gue sih pengen tahu.”

“Ya udah besok aja dipikirinnya. Belum tentu positif juga kan?”

“Iya sih.”

Dia melirik kotak rokoknya, menyesal sudah habis. Hiburannya kali ini hanya gue.

Gue cuma mendengarkan, gak berusaha menenangkan. Mungkin mati bukan hal terburuk dalam hidup.

Besok kita nonton DVD seharian.


Eh donlotan.

Rabu, 02 Juli 2014

Balada Sapi Cengeng

Apa yang kamu takutkan hei sapi cengeng kegendutan? 

Takut tulisanmu kurang mengusik dan cuma another bit bit berisik di tengah gemuruh 4% dunia maya.
Takut dicaci maki seperti anjing bodoh tolol tak berotak.
Sebenernya kamu ketagihan dipuji dipuji dan dipuji. Gak tenang kalau ada yang maki-maki.

Padahal maki-maki adalah resiko menulis di internet yang membiarkan penggunanya memaki tanpa dikenali. 

Sudah berlalu masa-masa ketika mengkritik harus membangun. Sekarang kita bisa memaki tanpa perlu koreksi diri.

Tapi biarlah yang memaki terus memaki.

Si pemaki tidak menjelekkan yang dimaki. Dia hanya menunjukkan dirinya sendiri.

Lebih baik dimaki daripada memaki.


Yuk sapi, menulis lagi.




PS: Gambar di atas bukan sapi. 

Naomi

“Bagus ya Selamat Pagi Malam itu. Yang Papi paling senang karakternya Naomi,” kata Papi setelah selesai makan sate daging-dagingan yang diwanti-wanti mami penyebab kanker usus tapi tetap dimakan papi. 

Sate gelatin gue teronggok di kerongkongan, lupa ditelan. Ikut kaget mendengar Papi suka Selamat Pagi Malam, apalagi sampai bisa menyebutkan nama karakternya. 

Naomi.

Biasanya papi tidur kalau nonton film, tapi yang ini bisa ingat?

“Biasanya papi tidur kalau nonton film, tapi yang ini Papi nonton sampai akhir.”

Gelatin masuk ke lambung gue dengan bahagia, bercampur dengan endorphin dan hormon-hormon terharu.  Papi yang tentara orde baru  bisa melekat dengan karakter Naomi. Luar Biasa.

“Mainnya pun bagus si Naomi.”

Gue sudah hendak menelepon Marissa. Atau Lucky. Mengabarkan prestasi ini yang lebih mengharukan dari tangisan penonton manapun.

“Papi senang sekali dia akhirnya menikah sama laki-laki. Ya memang jatuh cintanya sama perempuan, tapi ya memang menikahnya sebaiknya dengan laki-laki.”

Ow.

Gue tertawa terbahak-bahak, tidak jadi whatsapp Lucky.

Ternyata papi masih tetap tentara orde baru. Dilatih bermanuver dan melobi cantik tanpa menyinggung masyarakat.


“Papi mau sate lagi?”





“What is religion to you?”

“What is religion to you?”

Gue memilih kotak paling bawah.  “It can give the wrong people power.”

Mungkin lima tahun lalu gue akan memilih kotak paling atas, “a way of life”. Atau kotak ke dua, “it brings good to people”.

Tapi di saat gue keluar Kalibata City disambut dengan spanduk pendukung Prabowo Hatta yang meneriakkan syariat Islam bergambar Prabowo, Hatta, dan Habib Riziq, berat rasanya memilih kotak ke satu atau ke dua.

Apalagi ketika  timeline FB gue dipenuhi teman-teman yang seharusnya terdidik dan terbuka ternyata mendukung Prabowo Hatta dengan alasan agama. Seakan-akan gue gak pernah ada di hidup mereka.

Agama di tangan manusia-manusia yang merasa benar memang terbukti menjadi  alat yang membutakan untuk menekan yang lain.

Tapi sebenarnya sudah lama gue tidak lagi menjawab satu atau dua. Kelemahan agama paling besar adalah agama tidak memberi gue ruang untuk berpikir dan salah arah dan mencari sendiri jalan untuk bercakap-cakap denganmu. Dari kecil gue sudah dilatih untuk tidak bersandar pada pengertian sendiri dan harus percaya pada kata-kata para guru agama dan pendeta.

Akhirnya gue terkotak dari sesama gue, terutama mereka yang tidak memanggil Yesus tuhan. Dan membuat gue tidak lagi merasa bagian dari alam, melainkan penguasanya. Semuanya diciptakan Tuhan agar bisa kita pergunakan untuk kebaikan si ciptaan tertinggi, manusia, yang akan memelihara alam dan berkuasa atasnya.

And we are not doing a very good job.

Tapi mempertanyakan agama di negara ini mungkin akan disambut dengan babi anjing taik dan tolol. 

Kenapa pengikutmu begitu galak oh tuhan?

Aku ingin lebih bernafas agar bisa menghirup udara dan lebih menyadari sekitar, menjadi bagan dari semut-semut pemakan gula merah yang dibalado Mami di ikan teri dan dicerna di perut ini menjadi taik-taik yang kembali membuat lahan Indonesia menjadi subur, menafkahi padi yang kemudian gue makan lagi, taik lagi, berputar lagi, hingga semuanya menjadi satu lagi.

Bukankah kita dulunya satu?

Siapapun yang menang, semoga kita tetap satu. 

Oh tanggal 9 Juli cepatlah datang. 

Tapi anggap sajalah masyarakat Indonesia sudah bijaksana, Jokowi udah menang, jadi lebih baik dari sekarang gue mulai merencanakan bagian-bagian pembangunan yang menjadi lahan gue. seperti bikin pilim dan keseruan-keseruan lainnya. 


Kalau ternyata nomor 1 yang menang ya moga-moga ada negara lain yang mau nerima pembuat pilim dan keseruan-keseruan lainnya.

Dua Roti & Dua Milo

“Non sekarang gemuk ya?” kata Mas Yusup setelah dibujuk-bujuk Papi balik lagi dari kampungnya.

Gue gak menggebuk Mas Yusup. Selain takut dia pulang lagi, gue juga setuju dia ada benarnya. 

Besok gue detox air kelapa deh. Tiga hari berturut-turut minum dan makan air kelapa only biar hilang semua sisa-sisa keju susu dan gula di tubuh ini.

Tapi ternyata kelapa pagi-pagi tak kunjung datang. Terpaksa diet ditunda sehari.

Hari ini dibuka dengan dua roti dan dua milo.

Eh, ada beng beng.

Hap.

Siang diisi dengan nasi + 4 sayur yang hanya 6.000 saja tapi ditambah ini itu jadilah 36.000. 

Yang 30.000 gak usah didetail ya.

Sebelum pulang, mampir di toko sebelah, mencoba wedges kentang dengan saus keju dan barbeque pedas level 1.

“Eh level 0 aja deh, Mbak.”

“Wedges Barbeque level nol,” teriak si Mbak Richeese mengulang pesanan ke someone di dapur.

Hari ini tak apalah. Besok kan mulai detox. 

Sore makan nasi dan ikan reri. Dikit kok.

Tapi nambah lagi.

Ok, that’s it for today.

Tapi sebelum tidur, lapar. Ingat ada 2 beng beng sisa di dapur. 

Hap.

Belum kenyang.

Kupandangi kelapa hijau makananku besok.

Salah kau, kelapa. Kenapa tadi pagi kau telat datang.


Tambah dua roti dan dua milo. 

Mari Membuat Angin

“Indri lihat timelinenya Upi sih dia bikin bikin FTV gitu ya tid,” seru Indri sambil mentransfer-transfer sisa-sisa uang Kepompong Gendut kepada mereka yang berhak mendapatkan. “Ya kan namanya tiap bulan harus gaji orang.”

“Emang dia punya PH?” jawab gue sambil merenungi analisa SWOT Kepompong Gendut. Mulai tergoda bikin FTV.

“Ya kan meureun ada supir pembantu… trus kan punya anak pula…”

Sementara buntut gue cuma 2. Itu pun terancam tak dapat THR.

“Kita dapat THR kan, Tid?” 

“Dapet.”

Indri kembali ke laptopnya dengan tenang.

“Tapi FTV kita bikinnya gimana, Ndri? Ada channelnya gak?”

“Indri juga bingung, Tid.”

“Apa kita tutup aja ya ini Kepompong, Ndri?”

“Nanti ajalah abis Raja Kata, Tid.”

“Ya udah kita bikin Raja Kata dulu. Tapi sebelum itu Dongeng Bawah Angin.”

“Ya tapi cari sponsornya yang banyak ya Tid,” wanti-wanti Indri sambil melihat-lihat keuangan Kepompong. Sepertinya masih lebih memilih FTV yang aman dan sentosa.

Jadi ingat dulu pertama kali bikin film. cin(T)a juga sepertinya tidak akan ada yang nonton, tapi malah balik modal. 

Sampai hari ini kita masih selamat tanpa hutang-hutang sebenarnya suatu keajaiban. 

Analisa SWOT hanya membuat gue bersandar pada apa yang ada saat ini,  tidak lagi mengharapkan keajaiban masa depan.

Padahal judulnya aja ajaib. Dongeng Bawah Angin. Masa gak berharap yang ajaib-ajaib di perjalanannya?

Hai kamu yang tidak suka berisik tapi gemar berbisik, bicaralah lewat angin agar kuikuti hembusanmu. Haruskah kubuat FTV atau kuceritakan Dongeng? Mana yang lebih ingin kau dengar?


Angin ini akan menjadi angin ribut yang indah.

Mira W & Chuck Palahniuk

Ada dua yang gaya menulisnya sangat gue sukai: Mira W dan Chuck Palahniuk.

Mira W bisa meloncat-loncat lincah  maju mundur dari satu kejadian ke kejadian lain tanpa meninggalkan bekas jahitan yang membuat tulisannya gampang dinikmati dengan emosi yang terjaga. 

Chuck Palahniuk bisa bercerita tanpa perlu berlama-lama, menampar menonjok menghadang  dengan novel yang dipenuhi paragraf 1 kalimat. 

Dan kalimat 1 kata.

Damn.

No wonder tulisan gue tercabik-cabik tak menentu. Mira W dan Chuck Palahniuk tak akan mungkin disatukan di rak buku Gramedia.

Seandainya aku boleh memilih…


*choke

God Is Love

“What is God?”

*blank

“What is Love?”

“The absence of judgement.”

Gue takjub melihat tulisan gue sendiri di buku kawinan Rani dan Budi.

Who wrote this? Was I ever that wise?

Mungkin gue abis nonton film apa gitu kalik ya pas nulis ini. Atau abis nguping siapa yang ngomong.

But very true indeed.


*blank

TV, Bir, dan Vespa

“Televisi sekarang tipis-tipis ya. Padahal dulu harus pake tabung panjang besar-besar,” seru Papi mengenang TV-TV yang dulu disetor padanya oleh para penyelundup di perbatasan Indonesia - Singapura. 

Saat itu Papi masih berpangkat kapten, belum beristri, dan menjadi penguasa perairan berstatus Danramil.  Saat itu Batam belum ada apa-apa, Orde Baru sedang memacani Asia, guru-guru Indonesia masih dibayar mahal di Malaysia, dan Singapura lebih murah dari Indonesia. Semua barang mulai dari pakaian elektronik sampai bir diselundupkan dari Singapura ke Indonesia.

Sekarang arus berbalik. 

Toke-toke Batam menyelundupkan segala rupa benda ke Singapura. Semua ada, kecuali guru-guru kita yang tak laku lagi diekspor ke Malaysia. 

Tinggallah orang tua Indonesia membanggakan anaknya yang kuliah di NUS Nan Yang Penang La Salle. Lulus, ditawari warga negara dan diharapkan jangan pernah pulang ke Indonesia, kecuali ditawari posisi menteri. 

Biarlah Indonesia dihuni para mahasiswa pas-pasan yang bangga dengan TV flat terbaru buatan Korea.

“Papi mau beli TV gini?”

Papi tidak menjawab, kembali bercerita tentang para nahkoda kapal yang selalu setor satu krat bir dan susu setiap mereka lewat. Kamar Papi akhirnya dipenuhi bir yang tidak bisa dihabiskan Opung tiap sore. Setelah kamar Papi dihuni Mami, bir berkerat-kerat itu ditukar Vespa. 

“Trus sekarang vespanya di mana?”

“Dijual karena waktu itu musim abu galunggung, padahal Deden baru lahir.” 


Easy come, easy goes. 

Hidung Tikus Merah Jambu

Di kegelapan, seekor pug menyeruak.

Ada hidung tikus di antara bulu-bulu kumis. Pug membayangkan pastilah warnanya pink kalau terang.

Di kegelapan, Pug mendekat serudug-serudug mengendus gemas si hidung tikus yang semakin diendus semakin basah. 

Pug mentoel-toel hidung tikus. Tikus mendecit pelan, mungkin bahasa tikus untuk tertawa senang.

Ternyata tikus-tikus suka ditoel.

Pug kembali muncul dari kegelapan, mengintip-ngintip tikus yang menggelinjang.


Pug tersenyum senang. 



Selasa, 01 Juli 2014

Bandung, Hari Ini.



Akhirnya,  Bandung. 

Mandi air Bandung berbeda, gak meninggalkan licin-licin di kulit seperti air Kalibata yang tercemar sungai sebelah atau kuburan sebelah. Sedikit hilang kelelahan setelah berbulan-bulan di Jakarta, kembali ke rumah, kalah. 

Film Jakarta tentang Jakarta yang tayang di ulang tahun Jakarta ternyata gak ditonton orang Jakarta.

Mungkin Lucky benar. Industri film sudah mati, kita aja gak mau ngaku. Tapi melihat antrian Transformer jam 2 siang sudah habis sampai show terakhir padahal dapat  jatah 3 dari 4 layar yang ada, gue seharusnya mengakui. Orang masih nonton film, tapi bukan film kita.

Kalau gue jadi pihak 21 sih gue juga taro tuh bioskop semua Transformer. Persetan ada undang-undang yang mengharuskan film Indonesia harus mendapat jatah 60% layar. Masih banyak cara lain membangun kepribadian bangsa. Jangan di bioskop gua.

Karenanya gue tidak marah. Gue kembali ke Bandung dengan lelah, walau tak rela mengaku kalah.

Teringat sebuah lagu yang gue ciptakan pada saat sebelum gue resign dari arsitek. Lebih seperti janji, bukan prophecy. I will have no glory, but somehow it’s  enough.

But You never said no money juga lehhh.

Di saat Fatwa operasi dan butuh 14 juta dan dia tahu diri gak minta ke gua, seharusnya gue bersyukur. Walalupun miskin, teman-teman gue setia.

“Kita bikin FTV ajalah,” kata Indri sambil mengabari uang kepompong tinggal 9 juta.

Gue menunda berpikir, lebih memilih nonton House Of Cards season 2. Dilanjutkan Orange Is The New Black season 2. Dilanjutkan Games Of Thrones season 3. Dan Scandal. Dan Homeland. Dan Breaking Bad.

Di antara semua dan ini, masih perlu gue buat film? 

Untuk menyenangkan diri sendiri? Masturbasi?

Ama guling lebih murah.

Kalau gue pintar, sebaiknya gak bikin film lagi.

Untungnya gue gak pintar-pintar amat.