Selasa, 20 September 2016

Misteri Milo

"Kalau Atid nanya mau sesuatu gak, berarti itu dia yang mau," kata Indri kepada Sally.

"Kata Indri, kalau lo nanya mau sesuatu gak, berarti lo yang mau," jawab Sally ketika gue bertanya Sally mau milo nggak.

Bah.

Langsunglah kubuat milo sendiri, gak nawar-nawarin lagi diiringi cekikikan mereka.

Entah siapa yang naro milo di sini. Padahal gue sudah berjanji tak akan ngemil coklat lagi. Apalagi coklat milik perusahaan kaya raya berladang soya segede Eropa.

Dulu Milo-Milo ini ada di dapur bawah. Gue bawa ke atas agar dihabisin sama anak-anak di kepompong.  Tapi tiap mereka minum, gue tergoda cicip sedikit.

Untungnya tinggal dikit. Jadi besok gue bisa lanjut hidup bebas coklat.

Taunya besoknya jumlah milo mendadak bertambah. Plus beng beng tiga kotak.

Siapa lagi pelakunya kalau bukan Papi.

"Ah nonanya kan kalau gak mau gak akan ngambil," kata Papi ketika gue minta jangan beli milo lagi.

Pantaslah aku gondut.

Minggu, 18 September 2016

Gak Ada Yang Gratis

Gak ada yang gratis di ibu pertiwi ini. Semua harus dibayar, one way or another.

Kalau tidak dengan uang, dengan waktu.

Kalau tidak dengan waktu, dengan pikiran.

Kalau tidak dengan pikiran, dengan perkataan.

Kalau tidak dengan perkataan, dengan kemerdekaan.

Jadi wahai kau babi air, next time kau kira kau mau makan gratisan, pikir dahulu. Kemerdekaanmu mungkin lebih berharga daripada gula-gula penambah lemak.

Maher

Gue mengamati sepasang suami istri tak diundang teronggok maen Ipad di tempat tidur gue. Sepertinya tidak ada keinginan menyingkir walau gue udah nguap-nguap mengusir.

"Wifi di sini lebih kencang, dek," kata si istri sambil geser pantat sedikit, mencari lekuk yang lebih nyaman menampung lemaknya.

Bah.

Kalau kata nubuat alkitab, hanya kelahiran si Maher yang akan mengakhiri penjajahan Sammaria di tanah mereka. Ini kan yang lahir Shema dan Sergie. Kenapa Sammaria malah terjajah?

"Maher kan sheMA dan sHERgie," kata mamaknya sambil buka instagram baju baby. Nyari dress yang cocok untuk ulang tahun pertama mereka. Sudah sebulan, tak kunjung selesai pencarian.

Sammaria teronggok di sofa.

Jumat, 16 September 2016

Baru Tahu

"Bokap lo di mana?"

"Gak tahu," katanya.

Sudah lama gak pulang.

"Udah berapa lama?"

"Lamalah."

"Setahun?"

"Lebih."

"Dua tahun?"

"Segituanlah."

Lalu dia menceritakan saat TV di rumahnya diambil orang untuk bayar hutang. Dan saat listrik di rumahnya dipadamkan. Dan ibunya mengumpulkan sisa kain untuk dijadikan celana anak-anak, dijualin ke tetangga.

"Tapi syukurlah udah pernah ngerasain semuanya. Jadi sekarang baik-baik aja," katanya.

Gue terdiam, baru tahu.

Popok Ungu

Seekor tikus berekor montok
Golak golek di selimut ungu

"Tikus... tikus... itu celana atau popok?" tanya seekor sapi.

Si sapi langsung digebuk

Lalu dipeluk

Rabu, 14 September 2016

Paket Hidup

Kebayakan makan, gak nulis-nulis, dan depresi biasanya datang sepaket.

Makan secukupnya, berkarya, dan damai sialnya juga datang sepaket.

Tinggal pilih.

Suka/ Tak Suka

Aduh, si Sally datang. Gue melirik playlist lagu iMac gue. Masih kosong.

Teringat dulu Sally pernah bilang playlist lagu Sunny yang full Utada Hikaru jelek.

"Bukan jelek. Gue cuma gak suka," kata Sally membenarkan, dulu.

Gue memilih-milih lagu yang kira-kira akan mrmbuat Sally mengira selera gue keren. Soundtrack Pan's Labyrinth. Soundtrack Mon Oncle. Soundtrack Amelie...

I need some beat...

No, I need to be proud of myself.

Kenapa gue selalu butuh approval orang lain? Padahal itu akan menjauhkan gue dari mengenal selera gue yang sebenarnya.

"Kalau kita gak tahu kita sukanya apa  asal kita tahu apa yang kita gak suka, itu cukup," kata Sally di hari dia merasa tak perlu lagi menghakimi.

Pasang Taylor Swift.

Senin, 12 September 2016

Nama

Apalah arti sebuah nama, kata Shakespeare. Tampaknya abang william ini gak pernah shooting low budget.

Kalau shooting dibayar murah, mungkin the least you can do adalah ngapalin namanya.

Dia bukan art. Dia Yudha, Tio, Uus, dan Henhen.

Dia bukan lighting. Dia Didin, Gepeng, dan Yosi.

Dia bukan kamera. Dia Hegar, Ogai, dan Eki.

Dia bukan clapper. Dia Oki.

Dia bukan conti girl. Dia Oci.

Dia bukan astrada. Dia Ale.

Dia bukan runner. Dia Theo.

Dia bukan make up. Dia Petek.

Dia bukan still photo. Dia Valen.

Dia bukan Behind The Scene. Dia Borne.

Dia bukan produksi. Dia Erika, Awal, dan Indri.

Dia bukan some random girl yang bantuin masangin mesin tenun. Dia Petri.

Setiap menyebut nama mereka satu-satu, gue diingatkan kalau film ini tidak akan jadi kalau ada satu saja yang berkurang.

Banyak arti sebuah nama.

Aku Menyanyi

"Gue kasih lihat dari sekarang ya biar lo gak ngamuk di set," kata Line Producer di pagi shooting hari ke dua.

Gue menyusuri foto-foto di kameranya. Kerangkeng kain tinggal janji tak berwujud. Green screen ternoda kopi atau entah minuman apa. Kostum Anteh belum jadi. Limbah kain gimana nanti.

"Ya udah," jawab gue tenang. Berserah. Apapun yang terjadi, terjadilah.

"Ntar lo gak bakal ngamuk di set?"

"Paling gue menyanyi," ancam gue. Biar pekak kalian semua.

Mereka tertawa. Dikiranya gue bercanda.

Barulah ketika ternyata tim art tidak tahu donggel dan tali kemaren ditaro di mana, padahal scene ini harusnya continuity, mereka sadar nyanyian gue mematikan.

Lagunya pun Anang dan Krisdayanti.

"Cintailah diriku untuk selamanyaaaa...." nyanyi gue memekakkan telinga.

Mereka pun gerak lebih cepat.

102 Detak Per Menit

"Normalnya antara 60-80," kata Papi.

Kalau misalnya jantung itu daya pakainya cuma 1000 detak, berarti gue cuma bisa hidup 10 menit. Yang kecepatannya 50 detak per menit, bisa hidup 20 menit. Biasanya yang jantungnya lambat berdetak itu yang biasa olah tubuh. Macam atlet, penari, dan kuli-kuli tak merokok.

Gue sedikit terdiam. Usia gue baru 33. Mike Mohede pun segitu ketika ditemukan meninggal di tempat tidur. Jantung sekarang tak lagi langganan orang tua. Yang muda pun bisa diserang seketika. Apalagi yang mokmok macam gua.

Waktunya hidup sehat.



Sepi Abis Shooting

Selalu setelah riuh shooting, di saat semua kembali tenang, dan kotak-kotak berserakan di garasai, ada perasaan sendu menyelusup padahal hujan tak turun dan angin tak bertiup.

"Aku pun kalau kalian pulang, rasanya begitu. Kalau di komik Jepang, macam ada burung lewat," kata Chica.

"Ini rasanya bukan begitu. Ini mah kaya ada angin lewat trus daun berguguran," kata gue.

Chica  pun mengangguk-angguk sambil mengamati langit Bandung yang semakin mendung.

"Makan yuk."

Yuk.


Kambing Mengembik

"Mbeeeekkkk...."

"Itu kambing yang mau dipotong ya?" tanya Chica mencoba menengok pelataran rumah tetangga dari kamar lantai tiga ini, mencari-cari sosok kambin yang gak sempat menyamar jadi panda. Jadilah ditangkap dan dipotong beramai-ramai.

"Mbeeeeekkkk..."

"Ah nggak mungkin kambing. Kayak suara orang mocking kambing," kata gue.

Suara itu terlalu rendah untuk kambing. Borderline melenguh. Biasanya lebih cempreng.

"Ya sangkin udah menderitanya makanya suaranya begitu," kata Chica.

Ah, paling mocking.

Setengah jam kemudian si suara misterius masih mengembik melenguh. Kalau memang itu hanya orang mocking kambing, hebat sekali gak cape-cape.

Kalau memang kambing, kasihan.

Rabu, 07 September 2016

Shooting Lagi

Akhirnya malam ini tiba juga. Besok gua  shooting lagi. Cerita yang memang gua pengen bikin. Bukan pesanan. Bukan paksaan.

Diawali dengan tawaran membuat film pendek 30 juta yang akhirnya gua terima juga karena temanya menarik dan gak ada yang lain yang nawarin gue bikin film. Lalu nambah 100 juta karena ada organisasi perempuan yang keresahannya pun sama dengan gua.

Semua shot sudah direncanakan. Waktu sudah diperkirakan. Filmnya sudah setengah jadi di kepala.

Malam ini gue melipat baju ganti dan handuk, dimasukkan ke tas. Kalik aja gue butuh mandi dan berbahagia. Merapikan buku catatan dan skenario. Kalik aja gue lupa. Mengisi ulang baterai MP3. Kalik aja gue butuh sanctuary di tengah-tengah purgatory setting lampu.

Sudah jam 11 malam. Gue berbaring di kasur. Besok bangun pagi. Gak bisa tidur, bukan karena resah gelisah. Ada damai yang aneh menyelusup.

Semua yang datang membantu dibayar ala kadarnya. Gue berjanji gak akan marah-marah. Apapun yang terjadi, terjadilah. Berserah dan nikmati semua yang datang, disyukuri dan dianggap petunjuk ilahi yang mengarahkan gue ke jalan yang benar.

Ini film Anteh. Bukan film gua.

Duit Mami

"Tid... Tid..." teriak Mak Gondut dari lantai bawah.

Dengan langkah malas gue bangkit dari kasur, turun ke bawah. Mau apa lagikah mamakku kali ini? Dianterin ke stasiun? Facebook salah password? Gak bisa post instagram?

Gue menghampiri Mak Gondut yang sedang berdiri di antara lautan ulos yang baru saja dia keluarkan setelah belasan tahun mengendap di lemari. Si Siti berjongkok di bawah sana melipat-lipat dan memisahkan ulos sesuai telunjuk Mak Gondut.

"Mami mau jual tanah mami... ada sisa uang 6M. Kita bikin museum kaya Madame Tussaud aja, Tid?"

Bah.

"Mana cukup 6 M bikin museum Madame Tussaud. Mending Mami bikin Mak Gondut Center," jawab gue asal.

"Oh gitu? Apa isinya?" tanya Mak Gondut lebih tertarik mendengar namanya menggantikan madam entah berentah.

”Ya buat film, acting, teater... apalah yang bisa bikin film kita lebih baik. Bisa makai talent sekitar. Atau kalau Mami mau stand up ama teman-teman mami lansia juga bisa."

"Gak cukup kalau sekalian kita bikin film?" tanya Mak Gondut.

Barulah gue melek. Gak percaya dengan pendengaran gue.

"Mau pakai duit Mami?"

"Ya tapi harus baliklah. Biar nanti kita bisa bikin lagi," katanya.

Bertahun-tahun gue ke mana-mana cari uang buat film, gak dapat-dapat. Kalau dapat, untungnya mau gue bikin Kepompongville biar sementara gak bikin film tetap bisa berkarya bersama talent-talent lokal.  Masa dapatnya tiba-tiba begini? Dengan belek di mata dan ulos di kanan kiri?

"Tapi kau cari jugalah duit lain. Biar lebih heboh filmnya. Jangan lewat gitu aja," tambah Mak Gondut mengembalikan gue ke dunia nyata yang terlalu kebetulan untuk dijadikan drama.

Gue malah gentar. 

Ini duit emak gue sendiri. Bisa dibeliin rumah, tanah, disumbang ke orang miskin... Dikasih ke si Siti biar si Siti gak perlu ngelipetin ulos di rumah orang. Balik ngumpul ama keluarganya di kampung...

Kenapa harus jadi film?

"Karena orang-orang miskin selalu ada padamu,  tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu," kata Mak Gondut.

Eh, Yesus.

Kalau bukan ini jalannya, tolong jauhkan pembeli-pembeli dari tanah mami. Kalau memang ini, tolong bersama-sama kami.

Senin, 05 September 2016

20.000

Jumlah penonton wiken pertama hanya dua puluh ribu. Memang bukan film gua. Tapi gua langsung terhenyak.

Padahal filmnya menyenangkan. Bintang-bintangnya bertebaran. Sutradara dan produsernya banyak kenalan. Promonya jalan-jalan.

Kenapa bisa angkanya serendah ini?

Karena terlalu banyak berbahasa inggris? Karena isinya tentang perempuan urban? Karena tariannya kurang maksimal? Karena musiknya kurang dikenal? Karena terlalu liberal?

Karena sial?

Produser AADC aja pernah bikin film 25 Milyar tapi flop. Produser Habibie Ainun pun sequelnya gak selaku itu.  Lebih banyak film gak laku daripada laku.

Cuma pertanyaannya, mampukah kita terus membuat film setelah kehilangan uang?

Mungkin uang bukan hambatan utama.

Mental.

Industri ini memang bikin banyak jiwa mental.

Ridiculous

"Sejak dengar filmnya 12 menit tapi script cuma 4 halaman, gue udah curiga," kata Line Producer menanggapi sutradara yang hendak batal diet setelah pusing menyusun jadwal shooting.

180 shot harus selesai dalam waktu 26 jam.  Dikiranya  26 jam buat shooting semua. Ternyata sudah termasuk setting art, setting camera, istirahat, dan sholat jumat.

Sisa 18 jam.

"Gue kurangin shot deh," kata sutradara.

"Jangan kurangin shot. Diatur lagi aja biar gak ridiculous," kata Line Producer.

"Ini tuh udah dipangkas dari 50 jam. Gak ridiculous," kata sutradara mulai meninggi.

"Maksud gue diatur lagi mana shot yang bisa disatukan. Jangan dikurangin. Sayang," kata Line Producer tetap sabar.

Setelah atur mengatur, ternyata memang bisa shooting 18 jam tanpa ngurangin shot. Asal semua dikelompokkan dengan strategis.

Gue jadi menyesal tadi sudah meninggi suaranya. Ternyata si Line Producer benar. Solusi bukan cuma ngurangin shot. Tapi bisa kerja lebih strategis.

Lain kali harus lebih strategis. Dan jangan langsung ngambek dibilang ridiculous.

Mungkin memang iya.

Minggu, 04 September 2016

Diet

"Gue dan Aji pernah ngobrol, kayanya elu mah gak berhasil-berhasil diet justru karena langsung ekstrim semua gak boleh," kata Sally menyambut 'besok gue diet ah' yang ke sekian.

Si pencatat adegan pun tertawa-tawa mengiyakan. Sejak dia kenal gua, sudah berkali-kali gue bilang besok mau diet.

Gue kenal dia empat hari yang lalu.

"Gak usah bikin target ekstrim. Ntar malah stres sendiri," kata yang lain menyambut 'september ini gue 90kg ah' yang ke sekian.

Sepertinya semua orang lebih tahu gue daripada gue sendiri.

Jumat, 02 September 2016

Still

Studio tanggal 10 udah di-book orang. Kita telat karena kemarin-kemarin harus menunggu kepastian mesin tenun bisa dibongkar apa nggak. Kalau nggak, mau bikin replika atau pindah set? Bla bla bla.

Terpaksa pindah hari shooting ke tanggal 9.

Gak bisa tanggal 9 karena butuh satu hari membuat dinding hijau kami berubah putih sesuai request pelanggan tanggal 10. Harus tanggal 8.

Pemeran gak bisa. Mau rapat awal semester di tempatnya mengajar.

Pilihannya pindah lokasi atau shooting tanpa green wall.

Pindah lokasi tak ada studio seluas ini di Bandung. Dan semurah ini.

Shooting tanpa green wall? Bisa sih, tapi Erickson kerjanya lebih berat.

Ya udah shooting tanpa green wall. Nanti diset aja pakai kain hijau.

Eh pemeran cuma bisa setelah jam 12.

Ya udah mulai jam 12 sampai tengah malam. Pemeran inapkan di hotel biar besoknya mulai  shooting lagi jam 6.

Semua darurat ini gue hadapi tanpa khawatir. Mungkin gue sudah terbiasa. Mungkin gue sudah kembali percaya semua ini ada baiknya.

Erickson yang pusing.

Kamis, 01 September 2016

Timeline dan Setrika

"Ya nanti kainnya disetrika dulu," katanya.

Mendengar kata setrika, senyum gue mengambang. Sudah lama gue tidak mendengar kata setrika di rapat film ini. Setelah tim art mengundurkan diri dan art kembali digantikan orang film, kata setrika kembali mengumandang.

"Nanti saya bikin timeline-nya. Biar kebayang gimana 8 hari ini ngapain aja."

Mendengar kata timeline, kepala gue mengangguk-angguk. Seperti musafir yang lama tak bertemu air, gue dibanjiri kata-kata biasa yang ternyata gue rindukan: timeline, budget, setrika, cheat cheat... Kata-kata yang membuat gue lebih yakin pekerjaan akan selesai pada waktunya.

Dua hari ini menyadarkan gue kalau bikin film itu pekerjaan kotor di dasar gunung keindahan bernama kesenian.

"Kalau teater kan olah rasa, kita olah hasil," katanya dilanjutkan pilihan bahan yang bisa dipakai untuk mengakali mesin tenun replika terlihat realistis.

Gue membiarkan dia kembali diskusi budget dengan Line Producer. Apakah benar film itu hanya olah hasil? Apakah itu yang membuat film kita gak bagus-bagus?

Film Indonesia sering dianggap sebelah mata oleh dunia seni, karena dianggap  seni kompromi. Ya gak bisa disalahkan juga mengingat banyak filmnya begini.

Banyak yang gue belum mengerti.