Minggu, 10 Januari 2016

Harga Makan Siang Gratisan

Gue diajak makan siang sama seorang pendeta dari Borkina Faso. Sebagai anak pertukaran pelajar yang tiap hari makanannya Kebab, haram menolak makan gratisan.

Kuajaklah sesama anak pertukaran pelajar yang juga cinta makanan gratisan, Sophie.

It was a disaster. Buat  seorang anak Belgia tak beragama, si pendeta sexist fascist homophobic ini harus dibantah.

"I don't care. My God is a girl. And she's a lesbian," kata Sophie sambil mengangkat kelima jarinya, mengakhiri makan siang kami hari itu.

"He is so obnoxious. I don't know why you have lunch with him," kata Sophie. Makan siang gratisan gak cukup mengiming-imingi Sophie untuk ikutan lagi.

Buat anak dunia ketiga yang biasa ketemunya pendeta HKBP,  ada pendeta masih bisa senyum manis mendengar Tuhan itu cewe lesbi mah udah berasa uber cool.

Karenanya saat gue diajak makan siang gratisan lagi, gue mau aja. Kali ini di rumah si pendeta.

Ternyata tanpa Sophie, dia menjadi berbeda. Dia tersenyum lebih banyak. Bilang gue beautiful. Lalu mera-raba seluruh badan gue selama gue cuci piring.

Gue hanya tersenyum dan pura-pura gak risih,  berusaha menjauhkan segala yang  tajam dari jangkauan dia. Daripada dia ngamuk lalu malah menyekap gue macam di film-film.

Lalu gue tersenyum semanis-manisnya, memegang jemarinya erat, dan berjanji besok kembali lagi.

Dia tetap gak mau melepaskan.

Gue mencium dia di pipi.

Gue pulang.


It was the most expensive lunch I ever had.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar