Jumat, 31 Januari 2014

Mata

"Hopefully I will believe you," kata gue manis mengakhiri meeting itu.

"Hopefully? You're cautious," jawabnya sambil tertawa.

"But I like your eyes," tambah gue tanpa flirting. Mas-mas Perancis mau seganteng apa juga bukan selera gue.

Hasil google tentang dia memang gak terlalu mengesankan. Tapi matanya bukan mata penipu.

There are a lot of things eyes can tell you.

Mungkin kalau gue lebih banyak mendengar mata, gue gak perlu menghabiskan waktu dengan dia-dia yang tak seharusnya kupandang.


Kamis, 30 Januari 2014

Cycle Of Pain

Tiap bulan kita berdarah dan menghasilkan telur baru.

Bulan depan  berdarah dan bertelur lagi. Kalau tak berdarah, beranak.

Semua sudah ada ordernya. Semua diganti baru.

Yang sehat seharusnya gak menyakitkan.

Rabu, 29 Januari 2014

Will You Still Love Me When I No Longer Young and Beautiful

Gue gak pernah beautiful. Karenanya getting older gak pernah jadi menakutkan. Gak kaya Lana del Ray, dan dia.

Tapi gue bisa jadi the You dalam liriknya. You know I will. You know I will.

Tapi dia sudah punya orang yang akan mencintai dia saat dia tua dan buruk rupa.

"Baru nonton A Walk To Remember. Kayanya kalau aku mati, kamu pasti kaya gitu ke aku," whatsapp-nya pada suaminya yang gak sengaja gua baca.

I am on a lonely road to find my own Young and Beautiful.

"Gue tuh sangat sensitif ama suara, makanya muka orang gak terlalu penting buat gue," kata mbak-mbak sutradara yang akhirnya menemukan cinta di Heidelberg di umur 38 tahun. Bisa berbunga-bunga hanya dengan suara skype-nya tiap pagi siang dan malam waktu Indonesia Jerman.

Gue gak cukup suaranya bagus. Gue suka yang beautiful audio dan visual. Seperti sutradara kebanyakan, selalu tersedot ke mereka yang menarik mata dan memanjakan telinga.

"Tuh anak makin gak banget deh. Masa ditanya di twitter kok kakak bisa diundang ke premiere tom cruise, eh jawabannya ketus banget. Dibawa asik aja gak bisa ya?" katanya membicarakan mbak-mbak artis cilik yang pengen go international.

And my first reaction malah, "ih pengen gue sayang-sayang."

Disambut tatapan ketus mereka.

The broken and beautiful, tipe gue banget. Tipe-tipe yang selalu menjauhkan gue dari cita-cita hidup simple.

"Dari awal gue udah tahu kalau sama si Om itu gue gak akan benar karena mulainya gak benar," kata si sensitif telinga mengenang kisah selingkuhnya dengan suami orang. Kalau dengan si Heidelberg, dia bisa terbayang membangun usaha bersama berdua.

Mungkin cuma gue yang selingkuh dan terbayang membangun usaha bersama berdua.

Mungkin saat itu gue cuma terlalu muda. Dan dia terlalu beautiful.

"Will you still love me when I have nothing but my aching soul?"

I know she won't.

I know you will.

I know I will.

Selasa, 28 Januari 2014

Full Of Self

"Nih anak nih lagi pada di forum malah promosi diri," katanya mengingat gue 4 tahun yang lalu saat dia memproduseri film dokumenter gue. Super malesin.

I am so full of myself. Makanya gue gak suka orang narsis.

Gue cuma tertawa-tawa sambil menambahkan kalau dulu gue lulus dengan TA terbaik dan IP gue 3.5.

Sudah hancurlah harapan gue dicintai karena rendah hati.

"Emak lo waktu itu nge-tweet gue nanyain kenapa gue gak ikutan pas di Just Alvin ada acara artis-artis batak," kata tamunya yang sebenarnya gak kenal emak gue. Tapi Mak Gondut berasa kenal.

Mungkin sesama artis.

Di acara itu Mak Gondut bilang pialanya gak cuma satu, tapi tiga.

Narsis gue ini ternyata turunan.

Tapi narsisme di emak-emak bikin orang ketawa. Kalau narsisme pada wanita 30an bikin orang gak mau cinta ama gua.

Di saat-saat teman-teman gue udah lulus S2 atau S3 dari Eropa, Amerika, Jepang, bla bla bla, gue masih aja inget-inget IP sarjana.

I really am a wreck. But I am out and proud.

Because I know a secret: so is everyone else.

No need to feel inferior.

Did I tell you IP gue 3.5?

Senin, 27 Januari 2014

Everybody A Wreck

"Mbak, ini tiketnya Gambir ke Bandung," kata petugas menghalangi gue masuk stasiun Bandung.

Gue langsung marah-marah.

"Saya jumat lalu baru dari Gambir. Belinya PP dengan tiket saya ke Gambir hari ini. Ga mungkin dong saya beli tiket dua-duanya gambir bandung? Ini pasti kesalahan yang ngeprint."

Dilanjutkan marah-marah di loket.

Marah-marah di customer service.

Kemungkinan gue yang salah nulis formulir sebenarnya sudah menjalari memori, tapi bibir tetap menyerang. Jangan sampai akibat keteledoran gue, Papi gak bisa ke Jakarta hari ini. Harus hari ini. Jantung gak boleh menunggu.

Gue tetap ngotot dengan sisa-sisa kejutekan terakhir, walaupun tahu mungkin ini salah gue. Kalik aja dengan marah-marah Papi bisa sampai Jakarta.

Gak bisa.

Gue cepat-cepat memesan travel, dapat jam 8 pagi untuk satu orang. Masih sempat sampai RSPAD sebelum jam 12, sebelum administrasi tutup. Papi menyusul saja nanti naik kereta.

Tapi papi tetap menemani ke travel dengan harap-harap tiba-tiba ada seat.

Di dalam taksi dari stasiun ke travel, gue baru sadar tas hitam berisi peralatan elektronik gue tertinggal di stasiun.

Tinggal 20 menit menuju jam 8.

Haruskah gue bilang Papi dan mengakui kalau gue sekali lagi ceroboh? Atau diam saja menyelamatkan harga diri gue dan kehilangan headphone, hard disk, mp3 player, power bank, dan semua charger hp tabs dll?

"Papi, tas hitam atid ketinggalan di stasiun."

Papi hanya tertawa. "Jadi nonanya mau balik ke stasiun aja coba nyari?"

Gue melihat jam. Tinggal 15 menit.

Bingung.

"Atid ke jakarta ajalah duluan. Daftar dulu. Toh belum tentu juga tasnya ada. Papi aja yang balik ke stasiun, sekalian papi naik kereta jam 12," usul Papi.

"Maaf ya pi."

Papi hanya tersenyum bulus sambil memberikan 100 ribu untuk ongkos travel.

Ditambah 100 lagi buat taksi, katanya.

Ditambah 100 ribu lagi buat nonanya minum-minum Starbucks di Gambir.

Nonanya gak dimarahi.

Gue duduk tenang di dalam travel. Tidak mengkhawatirkan tas hitam gue lagi. Somehow gue tahu tas itu tidak hilang.

Tiba-tiba HP berdering.

"Dek, tas hitamnya sudah di papi ya. Ketemu di Gambir nanti."

Gue mengurus administrasi di RSPAD dengan tanpa menggerutu seperti biasa.  Tidak sebal melihat PNS underpaid ga becus kerja.

Karena gue baru sadar hari ini  gue juga ga becus kerja. Dan gue tidak dihakimi.

Dan ketika ternyata terbukti kemudian memang gue yang salah nulis formulir kereta, Papi juga cuma ketawa.

"Ya pengalamanlah," kata Papi sambil memberikan uang dua ratus ribu. Kali ini entah buat apa.

Malamnya gue ketemu si mas mas Laundry Shop Kalibata City yang nyuruh gue datang lagi besok malam. Hari ini dia sudah keburu setoran, gak bisa gantiin duit langganan.

Gue cuma melenggang pergi tanpa marah-marah. Bersyukurlah dia gue sudah pensiun menghakimi.

We're all a wreck here. No need to feel superior.

Today was a very good day.

Minggu, 26 Januari 2014

Roots

"I am like a bird. I only fly away," kata gue   mengutip lagu mbak-mbak Spanyol yang merantau ke LA. Saat itu gue umur 21. Kota kecil di Eropa itu terasa lebih rumah daripada Bandung.

"You should know your roots," katanya serius. "Otherwise you'll fall down."

Gue tidak membantah, walaupun dalam hati tidak mengerti pentingnya asal usul. Masih lebih percaya si mbak-mbak Spanyol. Eh, apa portugis?

Mungkin bagi orang seperti dia penting. Gue menamai dia Czech chick, padahal dia dari Slowakia. Gue mengira dia dari Ceko. Gak tahu kalau Slowakia sudah jadi negara sendiri.

Czech chick tidak berusaha memperpanjang dan kembali ngobrolin hal-hal tak penting macam kaca mata The Beatles-nya yang telat mode 40 tahun.

Tapi 10 tahun kemudian, kata-katanya masih mengiang.

Tahun ini sebuah film The Act Of Killing kembali membawa nama Indonesia dan lagi-lagi tidak boleh beredar di Indonesia. Juru bicara pemerintah menuduh ini usaha orang Amerika untuk menjelekkan Indonesia.

"Bangsa lain kan juga ada sejarah jelek. Contohnya perbudakan di Amerika."

Film perbudakan di Amerika ternyata juga masuk daftar film terbaik Oskar. Yang bikin orang Inggris pula. Tapi film ini tetap tayang di Amerika. Dan juru bicara pemerintahnya tidak menuduh Inggris menjelekkan namanya.

Ingatan gue kembali ke tahun 2000 saat internet belum sefasih sekarang. Saat itu gue 17 tahun, pertama kalinya tinggal di Amerika, pertama kalinya nonton The Year Of Living Dangerously. Baru tahu kalau film ini ada. Gak boleh masuk Indonesia. Baru tahu kalau negara lain tidak melulu melihat Suharto sebagai bapak pembangunan yang selalu dipuja-puja.

Ini memang nasib gue dan angkatan gue yang lahir di tahun 1983, setelah 18 tahun bangsa ini dibutakan  secara sejarah dan harus menelan sistem CBSA yang sama sekali tidak membuat siswa aktif. Gue tumbuh menjadi siswa yang terima jadi, buta sejarah, dan haus approval guru.

Gue cuma tahu rumus, gak tahu logika. Gue cuma tahu akhir, gak tahu asal.

Dari mana gue berasal?

Gue Batak yang lahir dan besar di Bandung. Pulang ke Sigumpar, gue dianggap orang Bandung karena terlalu halus dan bilang punten tiap mau lewat. Di Bandung, gue tetap dianggap Batak Goblok yang berani-beraninya masang baju Persib di anjing.

Kalau menurut tes di Facebook, gue harusnya tinggal di Paris. Tapi memori gue tentang Paris diwarnai bau pesing di tiap stasiun metro. Bukan kota yang tepat untuk hidup, apalagi setelah Paris tak lagi semurah sebelum 1998.

"I don't know where my home is. I don't know where my soul is...," kata gue melanjutkan lirik si Mbak Spanyol/ Portugis/ Amerika.

The Czech Chick kembali ke kamarnya, meninggalkan gue bernyanyi-nyanyi dengan gitar dan Bir cherry dari Belgia. Dia sangat disiplin, harus membaca berbagai buku 6 jam setiap harinya agar wawasannya luas dan kelak bisa menjadi guru yang baik.

Sepuluh tahun yang lalu, gue heran kenapa orang sepintar itu malah jadi guru.

Sekarang gue merasa bodoh.



The Great

"Lo udah pernah nonton The Great Gatsby?" tanyanya.

"Baca novelnya udah. Kenapa?"

"Nggak. Cewenya mirip dia. Gak bisa milih mau cowo yang mana."

Gue gak bilang kalau gue belum selesai baca novelnya. Di tengah novel, Daisy masih bilang kalau cintanya hanya Gatsby. Masih ngajak Gatsby lari bersama. Masih bilang andaikan Gatsby selalu ada di sisinya.

Mana gue tahu ternyata di akhir film si Daisy juga cinta suaminya. Mana gue tahu ternyata di akhir film Daisy gak menikahi Gatsby karena dulu Gatsby penniless. Mana gue tahu kalau akhirnya Daisy memilih suaminya dan terlalu penakut untuk ngasih tahu pilihannya ke Gatsby.

Gatsby ditinggal menunggui telepon yang gak pernah berdering. Sekalinya berdering, bukan dari Daisy.

Gatsby oh Gatsby... Ganteng ganteng kok delusional. Gak bisa lihat kalau Daisy lebih cinta security daripada segalanya.

Gatsby is a man of hope. His vision brought him to his American Dream. His vision is so clear, his belief is so strong, he cannot see that Daisy is just a coward who is used to live in the other side of the river where all the Old Money are.

Gue menangisi Gatsby yang tampan dan kaya raya, mengambang di kolam renang impiannya yang airnya berubah merah. Dia baru 32.

Kalau saja dia mau melupakan Daisy dan move on, hidup sampai 65, seperti Jep di The Great Beauty, dia pasti akan bahagia hidup dari party ke party berganti-ganti wanita dan tetap menjadi The Great Gatsby.

Tapi nggak. Setelah berbagai macam wanita, Jep masih penasaran kenapa Elisa meninggalkannya 48 tahun yang lalu.

Mungkin Elisa hanya mau hidup aman bersama suami yang bisa jadi a good companion. Kaya Daisy.

Tak ada gunanya menyalahkan Elisa. Atau Daisy. We all did what we did to survive.

"No need to feel superior. You are 53, with a shattered life, just like we all here. You should see us with affection. Just look at each other's face, keep each other's company, joke a little..."

Gue tersenyum memandangi Jep menjalani Roma. Di kanan kiri semua  jenis ugly, but somehow it feels beautiful in the movie.

Mungkin sudah waktunya memaafkan dan terus berjalan. Air mata hanya mengaburkan the great beauty di kanan dan kiri.

"Do you know why I eat only roots?" kata si nenek ala Mother Teresa pada Jep.

"Because roots are important."

Penting tapi tidak terlihat, hanya diam-diam di dalam tanah. Tidak berusaha memamerkan keindahannya. Biarlah buah yang kebagian dikagumi. Sudah terlalu banyak The Great di muka bumi.

Besok gue makan kentang ah.

Jumat, 24 Januari 2014

Pembantu

"Rumah saya kebakaran, Mbak," kata si Neneng sudah dengan Lepis dan kemeja bunga-bunga.

"Ibu saya sakit," kata si Depi. Dua-duanya mau pulang tapi gak berani bilang ke Mami.

Kebetulan hari ini tepat 1 hari setelah 1 bulan kedatangan mereka. Jadi Mami gak akan bisa minta ganti ke agen mereka. Garansinya cuma sebulan.

"Ini bukan rumah saya," kata gue gak mau ikut-ikutan administrasi Rumah Tangga Mak Gondut. Bisa-bisa gue yang kena libas.

Tapi kasian juga mereka. Pasti berat harus bekerja 24 jam 7 kali seminggu dengan gaji hanya 600 ribu. Berkali-kali gue bilang ke Mak Gondut pembantu jam 7 malam jangan disuruh-suruh lagi. Biarin aja santai-santai nonton TV. Tadi malam malah disuruh ngerok.

"Mending kalian bilang ke Papi," saran gue. Papi pasti bisa membujuk mereka.

Manusia  cuma butuh dihargai. Kalau mereka dihargai, hasutan agen pun gak akan mempan.

Lima menit kemudian, sudah terdengar omelan non stop mami dari lantai bawah. Tampaknya Neneng dan Depi gak kesampaian ngomong ke Papi, keburu diberondong Mami dengan pertanyaan kenapa pagi-pagi sudah pakai baju dan gincu.

"Apa papi pindah ke rumah kecil aja biar ga usah pakai pembantu?"

"Kalau pembantu pulang ya cari lagi," kata Papi santai.

Udah gatel ingin mengomeli Mak Gondut. Kalau dia gak mau ngurus suami dan lebih suka ngurus Dapil 1  Bandung Cimahi, setidaknya jangan bikin pembantu pulang.

"Be nice to your parent" gampang kalau ke Papi. Dua tahun setelah Demi Ucok, ternyata gue masih gak suka ama pilihan hidup emak gue.

"Semua itu harus dilihatnya dari positifnya. Kan bagus dia ada kegiatan di luar, gak ngomelin kita di sini," kata Papi.

Ingat sebulan lalu pembantu pulang. Papi juga yang kebagian bersihin rumah dan mandiin anjing. Ujung-ujungnya jantungan karena kecapaian. Kasian Papi.

"Papi sih cuma kasian ama dia. Udah tua pikirannya gak tenang... Pasti susah hidup kaya dia..."

Dan Papi kembali hepi-hepi.

People will never change, so don't even try changing them.

Mending hepi-hepi.

Mondang, 1965

Mondang, 18 tahun, tiba-tiba gak jadi ujian akhir. SMA 4 Medan ditutup karena katanya negara dalam keadaan darurat.

Saat itu Oktober 1965. Mondang yang gak terlalu suka sekolah, tidak terlalu peduli saat sekolah diliburkan. Gak mau juga ikut-ikutan membunuhi keluarga komunis seperti pemuda lainnya. Gak juga ikut demo seperti para mahasiswa. Mondang lebih suka di rumah membantu Mamak mengurus 5 adik perempuannya.

Mondang suka belanja di pasar, tidak seperti lelaki Medan pada umumnya yang lebih suka duduk-duduk membicarakan politik. Tapi Mondang gak mau beli ikan lele, padahal lele tahun 1965 besar-besar. Puas melahap tubuh-tubuh tertuduh PKI yang mengambang berdesakan di sungai-sungai perkebunan Sumatera Utara.

Mondang di rumah saja membantu Mamak, berusaha agar uang belanja dari pensiun dini Bapak sebagai bendahara Pos mencukupi di saat-saat sulit pangan ini.

Saat sekolah kembali dibuka, Mondang ikut juga sekolah. Mondang baru tahu betapa bengisnya gerakan kaum tak mengenal Tuhan yang mencongkel mata para Jendral tahun lalu. Karenanya memang sudah seharusnyalah pengikutnya dibunuh tanpa pengadilan. Semua demi keselamatan bangsa yang berketuhanan  yang maha esa ini.

Sejak saat itu kenaikan kelas di Indonesia bergeser ke tengah tahun. Tidak lagi akhir tahun. Dan komunis menjadi bahaya laten yang haram dibaca bukunya.

Mondang lulus dengan nilai biasa saja, dan melanjutkan studi ke fakultas ekonomi. Seperti abangnya. Dan seperti kelak 7 adik perempuannya.

Dua tahun berlalu, sekolah ekonomi semakin menyulitkan keuangan. Iseng mengantarkan teman ujian masuk tentara, Mondang disuruh ikutan tes dengan administrasi menyusul.

"Gampang. Ikut tes aja dulu."

Mondang malah lulus. Si teman jadi petugas kereta api.

Mamak tentu tidak mengizinkan kehilangan anak laki-lakinya masuk ke gerombolan menyeramkan itu. Lebih baik hidup biasa-biasa saja sebagai sarjana ekonomi atau pendeta. Mondang nekat mencuri cincin Mamak dan pergi ke Jawa.

Mondang menjalani pendidikan tentara di Magelang mulai tahun 71. Gratis, malah semua keperluan ditanggung. Gak kaya sekolah ekonomi. Semua perintah ia jalankan tanpa banyak berpikir, seperti memang seharusnya tentara. Jalankan perintah atasan, tanpa pertanyaan.

Tahun terus berganti, pemimpin negara tetap tak berganti, masih dari golongan jalankan perintah atasan. Teman-teman sekolah Mondang ada yang jadi bupati, walikota, menantu presiden, menteri, direktur BUMN, dan segala jabatan  berduit di balik slogan dwi fungsi ABRI. Ternyata dengan menjadi tentara di negeri ini bisa merangkap fungsi sarjana ekonomi.

Jadi tentara juga membawa Mondang berkeliling Indonesia tanpa biaya. Mondang baru menyadari kalau dia suka sekali jalan-jalan, sama seperti Mamaknya. Mamak mengunjungi Mondang ke mana pun dia ditempatkan, dari Natuna sampai Jayapura.

Sudah lupa Mamak soal cincinnya yang hilang. Sudah lupa kalau gerombolan itu menyeramkan.  Foto Mondang dengan seragam berbintang satu dipajang di ruang tamu.

Mondang pensiun masih dengan bintang satu di bahu. Mondang tidak pernah jadi pangdam apalagi dankopassus. Tahun-tahun tentaranya lebih banyak dia habiskan menjadi guru. Setelah pensiun Mondang tetap bisa bertualang tanpa membawa uang ke bagian Indonesia manapun karena pemimpinnya pasti bekas muridnya.

Ke Amerika pun bisa. Selama masih ada atase pertahanan. Mondang tertidur pulas di dalam Broadway saat dijamu muridnya ke sana. Nonton pilim anaknya saja Mondang tidur, apalagi nonton singa dan monyet nari-nari hakuna matata.

Sampai jantung Mondang harus dikateter, di-EPS, di-ring, ablasi, ablabla sehingga jalan-jalan Mondang ditunda dulu. Sekarang Mondang harus puas jalan-jalan dengan kereta api Bandung Jakarta mengunjungi dokter-dokter RSPAD.

"The Act Of Killing?" tanya Mondang heran kepada anaknya yang menceritakan tentang sebuah film dokumenter yang mengikuti salah satu veteran Pemuda Pancasila di Medan bernama Anwar Congo.

"Papi gak kenal."

"Masuk Oskar, Pi. Pertama kali orang Indonesia masuk Oskar tapi gak bisa bilang namanya siapa," kata si anak bersemangat menceritakan co-director film itu asli Indonesia. "Papi mau nonton?"

"Ah nanti sajalah. Dua tiga hari lagi," kata Mondang tak bersemangat. Baru 2 jam yang lalu jantungnya dimasuki kabel-kabel panas. Belum waktunya menonton film walaupun katanya ada muka si Samsul, teman Mondang yang dulu gubernur.

Sekarang dipenjara.

Lebih baik nonton TV. Ada istri tetangganya dulu curhat karena dihina-hina rakyat akibat main Instagram sementara Sinabung darurat.

"Zaman Suharto itu, gak akan pernah ada yang berani ngehina Bu Tien. Besoknya pasti sudah hilang," komentar Mondang menyesali adik kelasnya yang dia anggap kurang wibawa.

Anak Mondang hendak mengeluarkan berbagai bantahan.

Gak jadi.

Biarlah Papi tidur tenang dengan pikirannya sendiri. Bu Ani dan para korban Bu Tien punya jalannya masing-masing.

Rabu, 22 Januari 2014

Mediocrity

"Belum disetrika mbak. Yang nyetrika cuma satu," kata mas mas laundry shop kalibata tanpa merasa bersalah.

"Mas, saya udah datang kemaren dan mas bilang selesai sore ini."

"Ya saya juga udah bilangin mbak." Dia kembali ke hp esia bututnya ngobrol dengan perempuan beraksen betawi teriak-teriak.

"Besok katanya mbak," tambahnya dengan muka songong.

"Mas. Awalnya mas janji tanggal 18. Ini udah tanggal 22. Mas ini niat usaha gak sih?"

Dia kembali kasak kusuk dengan si suara betawi.

"Mbak ngomong sendiri deh," tambahnya malas sambil memberikan hp esianya.

"Mas yg ngomong ama dia. Bukan urusan saya. Mas kerjain tugas mas."

"Malam ini deh mbak jam 12."

"Jam 10 mas. Saya udah harus ke bandung."

"Ya udah deh saya ke sana ambil sendiri mbak. Belum disetrika gapapa?"

Gue mengangguk kesal. No option. Gue gak punya baju lagi.

Jam 10 gue kembali ke tokonya. Ditutup rapi dengan gembok dan telponnya gak ada yang aktif.

Gue menendang pintu Laundry Shop dengan kesal.

Tapi gue terlalu penakut untuk menendang lebih keras. Akhirnya cuma nge-sms ke hp hp matinya: "Tolong hubungi saya secepatnya. Saya minta baju dan uang langganan saya dikembalikan secepatnya. Anda janji akan diberikan malam ini jam 10 tahunya toko anda ditutup dan semua hp mati. Segera kabari atau saya hancurkan toko anda."

Hancurkan toko anda?

I guess gue udah kebanyakan nonton Sherlock Holmes.

Ngapain merusak pikiran gue dengan kemarahan? Cucian gue harganya 2 juta, duit membership 120 ribu. My mind is worth more than that.

Siapa suruh pilih laundry 7000an.

In this land of mediocrity, you get what you pay.

Selasa, 21 Januari 2014

Top Of The Lake

"Your body is very intelligent. It knows what it needs," katanya di Paradise, pinggir sebuah danau indah dengan gunung mengelilingi.

Di Jakarta, will your body know what it needs?

All it says is I need to sleep or I need to eat.

Di saat Jakarta macet dan banjir di mana-mana, janjian ketemu orang pun batal karena doi terhalang banjir, tambah banyaklah alasan tubuh lebih memilih diam di lantai dua puluh.

Gak ada niat menolong korban banjir?

"Everyone wants to help someone. That one wants to help Africa," katanya sambil menunjuk Mbak-mbak jaket biru.

"All you need to help is yourself."

Dia terdiam.

Gue terdiam.

It is easier to help others than to help ourselves. Helping ourselves requires admitting that we were weak.

I don't wanna be weak. I am a tough girl.

"You are not what you think you are. Just lose everything, what do you have left? That's you." katanya menambah khotbah dari dalam Galaxy Tabs 10 gue. Dibajak langsung dari Bit Torrent tanpa bayar apapun ke Jane Campion.

On top of my lake, I am a strong bitch. What do I have underneath?

Senin, 20 Januari 2014

Why Jakarta Doesn't Need A Film

Banjir di mana-mana.

Film-film bagus tinggal download. Gak habis-habis.

Masyarakat dari kelas gak biasa download, punya taste film beda.

Sponsor lebih tertarik ngasih duit ke hal-hal yang massa peduli. Kanker. Banjir. Colour Race.

Mahal.

Dan sejuta alasan lain kenapa gak harus bikin film.

Dan sejuta alasan kenapa hari ini gur gak perlu bangun untuk ke Gedung Sensor. Ada Top Of The Lake episode 4 di tabs. Hujan. Macet di mana-mana. Ke sana juga ujung2nya bayar juga. Dan lain-lain.

Tapi gue bangun juga.

Minggu, 19 Januari 2014

Hujan

Air menetes turun miring sikit digeser angin kereta parahyangan. Sawah hijau bertingkat-tingkat dan langit kelabu berduet menjadikan  lukisan agak monokrom dengan tambahan hijau hijau.

Hujan pagi hari di dalam kereta api eksekutif 110 ribu ini memang romantis. Membuat hati mensyukuri walau masih sendiri.

Sudah lupa berita air sudah 6 meter di kampung pulo tadi pagi. Atau iringan manado2 kaya tomohon yang mengusung peti sanak keluarganya akibat banjir bandang.

Kembali menikmati sawah hijau sepanjang padalarang... Sampai ke karawang, sawah hijau berganti danau coklat. Di sisi2nya tenda darurat para pengungsi.

Haruskah gue berhenti di Jatinegara saja, keluar dari kereta api eksekutif dan bergabung dengan para relawan?

Ah tapi kan sudah ada jokowi. Dan dedi mizwar. Dan caleg2 partai.

Apakah gue harus ada interest politik dulu untuk turun tangan jadi relawan?

Tapi banjir jakarta bukan bencana alam. Ini bencana yang memang sudah direncanakan. Ketika kita mendesain gorong-gorong seupil, menyesakinya dengan pipa dan kabel, membiarkan waduk dipenuhi rumah warga,  dan pohon berganti villa. I am not going to sacrifice myself for someone else's mess.

Really? Are u sure this is not your mess? Dengan lo sekolah disubsidi dan sekarang lo malah bikin film aja lo sudah menyia-nyiakan subsidi negara 15 juta per tahun.

Tapi bingung mulai dari mana.

I guess I am a selfish ignorant bitch. And unfortunately, I am not the only one.

Indonesia 2015

"Nanti kalau gue merusak diet lo, gue masuk blog lo pulak," katanya sambil mengundang makan mie ayam.

"Tenang aja. Lo cuma masuk blog kalau merusak hatiku," jawab gue sambil berjanji pasti pulang.

Padahal Senin gue harus kembali ke Jakarta. Tapi dia menambahkan warning kalau mungkin dia gak akan kembali. Karenanya gue harus datang walau gue gak makan ayam.

Suaminya baru 6 bulan kembali dari Denmark dengan segala idealisme menjadi PNS di ITB. Setelah waktunya habis mengorganisir seminar, bikin kurikulum, dan segala tetek bengek senioritas, gak ada waktu riset dan berpikir...  akhirnya dia menyerah dan mengambil kerjaan sekalian Post Doctorate di UEA.

"UEA dan Arab tuh sekarang lagi saingan invest banget di pendidikan. Soalnya kalau minyak mereka abis kan mereka mau gimana?"

Indonesia, minyakmu sekarang sudah impor. Gak ada tanda2 mencari titik baru. Ilmuwan2mu kau kirim jadi TKI ke UEA. Generasi mudamu kau biarkan mimpinya cuma jadi Idola Fremantle dan beli Ipad Amerika terbaru. Atau Samsungnya Korea Selatan.

Selamat datang MEA  2015. Silakan jajah dan jadikan kami konsumen produk-produk unggulanmu. Kami sudah cukup senang dan occupied ngebalesin twitter untuk even tahu apa itu MEA.

Google!

Sabun

Sabun muka batangan ini akhirnya habis juga.

Dua tahun lalu, gue kira dia gak akan pernah habis. Satu batang dibagi tiga. Tiap bagian bisa tahan 2 bulanan.

Tapi hari ini dia habis.

Gak bisa beli lagi. Pabriknya sudah tutup. Merugi karena sabun mereka gak habis-habis. Mereka akhirnya bikin sabun cair yang sebotolnya sebulan habis.

Tapi gak sebagus yang dulu, kata kulitku.

Gak ada yang abadi. Gak sabun. Gak kamu.

Waktunya coba sabun baru.

Kamis, 16 Januari 2014

Her

Theodore said, I am afraid I won't feel anything new.

But then he felt in love and felt joy. A different joy.

And felt pain. A different pain. Because the consciousness he loves, are able to love 600 something other love at the same time.

We, dumb human, in search of love. How do we know that this love is not an illusion? Just hormones messing up with... Aduh sama apa ya? Pokonya cuma gejala menstruasi deh... Bukan cinta.

Why can't we just stay home and be happy watching the oscar nominees? Thanks to the academy members, gue jadi banyak list tontonan dan dijauhkan dari melalap mahkluk-mahkluk menyebalkan dan memikirkan cinta-cinta memuakkan.

Pengen beli Samantha.


Rabu, 15 Januari 2014

Plot Point

People never really change, don't they?

Harus ada alasan kuat yang baru mengusik kita dari kenyamanan status quo. Setelah plot point babak 7 menuju babak 8, sebenarnya kita kembali ke karakter babak 1.

Sherlock always sees the world as a riddle to observe.
Geng American Hustle always see the world as an adventure to con.
Spike Jonze always sees a search for genuine love even in an artificial environment.

I always see my world as a happy ending movie. I wrote my ending before my character.

Is that why I don't feel? I don't observe? I don't appreciate the character? I interpret the wotld based on my ending.

Always the big picture, otherwise I would get lost.

I am lost anyway.

Time to get more close up. Just open your eyes. Your ears. Your heart.

Life is a movie. Just let go. Maybe the other ending is more interesting.

Selasa, 14 Januari 2014

2M

What would you do if you have 2M?

2 miliar rupiah, maksudnya.

Gue mau bikin film. -1.5 M
Mau beli macbook pro. - 25 juta
Mau beli baju dan sepatu local made yang bagus. - 75 juta
Mau ke mana-mana naik taksi. - 25 juta
Mau pacaran - 25 juta
Mau tinggal di rumah yang lebih terurus dan airnya gak kotor. -  750 juta

Eh kok udah overbudget?

Coba diitung ulang deh.

Film 1M aja.
Macbook pro ga usah, pake yang ada aja.
Baju dan sepatu, ntar aja pas kurus.
Naik taksi gapapa, tapi ya batasin ke luar aja. Do something more productive.
Pacar ntar aja.
Rumah... Kalibata cukup deh. Beli filter air aja.

"You really need to get out of that place," katanya sambil memberi salep hidrokortisone agar muka gue tak lagi bersisik akibat air kalibata.

I do not mind living here. But I would not mind his apartment. A loft di tengah kota dengan air sehat, resepsionis, lift wangi, dan kaca dari lantai ke langit-langit.

Tapi kan adanya Kalibata. Bukankah sudah harus disyukuri saja?

Am I being grateful or am I too mediocre to aim for excellence?

Kalau duit gue sebanyak doi sih ya gue milih yang premium lahhh.

Really?

Is it a matter of money or a matter of taste?

I guess both. I am so used to think I have not enough money so I compromise to mediocrity.

The truth is, I have all the money in the world. So just relax. Money will come to you.

Huahahahaha...

Well no need to be negative. The truth is, I have not all the money in the world. But I do already have all the things I need to be happy.

And happiness attracts macbook pro, a loft in the city, investors, good people, good design, and good girlfriend.

Aminnn

Senin, 13 Januari 2014

His Own Little World

"Kaya gini cocok gak, Mbak Atid?" katanya sambil menggenjreng nada-nada  spontan yang membuat lampu-lampu Jakarta di Selamat Pagi Malam semakin romantis.

Gue hanya mengangguk bahagia. Gak mau mengeluarkan small talks yang seharusnya membuat suasana lebih cair. I just let him get into his own little world.

Di suatu pojok Karawaci, Ipong little world dibangun. Coffee shop di lantai 1. Studio di lantai 2. Rumah di lantai 3.  Spesies langka for a 24 year old kid yang tumbuh di Jakarta, dikelilingi segala instrumen yang mendidik pemuda pemudinya menuju manusia berhaluan inferior complex dan  konsumerisme.

"Gue udah start ini sejak tingkat 2 soalnya mbak," katanya sambil menceritakan kisahnya yang 18 tahun udah punya anak. Untung istrinya 8 tahun lebih tua.

Kalau hasilnya begini, I think all straight guys should have kids when they're 18.

Low profile, very talented, and very passionate. Like nothing else matters but him and his vision.

Gue gak inget kapan terakhir gue kerja se-passionate Ipong. Terlalu banyak pertimbangan survival di tengah masyarakat berstatus A B tapi bermental C D Indonesia Raya. Dikelilingi Central Park di Jakarta, Merlion di Surabaya, Menara Eiffel di Manado...  

How could we be more in touch with ourselves in a country who wish to be more like something else ?

"You have the look, but not the soul," kata seniman Singapur turunan Indonesia mengomentari sofa keras di kamar gue. Look-nya nyaman tapi esensi sofa-nya hilang. Just like everything else here.

Just like me.

Was like me. Hari ini gue soulful ah.

Minggu, 12 Januari 2014

Dirasa-rasa

Omigod... Monday morning already. Belum bikin project description dan proposal sponsor.

It it the universe telling me not to go 'there' or simply me being lazy?

I guess both. Laziness is a feeling I need to listen too.

"Di umur sekarang, semua project gue 'rasa-rasa' dulu. Gak boleh greedy," katanya yang gak mau lagi project asal jadi.

Gue rasa-rasa emang ada something different ngobrol ama dia. Lebih nyaman. Gak asal tembak kaya dulu.

Back to my project, do I really wanna make this film?

Gilak lo! I would love to see that slow dance on screen.

Ok, jadi yang itu ya tinggal cari partner yang dirasa-rasa bisa berbagi rasa ama gue. Yang satu lagi gimana?

With a good team, it will be a good project.

So mulailah merasa-rasa. 80% of your project is finding the right member. Gak cuma cast. Crew juga.

It's your third feature. Udah gak musim gambarnya amatiran.

Sabtu, 11 Januari 2014

Wedding/ Marriage

I would never come to a wedding. Kecuali terpaksa.

Cicit sudah merencanakan berbagai kejutan romantis di sela-sela acara orangtua mereka. Nikahan di cirebon memang bukan acara pengantinnya.

I will never have a wedding like this. Mak Gondut juga ga akan bikin juga sih buat gue. Paling gue kawin diam-diam dihadiri 30 sahabat terdekat.

Tapi melihat wajah bahagia cicit menari-nari bego di depan panggung tanpa takut kesambet bunga kembang api, sementara jihan cuma ketawa2 antara malu dan haru, mau gak mau gue membayangkan pernikahan gue sendiri.

Not the wedding. The marriage.

Tiap pagi bikinin dia sarapan. Tiap malam mijitin dia. Tiap siang bikinin dia film.

Semoga ada yang mau.

Kalau ga mau, masa bodo. Tetep gue bikinin.

Jumat, 10 Januari 2014

The Secret Life Of Sammaria

"Beautiful things don't ask for attention," kata Sean pada Walter Mitty.

The beautiful thing yang saat itu berwujud leopard salju muncul di kejauhan, tertangkap lensa telephoto. Bukannya buru-buru menjepret, Sean hanya memanggil Walter Mitty untuk mengintip viewfinder kameranya.

This beauty sering disebut kucing hantu karena hanya muncul sekelebat. Hilanglah kesempatan Sean menjepret. 

Walter dan Sean malah bermain bola dengan riang gembira.

Beda banget ama gue. If I see beauty, I wanna tell them to the world. I wanna share them. I want the world to know they're beautiful.

Nggak lewat instagram tentunya. Beauty deserves more than some second of my life.

Lewat film. Lewat buku. Lewat lagu. Semua orang harus tahu.

Why do I need an audience? A lot of audience?

Twyla Tharp di bukunya The Creative Habbit bilang kalau semua motivasi kreatif kita disetir our earliest creative memory. Kenali diri dan kenali polamu.

What is your earliest creative memory?

Gue di ulang tahun yang ke 5, bikin drama dadakan dengan menyuruh-nyuruh semua tamu berpartisipasi. Yang kecil jadi pemain, yang besar jadi penonton.

I enjoy the attention of the audience.

Gue jadi mengorek-ngorek diri. Do I really want to share the beauty? Or do I just want people to know I am the one who captures the beauty?

Why do I ask for attention?

Cause I don't feel beautiful enough?

I guess it takes a real beauty to capture the real beauty.

Yuk maen bola yuk.

Kamis, 09 Januari 2014

Tas Produser

"Gak bisa jual murah lagi. You've produced 3 features lho," kata sutradaraku tersayang memotivasi gue untuk cari duit lebih banyak.

Act like a producer. We are making good movies. Anyone will be lucky to have us for their brand. Tapi orang Jakarta sangat dipengaruhi first impression.

"Start with a power bag," katanya sambil melirik sinis tas Aigner warisan Mak Gondut yang sudah baret baret sana sini.

This is Jakarta. Kalau lo meeting pakai tas 300 jutaan dan berlian di kuping dan jari, orang gak akan berani nawar lo.

300 juta gue udah bikin 3 film cin(T)a.

"Well you are the next Nia Dinata. Bahkan mungkin lebih," kata sesama produser yang langsung gue sambut dengan amin tiga kali semoga didengar Doi.

Tapi tas Nia Dinata 300 juta. Mungkinkah produser dengan tas buruk rupa seperti gue dilirik Jakarta?

Dari logika manusia umumnya, tentunya gak ada hubungan antara harga tas dan prestasi kerja. Tapi  di Jakarta, kandang para konsumen dan pasar produk bilateral Jepang Eropa Amerika dan China, how much you look menentukan how much you get paid.

Not the other way around.

Haruskah gue bergabung dengan mbak-mbak kelas menengah lain membeli tas impor dengan harga di luar logika dengan harapan gue cepat naik harga?

Ah gue beli macbook pro aja deh.

Rabu, 08 Januari 2014

Reuni Jantungan

"Udah kawin?"

"Belum, Om."

"Umur berapa?"

"Tiga puluh, Om."

Dilanjutkan sedikit tampang kasihan dan ditambahkan kisah anaknya yang umur 28 gak kawin-kawin dan malah mau ngambil spesialis bedah kecantikan.

Sejak papi semakin rajin keluar masuk sayap jantung Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, gue semakin sering bertemu om om tentara jantungan beserta dharma wanitanya yang selalu membuka pembicaraan dengan status perkawinan.

Dan gak mungkin dong gue bilang gue gak mau nikah. Kalaupun nikah maunya perempuan. Tambahlah nanti kerja para dokter jantung RSPAD akibat jantung-jantung mantan jendral mendadak nyut-nyutan. Jadi gue hanya tersenyum manis sambil pasang tampang perawan dua puluhan.

Sekarang aja kerja dokter-dokter itu udah banyak. Selain karena BPJS yang mengacaukan status quo yang sudab nyaman mereka jalani bertahun-tahun, Ibu-ibu jendral pasien mereka tetap anti peraturan walaupun suharto sudah lama pensiun.

Suster ambon bertampang garang mencoba melarang enam emak-emak istri pensiunan jendral yang ngotot mau masuk ke ruang jantung rame-rame. Gak mau sendiri-sendiri. Takut disuntik.

Akhirnya suster ambon menyerah juga. Emak-emak rame-rame memenuhi ruang  dokter agus. Dari luar suara tertawa mereka menyemarakkan ruang tunggu RSPAD.

Di luar, Papi dan kawan-kawan seangkatan yang sekarang semuanya jantungan tertawa-tawa mengenang perang di Natuna.

Ternyata rumah sakit di umur 60-an bukan tempat yang menyedihkan. Malah jadi tempat reuni yang menyenangkan.

Kalau lo 30 dan single, gak semenyenangkan itu sih.

"Cepatlah kau kasih cucu buat bapakmu ini. Kasian udah tua dia."

Kembali senyum perawan.

Selasa, 07 Januari 2014

Resolusi

Apa kabar resolusi?

Baru tanggal 7, gue udah ke kedai Kak Ani dua kali, diselingi selusin cookies percobaan Daud yang semakin kusuka karena kebanyakan telur dan salmonella.

Datanglah si Ci Mei yang kecil mungil dan baru pulang marathon. Tambahlah gue terlihat seperti raksasa di sebelahnya.

Langsung mesen curly fries.

"Pakai mayo ya mbak."

Curly fries lewat begitu saja di mulut, mengembang di perut, dan mendesak celana yang mulai kesempitan. Jerawat di leher pun membesar.

"Detox aja booo minimal 3 hari." kata mbak penari sambil seruput stroberi.

"Lo mah ekstrim. Kalau ga makan bisa ga makan kalau dah makan bisa... ," dia mengangkat tangannya seperti lagi free fall di rolller coaster.

When did I become this weak?

Mungkin karena pressure dua resolusi lainnya -film baru pacar baru- sehingga bodi baru tak juga terwujud.

Gue melihat Kak Ani yang bertubuh tak kalah raksasa dalam baju kurungnya melenggang pede ngajak para customernya untuk mencoba pisang goreng pake ketan gula hitam dan karbo karbo gula lainnya.

I guess I do not need to be slim to be that confident.

"Mbak, lupisnya satu ya. Gulanya yang banyak."

Senin, 06 Januari 2014

Udah ya, Udah dong, Daaaahhh.

I wake up feeling bloated.

Apakah ini karena nasi rames kantin sehat? Onion ring dan kopi tarik jumbo? 2 pizza dan 2 tahu isi goreng? Toge rica rica, terong rica rica, perkedel, dan teh manis panas?

Mungkin celana lucky kesempitan di gue.

I just feel bloated.

And ugly.

Mungkin karena tadi malam gak ikut maskeran dan minum 40 pil cina yang ajaib membersihkan ginjal. Kaya lucky.

Mungkin karena konsep release Selamat Pagi Malam belum nemu.

Mungkin karena gue mimpi ditinggalkan lewat sms.

Mungkin karena gue makan gak berdoa dulu.

Mak Gondut mengawasi gue berdoa dengan nasi rames pertama terlanjur di kerongkongan. Gue tidak melawan dan mengeluarkan segala argumen kenapa Tuhan gak perlu diajak ngomong sambil lipat tangan. Apapun asal dia gak pusing gue masuk neraka di sisa-sisa kehidupannya ini.

Mungkin karena gue marah.

Buat apa marah? Hidup ini hanya sementara. Tertawalah, sayang...

Udah ya. Udah dong. Daaaaah.

Minggu, 05 Januari 2014

Fantasy

We are what we believe we are.

Seorang pembunuh ratusan nyawa bisa percaya kalau dirinya adalah pahlawan, dan dengan bangga menceritakann jasa-jasanya menumpas kaum komunis kepada dunia lewat media kesukaannya: film koboi dan musikal.

Seorang seniman rata-rata bisa percaya kalau dia the wonder kid of bandung karena dia tidak pernah mau nonton film. Baginya menonton karya orang lain membuatnya jadi penjiplak. Tidak menonton membuatnya jadi maestro.

Gue bisa percaya kalau gue dicintai dan mencintai padahal semua fakta berkata beda. Mungkin karena gak pernah dicintai sebelumnya.

Fakta ternyata hanya binatang berupa banyak. Tiap sisinya berbeda. Tergantung mata mana dan dari mana ia melihat.

Banyak-banyaklah mendengar. Banyak-banyaklah menonton. Banyak-banyaklah bercinta.

Jangan-jangan kita bukan pahlawan. Hanya pembunuh yang kurang mendengar.

Sabtu, 04 Januari 2014

Selamat Tinggal Kasih

Walaupun langit pada malam itu, bermandikan cahaya bintang...

Bulan pun bersinar menambah indahnya, namun menambah kesedihan...

Adinia Wirasti memeluk Marissa Anita in a very slow dance diiringi sisa-sisa suara Dira Sugandi sebelum air mata pertama turun.

Any beautiful dance will end.

Hanya sekejap saja ku akan kembali lagi,  asalkan engkau tetap menanti...

Gue tertidur meninggalkan hidup mereka di Macbook Lucky. Malam ini tampaknya tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Semua usaha membuat film Selamat Pagi Malam lebih Tsai Ming Liang sesuai selera festival telah dilupakan.

Film ini telah kembali kepada bentuk jujur-nya, dipenuhi emak-emak gosip yang kurang eksotis untuk festival, dan emak-emak joget yang kurang menarik untuk masyarakat penonton Pevita Pearce dan sekitarnya.

But this is us.

Gue bangun pagi, mencoba menonton hidup mereka sekali lagi sebelum dikunci dan diwarnai.

Langit tidak lagi berbintang, digantikan awan berbentuk hati.

Selamat Pagi :D

Jumat, 03 Januari 2014

Joy

What brought me joy yesterday?

Gue menyisir hari mencoba mencari momen indah yang ingin gue kenang di antara letupan letupan emosi kemarin hari.

None.

Padahal hari gue diawali dengan one of the best princess tale yang mengajarkan cinta sejati bukan ciuman pangeran. An early lesbo tale for kids. Dan princess-nya hot walau di sekelilingnya es.

Dilanjutkan menyaksikan seorang batak jerman yang ngotot nikah dengan sunda totok akhirnya menortor juga  setelah sudah lebih  seperempat abad menikah.  Suaminya diberi marga, pernikahan mereka sah secara adat, dan anak mereka dapat marga. Semua demi si anak yang ketiban jodoh batak totok dari medan.

Nyalon di gang dan ngobrol dengan si cici- cici wonosobo pemilik salon yang memulai dari satu cermin di ruang tamu.

Nambal gigi sambil diceritakan bagaimana si dokter sunda sekarang punya anak angkat bermarga siahaan.

Makan malam dengan seniman yang bukan actress tapi sense dan referensi filmnya menjanjikan.

Pulang-pulang disambut bobot si tikus cantik sambil kibas-kibas ekor.

Dan sekotak bengbeng hasil papi belanja di pasar.

Dan segudang aktivitas hari ini tidak terhambat macet bandung sumbangan jamaah liburiyah jakarta berkat mobil mami.

Diakhiri dengan nonton glee season satu, di mana semua masih cupu-cupu kaya gua.

Wait. Gue gak cupu. Film gue udah mau tiga. Waktunya untuk lebih bahagia.

Kapan terakhir gue bahagia? Gue selalu kembali ke masa shooting demi ucok. Saat di mana gue belum tahu gue bisa munafik.

Apakah semua yang gue lakukan dua tahun ini gak membuat bahagia?

Gue bahagia. Hanya bedanya, bahagia yang gak bisa dipamerkan dengan orang lain karena mereka gak akan mengerti perasaan ini.

Apakah gue gak bahagia kalau gak bisa pamer?

Mungkin gue cuma kurang bersyukur.

It is not happy people who are thankful. It is thankful people who are happy.

I guess joy is not a temporary high because I do something joyful. It's a state of mind that makes me do things happily.

So how do I get to that state of mind?

Kata lady gaga, just dance.

Kata michelle branch, just breathe.

Kata forrest gump, just run.

Kata gue?

Kamis, 02 Januari 2014

Percaya

"Untuk mereka yang masih percaya akan kekuatan cinta," bunyi tagline promosi sebuah musikal 4 tahun yang lalu. Optimis dan membuat gue keluar dengan bibir sumringah dan hati percaya kalau cinta akan merubah negara munafik ini.

Si pembuat dikelilingi believer baru yang semua sumringah dan ikut percaya  akan kekuatan cinta.

Apa yang gue percaya?

4 tahun yang lalu gue akan menjawab dengan pasti Yesus Kristus dan segala cintailah musuhmu-nya. 4 tahun berlalu dan cinta dijadikan alasan perzinahan, ditinggalkan, dan menyaksikan dia tetap menikah padahal katanya cinta, apa yang masih gue percaya?

"Lie to me," kata Pepa kepada Ivan yang akan meninggalkannnya. Padahal Pepa tahu Ivan sudah membohongi banyak sekali wanita bermodal suaranya yang meneduhkan. He will tell you anything you want to hear.

A woman will believe in anything she wants to hear.

Apa yang gue percaya?

Kata an alien in New York, No lie no defense.

Tapi lo harus kuat hidup sendirian kaya dia. Society are not used to the defenseless truth. Bukan cuma wanita yang nyaman dibohongi.

Kata Ellen de Generes, in kindness.

Hahaha...

Hari ini gue gak tahu apa yang gue percaya. 

I guess that's my truth for today.

Be close tho those who are looking for truth...and stay away from those who have found it.

Rabu, 01 Januari 2014

Sendiri

"A woman will do anything not to be alone," kata Manuela.

Manuela fucked a macho transvestite, got pregnant, and build a loving family together with her son.

Yang lain nerimo dikhianati berkali-kali by her young drug addicts lesbian lover yang akhirnya kawin ama orang lain dan melahirkan bayi yang buruk rupa.

Yang lain mau aja ngewe sama bencong penuh virus HIV dan akhirnya mati muda.

Ada yang menikah biar gak sendirian.

Ada yang melacur.

Ada yang punya anak.

Ada yang menikah, melacur SGD 500 sebulan, dan mencicil Bassura City.

Ada yang bikin film.

"Mending lo cari suami deh," katanya. Biar gue gak sendirian, dapat 500 SGD sebulan, dan mencicil Bassura City.

Ada hari-hari di mana gue mengira dia teman yang gak akan membiarkan gua sendirian.

Tiga Tahun Baru gue menangis sendirian tanpa suara, hanya bunyi gemeretak gigi dan sayup-sayup kembang api. Sementara dia bersandiwara bahagia.

Atau dia memang bahagia? Gua saja yang tolol percaya dia tidak lagi bisa tertawa.

Tahun ini gue gak akan sendirian.