Senin, 31 Maret 2014

65, Alkitab, dan Cina

Seorang sutradara perempuan pasca nasionalis yang berkesadaran politik mengajak dua sutradara kurang kesadaran politik ke toko buku untuk membeli buku 'Kekerasan Budaya Pasca 1965'.

“Bagus nih pemetaannya. Jadi kita kebayang oh ini apa-apa aja yang terjadi,” kata si Pasca Nasionalis.

Kurang Kesadaran #1 malah mengambil buku lain, Sejarah Alkitab. 

“Hiiiy, lo mau baca itu?” tanya Kurang Kesadaran #2.

“Yang  nulis Karen Armstrong kok,” kata si Kurang Kesadaran #1.

“Oh,” kata si Kurang Kesadaran #2 sambil mengambil sebuah buku tentang Cina di Indonesia.

Si Pasca Nasionalis anak petani yang dulunya aktif di radio kekiri-kirian, karenanya dia membeli Buku Pasca 1965. 

Si Kurang Kesadaran #1 anak tentara orde baru yang seumur hidup dicekoki kalau Alkitab itu Firman Allah yang gak pernah dilihat sisi historisnya. Padahal Alkitab sudah menjadi dasar banyak sekali peristiwa politik dunia yang tidak selalu membanggakan.

Si Kurang Kesadaran #2 anak pengusaha Cina generasi ke tiga yang bapak ibunya terpaksa ganti nama biar terdengar lebih Indonesia.

Si Kurang Kesadaran #1 tetap membeli buku Pasca 1965. Tapi sesampai rumah yang duluan dibaca malah Sejarah Alkitab dan langsung habis dalam semalam.

Semua punya cerita. Semua punya kegelisahan. Tidak harus bersama-sama.

Biar filmnya ntar ada 3. 

Minggu, 30 Maret 2014

Estetika Orang

“Lagu Ende itu kan sebenarnya lagu-lagu penjajah yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Batak. Kenapa sih harus kita rayakan  segitunya?” kata seorang campuran Jerman Batak yang merasa esensi budaya leluhurnya banyak dihambat karena pemahaman agama yang dangkal dicampur inferior complex akut yang sudah terwarisi berabad-abad.

Akhirnya dia menolak tawaran kolaborasi sebuah pagelaran acara musikal berdasarkan Buku Ende karena pihak penyelenggara tidak tertarik menyelidiki lebih jauh tentang budaya asli Batak. Lebih tertarik dengan Batak pasca Nomensen yang bangga karena sudah lebih Jerman.

Gue, si anak batak berayah batak dan beribu batak tidak berani berkomentar. Buku Ende di rumah gue sudah dianggap sebagai lagu-lagu suci yang tidak boleh sembarangan dinyanyikan bersama drum dan gitar elektrik. Nomensen diangap dewa tanpa cela yang berkat jasa-jasanyalah hari ini gue tidak lagi barbar dan bisa membaca. 

Bahkan terjemahan laporan asli Nomensen tentang keterlibatannya dalam pemusnahan Batak-Batak yang tidak sesuai kriteria Belanda pun dianggap hoax di rumah Mak Gondut.

Tapi dia berbeda. Lahir sebagai Batak yang beribu Jerman membuat dia lebih berani mengakui kalau lagu-lagu dalam buku Ende bukan budaya Batak asli  dan Nomensen bukan dewa yang tidak bisa dikritisi.  

Tapi pemahaman agama yang dangkal dan inferior complex akut sepertinya sudah menjangkiti seluruh negeri. 

Si Batak beribu Jerman ini bersuamikan Sunda. Sunda punya ritual menghormati air yang sangat membumi. Hari ini dia berangkat ke Taman Hutan Raya untuk merayakan hari air dan suwon dengan alam yang telah memberikan kita air. Tapi ritual ini ternyata sudah  diselipi ritual kata pengantar dan budaya hierarki ala Orde Baru, diselipi slogan-slogan Bandung Juara lengkap dengan jempolnya.

Gue membayangkan dia berfoto kebingungan di tengah-tengah para punggawa berseragam dengan senyum lebar dan jempol diacungkan.

Juara.




Wanita-Wanita Pasca Nasional

“Kapan ya Indonesia gak gini-ginian lagi?” kata sesama sutradara sambil menonton bumper Galeri Indonesia Kaya yang tentunya diisi tari-tarian tradisional yang itu-itu lagi walau dengan bumbu-bumbu yang lebih modern. 

Di saat Jepang sudah punya Doraemon, dan Amerika sudah punya Walt Disney, Indonesia masih merasa yang dahulu adalah identitas nasionalnya. Seakan yang baru pasti sudah terkontaminasi asing dan bukan lagi identitas Indonesia asli.

Gue tidak menjawab, karena orasi Seno Gumira Ajidarma dalam rangka Hari Film Nasional akan segera dimulai. Judulnya adalah “Film Indonesia dan Identitas Nasional dalam kondisi Pascanasional”. 

Seno dengan sangat tajam mengatakan kalau saat ini kita terjebak dalam sebuah cita-cita pseudo nasionalis yang sebenarnya malah membatasi kita dari menjadi manusia kreatif yang mandiri dan selalu berkembang. Apalagi di zaman pasca nasionalis yang semuanya sudah semakin global dalam hitungan waktu yang sangat singkat ini.

Setidaknya itulah yang gue tangkap dari orasi berlembar-lembar penuh dengan bahasa yang tidak pernah dipakai manusia biasa-biasa saja seperti gue. Ada bagian-bagian yang tidak mampu gue mengerti. Tapi bagian akhirnya gue mengerti dan menyejukkan hati karena datangnya dari seorang pria yang pendapatnya kami hormati.

Semua kalimat ngejelimet Seno tadi diakhiri dengan pernyataan kalau mulainya babak baru sinema Indonesia Pasca Nasional mungkin dapat kita pahami dengan menyelidiki bagaimana dari 33 sutradara wanita Indonesia yang pernah tercatat dalam sejarah perfilman kita, ada 28 yang sedang aktif membuat film saat ini.


Jangan-jangan Doraemon dan Walt Disney Indonesia nantinya wanita.

Atau yang merasa wanita.

Pengen Renang

Kekenyangan makan Mie Goreng Pedas + Roti Bakar Coklat + Kopi Tarik + Es Teh Manis, Sammaria berjalan-jalan di sekitar kompleks Kalibata City dengan harapan lingkar pinggang turun sesenti. 

Di ujung Kalibata sana, di sisinya yang mendekati kuburan, ternyata tower-towernya mulai terlihat lebih megah. Toko-tokonya mulai tertata lebih rapi. Nama-namanya mulai tercium lebih luar negeri. 

Sammaria mengendap-ngendap memasuki jantung tower-tower yang konon lebih mahal dari towernya sendiri yang walau dinamakan Tower Flamboyan tapi lobbinya bau ayam. Dan penghuninya jauh dari flamboyan.

Jantung tower-tower non proletar itu dibatasi pagar berkawat duri. Sayup-sayup terdengar tawa anak-anak tak kurang gizi dan bunyi kecipak air. Sammaria mengendap kepo mencari asal bunyinya. 

Kebetulan serombongan ibu anak dan 2 baby sitter keluar pagar, jadi Sammaria bisa masuk tapa kartu akses.

Ternyata benar bunyi kecipak kolam renang. 

Hanya lima menit jalan kaki dari tempat Sammaria berkubang mencuri coklat Sunny ada sebuah kolam yang kalau direnangi tiap hari mungkin lebih baik dari berlari-lari dan mencederai lutut kaki. 

Sammaria mencari cara bagaimana caranya agar bisa berenang di sana tiap hari. 

1. Membeli condo baru.

Bah. Uang dari mana? 

2. “Ya berkawanlah. Semua di dunia ini kan bisa kalau ada teman,” kata Papi sesuai doktrin sekolah tentara zaman masih dwifungsi.

Bah. Muka gue kan seram. Mana punya kawan dekat kuburan.

3. “Gue punya teman yang punya apartemen di sana. Mungkin sesama wanita dia mengerti,” kata Sunny.


Untung teman gue banyak temannya.

Tips Hidup Tenang dan Damai

“Don’t date actors!” katanya menambah satu lagi tips hidup tenang dan damai.

Terakhir kali gue bertemu dia, dia baru saja putus dengan pacarnya yang sudah 6 tahun bersama. Saat itu tips hidup tenang dan damai-nya baru tiga:

1. Don’t date bisexuals. They will just leave you the next time a good guy coming.

2. Don’t share each other’s clothes. You will lose your identity.

Kayanya yang ke tiga : Don’t date anyone with psychological issues.

“In other words, don’t date us,” katanya sambil melirik empat manusia Indonesia di sekitarnya yang ternyata semuanya sutradara. Semuanya dicurigai agak gila. Akan tambah gila kalau dipasangkan dengan aktor yang sudah default-nya penuh drama dan body conscious.

Sekarang pacarnya atlet. Dan atlet adalah species unggul untuk dijadikan pacar para filmmaker yang menghidupi diri dengan drama ini. Karena mereka fokus, disiplin, berkomitmen tinggi, dan tidak ada waktu untuk drama.

“Or scientist!” kata si sutradara #2 berdasarkan usia sambil curi-curi menyelipkan cerita pacar barunya yang astronom di setiap pembicaraan.

“But check their fridge first,” kata sutradara #1 berdasarkan usia sambil mengingatkan bagaimana dia pertama kali mencari suami dengan cara memeriksa kulkas doi. Kalau kulkasnya rapi dan berisi banyak makanan bergizi, berarti bisa jadi ayah yang baik. 

Sekarang hidupnya sempurna, andai saja dia mengikuti tips hidup tenang dan damai nomor 5!

“Don’t decide to get married before meeting his mother!” kata sutradara #1 penuh keyakinan.

“Gue udah ketemu emaknya kok,” bantah sutradara #2.

“Did he meet your mother already?”

“Aduh gak usah deh. Ntar malah gak jadi.”  

Sutradara #3 dan Sutradara #4 hanya diam sambil mengangguk-angguk dan mencoba memetakan di mana para atlet berhabitat.

“Aduh jangan di gym deh! Ibaratnya ayam, yang di gym tuh broiler,” kata sutradara #1.

Then Senayan it is. Banyak ayam kampung di sana.

Tapi ingat tips #1.








Tuhan, Orang Tua, Dan Cinta

“Jadi lo maunya filmnya kaya apa? Lo ceritain lewat flashback gitu?” tanya sang suami setelah gue menceritakan betapa di Tanah Batak tidak ada kata maaf, tapi ada semacam upacara meminta maaf.

“Yang gue kebayang sih a simple story ya. Tentang ayah dan anak,” jawab gue belum menjelaskan ceritanya. 

Karena memang gue belum tahu persisnya apa yang mau gue ceritakan lewat Raja Kata. Gue tahu temanya tentang maaf. Karakter utamanya seorang pendeta wanita muda dan ayahnya yang godfather. Tadinya mau sejenis Olo Panggabean. Tapi kalau mau menceritakan tokoh godfather di Indonesia mendingan karakternya tentara.

Gue tahu ada dua scene yang harus ada. Scene menari mengelilingi mayat diiringi lagu Batak yang sangat festive, gak cocok untuk merayakan kematian bagi banyak budaya di dunia. Dan scene menonton orang tenggelam di Danau Toba yang indah, tanpa berusaha melakukan apapun.

“Kayanya lo mending sekolahnya antropologi atau social studies deh, Tid. Jangan film,” kata sang istri.

Gue mengangguk-angguk seperti anak yang baik. Rasanya senang mendapatkan sepasang suami istri yang bisa gue ajak diskusi banyak hal. 

Gue teringat sepasang suami istri lain ketika gue tinggal di Singapura. Sabtu pagi kami selalu diisi diskusi bertiga mengenai Tuhan dan keajaiban-keajaibannya. 

Sekarang gue tidak lagi berdiskusi dengan mereka.  Mereka lebih suka anaknya bermain bola daripada menonton Glee yang dipenuhi remaja-remaja penyuka sesama. 

Karenanya gue mencari orang tua lain.

Mungkin gue selalu mencari orang tua lain.

Bukan karena Papi dan Mami bukan orang tua yang baik. Tapi Papi dan Mami sudah punya dunia sendiri yang mereka yakini benar adanya dan diciptakan dengan baik oleh Tuhan mereka. Dan gue tidak sampai hati mengajak mereka berpetualang dengan pertanyaan-pertanyaan gue yang tidak dapat dijawab tanpa menghormati kemungkinan Tuhan hanyalah imajinasi belaka.

Tuhan, orang tua, dan cinta. Mungkin itulah yang tanpa sadar selalu gue cari  dalam dua film sebelumnya dan setidaknya tiga film setelahnya.

Mungkin karena gue dibesarkan di tradisi agama yang memanggil Tuhan sebagai Bapa dan Maria sebagai Bunda.

Mungkin karena gue dibesarkan di negara yang terlalu banyak memakai kata Tuhan, bahkan di lima silanya, tapi Tuhannya cuma boleh milih satu di antara lima.

Mungkin karena Tuhan yang gue kenal sangat santai, tidak seperti pengikutnya. 

Mungkin gue hanya ingin bertanya.




Sabtu, 29 Maret 2014

Biru

Karena gue memilih The Beatles buat band wedding gue,  London buat bulan madunya,  1950’s themed burger place buat makan, jadi editor buku dibanding astronot, ngecat rumah dengan warna beda tiap kamar, pensiun di beach house, sambil make sendal jepit... menurut quiz-something-dot-com, warna gue adalah biru.
Bukan hijau, seperti yang gue kira selama ini.
Tapi kata wiki-something-dot-org biru adalah warna antara hijau dan ungu di spektrum warna. 
Mungkin hijau gue kebanyakan mendekati ungu, jadi berubah biru.
Atau mungkin terlalu banyak mellow, jadi berubah biru.
Atau mungkin karena langit sudah kelabu. Jadi gue butuh biru.
*langsung mesen selusin baju biru dari Lazuli Sarae
*tambah dua lagi deh yang ijo
Ternyata Lazuli adalah bahan dasar pembuat biru.




Coklat Untuk Boni

Boni sakit.

Kaki kiri belakangnya seperti bernanah. Konon karena terkena pipis akibat Boni gak ngangkang sempurna. Mungkin Boni keberatan menahan berat tubuh sendiri sehingga Boni cepat-cepat pengen berdiri. Pipis-pipis menumpuk di bulu Boni yang tebal lama-lama mengikis bulu dan mengeluarkan nanah dari daging yang kemerahan.

Dibawalah Boni ke rumah sakit. Ternyata penyakit Boni tak hanya di kaki.

Bola Boni hanya satu, makanya Boni tak bisa kawin. Mungkin dikebiri oleh pemilik sebelumnya.

Dan di perut Boni, mungkin ada tumor. Harus di-rontgen dulu.

Papi menunda rontgen. Duit berobat Boni hari ini saja sudah 500 ribuan. Belum rontgen dan kalau jadi operasi. Sudah lebih mahal dari biaya berobat Papi.

“Ya masa Mak Gondut gak ada uang kalau demi Boni?” tanya Sunny yang lebih kasihan lihat binatang daripada manusia. Binatang tak berdaya, kalau manusia punya pilihan mau sakit atau nggak.

“Gue sih berharapnya Boni lebih cepat meninggal,” kata Chica kasihan Boni menderita. Kasihan juga Papi yang harus mandiin Boni. 

Mandiin satu Boni sama kaya mandiin 10 Manohara. Bulu Boni tebal. Hair dryer-in Boni bisa dua jam sendiri. Kalau gak di hair dryer nanti banyak kuman-kuman lembab dan Boni sakit kulit lagi.

Teringat anjing seorang teman yang terkurung buta tak berdaya dengan penyakit di mana-mana. Tiap gue datang, gue diam-diam kasih coklat biar cepat mati. At least matinya bahagia.

Boni mau Silver Queen atau Beng-Beng?


Jakarta

Jakarta adalah kota terakhir di muka bumi yang akan gue tinggali. Sebenarnya ini bukan kota, lebih mirip kampung kebesaran yang semakin membesar tanpa perencanaan, tanpa aturan, dan tanpa pemerintahan yang berwibawa sehingga mau tak mau harus digolongkan kota. 

Semuanya ada di Jakarta.  Ada Central Park. Ada Soho.  Ada Manhattan. Ada Broadway. Yang gak ada hanya identitas and a good skyline for our movie poster representing Jakarta.

Begitu gue lulus, gue langsung kerja ke Singapura. Jangan sampai gue kerja di Jakarta. Di Jakarta gajinya kecil tapi biaya hidup dan lifestyle orang-orangnya sudah kaya Singapura. Ya mending kerja ke Singapur sekalian. Masa bodoh dengan nasionalisme bla bla bla, daripada gue macet-macetan di Jakarta.

Tapi dengan kebodohan berbulu semangat heroik umur dua puluhan, gue kembali ke Indonesia untuk membuat film. Ke Bandung, tepatnya. Bukan Jakarta.

Sampai datanglah Lucky Kuswandi dan scriptnya “Selamat Pagi, Malam” yang bercerita tentang Jakarta. Scriptnya indah, mampu membuat pantat gue keluar dari kubangan hibernasinya di Bandung, dan melenggang shooting ke Ibukota. 

Dan seperti sudah gue duga sebelumnya, shooting di Jakarta tidak seindah script Lucky.

Tapi film ini berhasil membuat gue mau untuk sementara tinggal di Jakarta. Ternyata orang-orangnya tidak semembosankan bangunannya. Dan malam-malamnya tidak semenjijikkan siangnya. 

Tapi berhubung gue jam 10 udah bobo, jadi sudahlah lupakan. 


DInikmati sajalah bau-bau knalpot ini. 

200 Ribu Cewe Keren

“Minta duit ke Om itu kaya minta duit ke bapak sendiri. Pasti dikasih,” katanya menceritakan investor Demi Ucok yang juga omnya sendiri.

Gue membayangkan minta duit ke Papi. Apakah dikasih?

Gak pernah. Karena sebelum diminta, pasti udah dikasih.

Sayangnya Papi gak punya 2 M buat gue bikinin film. Kalau nggak pasti udah dikasih.

“Kita beruntung sekali investor kita Om. Bayangkan kalau orang lain, ini laporan keuangan kita pasti dicurigai,”  katanya.

Demi Ucok sudah tayang lebih dari setahun yang lalu, dan tiba-tiba datang cek tambahan dari salah satu bioskop memberikan pemasukan sisa beberapa juta. 

Ketika menerima, gue senang-senang saja. More money. Tapi ternyata ini membuat para akuntan panik.

“Kita tahu dari mana kalau gak ada lagi pemasukan yang mereka tahan?”

Gak tahu.

“Kita tahu dari mana kalau jumlah penonton memang seperti yang mereka bilang?”

Gak tahu.

“Kita tahu dari mana berapa potongan iklan dan lain-lain yang harus kita bayarkan?”

Gak tahu.

Dengan business model seperti ini, dia terheran-heran kenapa masih ada orang yang masih mau investasi film di Indonesia. Tidak ada jaminan. Tidak ada kejelasan. Dan tidak ada aturan.

Mungkin semuanya cuci uang. Atau sekadar display kekayaan. Bukan untuk cari uang.

“Terus terang sebenarnya saya kenal dengan banyak investor yang tidak keberatan 10 atau 20 M. Tapi kalau business model-nya seperti ini ya siapa yang berani?” tanyanya.

“Kalau mau yang jelas mungkin harus jual ke luar negeri ya?” tanya gue mencari solusi. 

Sementara produser luar beramai-ramai hendak menyasar Indonesia, kita malah kabur ke luar?

Indonesia dengan 250 juta penduduk, surga bagi yang mau jualan produk. Tapi kita minderan, selalu merasa yang datang dari luar lebih berkualitas. Berani bayar tinggi untuk produk luar negeri. Produk dalam negerinya ditekan setengah mati. 

Sebenarnya gue hanya butuh 200 ribu cewe Indonesia yang cukup punya harga diri, berani punya selera sendiri, tau menghargai produk dalam negeri, dan mau menonton film gue. Hanya 1% dari penduduk Indonesia ini yang peduli pun gue sudah bisa hidup dengan cukup dan kembali membuat film lagi. Uang yang masuk dibuat film lagi  sehingga setiap tahun film terus bertambah dan semakin tahun semoga semakin baik.

100 penonton x 5 jam tayang x 30 layar bioskop x 14 hari sudah cukup.
  
Adakah 200 ribu cewe keren di Jakarta?










Kamis, 27 Maret 2014

Laku

"Gue suka kagum ama sutradara kaya Bang Joko yang masih bisa punya idealisme dan brand sendiri," kata seorang produser muda yang sekilas terlalu banyak bicara dan kurang banyak wawasan. Tapi ternyata filmnya sudah banyak sekali. Dan jaketnya mahal.

Mungkin memang harus produser yang banyak bicara dan berjaket mahal baru laku di Indonesia. Orisinalitas bukan faktor penting di sini.

"Menurut gue, lo juga punya brand," katanya.

Gue tidak menjawab. Gue tahu gue berbeda dan film kami bukan film kebanyakan. Kalau crowd yang tepat pergi menonton film ini, mereka pasti akan suka.

Tapi seberapa banyakkah crowd yang tepat itu ada di Indonesia? 

Apalagi film 'Selamat Pagi, Malam' tayangnya bersamaan dengan serbuan Hollywood summer movies, Piala Dunia dini hari, dan Pemilihan Presiden Republik Indonesia. 

"Wah kalau itu pasti laku tuh," kata Ucu nimbrung pembicaraan gue dan Lucky.

Ternyata maksudnya bukan 'Selamat Pagi, Malam' tapi film lain yang masih di angan-angan pengembangan.

"Kalau yang Selamat Pagi Malam, Cu?" tanya gue penuh harap.

"Wah itu gak tahu deh tuh. Tapi filmnya bagus sih," katanya.

"Ga takut. Kalau memang mereka pengen nonton they will watch it," kata Lucky.
Yang penting kita bikin mereka pengen banget nonton dengan...

1. Advanced buzz yg hits 
- Well, the first crowd love it.
2. Kesan film ini bagus bgt dan ga boleh dilewatkan
 - it is.
3. Soundtrack theme song yg melejit - Nunggu Ipong skripsi kelar baru dimixing.
4. Festival buzz
- I don't know about this.
5. This film is about them, biar mereka relate. -  Crowd Anggia sih bakal suka. Gak tau deh crowd Indri dan Ci Surya. Konon mereka lebih suka cerita-cerita escapism, sejauh mungkin dari realita mereka.

Otak kiri gue masih menghitung angka. Dengan jumlah kopi dan layar yang ada, mustahil mencapai BEP 2 minggu setelah 19 Juni 2014, sebelum layar Jakarta didominasi Angelina Jolie.

Menarik napas panjang.

Ini pertama kalinya gue release film tanpa yakin akan balik modal.  

Thank you. More reason to rely more not on myself.



Jas 1 juta

"Lo mau pakai baju itu?"  tanya sang Wardrobe Designer dan Make Up Artist sambil memandang gue nista.

Gue menciut. Apa yang salah dengan kaos kuning dan legging ini? 

"Lo kan produser Tid. Harus berwibawa dong."

Malam ini Selamat Pagi, Malam limited screening untuk pertama kalinya. Hari ini gue producer only, gak merangkap director and writer. Jadi gak ada alasan berpenampilan busuk kaya waktu cin(T)a atau Demi Ucok. 

Sutradaranya aja trendy. 

"At least leggingnya jangan yang terang juga, Tid," katanya sambil melambaikan legging hitam. Lumayan diskon 20%.

Ditambah jas seharga 999,000. Jas-jas di toko lain lebih mahal lagi. Di tokonya Bang Alexander Mc Queen kemeja aja 3.5 juta.

Ternyata orang Jakarta kaya-kaya ya.

"Ah kan yang dateng temen-temen semua. Gak usahlah rapi-rapi," raung gue tak rela mengeluarkan sejuta untuk jas. 

"Tapi kan ada calon sponsor juga!" 

Oh iya. Lupa.

Dibelilah itu jas satu juta demi membuat gue terlihat lebih presentable. 

Dan ternyata malam ini calon sponsor  gak ada yang datang.

Salah gue juga sih ngundangnya bukan yang top of the top. Ngundangnya masih para bawahan yang boro-boro punya taste dan keberanian untuk mendukung film indie tanpa nama. Mereka udah overload kerja dan kecapean berusaha memuaskan selera bos mereka. 

Kalau saja mereka datang sesuai kata-kata mereka saat mengkonfirmasi kedatangan, mereka tentunya bisa merasakan genuine pleasure dan kebahagiaan yang memenuhi studio 6 Plaza Senayan saat itu.

"I rediscovered my faith in Indonesian dramas," kata Melissa Karim.

"Ini film favorit gue sepanjang perfilman Indonesia," kata Nia Dinata.

"Kurangnya pilim ini ya gak ada aku aja," kata Joko Anwar.

Dan gak perlu jas satu juta untuk membuat mereka terkesan. Gue tersenyum bahagia menyadari masih ada orang-orang seperti mereka di Jakarta.

Tapi mendengus sebal mengingat para sponsor ingkar janji.

"Kalau sampai film ini gak laku, there is something seriously wrong with our people," tambah Melissa.


Well, di tengah-tengah Jakarta palsu yang manusia-manusianya overwork dan ignorant ini... maybe there is something seriously wrong with us. 

Sensor

Selamat pagi, Indonesia.

Congratulation. We're one of those countries that don't screen Noah.

Alasannya karena Noah menggambarkan nabi dan nabi seharusnya tidak digambarkan.

We should be proud of ourselves because we understand our religion so much.

And as for you, "Selamat Pagi, Malam"... tolong potong 13 detik lagi dari reel yang kemaren ya.

Gue membaca catatan sensor film Selamat Pagi, Malam. Panjangnya 2517 meter, lebarnya 35 milimeter, banyaknya 5 reel.

SPM gak punya format 35mm, hanya DCP. Dan sekali bikin DCP kalau masih ada yang dipotong lagi itu harus mastering ulang.

Mungkin mereka salah film. Yang seharusnya dipotong ulang film lain.

Ternyata tidak. 

Apakah mereka tidak tahu kalau motong ulang DCP itu harus mastering ulang lagi? Bayar lagi?

Gue mencoba protes tapi dia sepertinya bapak ini sudah tahu segalanya.



Tugas mereka menjaga agar moral bangsa tidak rusak dan moral tidak pernah berubah dari masa ke masa. Jadi tidak ada lagi yang perlu dipelajari. Tidak perlu tahu kalau DCP itu tidak lagi berpanjang dan berlebar. 

"Ini bisa dibaca ya wawancara saya," katanya sambil memberikan majalah yang diterbitkan lembaga sensor.  Ada artikel tentang dia pada saat nonton bareng film inspiratif.

There's no place for us here.

Musisi

"Mbak Atid suka ya?" tanya si musisi setengah mabok sambil membelai-belai mesra cewe yang dia tuduh gue suka.

Secantik apapun kalau udah manggil gue Mbak Atid, langsung ada stempel non halal yang membuat gue haram hukumnya untuk mendekati.

Tapi berhubung nih anak selalu cerita kalau dia gak pede, gak mungkinlah gue bilang nggak.

"Iya gue suka," jawab gue.

Si cewe memilih bobo sambil dibelai-belai musisi yang sudah beristri.

Dan botol Truth Or Dare mengarah ke gue lagi.

"Mbak Atid suka ya?" tanyanya lagi.

"Iya, gue suka," jawab gue berusaha cuek. Si cewe langsung tambah tidur sambil dibelai mesra.

Nih anak-anak udah pada mabok jadi ya sudahlah ya. Apalah artinya perasaan gue. Besok pagi juga mereka dah lupa.

Kali ini botol mengerah ke si musisi.

"Lo suka ya ama dia," tanya gue membalas.

"Nggak mungkin," jawab si musisi.

Botol ke si cewe.

"Lo suka ya ama dia?"

"No way," katanya.

"Booooo pas lo pada pulang mereka ciuman," kata si host menceritakan drama kamar mandi setelah si musisi muntah-muntah.

Musisi oh musisi. Kenapa wanitamu banyak sekali.

*Langsung belajar gitar.