Melihat adegan menjilat-jilat pantat di layar
henpon gue, gue langsung begidik sendiri.
"Banyak tauk yang suka," katanya.
"Lo suka?"
"Nggak. Biasanya gue dijilatin."
"Trus gak jijik?"
"Kan dibersihin dulu."
"Bulunya?"
"Dicukur dululah."
"Gimana caranya? Depan kaca?"
"Sambil duduk sila aja. Keliatan kok," katanya sambil
menyilangkan kaki kirinya di atas paha kanan.
Sepertinya gampang. Entah kenapa selama ini
gue gak nyukur pantat. Kayanya enak punya lubang pantat bebas bulu. Taik jadi
bebas hambatan.
Ternyata sudah kusilangkan itu paha, tak bisa
juga juga kulihat itu bulu-bulu.
Terpaksalah gue nonggeng di sebuah kaca besar.
Gak
kelihatan juga.
Kayanya nyukur pantat cuma buat
manusia-manusia rajin yoga.
Karena gue keburu membayangkan indahnya punya
lubang pantat tanpa bulu, gue pun nekat menyukur pantat gue tanpa melihat.
Dirasa-rasa ajalah.
Aw.
Berdarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar