Kamis, 31 Maret 2016

Minyak Narwastu

Ucu bercerita tentang seorang anak yang tidak pernah kenal apa itu lemari. Bajunya hanya satu. Jika kotor, dicuci dan ditunggu sampai kering, lalu dipakai lagi.

Ini hanya salah satu dari sekian banyak warga Jakarta yang miskinnya udah gak masuk akal, malah tergusur dari gubuknya, dan tak bisa melawan demi Jakarta yang semakin seperti Singapur  dan nyaman bagi Kelas Menengah.

"Ya tapi gue yakin Ahok udah berusaha melakukan apa yang terbaik yang bisa dia lakukan," kata seorang kelas menengah yang baru beli lemari 10 juta di Ikea. "Mungkin saat ini dia ya bisanya itu, harus kompromi ama Developer."

Gue mengangguk walau masih bingung. Memang tidak ada gunanya menyalahkan kerjaan orang lain.  Lebih baik memikirkan apa yang bisa gue lakukan.

Bikin film?

Segini banyaknya orang butuh uang, masa gue menghabiskan duit milyaran buat bikin film?

"Orang miskin itu akan selalu ada. Minyak narwastu lo tuh harus dipakai untuk memuliakan Dia," katanya mengingatkan gue akan cerita Yesus diurapi.

Maria mengurapi kaki Yesus dengan minyak narwastu mahal pakai rambutnya sendiri. Yudas protes bilang Maria buang-buang duit. Lebih baik dijual lalu dibagikan ke orang miskin.

Yesus menjawab, "Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburanku. Karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu, tetapi aku tidak akan selalu ada pada kamu."

Jadi kaki Yesus lebih penting dari orang miskin? Ayat ini mengganggu gue walaupun gue tahu memang Yudas gak peduli ama orang miskin dan cuma pengen sok protes aja.

Sabda Yesus  bukan wahyu yang harus diikuti buta kalau gak mau masuk neraka. Tapi Yesus adalah salah satu tokoh pergerakan yang muncul dari orang biasa dan berhasil menggerakkan kelas menengah ngehek untuk mengubah cara hidupnya. Banyak sekali yang bisa gue pelajari dari perkataannya.

Apa minyak narwastu gue? Siapa yang dengan bahagia gue basuh dengan rambut gue? 

Walaupun gak punya lemari, dia pun punya minyak narwastu  sendiri.

Superman Lawan Batman

Superman dan Batman, kok bisa berantem?

Mungkin karena Metropolis dan Gotham itu sebenarnya kota yang sama,  New York. Hanya jagoan yang satu keluarnya siang, yang satu keluarnya malam.  Mungkin di film ini mereka rebutan korban yang harus diselamatkan.

Ternyata beda kota bo. Yang New York itu Metropolis. Hanya Batman_ secara doi  konglomerat warisan Papa Mama_ tentunya punya gedung pencakar langit di New York.  Ketika New York eh Metropolis diserang kapal alien, Superman bertempur menyelamatkan Metropolis. Sangkin asyiknya berantem dengan sesama alien, gak sadar Superman malah bikin gedungnya Batman runtuh sampai membunuh banyak pegawai kesayangan Batman.

At least runtuhnya ke samping ya bo. Di sini sutradara Zack Snyder menggambarkan gedung runtuh ditabrak benda terbang dengan lebih masuk akal dibanding sutradara 9/11 yang menggambarkan WTC runtuhnya rapi turun ke bawah.

Sambil memeluk seorang anak pegawainya yang hampir saja kejatuhan gedung, Batman menatap sebal Superman yang sedang asyik baku hantam di langit sana, tapi gak bisa ngapa-ngapain tanpa gadget-gadget mahalnya.

Superman ceritanya sejenis Tuhan yang maha kuasa, dan karenanya gak mungkin maha pengasih karena kekuasaan mutlak hanya akan melahirkan tyrant kalau kata para Senator Roma ketika Julius Caesar mau menguasai Republik Roma.

Batman ceritanya juga konglomerat yang sepertinya gak jenius karena diperankan Ben Affleck, bukan Matt Damon.  Tapi harta warisan Batman membuatnya mampu membayar Alfred yang kemudian membuatkan Batman beragam baju tahan segala, mobil balap hitam doff bisa segala, dan mengoperasikan segala teknologinya dari jauh sehingga Batman datang-datang tinggal colok USB atau tekan satu tombol.  

Tuhan yang tirani lawan Konglomerat yang tak kalah tirani.

Kalau saja ceritanya cuma itu, film Superman lawan Batman ini bisa jadi masuk akal. Hanya saja ternyata dua pahlawan kita ini berantem cuma gara-gara diadu domba Lex Luthor, konglomerat jenius tapi jahat yang diperankan pemeran Mark Zuckerberg, bukan karena masalah ideologi seperti diceritakan di awal. Diakhiri dengan Tuhan dan Konglomerat ini tiba-tiba baekan karena mamaknya namanya sama. 

Tapi ya sudahlah. Syukur juga ada karakter Lex Luthor ini. Setidaknya  ada karakter yang bisa gue mengerti daripada dua abang-abang berdada bidang yang sepanjang film cemberut mulu.  Solusi Batman menghadapi si Maha Kuasa ini adalah pake baju besi yang lebih bulky dari biasanya kalau doi ngegebukinnya penjahat jelata proletar biasa.

Di akhir cerita, Tuhan dan Konglomerat bersekutu, membentuk Trinity bersama seorang Wonder Woman yang memang membuat kita wonder wonder semalaman kok doi bisa malam-malam keluar cuma pake baju renang tapi gak kedinginan.

Eh bukan itu ding akhirnya.   Akhirnya Superman mati, tapi pasti belum mati karena di ending film peti matinya getar-getar menandakan akan ada sekuel-nya. Mana rela mereka membiarkan si Maha Kuasa mati begitu saja tanpa mendatangkan uang lebih banyak lagi.

Yang pasti bukan uang gue.  Cukup sekali gue bayar buat film kaya gini.

Selasa, 29 Maret 2016

Gue Benar

"Ya nggak usah bentak-bentak deh, Pi," balas gue sewot.

Cuma karena salah milih jalan keluar, yang ini ditutup, harusnya yang sana, gue dibentak seakan anak paling bodo sedunia.

"Siapa yang bentak-bentak? Memang sama aja kau sama mamimu," bentak Papi.

Di malam tahun baru kemaren Mami memang protes pada Papi yang dia anggap selalu membentak. Papi diam saja, tapi dari mukanya jelas dia tidak pernah merasa membentak.

"Abang kan memang budeg. Suka gak nyadar kalau ngebentak," kata Mami sok ngeledek Papi, berusaha mencairkan suasana.

"Ah memang gak tahu adat aja anak ini!" jawab Papi.

Gue langsung menekan gas sekuat tenaga, menyerudug ganas berbagai mobil Kelapa Gading, membelok ke kiri tanpa kedap-kedip, mengetes batas pacu jantung Papi yang baru dipasang minggu lalu.

"Mana sini kuncinya!" bentak Papi.

Langsung gue kasih tuh kunci mobil. Gue banting pintu depan dan belakang. Pergi bersama Uber.

Padahal sudah terbayang-bayang Sapo Tahu A Hwuat. Tapi daripada gue harus lihat muka bengis Papi, mending gue kelaparan malam ini.

Ternyata gak cuma kelaparan. Gelisah juga.

Gimana kalau Papi kepikiran? Terus nanti jantungnya kenapa-napa?

Tapi kan gue benar. Emang Papi suka ngebentak orang sembarangan. Ya biar dia tahu rasa.

Tapi kan...

Dan banyak tapi lainnya yang gue harus bungkam. Masih dengan bersungut-sungut dan sebal di hati, gue mengetik SMS berusaha tak berpikir.

"Sori ya Pi tadi Atid marah-marah."

"Iya manis. Biasa itu dinamika. Tks. Gbu."

Lega.

Minggu, 27 Maret 2016

Merdeka

Hari sebelumnya gue buka dengan hot chocolate dan croisant coklat Oh La La. Belum siang, sudah kelaparan. Begitu sampai Seribu Rasa, langsung menyantap daun singkong, Lontong Medan, dan Mie Jawa. Untung Terong kosong. Disambung dessert di Kitchenette. Belum dua jam, tambah kentang dan wedges di Holy Cow.

Semakin banyak makan, semakin cepat gue lapar.

Hari ini gue buka dengan air putih. Disambung dengan air putih. Lalu air putih lagi. Lalu air putih lagi.  Mungkin sampai malam akan air putih lagi kalau Papi gak minta ditemenin makan. Gue pun mesen capcay.

Semakin sedikit makan, semakin gue tidak lapar.

Semakin gue merdeka.

"Tid, ke tempat gue yuk. Ada Aglio Olio."

Berangkat.

Di Belahan Lain Brussel

"Kalau jahat, ya jahat. Gak ngaruh miskin atau kaya," kata Chica mulai sebal.

Kemaren bom meledak di Brussel. Bukannya ikut menghujat para pengebom, gue malah menganggap mereka korban kemiskinan dan ketidaksetaraan yang suaranya tidak akan didengar kalau gak meledakkan diri.

"Tapi kan mereka ngebom bukan tanpa alasan. Ya kaya Paris kemaren, kan Perancis duluan yang ngebom Syria."

"Tapi kan ini ngebom rakyatnya."

"Emang di Syria gak kena rakyatnya?"

Untunglah jamur keju 80K + tax 10% + service 5% pesanan Chica datang, memutus perdebatan tentang bom Brussel di hari ulang tahun Chica. Toh gue pun sebenarnya gak tahu-tahu amat apa yang terjadi di Eropa dan Timur Tengah.

Masa ulang tahun Chica diisi dengan ngobrolin kemiskinan, ketidaksetaraan, dan bom? Lebih baik gue menghabiskan Frappe 40K  + tax 10% + service 5%  gue sambil ngobrolin sebaiknya Chica beli tas Celine atau Givenchy.

Ternyata di Plaza Indonesia ini gak ada yang bagus.  Chica akhirnya beli foundation yang di arisan kemaren kata Jacqueline bagus.

Chanel.

Sabtu, 26 Maret 2016

Tiga Oma

Mak Gondut jadi extras, ngobrol-ngobrol dengan Tiga Oma yang salah satunya bercucu tiga dara jelita. Dapet satu line: "Cucumu jodohin sama anakku aja!"

Gue langsung request ke sutradara Behind The Scene biar  ngambil shot Mak Gondut ngomong dialog itu lalu cut-to ke muka gue sedang sujud syukur alhamdulilah.

Sutradara pun dengan suka rela naro gue jadi extras lewat-lewat di belakang Mak Gondut biar gue tetap masuk ke filmnya saat adegan itu.

Lalu hujan pun turun. Shooting pun batal.

Bah.

Tahu Tidak Tahu

"Kenapa di sini gak ada antena TV, Tid?"

"Kan enak damai kaya gini."

"Ya tapi kan jadi nggak tahu di luar ada apa. Gak bisa nimbrung kalau ada yang ngobrol. Kayak kau, banyak yang gak tahunya."

"Jadi menurut Mami dengan nonton TV banyak yang mami lebih tahu dari Atid?"

"Ya iyalah."

"Mami tahu gak semua TV ada yang punya? Jadi yang mereka beritain ya yang mereka mau beritain. Belum tentu yang paling penting."

"Ya makanya mami nonton semua TV. Dibanding-bandingkanlah."

"Lebih baik gak tahu apa-apa daripada tahu dikit trus jadi sok tahu."

"Mulutmu itu kadang-kadang suka seenak perut sama orang tua."

"Mami juga gitu ama Atid."

Lalu kami makan kue.

Rabu, 23 Maret 2016

Nonton Dan Kerja

Dulu gue merasa nonton adalah bagian dari pekerjaan sutradara. Tapi setelah 4 tahun gak bikin film, jangan-jangan nontonlah yang bikin gue gak kerja-kerja.

Tapi siapa bilang gue harus bekerja? Gue cuma harus makan, minum, dan bernapas. Kalau bekerja bisa menghasilkan makan dan minum, barulah gue bekerja. Tapi kalau makan dan minum sudah ada, buat apa gue bekerja?

Biar eksis di kehidupan maya yang cuma sekejap ini?

Gue gak perlu kerja. Toh semua berakhir sia-sia. Gue gak punya kewajiban apa pun di dunia ini. Terserah gue mau ngapain aja.

Jadi pengen bikin film.

A Wholistic Filmmaking

Gue mengunjungi lokasi shooting seorang teman disambut pemandangan seperti...

Seperti shooting.

Artis-artis ber-make up tebal di ruang ber-AC. Kru-kru kurang tidur menunggu mereka siap ganti baju. Sutradara main HP. Asisten-asisten keringetan mondar-mandir berusaha shooting segera dimulai. Filmmaker wannabe celingak-celinguk clueless menunggu teriakan.

Gue duduk di sebuah kursi baso dikelilingi kotak bekas makanan, kabel, tumpukan tas-tas, dan entahlah. Yang rapi di lokasi shooting hanya area seuprit di depan kamera.

Semua sampah ini, semua keringat dan bau ini, semua hanya untuk membuat film yang terkenalnya tergantung pemilik media, tayangnya tergantung pemilik bioskop, lakunya tergantung penonton. Kalaupun laku, tetap bioskop yang dapat uang lebih banyak.

Dikelilingi semua sampah ini, mungkinkah bisa menghasilkan sebuah film indah yang ingin gue kenang?

Gue butuh cara baru membuat film yang gak cuma indah di depan kamera. Yang budget-nya  berkeadilan sosial, makanannya gak dibeda-bedain, gak nyampah, gak tergantung bioskop, tv, apalagi media. Kalau pemodal dan penonton, bolehlah masih gue dengerin.

Kalau nggak, ya mending gak usah bikin film. Toh film bagus udah banyak.

Senin, 21 Maret 2016

Taik-Taik Politik

The Herald membeberkan bagaimana kotornya si Taik sampai bisa jadi Presiden Amerika. Pas banget ketika simpatisan sejenis ISIS menyandera seorang ayah menuntut pemimpin mereka dilepas. Untuk membebaskan si Ayah, semua fasilitas dikerahkan termasuk tempat di mana si Taik diam-diam menggunakan data NSA buat kepentingan kampanyenya.

Si Taik duduk di ruang tamunya, minum aspirin. Bersiap membayangkan dia akan dimasukkan penjara abis kalah pemilu. Mungkin inilah akhir serial House Of Cards. Gak mungkin penipu dan pembunuh terus menerus jadi presiden sementara orang-orang jujur malah disingkirkan dan dibunuh. Jagoan harus menang di akhir. Film harus memberikan harapan.

Tapi hati gue berharap si Taik menang. Jangan sampai gue diyakinkan kalau masih ada orang baik di politik.

Lalu istrinya yang gak kalah taik tapi hot datang dengan solusi. 

Fear.

"We do not submit to terror, we make terror," kata si Taik mengakhiri season ini.

Amerika mendukung Underwood perang setelah menonton si Ayah dibunuh atas nama Allah,  lupa kalau presiden mereka juga mungkin  pembunuh.

Sepertinya season 5 si Taik masih presiden.

Kenapa gue ingin si Taik menang?

Mungkin karena diam-diam gue yakin semua yang ngomong atas nama rakyat memang munafik. Mungkin karena bosan dengan film yang memberikan harapan sementara sekitar gue semakin menjijikkan. Mungkin pembuatnya memang mau membuat gue apatis trus gak mau mendukung aktivitas politik apapun.

Mungkin gue kebanyakan nonton.

Minggu, 20 Maret 2016

The Men Who Made Us Spend

Bapak-bapak pembuat lampu berkumpul. Produk mereka terlalu bagus, gak rusak-rusak. Mereka harus sepakat bikin lampu gak boleh tahan lebih dari seribu jam biar mereka bisa terus jualan. Kalau ada yang melanggar, didenda.

Gak cuma lampu. Printer. TV. Ipod. Semua dirancang rusak sebelum waktunya dan berakhir jadi sampah elektronik yang gak bisa dibuang sembarangan ke sungai depan. Untungnya di Indonesia banyak teknisi lihai yang bisa mengakali sampah elektronik ini untuk dijual ke masyarakatnya yang gak mampu beli baru.

Tapi di negara yang GDP rakyatnya Euro 2500 per bulan? Rempong deh dibener-benerin. Mending lempar biru - lempar trus beli baru.

Dilempar ke mana?

Lempar ke dunia ke tiga yang tanahnya luas, orangnya miskin, kelas menengahnya doyan belanja, dan pemerintahnya dengan senang hati menyambut sampah asal dikasih pinjaman bikin kereta cepat dan jembatan dan pelabuhan yang kita gak butuh-butuh amat.

Tapi gue punya pilihan.

Mau ikutan lempar biru, butuh lebih banyak uang, kepaksa bekerja di tempat yang gue gak suka, belanja lagi, lalu tahu-tahu tua menyesal karena gak pernah ngerjain panggilan ekor kita? Nyalahin Tuhan seakan-akan kita gak punya pilihan.

Atau hidup sederhana, gak gonta ganti barang, gak butuh banyak uang, bisa memilih kerjaan yang gue suka tanpa didikte uang, dan hidup dengan ekor bergoyang-goyang?

Kibas ekor.

Complete Separation

"Gimana kalau kita semua dipisahkan?" tanyanya.

Para pembenci homo disatukan di satu area. Pro LGBT di satu area. Ahmadiyah di satu area. Gafatar di satu area. HKBP pro adat di satu area. Yang anti adat beda lagi.

Mungkin akan lebih damai. Seperti page facebook gue setelah dibersihkan dari friends-friends penyebar kebencian yang gue unfollow. Damai, indah, dan hanya berisi share dari Tempo, Kompas, Guardian, Brightside, 9gag...

Gak ada lagi Republika.

Semua orang pemikirannya sama. Segala perdebatan dihindari.

Kok jadi ingat Orde Baru?

Pikir dulu sebelum unfollow.

Jumat, 18 Maret 2016

Tamasya Hari Tua

Hari ini Papi kembali tamasya ke Ruang Operasi Jantung. Papi pasang pacu jantung setelah pingsan sepuluh kali walaupun sudah tanam ring lima biji. Papi dioperasi duluan walaupun banyak pasien lain sudah mengantri.

Pasien tamasya di bagian jantung memang paling banyak. Disusul bagian kanker dan paru.

Jantung dan kanker kebanyakan gara-gara makanan. Paru-paru gara-gara asap dan rokok.

Kesimpulannya, kalau mau hari tua gue gak diisi dengan tamasya ke situs-situs BPJS, sebaiknya gue mulai jaga diri dari makanan, kendaraan, dan rokok. Yang bisa gue kontrol hanya makanan karena kendaraan dan rokok seliweran  tanpa bisa ditolak.

Tapi makanan? Kan bisa gue piplih.

Sayangnya, gue dan sel kanker seleranya serupa. Gue suka gula, susu, minyak, coklat, dan keju. Sel kanker juga.

Sudah waktunya gue memilih. Mau tua tamasya keliling dunia kaya Iris Apfel atau tamasya BPJS. Papi sih masih enak karena selalu didahulukan kalau operasi dan dapat kamar yang terbaik.

Lha gue?

Harus mulai memilih-milih rute.

Budget Yang Adil

Mak Gondut ditawari 3 juta untuk shooting 3 hari di sebuah film yang kemaren kata produsernya ber-budget 10 Milyar.

Cape doang.

Seorang teman ditawari 5 juta untuk jadi wardrobe sebuah film yang shooting-nya di Paris.

"Kan di Paris... bisa sambil jalan-jalan."

Walaikumsalam aja deh.

Gue gagal paham logika produser Jakarta. Kalau shooting 3 hari cuma lo bayar 3 juta, jadi budget 10 M lo itu buat apa aja?Bukan masalah kecilnya budget, tapi proporsinya menghina sekali. Beda halnya kalau budget-nya memang kecil, tidak ada kecurigaan ada yang dapet terlalu besar.

Tapi gak satu dua produser doang yang tidak berkeadilan membagi budget. Bahkan produser-produser yang gue hormati pun begitu. Solusi pemangkasan budget selalu dengan menekan gaji kru kecil.

Sebenarnya semua industri di jaman neo liberal ini begitu sih. Nekan cost ya nekan buruh. Tapi industri film lebih menyenyebalkan karena pas waktunya jualan selalu minta penonton untuk menghargai karya anak bangsa. Padahal pas shooting gak peduli nasib anak bangsa yang dia pekerjakan.

Tapi Hollywood pun begitu. Makanya gaji above the line (produser, sutradara, penulis, aktris utama) gak pernah diumumkan kecuali kalau ada hacker jahil ngebajak email. Barulah Jennifer Lawrence mengamuk menyadari Bradley Cooper dibayar lebih gede.

Mungkin wardrobe-nya juga mengamuk tapi gak ada media yang tertarik ngangkat.

Dunia tidak selalu begini lho. Dahulu kala di saat menanyakan penghasilan tidak dianggap gak sopan, dan penulis-penulis novel dengan jelas menggunakan jumlah penghasilan untuk menggambarkan karakternya, dunia ini lebih equal.

Di literatur abad 21, tiba-tiba duit tidak lagi dijelaskan detail. Karena kita gak lagi saling tahu yang lain dapet berapa. Karena memang ada yang gak mau kita tahu. Karena kalau sampai saling tahu, proporsinya terlalu menyesakkan dada. Terlalu bikin pengen demo. Jadi lebih baik jangan dikasih tahu.

Tapi lagi-lagi gue gak bisa ngubah orang lain, hanya bisa ngubah diri sendiri. Beranikah gue transparan dengan pendapatan semua orang setiap bikin film?

Berani. Tiga film terakhir selalu transparan kok.

Berani gak gue transparan kalau budget gue gede?

Kita lihat nanti.

Rabu, 16 Maret 2016

Ganti Oli

"Kalau Agya pakenya 3 liter, Pak. Satunya 125.000," kata si Mbak Bengkel pada Papi.

Tiga liter oli bekas pun dialirkan keluar dari bawah, ditampung dengan baskom plastik yang dulunya pernah jadi minyak, dan ditarik keluar hendak dibuang ke...

Dibuang ke mana?

Jangan bilang sungai belakang Kayumas.

Ternyata ke tanah belakang.

Sama aja.

Oli adalah species minyak-minyakan yang  melumasi besi-besi mesin yang bergesekan, mengalirkan remah-remah metal sisa gesekan biar gak ngerusak mesin. Jika oli bekas malah dibuang ke tanah, jadinya merusak tanah.

Biarlah tanah rusak. Nanti kita pindah saja ke Mars.

Sampai air minum kita tercemar metal, harapan hidup kita turun dari 65, dan Mars cuma bisa dibeli Tuan Tanah Amerika dan Cina, barulah kita sadar. Tapi keburu metong.

Tidak hanya oli. Minyak. Oli rem. Dan hidrokarbon lain yang diperlukan untuk membuat satu agya mungil ini mondar mandir mengantarkan gue dalam kotak bebas panas Jakarta. Entah berapa sampah ditelan alam demi kenyamanan gue.

Dikali jutaan mobil dan motor impor yang sudah semakin gak mampu ditampung jalan Jakarta.

Kenapa gue masih pakai mobil?

Selasa, 15 Maret 2016

Bagi-Bagi Warisan

Kuping kanan gue tertutup jok sofa hitam, tempat gue teronggok ketiduran. Kuping kiri gue terangkat sedikit ke udara, sayup-sayup mendengar Papi teteleponan dengan adiknya sambil tertawa-tawa.

Bukannya nomor mereka sudah Papi hapus?

"Papi pikir-pikir ngapain jugalah marah gengsi-gengsi. Mending terima aja uang pembagiannya. Kan lumayan bisa bagi-bagi ama anak cucu."

Rumah Opung yang tadinya Papi kira buat Papi akan dijual dan dibagi ke sembilan anaknya. Mungkin Papi akan dapat satu em-an. Mungkin gue akan dapat seratus juta tanpa bekerja.

Ini pertama kalinya gue akan menyaksikan langsung yang disebut 'The Capital In The 21st Century' sebagai the distribution of wealth karena efek demographic growth. Makanya kerajaan-kerajaan kaya jaman dulu tidak lagi sekaya dulu karena hartanya terus dibagi ke keturunannya yang terus bertambah.

Opung bukan keturunan raja kaya. Dia termasuk generasi yang menuai kekayaan dari hasil kerja di masa-masa di Indonesia orang masih bisa kaya karena kerja.

Masa itu sudah berlalu.

Bagaimana dengan mereka yang orang tuanya bukan raja dan tidak sempat beli rumah dan tanah zaman dulu? Masih bisakah mereka kaya?

Tidak.

Teringat petuah senior-senior Rotary sebelum gue pertukaran pelajar ke Amerika.

"Ntar di sana kalian jangan ada yang sok ya. Semua dunia tahu orang Indo tuh kalau kaya pasti kroni Suharto one way or another. Jadi gak usah belagu."

Semua dunia kecuali kita.

"Tapi sekarang bisa kok kaya," kata Ucu mengembalikan gue ke tanah harapan. Internet telah membuka kesempatan bagi para kaum tak berduit untuk mengakses pengetahuan dan menciptakan inovasi. Seperti si anak Jember penemu 4G LTE yang sekarang makmur di Amerika. Dan ada lagi anak mana yang nemuin sinar apalah itu.

Mungkin ini yang disebut "The Capital" sebagai diffusion of knowledge, satu-satunya cara untuk meratakan kekayaan dunia.

Ayo berkarya.

Mati Duluan

"Gak mau. Gue duluan."

"Kalo liat makannya sih pasti gue duluan."

"Makanya kau makannya jangan congok," katanya sambil mengambil seblak terakhir. "Sedih kali kalau kau duluan."

"Ya udah lo mati duluan..."

"Nanti kalau gue mati, lo ngasih bunganya hidrangea ya."

"Mahal gak? Si Mak Gondut kan maunya tulip satu dinding. Udah dibikinnya deposito buat beli tulip kalau dia mati."

"Harusnya sih murah ya. Di Lembang banyak."

Minggu, 13 Maret 2016

Kota Heits

Walaupun berurusan dengan pemerintah membuat pantat lebih berat, ketika diajak ke kota ini gue langsung berangkat. Sebuah kota kecil di ugak ujung pulau Jawa yang sepuluh tahun ini tiba-tiba terkenal ke selutuh dunia karena karnival fashion-nya. Mungkin ada yang bisa dipelajari dari mereka.

"Yah itu kan eksklusif mereka aja, Mbak. Kita ya nonton aja," kata  mahasiswa ke sekian. Didukung dosennya.

Bayangan indah tentang sebuah festival setahun sekali yang mampu mengangkat ekonomi sekitar buyar. Efek domino indahnya seni yang dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat ternyata memang sudah tersisa cuma jadi jargon orde baru.

"Bukannya mereka pake talent lokal?"

"Iya tapi ya tetep mereka-mereka aja."

Kotanya masih saja kota kecil yang tak mengenal inovasi. Kota yang melahirkan penemu 4G LTE, mengasingkannya ke Amerika, dan puas dengan sinyal yang H dan E melulu.

Untung aja punya rokok kopi dan coklat.

Apakah profesionalisme dan partisipasi masyarakat selalu seperti air dan minyak?

Sepertinya kalau gue bikin festival, bakal begitu juga.

Empat Tahun Lalu

Dalam rangka Hari Film Nasional, gue nonton sebuah film tentang seorang anak yang pengen bikin film tapi udah empat tahun gak bikin-bikin. Bahkan scriptnya aja belum jadi. Judulnya Demi Ucok.

Sutradaranya gue sendiri. Dibuat empat tahun yang lalu, dan ternyata gue masih di sana saja.

"Apa tipsnya agar biar tetap gigih membuat film?" tanya salah satu mahasiswa yang ingin berhasil membuat film seperti karakter di film.

"Gak perlu kok bikin film. Ntar bikin kalau emang perlu dibikin aja. Gigih datang sendiri kalau emang filmnya perlu dibikin."

Lha tuh pinter. Tapi kenapa gak bikin film lo malah resah gelisah?

Mungkin empat tahun ini memang perlu dilalui biar segala ego-ego centil terkikis.

Jumat, 11 Maret 2016

Tips Dicintai

Biar dicintai, ikuti semua maunya. Jangan punya mau sendiri.

Terserah dia makan apa. Terserah dia mau ke mana. Terserah dia mau apa.

Sampai kamu ngantuk dan besok bangun subuh, tetaplah bilang terserah dia.

"Pulang aja deh," katanya setelah mukamu tetap kusut walaupun mulutmu berkata mau.

Biar dicintai, tetaplah mulutmu berkata jujur.

Kalau dia pergi, dia memang tak pernah di sini. Kalau dia kembali, dia memang selalu di sini.

Festival/ Commercial

"Do you do more commercial films or festival films?" tanya gue kepada seorang sutradara Iran di pagi buta di ketinggian 20.000 kaki.

"People in Indonesia keep asking me that question. In Iran, we do not have that distinction. It's all about storytelling."

Well said.

Rabu, 09 Maret 2016

Matahari Sabit

Gue melihat ke kanan, melalui kaca film mobil, sebuah matahari sabit bersinar membuat pagi ini terasa sore.

"Ca, lo gak liat gerhana? Udah mau abis lho."

"Lha katanya 15 menit lagi baru total."

"Di jakarta mah gak akan total."

Chica pun buru-buru keluar rumah. Disusul Bang Gigit, Papi, dan Mbak Eni. Bergantian memandangi langit dengan bantuan hasil ronsen Baby Sergie.

Matahari sabit tetap mempesona walaupun dengan foreground tengkorak Sergie.

Tukang-tukang rumah depan yang gak punya kaca film atau ronsen untuk membantu melihat gerhana malah menonton kami sambil tertawa-tawa.

"Ini cuma seratus tahun sekali ya?" tanya Papi.

"Nggak, Pi. 33 tahun sekali."

Pertama kali terjadi tahun 1983, ketika gue lahir. Berikutnya tahun 2049. Ketika gue mati?

Matahari  dan bulan gak berputar tergantung gue ah.

Selasa, 08 Maret 2016

Revisi

Film sudah dirender. Di-convert ke Youtube HD. Digojekin ke Kepompong. Di-upload ke Youtube.

"Gambarnya sudah oke semua. Hanya font teks dan spasinya bisa direvisi?"

HD harus kembali dikirim ke Editor. Dirender. Di-convert ke Youtube HD. Digojekin ke Kepompong. Di-upload ke Youtube.

"Bisa tapi minggu depan, Bu. Gak bisa hari ini."

"Gapapa deh. Daripada gak maksimal," katanya.

Dia bikin karya hanya sekali-sekali. Font dan spasi tetap harus direvisi.

Sudah lama bikin karya gak harus maksimal, selalu kalah dengan deadline.

Misteri Buku Bagus Banget

Suatu waktu di masa kuliah, sebuah buku enggak banget dihadiahkan seorang penulis berkumis lele bertampang cunihin pada teman kami yang cantik. Ceritanya tentang someone yang pacarnya ternyata keturunan PKI trus tobat atau apalah gitu.

"Ali, coba deh baca. Bagus banget," kata gue gak rela sendiri terbuang waktunya gara-gara buku 'bagus banget' ini.

Karenanya di minggu sore itu Ali sudah membuat teh, bersiap membaca buku bagus banget disinari matahari sore kosannya.

"Apa ini?" kata Ali sewot di Senin Pagi disambut kekehan gue.

"Addiena, baca deh ini. Bagus banget," kata Ali pada Addiena.

"Iya bagus banget," tambah gue penuh bintang kekaguman di mata.

Tentunya 'apa ini' terjadi lagi di lain pagi.

Addiena lalu mencari korban berikut untuk dihabiskan waktunya membaca buku bagus banget itu.

Apa ini terulang lagi. Begitu terus sampai suatu pagi seorang korban berkata...

"Iya ya... bagus banget," katanya. Membuat kami semua yang sudah siap terkekeh ganti ternganga.

Sepuluh tahun setelahnya, gue masih membahas penyebab kok bisa-bisanya dia suka buku bagus banget itu bersama dua penulis.

Analisanya:

1. Dia memang suka. - didukung oleh Sally. Namanya juga selera. Sama seperti kok bisa-bisanya ada orang yang lebih suka Good Dinosaur dibandingkan Inside Out.

2. Dia gak suka tapi pura-pura suka karena semua temannya suka. - didukung oleh gue.

3. Dia gak suka tapi pura-pura suka buat ngerjain kita. - kata Ifan.

Sampai hari ini masih belum terkuak misteri kenapa dia bisa suka buku itu. Tapi gue malah belajar satu hal tentang gue.

Gue bisa mencurigai dia gak suka tapi pura-pura suka karena yang lain terlanjur suka karena gue juga suka begitu.

Apa yang gue bilang tentang dia gak akan pernah menunjukkan dia siapa, malah menunjukkan gue siapa.

Minggu, 06 Maret 2016

Batas Kecepatan

Sebuah Nissan Livina abu-abu berkali mengkedipkan lampunya dengan barbar, sepertinya menyuruh gue minggir ke lajur kiri. Dia mau lewat.

Sebuah papan biru bertuliskan " KECEPATAN MAX 80 KECEPATAN MIN 60" terpampang di kiri jalan. Karena kecepatan gue sudah 80 km/jam, gue tetap di kanan. Kalau dia mau mebuat aturan sendiri, ya silakan cari jalan sendiri.

Nissan Livina menyalip gue dari kiri. Sekarang dia di depan gue dengan kecepatan 40 km/jam dan lampu sen kanan dihidupkan. Hanya mempercepat mobilnya jika gue mencoba menyalip.

Sepertinya dia hendak menghukum gue karena sudah taat aturan dengan perbuatan yang tidak taat aturan. Padahal setiap kilometer papan biru itu selalu muncul.

Mungkin dia tidak pernah membaca papan biru itu. Mungkin pernah tapi tak peduli. Toh semua orang tak ada yang menuruti.

Kecuali mobil gua. Karenanya gua harus dihukum.

Romo Mangun bilang karakter sebuah bangsa bisa dilihat dari desain bangunannya. Untung bukan dari caranya menyetir.

Tapi sepertinya cara bangsa ini menyetir gak jauh beda dari caranya mendesain kota.

Blanchett dan Gong Li

Bangun tidur ku terus mandi, di kamar mandi baru renovasi yang bebas genangan air menjijikkan.

Gosok kiri, gosok kanan. Sambil goal geol ekor ke samping dan ke depan. Mandi memang membahagiakan.

Sehabis mandi, berjalan jadi terasa ringan dan menyenangkan. Buka pintu lift dengan tangan kanan.

Prang.

Handphone terjatuh. Ternyata bisa pecah juga.

Tapi galau tak mengunjungi hati. Mungkin sudah waktunya handphone ini diganti dengan handphone lain yang bisa gue namai Blanchett.

Iphone 6 sepertinya cocok dinamai Blanchett, makin tua makin menjadi.  Tiga belas juta, tapi kan gak perlu gonta ganti 4 tahun. Tapi kan baru renovasi kamar mandi. Masa handphone lebih mahal dari kamar mandi yang membahagiakan selamanya?

Ternyata Xiaomi under 3 juta dengan spec sama. Kok Iphone bisa semahal itu? Padahal tak ada pun jejak-jejak fair trade yang biasanya bikin mahal. Buruhnya sama aja anak-anak di Cina juga.

"Gong Li juga makin tuamakin menjadi," kata Sunny.

Blanchett ditunda lagi. 

Jumat, 04 Maret 2016

My Pure Joy

"To enjoy talking about what you write more than actually writing... that's..."

That's apa ya? Lupa. Padahal baru kemaren gue nonton 'The End Of The Tour'.

Mungkin buat banci spotlight seperti gue, that's my biggest temptation. Buat penulis   New York best seller yang memilih tinggal menyendiri di Illinois, that's the shit that made him a parody of what he wrote in his book.

A product of image driven society who constantly needs to sell sell sell or buy something.

Karenanya hari ini gue kembali ke my one pure joy, menulis.

Pake Adobe Premiere tapi.

Sudah sebulan lebih editan 'Breathe' atau 'The Girl Who Walks Without Shoes' gue tinggalkan. Malas. Bentuknya kan udah jadi. Gak bisa ya ada asisten editor yang ngerjain touch up - touch up akhir biar film ini lebih mengalir?

Gak bisa.

Karenanya gue mulai mengatur napas, pelan- pelan merasakan kapan dia harus di-fade out dan kapan harus diburamkan.

Tahu-tahu sudah jam 8. Bahagia tanpa uang.

Besok mulai nulis lagi ah.

Kamis, 03 Maret 2016

Lupa

Gue menunggu dia sejam lebih di luar aula screening-nya. Sudah enam tahun mungkin kami tidak berjumpa sejak dia memproduseri salah satu film gue.

"Eh... anak Tebet!" katanya menyambut gue.

Kayanya dia lupa nama gue.

"Mbak!"

Gue memanggil seorang penulis di lain kesempatan.

"Eh kok di sini?"

Lalu dia menjelaskan kenapa dia harus ke salon ini. Media tempatnya bekerja tidak punya stylist, karena sebenarnya medianya bergantung pada majalah. TV, internet, koran, dan lain-lain hanya sampingan. Begitu detail seakan-akan gue gak pernah difoto untuk majalahnya dan diwawancara di TV-nya.

Kayanya dia lupa nama gue.

"Mbak!" seru gue kepada penulis lain di kawinan teman.

Kami cipika cipiki. Sepertinya dia lupa nama gua. Padahal dulu tiap ke Bandung dia ngajakin makan.

Gue kira gue wunderkind yang gak akan pernah dilupakan orang.

"Mbak Atid, apa kabar? Lagi di Jakarta?" sapa seorang millenials berjenggot yang sepertinya filmmaker.

"Hei! Iya nih."

Gue lupa nama dia.

Rabu, 02 Maret 2016

Film dan Uang

"Uang gak kenal ideologi," katanya.

Selama uang gak mengatur kita mau bikin apa, ambil aja tuh duit. Gak usah peduli dapat dari mana. Apalagi di dunia film yang butuh duit banyak tapi resiko gak balik besar. Hanya uang-uang mencurigakan yang berani berputar.

Dia mau bikin film tentang si bapak yang membuat TV di Indonesia tapi dihilangkan dari sejarah karena menolak menyensor satu film. Pasti besar biayanya. Dulu sih dia bikin film pake uang yayasan produsen mobil Amerika yang menurutnya gak ada hubungannya sama duit perusahaan si mobil.

Teman lain ingin membuat film tentang anjing-anjing, baik yang ke luar angkasa maupun yang di luar lapo. Tadinya uangnya mau dari menantunya pengusaha penasihat salah satu pemimpin republik. Sekarang belum tahu uangnya dari mana.

Teman lain sementara ini gak bikin film sendiri,  aktif berkarya membuat film pesanan yang dia susupi isu dan memulai media baru berisi hipster kreatif Jakarta yang sepertinya beda geng dengan spesies kreatif langganan produser India. Uangnya dari yayasan yang perusahaannya ikutan ngebakar hutan.

Film gue pun ternyata pernah didanai duit senjata.

Salah sendiri memilih berkarya di ladang yang semahal ini. Mungkin gue akan lebih bangga dan merdeka kalau menjadi penulis saja, murah meriah walaupun gak ada lagi yang membaca.

"Why are you yelling to me about corporate greed? You are all rich," kata Tina Fey menanggapi Hollywood Bullshit di panggung Oscar.

Selama bikin film masih mahal, I will always be part of a bullshit.

Pilihannya adalah tidak membuat film atau membuat film yang tidak menghakimi. Sadar diri gue juga mahkluk bercela.

Gue selalu suka film-film mahkluk bercela.

Selasa, 01 Maret 2016

The Bag Lady

Penata kostum terbaik Oscar dan Bafta tahun ini seorang emak-emak berjaket kulit diskonan Mark & Spencer dengan tambahan blink-blink tengkorak di punggung. Doi melewati bapak-bapak bertuksedo bermuka shocked sepanjang aisle menuju panggung Oscar. Cate Blanchett dalam gaun biru langit non Mark & Spencer, terlihat dreamy seperti mbak-mbak Hollywood lainnya, menyambut doi dengan hangat.

Mungkin Cate belum liat blink-blink tengkorak di punggungnya.

Heels bikin sakit punggung. Gaun bikin doi keliatan norak. Apalagi di samping dreamy Cate Blanchett. Lebih baik dia memakai baju yang nyaman, katanya.

Di habitat Hollywood yang dipenuhi gaun indah kanan kiri ini, jaket kulitnya yang steal the show. Bukan Cate Blanchett.

Cewe-cewe Mad Max membuat Oscar tahun ini lebih blink-blink.

Keluarga

Semua nomor kakak adiknya dia hapus, kecuali dua orang yang malam itu setuju pembagian rumah warisan Opung berdasarkan hukum adat. Kalau menurut hukum adat, rumah itu menjadi milik anak laki-laki paling kecil.

Dia.

Tapi malam itu tahu-tahu sudah ada keputusan pengadilan Republik ini kalau rumah itu harus dibagi sembilan, sesuai jumlah anak Opung.

"Kalau mereka gak mau menghormati adat, ya gak usah lagi aku adat-adatan ama mereka."

Artinya dia gak akan datang ke semua acara adat yang diadakan saudaranya seperti kawinan, kematian, dan...

Ya itu aja sih.

Sisi indah dari perpecahan ini, gak ada lagi yang akan nyuruh-nyuruh gue ikutan whatsapp group keluarga. Gak perlu lagi gue membaca berita-berita copy paste asal paste yang kadang menyakitkan hati.

"Ah tapi balik-baliknya pasti ke keluarga kok," kata si Chica tak percaya klan lain bisa lebih memahami kita.

Chica bukan lesbi.

140 juta

Itulah duit yang diperlukan Bang Gigit untuk membuka sebuah barber shop kekinian di Condet Raya. Sudah termasuk sewa tempat 2 tahun, gaji para Asgar, interior industrial rustic-rustic-an, dan peralatan bebarberan.

Ternyata 70 jutanya buat sewa tempat. Gaji asgar 3 juta.

Another hore for para tuan tanah.

"Semoga setiap tahun barber-nya nambah satu.Biar nanti Shema besar, tinggal keliling-keliling meriksa," kata Bang Gigit disambut tatapan who cares si baby mokmok.

I want my susu.

Kalau setiap hari ada 15 cowo yang cukur di sana, hopefully para pemain futsal dari lapangan di atas, dalam 2 tahun Bang Gigit udah balik modal dan Shema sudah bisa memanen passive income.

Gue bikin film pendek 'Misteri Anu Jatuh' 150 jutaan. Duitnya gak usah dibalikin.

Pantesan film gak dianggap bisnis.