Rabu, 29 Oktober 2014

Nasehat Lipstik Ungu

Dari dalam hangatnya Roppongi Hills Theater, gue melihat mbak-mbak berlipstick ungu meladeni oma-oma Jepang foto bersama di tengah angin musim hampir winter Tokyo yang semakin malam semakin berangin, semakin menghantarkan pantat gue ke dalam Roppongi Theater.

She looks like Yasmin Ahmad's girl.

Wait.

She is Yasmin Ahmad's girl.

Pantat gue kembali mengarungi angin, bergabung dengan oma-oma Jepang minta poto bersama Sharifah Amani. Monik gue seret untuk ikut motoin dengan kamera Olympus barunya, jangan pake kamera Fuji berbatere AA gue.

"Amani," katanya sambil menjulurkan tangannya.

"We met in Jiffest."

"Oh no. It was so long ago... when was it?"

"It was right after she was dead, there was a retrospective on her," jawab gue.

Dia terlihat sedikit menerawang, mungkin teringat almarhumah Yasmin Ahmad.

Hanya sedetik. The next second dia udah kembali pecicilan di depan lensa kamera Monik.

Gue memeriksa hasil fotonya, OMG. Gue terlihat raksasa kali di samping doi. Jadilah itu foto batal jadi profile picture facebook.

"Titip ini tas ye," katanya sambil dipanggil produsernya untuk another foto bareng.

"Sure," jawab gue senang.

"But this is not Malaysia, what? No need lah. No copet here. Aman," katanya jahil.

Gue kembali ke dalam karena Q&A In The Absence Of The Sun hampir dimulai. Meninggalkan Sharifa Amani dan onggokan tas yang diyakini bebas copet Tokyo.

Sempat menyesal kenapa tidak minta nomor contact doi. Harap-harap dia nonton In The Absence Of The Sun.

Nggak.

Ah kalau memang takdir pasti besok ketemu lagi.

Besoknya ketemu lagi di party gathering distributor yang sepertinya langka distributor. Kanan kiri mata memandang hanya ada filmmaker, filmmaker, dan ... alhamdulilah Sharifa Amani.

"The last time I heard you were thinking about directing, right? How is it?"

"I did some short films. One of them was screened here... and in Kyoto, actually," katanya.

Dilanjutkan dengan cerita film terakhir Yasmin Ahmad yang seharusnya di-shoot di Tokyo, dan tampaknya enggan dia ceritakan lebih lanjut.

"You know how it is when you have something precious and everyone wants to have it," katanya mengakhiri cerita yang tidak ingin diceritakan.

"What about your own feature film?"

"I try to take it slow... you know being anak emas Yasmin Ahmad, it certainly has a pressure on it," katanya.

"Well, it doesn't have to be good, right? Just do it," kata gue yang belum pernah merasakan beratnya jadi anak emas Yasmin Ahmad. Gue menyesal memakai tagline Nike sembarangan.

"Well I do short films first lah. Like the first script I wrote, I gave it to Yasmin AD which became my DoP. He was like saying... why was the script so sad? Did Yasmin ever teach you to be this sad?"

Actually, Yasmin never told them anything. She never told anyone to do anything.

But she always wanted her film to have Hope, because it is the only presents she could give to her audience.

Karenanya, Amani menulis ulang scriptnya, berharap ada harapan yang bisa dia berikan pada penonton di sana.

Hope.

Bagi filmmaker yang bikin film dengan tagline 'There's No Place For Us Here', Hope terdengar seperti kemewahan.

"Are you doing anything tonight? Let's go dancing-dancing," kata Amani sambil joget-joget di tengah jalan depan Bar.

Mumpung di Tokyo. Gak ada paparazzi.

"Indonesia are so much better. Di Malaysia, kalau nak dancing-dancing or to smoke in public, it will make it to the front cover," katanya sebal. "But I don't care. I just smoke."

"Well... come to Indonesia then. You can smoke and dance and become the minister," jawab gue merayu doi ke Indonesia.

Muke Lucky sudah siap pulang, malas ikut dancing-dancing. Gue pun akhirnya pulang, bukan karena males ikut dancing-dancing. Tapi karena pengen beli i Phone. Harus hemat.

Lupa lagi minta contact doi.

Damn.

"I just take it slow. Kalau Allah dah mau, semue pasti jadi," kata Sharifah Amani tadi.

Ah kalau memang takdir pasti besok ketemu lagi.

Senin, 27 Oktober 2014

Lost In Calculation

“It was so great. They put the subtitle on the side… yeah… like, vertically. Watching it like that is such a wonderful experience… and the graphic was beautiful…” katanya di antara buah dan teh breakfast paket dari Hotel Okura.

Gue mau tak mau menguping bersama oatmeal, croisant coklat 3 biji, omelette, dan kiwi-kiwi yang mungkin nantinya akan dimakan. Kalau croisant belum mengenyangkan, tentunya.

Teringat pertama kalinya gue melihat Demi Ucok degan subtitle Korea di samping kanan. Langsung gue foto dan whatsapp ke Bang Gigit dan Mama Singa. Scene Bang Gigit dan Mama Singa kawinan denan subtitle Korea langsung dijadiin profile picture sama Bang Gigit. Biar teman-temannya mengira dia jadi bintang pilim Korea.

“And we were also watching The City Lights in the Kabuki Theatre… yes, Chaplin… it was also beautiful,” sambung si sutradara muda dengan mata indah walau sepatu nike-nya tasteless. Teringat 3 menit lagi buffet sarapan pagi akan ditutup, dia berdiri sambil terus menceritakan harinya kepada si pacar nun jauh di salah satu kota di Amerika dengan semangat.

Mungkin dia baru pertama kali ke Tokyo.

Gue juga. Tapi mata gue gak sebersinar dia.

Mungkin dia  punya orang buat ditelepon dan diceritakan.

So I write instead. This is the closest I can get.

Jadi begini ceritanya.

Tadi malam gue pulang ke hotel higienis ini dipenuhi bau rokok dan sake setelah semalaman mencoba mingle-mingle dengan para hadirin Tokyo International Film Festival. Kirain yang diundang minum-minum Maggie hanya gue dan Lucky  doang. Ternyata kita gak that special. Masih ada 4 meja lainnya. Untungnya semua international press, habitat ideal untuk berburu interview.

Gue duduk di ujung dekat tembok, tempat yang sangat tidak strategis untuk berburu wartawan. Pilihan gue hanya ngomong sama tembok atau sama gerombolan filmmaker Filipina yang baru saja premiere film baru mereka.  Bapak si lead actor memperlihatkan video anaknya di atas panggung dengan mbak-mbak Manila berteriak histeris mengharapkan sambutan tangannya.

Ternyata si Lesung pipit manis yang belum cukup umur untuk minum bir ini sejenis Afghan versi Manilla.

Dan lawan mainnya, sejenis Mick Jagger versi Manilla - in his own words describing himself. 

Untung ada Lucky, jadi gue tidak harus ngobrol dengan tembok. Tapi ngapain jauh-jauh ke Jepang hanya untuk ngobrol ama Lucky. Mangsa kami ada di sana,  para wartawan Variety dan Hollywood Reporter.

“Biar filmnya ditulis boooo. This is work,” kata Lucky ketika gue enggan bergerak.

“Oh harus gitu ya?” tanya gue polos. Disambut tatapan ‘ya eyalaaaa’ versi Lucky yang akhirnya mengantarkan gue mengarungi meja seberang. Gagal.

“Cape juga ya mingle-mingle gini. Orang2nya itu-itu aja,” kata lucky.

Ternyata waktu zaman Lucky masih bikin film pendek dan masuk Cannes, Maggie masih di Holywood reporter. Trus pindah Variety. Trus sekarag programmer Tokyo International Film Festival. 

“Filmmakernya aja yang baru-baru,” tambahnya.

Misalnya gue. Saat film pendek Lucky masuk Cannes, gue masih bingung resign atau nggak dari arstektur. 

“Tapi Teteh tuh paling gak pernah deh ikut gini-ginian,” katanya lagi mencari pembenaran gak usah mingle-mingle lagi.

Mungkin dia sudah melewati apa yang kita jalani sekarang. Mingle-mingle sampai bosan demi sebuah review di Variety. Sekarang film dia hanya diputar di film-film festival temannya. Dia gak peduli soal Cannes, kompetisi, atau review Variety. 

Mungkin akan ada saatnya gue juga begitu.  

Lebih baik gue mengamati sekitar gue. Ini kan pertama kalinya gue ke Tokyo. Tapi sudah berasa kenal. Mungkin karena budaya Jepang, NHK, Manga, dan Toyota sudah merajai Jakarta. 

“The road in Japan are so bad,” teringat kata Host Mom gue di tengah salju midwest Amerika. 

Dia belum pernah ke Indonesia.

Jalan dari Narita ke Roppongi yang bertingkat tiga dan melewati lantai 8 bangunan kanan kiri ini jauh dari ‘so bad’. Setiap beberapa kilo ada telepon emergency. Dan semua perubahan jalan diberi tahu dengan signage penunjuk jalan yang bahkan gue yang buta Jepang saja bisa menerka-nerka artinya apa.

“And we should pay to get through???” katanya mengkomplein jalan berbayar di Jepang.

Dia belum pernah ke Indonesia.  

Tapi jalan tol di Indonesia gak ada yang sekali lewat 250 ribu sih. Kaya di sini.

Sebelum pergi Papi memang sudah mewanti-wanti agar tidak belanja apa pun. Di Jepang semua mahal, katanya.

“Ramennya cuma 1000 yen. Sama aja kan kaya di Jakarta,” kata Lucky di Ishiren, yang menurut dia ramen terenak di Tokyo. Gue gak protes karen ramen ini emang enak sekali dibandingkan ramen 50 ribuan di Jakarta. Padahal Ishiren ini sekelas warung tegal di Tokyo.

Walaupun Warung Tegal, ke Ishiren harus melewati tangga perpaduan besi dan kayu jati yang di Jakarta hanya dipakai kafe-kafe hipster  di hotel-hotel boutique Jakarta.

Sebelum masuk kita harus bayar dulu di sebuah vending machine tanpa bahasa Inggris, jadi biar Lucky sajalah yang menentukan.  Begitu masuk harus duduk di meja warteg yang  dikasih pembatas antar tetangga biar gak saling ngobrol. Di depan gue ada sebuah jendela kecil yang menghubungkan gue dan si mas-mas warteg ramen. Begitu ramen diasjikan, tirai ditutup krai bambu, memutuskan gue dari kontak dengan siapa pun. Hanya aku dan ramenku. 

Setelah makan ramen 1000 Yen, gue ikut Lucky makan dessert 1000 yen, minum sake 1000 yen, naik taksi 1000 yen, dan bayar bell boy 1000 yen. Sudah lupa nasehat Papi.

“Di Jepang harusnya gak ada budaya tips,” kata Lucky ketika gue tanya berapa ngasih si bell boy. Tapi karena cakep, bolehlah dikasih 1000.

Total hari ini habis 600 ribu, memang tak jauh beda dengan hidup bersama Lucky di Jakarta.

Tapi kan gue hidupnya sama Sunny Soon.  600 ribu udah bisa seminggu keliling asia tenggara bersama sunny.

Besok harus lebih hemat.

Makan pagi lebih banyak.

Tinggal 1 menit lagi.


Langsung ambil croisant.