Minggu, 10 Januari 2016

Sutradara Jakarta

"Atid kok duduk di bawah?" protes si Produser melihat gue duduk di bawah makan siang bersama crew.

Gue langsung berdiri, pindah ke tenda actors. Dia melirik tenda client, sepertinya lega tidak ada yang nyadar.

Kalau di Bandung, sutradara duduk di lantai makan bareng crew mungkin dipuji.

"Kok lo nginap bareng kita?" tanya si crew Jakarta keheranan melihat gue menenteng tas mengikuti dia  ke lantai dua losmen dua ratus ribuan.  Semua actors nginap di hotel 1.4 jutaan.

Kali ini gue juga produser, tak hanya sutradara.  Harus mikirin budget.

Dia memandang gue dengan tampang lebih heran. 

Lo produser? Even more reasons to have that 1.4 million room.

Sepertinya sutradara dan produser di Jakarta wajib beda kasta dengan crew.

Jadi mengerti kenapa dompet cantik gue yang sangat gue banggakan karena dibuat dari daur ulang sampah Jakarta dipaksa ganti jadi Marc Jacobs sama si Lucky.

"Ya memang harus begitu," kata sesama filmmaker non Jakarta yang gue kira bisa mengerti penderitaan gue. "Kalau nggak gitu, ya kau dibayar murah."

Gue baru nyadar kemeja dan celananya branded. Padahal hitam-hitam doang.

"Halah. Kalau gue kerjanya bagus ntar lama-lama kan mahal juga," jawab gue membandel.

"Memanglah kau filmmaker daerah," katanya judes.

Lalu dia memesan ice tea tanpa gula.


Lagi diet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar