Gue diajak makan siang sama seorang pendeta
dari Borkina Faso. Sebagai anak pertukaran pelajar yang tiap hari makanannya
Kebab, haram menolak makan gratisan.
Kuajaklah sesama anak pertukaran pelajar yang juga cinta makanan gratisan, Sophie.
It was a disaster. Buat seorang anak Belgia tak beragama, si pendeta sexist fascist
homophobic ini harus dibantah.
"I don't care. My God is a girl. And
she's a lesbian," kata Sophie sambil mengangkat kelima jarinya, mengakhiri
makan siang kami hari itu.
"He is so obnoxious. I don't know why you
have lunch with him," kata Sophie. Makan siang gratisan gak cukup
mengiming-imingi Sophie untuk ikutan lagi.
Buat anak dunia ketiga yang biasa
ketemunya pendeta HKBP, ada pendeta masih bisa senyum manis mendengar Tuhan itu cewe lesbi mah udah berasa uber cool.
Karenanya saat gue diajak makan siang gratisan
lagi, gue mau aja. Kali ini di rumah si pendeta.
Ternyata tanpa Sophie, dia menjadi berbeda.
Dia tersenyum lebih banyak. Bilang gue beautiful. Lalu mera-raba seluruh badan
gue selama gue cuci piring.
Gue hanya tersenyum dan pura-pura gak
risih, berusaha menjauhkan segala
yang tajam dari jangkauan dia. Daripada
dia ngamuk lalu malah menyekap gue macam di film-film.
Lalu gue tersenyum semanis-manisnya, memegang
jemarinya erat, dan berjanji besok kembali lagi.
Dia tetap gak mau melepaskan.
Gue mencium dia di pipi.
Gue pulang.
It was the most expensive lunch I ever had.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar