Sabtu, 30 Juli 2016

Pasar Tebet

Jalan-jalan ke Pasar Tebet, untuk mencari sesuap nasi. Ternyata semua ada di sini.

Ada martabak, ada cendol. Ada sop, ada gulai. Ada gorengan, ada rebusan. Tinggal dipilih dipilih dipilih.

Duduklah gue di angkringan. Dari bentuknya sih seperti berbeda, seperti dijaga dan dipelihara. Ternyata yang punya sudah pindah Amerika, mengajar Antropologi di sana. Tinggal adiknya di sini, menjaga angkringan dan pulang ke Jogja tiap wiken.

Lalu lanjut ke salon sebelah, krembat, scrub, dan potong rambut. Ditawari cheese stick buatan adik sendiri, yang enak banget sampai lebaran kemaren diborong 70 toples sama orang departemen Bogor. Tak perlu jauh-jauh potong rambut mahal-mahal ke Pondok Indah.

"Pasar Tebet kan memang pasar artis," katanya.

Gue menoleh kanan kiri. Tak ada pun kutengok artis.

Atau mungkin gue yang sudah jarang nonton TV.  Lebih senang menonton Pasar Tebet. Ceritanya lebih beragam.

Truk Kostrad

Sebuah truk hijau bertuliskan Kostrad merapat ke pagar Chica. Tiga tentara turun dan membantu mengangkut meja, kursi, patung rusa, alat barbeque, dan treadmill ke dalamnya, membebaskan rumah Chica dari barang-barang tajam dan tidak Sershem friendly.

Dulu Kostrad dibentuk untuk 'membebaskan' Papua yang mereka sebut Irian Barat. Panglima pertamanya Soeharto. Makanya Kostrad-lah yang turun duluan 'menumpas' G30S/PKI dan banyak 'penumpasan' lain di zaman Orde Baru. Termasuk Timor Timur, di bawah Panglima Prabowo. Saat peristiwa 98, Prabowo masih menjabat Pangkostrad.

Tidak ada yang tahu jumlah pasti personil mereka. Rahasia. Hari ini gue bertemu tiga.

"Makasih ya, Mas," kata gue sambil memberikan amplop berisi 120 ribu ke masing-masing tentara.

"Panggil ito aja," kata si tentara yang ternyata Panjaitan.

"Makasih, Ito."

Sebelum berangkat, truk mogok dulu sebentar.

"Biasa kok ini, ito," katanya.

Lima menit kemudian, Truk Kostrad sudah menuju Bandung.

Operasi pembebasan Irian Barat, 65, Tim-Tim, 98... Hari ini porto Kostrad di kepala gue bertambah satu.

Operasi pembebasan Rumah Chica.

Kamis, 28 Juli 2016

Tikus Kambing

Seekor sapi mengunyah rumput, seekor tikus mengunyah kambing.

Sapi serudug-serudug senang, lalu mundur-mundur kebauan.

Tikus... tikus... kau tikus apa kambing?

Tikus merapat, menjilat-jilat. Biar Sapi tertular kambing.

Rabu, 27 Juli 2016

Ghostbusterita

Setelah gue menetapkan 5 prioritas yang akan mengisi waktuku yang terbatas ini, nonton tentpoles Hollywood jadi terasa tak mendesak. Bahkan Jennifer Lawrence dibiruin aja gagal membawa gue ke bioskop.

Tapi Ghosbusters harus. Review di internet terbagi dua ekstrim. Dicurigai karena fanboy-nya Ghostbusters gak suka karena ghostbusters didominasi cewe-cewe yang tak ada seksi-seksinya. In solidarity with the bitches, pergilah gue ke bioskop.

Tapi kali ini gue harus setuju dengan para fanboys. Melissa Mc Carthy dkk lucu sih... hanya ceritanya berantakan banget. Padahal yang bikin Paul Feig, yang nge-direct Mc Carthy di Spy. Ghostbusters ini persahabatannya terlalu dipaksakan, bahkan ketika mereka lari-lari menyelamatkan Kevin, resepsionis mereka yang hot, I honestly don't care.

Tapi tak apa-apalah. Nontonnya bareng salah satu prioritas, jadi 3 jam hidupku tetap layak dikenang.

Selasa, 26 Juli 2016

3500W

Chica diperbolehkan kerja dari rumah. Chica tak menyambut bahagia karena merasa kenapa harus dia yang diasingkan? Karena dia perempuan?

Karena gaji Bang Gigit lebih gede, jawabku dalam hati.

Kenapa gaji Bang Gigit lebih gede? Karena Chica perempuan?

Tak lagi hatiku menjawab. Lebih baik langsung set-up work space buat Chica biar dia nyaman di rumah.

Listrik rumah dinaikkan jadi 3500 W biar ruang tengah bisa nambah AC dan si kembar bisa main di sana.
Beli matras dan pagar biar gak heboh ngejar-ngejar mereka.
Naikin internet jadi 10 MB.
Bandungkan perabotan-perabotan bersudut tajam mumpung Kodam Jaya mau minjemin truk.
Pasang kaca di lubang-lubang angin biar AC lebih dingin.

Blas!

Tiba-tiba lampu daerah belakang mati, menambah satu lagi to do list.

"Ini bukan korslet, Mbak. Sekringnya udah kendor, jadi sering turun walaupun dayanya belum maksimal."

Harus nunggu PLN yang mengganti kalau gak mau disangka nyuri listrik.

"Harusnya 5000 Watt, mbak," katanya lagi.

AC ruang tengah ternyata 1500 W. Pompa air 800 W. Rice cooker 350 W. Dispenser 150 W. AC kamar masing-masing 220 W, 220 W, dan 400 W. Belum catokan dan setrikaan.

"5000 watt kok udah kaya kantor aja?" kata Bang Gigit.

"Memang kantor," kata Chica bitchy.

Siap, bos.

Senin, 25 Juli 2016

Sepeda Baru, Bubur, dan Martabak

Kring kring kring bunyi sepeda. Sepedaku roda dua. Kudapat dari OLX. Hanya dua juta saja.

Eh tapi kok ada gambar bendera Inggrisnya?

Gak keliatan kalau di foto. Ya sudahlah, toh benderanya black on black. Kebanyakan orang akan menganggap keren, bukan inferior complex.

Langsunglah kukayuh sepeda bekas nan baru itu menuju pasar untuk belanja sayur dan buah-buahan tradisional. Belum setengah jalan, kepala sudah berkunang-kunang.

Biasanya gue gak makan pagi, biasa aja. Biasanya gue gak sepedaan, cuma duduk manis menulis.

Akhirnya berhenti di bubur ayam mengakhiri perjuangan hampir dua minggu tak makan karbo. Oh nikmatnya gula-gula ini mengaliri darah.

Sorenya makan martabak coklat kacang susu.

Piknik Perkotaan

Dua warga Ujung Berung datang berkunjung. Mereka tidur di kamar gue dengan jendela terbuka, menatap lampu-lampu Jakarta.

'Enak juga piknik di perkotaan,' katanya setelah seharian stress melihat riuhnya Jakarta dan padatnya Kalibata City.

Paginya kami jalan-jalan ke taman, dengan seragam lari lengkap dengan botol minuman, tentunya bukan untuk lari. Makan soto mie pedagang dadakan, tak bisa lama-lama karena ditungguin ibu-ibu hamil yang melirik kursi kami. Pindah ke Roti Pisang Bakar yang sudah biasa ditongkrongin ABG, mendiskusikan sejarah yang terus berulang diselingi pisang bakar coklat.

Diskusi dilanjutkan di apartemen ditemani MSG-MSG berplastik.

Lalu mereka pun pulang, kasian kucingnya ditinggal sendirian. Meninggalkan gue kembali menulis sendirian.

Piknik perkotaan telah membawa pencerahan dua skenario, menambah penuh tempat sampah yang selama ini bebas pelastik, dan menyadarkan gue menulis terus bikin gak bisa menulis. Harus banyak piknik.

The Beauty Of Thinking Small

Dia bertanya kalau perang dunia tiga nanti kami milih siapa? Islam atau West? Sejarah terus berulang, semua tanda menunjukkan akan ada perang dunia tiga. Sebagai liberal minority, dia merasa dia lebih baik milih West karena bla bla bla bla...  baca aja link ini, katanya. Link tentang prediksi perang dunia Rusia lawan West.

Seorang teman bilang sebaiknya kita tetap waras dan menjaga populasi orang waras di sekitar kita. Jangan sampai ada yang beda sedikit disikat.

'That reminds me of my mom,' katanya.

Mamanya yang melarang pernikahannya cuma karena agama. Pekerjaannya yang tidak memicu kreativitas, cuma jadi drafter kemauan client. Mimpinya menjadi penulis yang terhalang karena butuh duit.

Lebih seru memikirkan perang dunia tiga, daripada ngobrol dengan mamanya atau mulai menulis.

She sounds just like me.

Banyak yang tidak bisa gue ubah. Yang bisa gue ubah hanya diri gue sendiri.

Ramai Gulita

Kemaren Chica gak punya pembantu, gue sibuk jadi infal. Tiba-tiba hari ini ada empat, kukira aku sudah bebas.

Empat orang clueless yang belum tentu bisa dipercaya ternyata membutuhkan kesabaran lebih, sementara Chica sibuk mengasuh dua baby-nya dengan harapan dua mbak-mbak ini berinisiatif mempelajari caranya mengurus anak. Gue di belakang,  mengatur dua lainnya agar rumah ini tak jadi sarang tikus, kadal, dan biawak seperti sebelumnya.

"Tapi tidurnya di mana?" tanya gue mengingat cuma ada dua tempat tidur di kamar mereka. Memang Chica hanya mengharapkan ada dua orang buat jaga baby, satu lagi pulang pergi aja buat ngurus rumah. Eh taunya papi bawa dua.

"Ya suruh aja berdua-berdua," kata Mak cuek.

Gue pun mengatur kasur tambahan untuk mereka.

Lalu lampu mati.

Jumat, 22 Juli 2016

Di Rumah Aja

"Atid seharian di rumah aja?" tanya Papi.

"Tadi keluar kok meeting," jawab gue berbohong.

Mau bilang 'iya seharian nulis' malas. Sudah delapan tahun gue jadi filmmaker. Tapi Papi belum juga ngeh kalau di rumah seharian bukan berarti gak kerja.

Mau bilang 'papi juga di rumah aja' gak tega. Karena Papi sebenarnya suka sekali jalan-jalan. Karena penyakit-penyakitnya, Papi jadi harus nyesuaikan jadwal Mami dulu biar jalan-jalan ada temannya.

Sebenarnya pengennya memang keluar-keluar sih. Jalan-jalan, bikin film, promo film...

Tapi Paulo Coelho aja diam di rumah 6 bulan nulis sebelum 6 bulan lagi jalan-jalan.

Tapi gue diemnya udah hampir dua tahun.

Berarti jalan-jalannya dua tahun.

Kamis, 21 Juli 2016

Minta Maaf

The verdict from IPT 1965 is in. Genocide!

Indonesia dibantu US, UK, dan Australia terbukti telah melakukan 10 kejahatan perang, salah satunya genocide. Negara gue di mata internasional sekarang sama seperti Rwanda, Kamboja, dan negara-negara menyeramkan lain  di berita TV.

Eh, beda. Kita lebih jugul.

Seorang mantan jendral yang kuasanya seperti presiden langsung membuat pernyataan kalau negara tidak akan meminta maaf sesuai rekomendasi IPT. Janganlah diharap memulai penyelidikan atau ngasih kompensasi, seperti 2 rekomendasi lainnya.

'The Act Of Killing' dan 'The Look Of Silence' aja masih dilarang.

Teringat beberapa moment di 'The Look Of Silence'. Beberapa keluarga pelaku malah menyerang Adi, menambah luka. Tapi ada juga keluarga pelaku yang langsung meminta maaf, membuat Adi lebih lega, dan tidak mengurangi martabat si peminta maaf sedikitpun.

Gue jadi termenung sendiri memikirkan, "Kenapa minta maaf lebih sulit dari memaafkan?"

Tapi lagi-lagi gak bisa mengubah orang lain. Apa yang bisa gue lakukan untuk sedikit mengobati luka kita?

Yang pertama kepikiran adalah roadshow cin(T)a. Jalan-jalan putar film sambil ketemu penonton menjadi healing process tersendiri buat gue dari penyakit kronis self rightousness. People came to me and tell me their personal stories. Mungkin 'Dongeng Bawah Angin' pun harus gue bawa roadshow seperti cin(T)a biar memecahkan diam-diam tanpa maaf ini.

Ironisnya... dulu roadshow cinta dibayari banyak orang, di antaranya si jendral dan om-om gubernur di 'Act Of Killing'.

Selasa, 19 Juli 2016

Mooncup

"Gue beli online dari sini, tapi ntar dikirim ke rumah lo," rayu gue mumpung doi lagi di Amerika.

"Hahaha apaan ini bo?" tanyanya. Walau  lewat Whatsapp, tetap terbayang muka keponya.

"You don't wanna know," jawab gue malas diskusi vagina.

Si Indri gue suruh pesankan dari Bandung, berhubung internet di apartemen gue gak stabil. Gagal mulu autorisasi kartu kredit.

"Atid, ini apa?" tanya Indri juga kepo.

"Liat aja di website ada tutorialnya," jawab gue. "Kita jadi gak perlu buang softex lagi."

Tiap mau buang softex kan drama banget harus dicuci-cuci dulu. Bisa aja gak dicuci tapi horor mengingat di Indonesia  semua sampahnya masih ditumpuk aja di Landfill. 

"Indri boleh mesan juga gak? Ntar Indri cicil dua bulan dua kali bayar."

"Boleh banget. Nanti kalau oke, kita promoin ya."

Biar Indonesia gak jadi lautan softex bekas berdarah-darah.

Senin, 18 Juli 2016

Sendiri

"What happened? tanyanya penasaran, kenapa dia putus dengan The Puma yang membuat dia gak keluar kamar selama summer.

"Life happened," jawabnya santai.

Orang datang dan pergi. Akhirnya kita sendiri.

Awalnya pun kita sendiri.

Life happened. People grew apart. No need drama.

Minggu, 17 Juli 2016

Draft Layak Share

Akhirnya hari yang gue nanti-nanti ini datang juga. Pagi-pagi script 'Kepompong Mak Gondut' sudah memasuki babak draft  siap share sama para pembaca pertamanya, mereka yang mewakili penonton rata-rata yang belum tercemar teori-teori film dan bakal mengomentari script ini dengan jujur tanpa keinginan menjaga perasaan gue.

"Aduh gak sempet, Tid," kata si Bankir Tak Berbudaya sambil sibuk menyuapi dua baby-nya.

"Bentar ya... lagi ribet daftar-daftar nih," kata yang lain tanpa keinginan menjaga perasaan gue.

Akhirnya di-email ke Deden.

Lalu gue lanjut menulis Dongeng Bawah Angin yang ternyata malam ini memasuki babak draft layak share juga. Horeee! Berbulan-bulan buntu, eh dalam sehari jadi dua script film panjang.

Eh... udah pagi ternyata. Dua hari dong.

Udah lama gak begadang.

Udah lama gak excited.

Sabtu, 16 Juli 2016

Papi Nyetrika

"Nomor telepon si Eni berapa, Tid?" tanya Papi. Dia mau membujuk Eni, mbak-nya Baby Shema dan Sergie biar balik mudik lebih cepat dengan iming-iming duit tambahan.

"Uang kan bisa dicari. Kasihan si Chica ngurus bayi dua. Berat itu," kata Papi.
Tapi jangan bilang-bilang Chica.

Bukannya balik lebih cepat, Eni malah gak akan balik lagi. Papi datang ke Jakarta dengan niat bantu jaga cucu sampai datang suster baru.

Mami juga.

Di hari ke lima, Mak Gondut udah ngeluyur ke mall.  Papi tinggal di rumah, nyetrika baju cucu sementara mamak bapaknya menemani cucu kembar yang merewel sejak mbaknya gak pulang-pulang. Selesai nyetrika, Papi menjemur cucian batch baru dari mesin cuci yang memanggil-manggil tanda selesai bekerja.

"Tid, bantu Papi pindahin cucian ya. Kayanya mau ujan."

Sejak jantungnya di-ring, Papi gak boleh lagi ngangkat barang berat. Kalau tidak terpaksa, pasti Papi gak akan minta bantuan. Gue yang sedang menguras dispenser langsung mindahin jemuran.

"Tid, sibuk gak? Mau nganter Papi beli aqua sebentar?" tanya Papi. Sejak retina matanya dioperasi, Papi gak bisa nyetir lagi.

Kami pun pergi membawa galon-galon kosong untuk ditukar dengan yang berisi. Lalu mampir di tukang kunci, beli kunci baru biar kunci si Eni gak bisa dipakai lagi. Tak lupa beli makanan buat mamak bapak si Kembar.

Sampai di rumah, Papi langsung memasang kunci baru, mengambil jemuran yang sudah kering, lalu menyetrika lagi sampai si Kembar keluar, siap dikasih makan malam.

Selesai makan malam, Papi menggendong-gendong si Kembar. Yang satu digendong, yang lain mengeong iri. Terpaksa Papi gendong mereka bergantian sampai tertidur.

Malam, Mak Gondut pulang membawa Iphone baru.

"Janganlah kau taro foto Papi setrika di Facebook. Kan malu nanti Papi. Masa laki-laki nyetrika?" kata Mak Gondut sewot melihat gue ngepost foto Papi.

"Ah biasa aku dari kecil ngerjain kerjaan rumah," kata Papi.

Gue melihat Facebook.  228 likes. Lebih banyak dari likes foto profile pic gue  mendelik galak yang cuma seratusan likes.

So proud to be his daughter.


Jumat, 15 Juli 2016

Sapi Merindu

Seekor Tikus datang bertandang. Sapi Rindu buntut bergoyang.

Sapi merapat minta disayang. Tikus kepanasan, malah ditendang.

Sapi menjauh, menangis bombay.  Tikus tahu, langsung disangray.

Sapi sapi kok sensi kali. Udah sensi diam sendiri.

Tikus tikus kok galak kali. Walau galak, cantik sekali.

Kamis, 14 Juli 2016

Kurang Nemplok

"Waktu bayi Atid baik, gak pernah ngerepotin," kata Papi mulai cranky mengawasi Shema dan Sergie yang lebih memilih meraba-raba engsel pintu extra debu daripada Mothercare mereka.

Dulu gue bisa dibiarkan main sendiri, gak perlu diekorin seperti Shema dan Sergie. Gak suka nangis-nangis. Gak suka rewel kalau disuapin. Gak suka lasak ke sana kemari meraba-raba yang tak boleh diraba. Gak pernah jatuh-jatuh. Jalan selalu hati-hati.

Mungkin gue bukan baik, hanya malas gerak. Mungkin mamak bapaknya udah sibuk dengan dua balita lain, gue jadi malas mengeong. Gak guna. Lebih baik main sendiri. Mungkin gue emang terlahir baik, makanya dicuekin dan mereka ngurus yang lain yang lebih ngerepotin.

Pantas sekarang sukanya nemplok. Dulu kurang.

Rabu, 13 Juli 2016

Puji Diri

"Semua anak Mama, memuji nama Mama, Glory glory Halemama...," nyanyi Chica narsis sambil memandikan Baby Shema.

Gue tertawa.

"Ini semuanya maunya ama Opungnya aja ya," kata Papi narsis sambil mengambil Baby Sergie yang menangis dari gendongan gue.

Gue sebel.

Puji diri versi Chica menyenangkan karena she didn't mean it. Puji diri versi Papi menyebalkan karena he did mean it, and in the process he implies that other people (me) is worse than him.

Kenapa kalau sensi gue jadi pake bahasa Inggris?

Tapi mungkin Papi memuji diri karena anak-anaknya kurang memuji. Kalau Chica kan selalu dibanjiri dengan tatapan kagum baby-baby yang belum tahu dunia ini. Anak Papi udah tahu dunia, udah tahu ada yang lebih keren dari bapaknya.

So?

Gue harus lebih banyak memuji Papi.

Selasa, 12 Juli 2016

Rewrite

Sebelum mulai menulis, gue kira film ini adalah film paling keren sedunia. Lebih keren dari Labirinnya Del Toro. Setelah sejam menulis, gue mulai sadar film ini dangkal sekali.  Setelah dua jam, gue mulai gak pede. Siapa yang mau nonton?

Tapi kita tetap menulis, dan mengedit  dan mengedit, membuang all the keren darlings.

What is left is not that keren. Tapi penting untuk gue.

Senin, 11 Juli 2016

Hak Mamak-Mamak

Lima hari ini gue menjadi nanny Shema dan Sergie, sementara Indonesia Mudik. Rasanya seperti tanggung jawab tanpa henti, bahkan kebawa sampai mimpi. Jangan sampai Sergie kepentok. Shema kenapa gak mau makan? Mau minum? Digendong?

Di hari ke lima, gue pulang ke apartemen dengan merdeka. Tidur hari ini terasa lebih bahagia. Sementara Chica tetap di sana, seumur hidup memastikan anaknya baik-baik saja tanpa ada tempat untuk tidur merdeka.

Setelah lima hari ngerasain ngurus anak, gua makin yakin kalau mamak-mamak itu memang berhak rese. Jangankan mereka mau kerja... mau foya-foya pun seharusnya kita dukung.

"Tid, ipod mami kok baterenya mati-mati?" kata Mak Gondut.

"Ntar kita beli baru ya."

Minggu, 10 Juli 2016

Women Directors

"I don't like directors. They always talk about their works," kata seorang sutradara cewe di sela-sela chinese food 10 dollaran.

Bapaknya sutradara. Mamaknya sutradara. Pacar mamaknya pun sepertinya orang film. Mereka semua ada di sini, di Hawaii, walaupun bukan buat liburan keluarga. Buat festival film.

Tujuh tahun kemudian, gue melihat dia lagi. Kali ini di Youtube. Di antara 9 filmmaker cewe lain yang dikasih duit oleh sebuah majalah untuk membuat dokumenter pendek tentang women of the year pilihan majalah mereka. Kali ini dia mendengarkan sutradara lain dengan penuh perhatian sampai giliran dia bicara tentang her woman of the year, seorang billionaire cewe muda yang sangat detail dibandingkan dengan semua orang yang pernah dia temui sebelumnya.

Gue mencoba menerka-nerka kenapa dia berubah. Mungkin tujuh tahun telah membuat dia lebih mengerti pentingnya basa-basi, bahkan sekarang dia full make up dengan rambut di-blow sempurna. Mungkin talk kali ini buat dia lebih menarik karena semua background-nya bukan film. Ada yang penari, actress, fotografer, psychologist/ theologist... hanya dia yang film. Mungkin kali ini sutradaranya cewe semua.

"How is it different to be a woman director in Hollywood?"

"You bring not only a different perspective to the table, but a whole different way of work. We were talking about how she (the billionaire) was involved in all aspects of her business. A man would never do that," kata seorang sutradara lain.

She worked with Steve Jobs before.


Tukang Gigit Yang Sensitif

Baby Sergie di kasur, diam-diam mengulat.
Baby Shema di kasur, diam-diam merayap.

Hap.
Kaki Sergie dilahap.

Baby Sergie mengeong, meraung kesakitan.
Baby Shema celingak celinguk, berseri-seri.
Gue  tertawa-tawa.

Hap.
Jari gue pun dilahap.

Gue menarik tangan kesakitan, mungkin terlihat marah.
Baby Shema menangis.

"Adu... maap ya, Shema... Icil gak marah kok. Yuk gigit lagi yuk...," kata gue sambil menawarkan kelima jari.

Shema menjauh, nemplok ke mamaknya. Gak mau lagi gigit-gigit.

Lima menit.

Bersih Gudang Chica

Dari hasil bersih-bersih rumah Chica, gue berhasil menjaring 9 blouse, 5 kaos, 2 outerwear, 2 sepatu, 3 set kartu, 1 modem, dan 1 selimut.  Si Eni (atau gantinya berhubung doi gak balik lagi) dapat dua karung pakaian. Pak Brewok tukang sampah kompleks dapat TV, kipas angin, rak piring, rak sepatu, dan berkarung-karung aneka barang yang selama ini numpuk di ruang belakang.

"Nah lo liat kan betapa banyaknya sampah yang lo hasilkan? Abis ini kalau beli barang harus lebih conscious deh, soalnya ini sampah-sampah di negara kita belum diolah. Dibiarin aja numpuk di Landfill."

Chica mengangguk-angguk bagaikan setuju.

"Atau at least kalau beli barang, pastiin yang kualitasnya bagus doang biar tahan lama. Gak bentar-bentar buang."

Chica kembali mengangguk-ngangguk sambil bertanya...

"Jadi kapan kita ke Ikea?"

Jamur @ Steak House

Karena gue berhasil membereskan gudang rumah Chica dari sampah, tikus, dan kadal, gue diajak Bang Gigit makan di Steak House yang satu porsinya 400 ribu. Gue hanya bisa makan jamur 68 ribu, sementara Chica mesen burger 250 ribu.

Ternyata sapi mahal sekali.

Dulu pernah nemenin Chica makan di steak house yang lebih merakyat, harga satu porsinya 200 ribu. Gue makan potato wedges, 20 ribu saja.

Kenapa daging sapi mahal sekali? Wajar mengingat luas lahan dan banyaknya air dan pangan yang dikorbankan buat menggemukkan satu sapi saja. Belum lagi kalau daerahnya bukan padang luas, entah berapa banyak hutan harus ditebang biar sapi-sapi bisa berkeliaran sempurna.

Kenapa kita masih makan sapi?

Chica memandang gue dengan tatapan 'dasar sutradara ada gilak-gilaknya' sambil kembali menikmati burger 250 ribunya. Gue membalas dengan tatapan 'dasar bankir tak berbudaya' sambil menikmati jamur garlic dan menyerempet ke mac and cheese Chica.

Keju kan hasil sapi juga.

Eni Tak Pulang Lagi

Diiringi bunyi petir palsu dari youtube 'lullaby with rain drops', kabar itu datang. Si Eni, mbaknya Shema dan Sergie tak pulang lagi.

Mau kawin, katanya. Ke Batam. Gak bisa ngabarin sendiri. HP-nya yang masih nyicil ke Bang Gigit kecemplung di kali. Disampaikanlah lewat adiknya yang kerja di rumah Papi.

Mama Singa mengaum, merasa dikhianati.

Sebentar.

Di petir berikutnya, Mama Singa sudah sibuk memikirkan nasib anaknya. Haruskah dia resign? Bisakah dia nyari nanny lain yang bisa dipercaya? Bisakah dia mengurusi dua anaknya sendiri?

Ternyata Chica tak sendiri. Banyak nanny lain di rumah lain yang juga tak pulang lagi. Industri nanny memang menggiurkan, karena new parents yang clueless adalah target market yang mau mengeluarkan uang berapa pun untuk anaknya.

Sementara di Finlandia sana, urusan nanny menjadi urusan negara. Karena orang tua dan anaknya adalah aset negara. Orang tua usia produktif penting bagi produktivitas negara. Anak adalah masa depan negara, sebaiknya di siang hari diurus oleh tenaga profesional yang jelas lebih ahli dari orang tuanya sendiri dan lebih terpercaya karena dijamin negara. Dibuatlah sebuah sistem daycare yang affordable.

Kembali kemari, Chica masih pusing resign atau tidak. Bang Gigit gak mau Chica resign, takut Chica jadi bitchy. Sementara para menteri sibuk meributkan reklamasi yang konon akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita.

Toh manusia kita banyak.

Rabu, 06 Juli 2016

Ngejodohin Deden

"Bukan ngejodohin. Ngenalin!" koreksi Mak Gondut.

Gue dilarang pulang ke Jakarta sampai hari ini biar bisa ikut ketemu sama keluarga cewe Batak berikutnya yang mau dia jodohin eh kenalin. Bukan buat gue, sayangnya. Buat Deden. Kalau gak ada gue, Deden gak mau ikut.

Kukira udah bebas aku dari perjodohan.

"Di Kedai Mandiri mau?" tanya gue mencoba mencari alternatif yang lebih murah.

"Di Hummingbird lah," sahut Mak Gondut gak mau kalah gaya.

"Asal kau siap bayar," kata Papi becut, ingat dia yang selalu jadi korban pembayaran.

Kali ini targetnya cantik. 27. Pendiam, tapi abangnya nggak. Abangnya bercerita tentang betapa seni rupa Indonesia terlalu elit dan betapa dia kecewa fashion Indonesia tidak punya identitas. Tapi sepertinya enggan gue sarankan menelusuri roots dan sejarahnya. Lebih tertarik urban, katanya.

Target hanya diam memperhatikan, sambil sesekali  tersenyum ramah tiap mata gue ketemu matanya sampai pesanannya datang. Sebuah steak ayam porsi besar bersama kentang-kentang.

"Makannya banyak, tapi langsing ya. Si Atid makannya secuil-secuil tapi tetap gendut," kata Papi disambut delikan sebal gue.

Dia hanya tersenyum sopan, macam bukan cewe Batak.

"Jadi gimana, Den?" tuntut Mak Gondut begitu sampai di rumah.

"Masa baru ketemu sekali udah mami tanya gimana?" sahut Deden judes, membuat Mak Gondut kembali ke sofanya. Nyari kutu anjing, sambil kupingnya tetap dipasang mendengarkan gue dan Deden ngobrol.

"Tapi pasti di rumah, itu anak dominan. Mamak bapaknya nurut ama dia," kata Deden menganalisa hati-hati. Mungkin takut terjebak sama cewe-cewe sejenis Mak Gondut. Mungkin malah nyari.

Mak memites kutu anjing sambil tersenyum.

Selasa, 05 Juli 2016

Move To Trash

Seharian menyortir foto-foto lama, gue baru sadar gue menyia-nyiakan banyak waktu.

Banyak foto yang gak meninggalkan emosi. Misalnya foto diri di negara-negara eksotis dengan muka berusaha eksis. Foto Group dengan pose standar dan senyum kelamaan nunggu click. Yang gue keep malah foto-foto candid dengan emosi seadanya, gak penting tempatnya di mana.

Sisanya move to trash.

Gue juga baru sadar ekspresi gue paling truthful itu kalau sedang memperhatikan. Terlalu banyak senyum atau tertawa demi keriaan.

Move to trash.

Dan ternyata dulu gue gak jelek-jelek amat. Berat gue 78, saat itu rasanya gendut. Kalau gue ngeliat sekarang, I really should have no reason to be insecure. Ada banyak foto-foto gue cakep di periode tanam bulu mata yang cukup girly jadi umpan menangkap suami walaupun senyumnya palsu.

Move to trash.

So many time wasted for making trash. Sekarang gue sedikit lebih paham apa yang gak mau gue kerjakan di sisa hidup gue.

Langsung memperhatikan.

Senin, 04 Juli 2016

Banyak-banyaklah Belanja Agar Ekonomi Terus Bertumbuh

Itulah salah satu judul artikel tabloid anak koran terbesar di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I tahun 2016 hanya 5 persenan karena pemerintah berhemat. Jadi diharapkan masyarakatlah yang belanja lebih banyak biar pertumbuhan ekonomi kita sama dengan tahun lalu.

Apa artinya pertumbuhan ekonomi 5% itu?

Kalau saja tak kubaca itu buku 'Capital In The 21st Century', gak ngertilah aku kalau pertumbuhan 5% itu udah gede banget. Cuma terjadi di saat-saat negara lagi membangun. Sekarang pun gak ngerti-ngerti amat sih.

Hanya bayangin aja kalau negara ini rumah. Pas kita bangun rumah, tentu  banyak sekali perubahan.  Otomatis belanja kita gede. Kalau diindeks, pasti angkanya gede.

Tapi setelah rumahnya jadi, kita butuh apa lagi? Ya paling perabot,  dan printilan-printilan, makanan, hiburan... Belanja kita menurun. Indeks juga turun. Bukan berarti kita gak sejahtera.

Bayangin kalau rumah kita udah jadi dan  belanja kita tetap sebesar ketika kita bangun rumah? Mau jadi apa rumah kita? Overfloaded ama barang yang gak kita perlu.

Di saat kita sudah menyaksikan mas-mas ambisius di Wallstreet hanya bikin negara bangkrut, sementara di Canada yang bankir-bankirnya cuma ngurusin pensiun dan  hidup secukupnya malah baik-baik aja... kok bisa ya ada yang masih menyarankan kita mengikuti gaya hidup ekonomi yang jelas-jelas udah gagal? Kenapa kita masih merasa ekonomi yang cuma bisa jalan kalau kita belanja belanja belanja itu satu-satunya gaya hidup?  

I have enough.

Lapar

Sudah tiga hari gue hanya makan 4 tahu dan banyak air putih. Semakin gak lapar.

Katanya kita bisa tahan 8 minggu gak makan sebelum perut kita mulai melilit dengan dan akhirnya mati dengan perut menempel tulang. Delapan minggu itu dua bulan dong?

Sebenarnya tubuh gue ini butuh berapa banyak makanan sih? Kok sepertinya 4 tahu juga cukup ya?

Semakin banyak makan, semakin lapar, semakin terpenjara.

Semakin sedikit makan,  semakin merdeka, semakin bebas mengerjakan yang lainnya. Seperti script yang gak jadi-jadi.


Aduh, jadi lapar.

Akibat Malas Jalan


Dari Kayumas, Uber berjalan lancar sampai mendekati Bundaran HI. Sudah setengah jam kami di sini, menanti giliran diperbolehkan menyeberang ke bundaran.

"Orang-orang dapat THR berapa ya, Mbak? Kok belanjanya di Plaza Indonesia?" tanya supir Uber.

"Paling belanjanya di Grand Indonesia, Mas. Kata kakak saya yang lagi di Plaza Indonesia, di sana sepi."

Tiba-tiba polisi menutup jalan di depan kami. Kami gak boleh menyeberang, diarahkan belok ke kiri, mutar di bawah jembatan Tosari. Gue terlalu malas untuk jalan kaki saja ke Plaza Indonesia yang sebenarnya sudah di depan mata. Uber gue biarkan nurut belok kiri.

Macet. Sejam kemudian, belum juga bergerak.

"Mbak kita balik lagi aja ke tempat tadi trus mbak jalan dikit gimana?"

"Boleh deh," jawab gue.

Dia pun mengembalikan gue ke tempat awal. Gue berjalan dengan rasa menyesal. Tau gini gue jalan aja dari awal. Gak buang waktu. Gak buang ongkos.

Bon Uber datang. taunya Hanya 22000. Tarifnya flat karena gue memakai Uber Pool walaupun cuma sendirian. Berarti si supir pun hampir dua jam nyetirin gue gak dapat uang tambahan?


Tambah menyesal.

Jalan Strategis

Di antara tempe-tempe Jogja yang dibukus daun segitiga, tiga filmmaker gak puasa bercerita.

Yang satu sadar dia tidak bisa idealis. Dia memilih jalan strategis biar bisa berkarya sambil tetap menghidupi anak istri. Caranya dengan bikin film setahun 3 film dengan rasa beda-beda. Yang satu rasa arthouse. Yang satu rasa penonton ratusan ribu. Yang satu rasa campur-campur, festival bisa bioskop bisa.

"Biar gak ada yang bisa nge-klaim aku tuh apa," katanya.

Teman yang lain ingin mengikuti jalannya, ingin mapan secara finansial, ingin kejar setoran. Ia baru saja bercerai dengan istrinya yang selama ini  menjadi breadwinner sementara dia mengambil peran jaga anak di rumah.

"Kalau gue jadi lo sih gue balik ke Banyuwangi, kelola tanah keluarga lo, sambil bangun komunitas atau festival di sana," usul gue.

Mumpung dia punya aset dan mantan istri yang bisa nyari duit. Jalan strategisnya bisa berbeda. Tidak semua orang harus bikin film di industri. Kita butuh jenis film lain.

Kami kembali makan tempe.

Too Much Pride Here

"Ya aku mau  bikin film pake caraku. Kalau salah, ya salah aku. Resikoku," kata seorang peserta mengkritik mentor kelompoknya.

Gue teringat hasil kerjanya di kelas sutradara kemarin. Filmnya paling buruk, bikinnya paling lama, tapi paling belagu.

Gue pun dulu begitu.

Sampai gue sadar ego gue lebih gede daripada bakat gue. Untungnya bikin film gak perlu bakat. Cuma perlu kerja keras dan banyak mengamati dengan hati terbuka. Jadi anak-anak kurang berbakat kaya gue masih ada harapan.

Makanya gue lebih suka denger roundtable actress daripada roundtable directors. Gue belajar lebih banyak dari sana karena actresses lebih handal mendengarkan daripada directors. Bahkan actress paling diva sekalipun selalu mendengarkan. Roundtable-nya jadi lebih rileks, menyenangkan, dan menginsipirasi. Beda dengan roundtable directors  yang lebih berasa me me me.

Tapi directors bagus beda. Mereka juga selalu gemar mendengar.  Bahkan yang terkenal paling keras kepala dengan visinya macam David Fincher atau Ridley Scott surprisingly sangat kolaboratif kalau kita nonton behind the scenes mereka.  

Pantas gak banyak director bagus di sini. Too much ego. Gak banyak mendengar. Padahal sebagai sutradara, banyak sekali suara-suara kecil yang harus kita suarakan. Suara-suara yang terlalu kecil untuk didengarkan kalau kta kebanyakan ngomong.

Tapi gue memilih diam, membiarkan dia mengira dia memang hebat adanya.

Ada banyak hal yang memang tak bisa diajarkan.