Rabu, 27 April 2016

Aji Les

Di awal sembilan puluhan, Aji yang baru lulus SMA datang dari Jakarta ke Cisitu untuk les seni rupa biar bisa masuk ITB. Tapi emaknya memanggil pulang, lebih baik kuliah di Jakarta saja. Nemenin mamak.

Aji pun pulang. Les Seni Rupa sia-sia.

Di sekolah Jakarta, Aji ketemu Anky. Anky  menjodohkan Aji dengan Sally. Sally dan Aji ke mana-mana bersama, termasuk tiap ketemu gue.

Hari ini Aji mengajak gue ke tempat dia les dua puluhan tahun yang lalu.

Yang gue lihat adalah sebuah rumah yang lahir tahun 70an, dengan pagar tanaman rendah jadi bisa gosip ama tetangga, jalan sempit berbatu alam indah tapi dengan selokan yang baik,   lapangan di ujung gang yang membatasi dengan kampung tepi sungai. Gue sibuk membayangkan shooting Kepompong Mak Gondut  sementara Aji beli gorengan.

"Sering-sering main sini ya," kata si Ibu senang mencium Aji doyan jajan.

Gue mundur sedikit, melihat si rumah dari ujung kompleks garasi bersama yang memungkinkan rumah-rumah itu jalannya intim. Yang gue lihat adalah si rumah dengan latar belakang apartemen  yang menjulang dan sepertinya akan bertambah banyak dan bukan dibuat untuk si Ibu penjual gorengan.

Semua yang ingin gue ceritakan di Kepompong Mak Gondut dapat gue shoot dalam satu frame ini.

Untung dulu Aji les di Bandung.

Si Nur Pulang

Majikan pulang dari Jakarta, mengamuk menyadari Si Nur gak di rumah. Rumah harus selalu dijaga. Kalau mau pergi, harus nunggu Majikan pulang dulu.

Nur datang 2 menit kemudian, bilang dia hanya sebentar ke apotik depan, beli obat dan pulsa. Tolong jangan marah-marah, dia masih pusing. Kemaren pendarahan.

Kan Nur sudah dibawa ke dokter, kata Majikan.

Nur bilang itu bulan dokter, hanya dilihat-lihat saja entah sama siapa. Dokternya gak ada.

Gue baru tahu ternyata Nur belum ke dokter.

Majikan tetap mengamuk. Berarti selama ini Nur suka pergi-pergi kalau dia gak ada.

Nur bilang kalau Ibu gak suka, biar Nur pulang saja.

Majikan bilang tunggu ada gantinya.

Tapi sejam kemudian, Nur naik ke atas. Minta plastik sampah gue yang besar. Dia disuruh pulang, tapi gak boleh bawa tas dan baju-baju pemberian Majikan saat bersih-bersih gudang bulan lalu.

Majikan memeriksa plastik Nur. Banyak barang-barang yang dicuri Nur.

Nur bilang dulu sudah dikasih ke dia.

Majikan mendepak Nur, menguncinya di luar. Gak boleh masuk lagi.

Gue menyelipkan uang pada Nur, jangan sampai dilihat Majikan. Mungkin Nur memang pencuri. Mungkin dia suka kabur kalau gak ada orang di rumah. Mungkin dia memang ingin pindah kerja.

Mungkin tidak.

Yang jelas Nur manusia, yang punya anak, punya perasaan, dan kalau naik ojek harus bayar.

Semoga Nur mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan bisa berkumpul dengan anaknya.

Post It Di Pintu

Matahari pagi menyelinap
Hangatnya berlomba dengan AC yang dipasang di 25 tapi berasa 18
Dua post it kuning menempel di pintu
Gue terlalu malas bergerak
Menerka-nerka apa isinya dalam setengah tidur

Mungkin dari Tuhan
Siapa lagi yang usil masuk diam-diam
Menembus kunci pintu depan
Tanpa mengambil barang-barang

Mungkin isinya  menyuruh gue bangun
Membaca buku Romo Mangun
Setelah kemarin Sambo Mockbee dan Avianti Armand
Tentang arsitektur-arsitektur yang lain
Yang bukan piala buat si kaya

Ada suatu waktu dulu gue gak mau jadi arsitek
Terlalu lama, kataku
Lebih baik membuat film

Tapi gue tidak harus memilih
Gue kan bukan buruh Adam Smith
Gak harus spesifik demi produktivitas
Gue arsitek
Gue filmmaker
Gue apapun, asal bukan piala si kaya

Kalau arsitektur saja bisa, kenapa film tidak

Gue pun bangun dan siap bekerja
Post It di pintu sudah hilang
Ternyata post it hanya cahaya
Yang mengikuti matahari tanpa nunggu dibaca

Kamis, 21 April 2016

Ngomong

Kelamaan berkubang di kotak gue, gue jadi lupa betapa bahagianya gue ngomong dan didengarkan orang. I have a gift for words, kalau kata guru les Bahasa Inggris gue di zaman SMA dulu. Gue di-vote seluruh kelas sebagai orang yang paling jago ngomong.

Seperti hari ini, gue menceritakan cerita-cerita yang menyenangkan gua. Sepertinya mereka juga senang mendengarkan.

Tapi kegemaran gue bercerita sebenarnya pedang bermata dua. Seringkali gue terlalu ketagihan didengarkan dan tidak lagi mendengarkan.  Padahal cerita gue cuma menarik kalau gue banyak mendengarkan.

Banyak mendengar memperkaya gue dengan cerita-cerita seru orang lain yang akan membawa manfaat bagi banyak orang kalau diceritakan, tapi mereka tidak bisa menceritakannya. Karena gue dikaruniai banyak waktu menonton karya storyteller lain, gue jadi lebih peka akan timing dan editing agar cerita lebih fokus menyampaikan rasa.

Karena yang diingat orang adalah rasa. Kadang bahkan cerita pun bisa dilupakan.

Jadi ingatlah hari ini. Bagaimana rasanya menjadi mulut dari sebuah cerita besar. Lebih menyenangkan daripada sendirian menjadi the center of attention, ketakutan salah ngomong atau kurang keren. Rasa ini lebih menenangkan.

Dan semua dimulai dari mendengarkan.

Rabu, 20 April 2016

Ekor Bergoyang

Dari belakang, ekornya bergoyang-goyang
Sesekali matanya melirik
mencari-cari pengekornya
Memastikan si pengekor ikut berbelok

Mungkin akan tiba waktunya
Mereka akan berjalan berdampingan
Berpegangan tangan seperti pasangan

Mungkin tidak
Mungkin dia lebih ingin punya anak

Si pengekor hanya bisa mengekor
Mengikuti ke mana ekor bergoyang

Mumpung hari ini masih bergoyang

Hujan Di Akhir April

Jam 7 pagi, berasa jam 5
Matahari belum muncul
Mungkin kembali berselimut
Malas melihat hujan
Yang muncul di akhir April

Yuhuuu hujan... kau terlambat 4 bulan
Ini bulannya aku bersinar

Tapi hujan tetap bertahan
Sambil menari bersama kabut
Matahari pulang ke kandang
Mungkin Al Gore ada benarnya

Selasa, 19 April 2016

Komunitas

"Komunitas itu sebenernya PH tapi gak laku," kata seorang sutradara iklan yang sepertinya gak pernah bikin film bareng-bareng teman tanpa bayar.  Walaupun di kemudian hari gue tahu ternyata dia sering gak bayar orang walaupun bukan teman, kata-katanya masih membekas sampai hari ini.

Komunitas sering berarti no money, no profit, no legal entity, no professional background, no future...  mereka datang dan pergi tanpa ada hukum yang mengikat. Yang menyatukan mereka hanya kecintaan yang sama, kebutuhan yang sama, atau keinginan yang sama. Sampai tiba waktunya, mereka tak lagi sama.

Di dunia neoliberal yang semakin bikin gue ngerasa isolated and helpless ini, komunitas tiba-tiba menjadi jawaban. Sharing economy menjadi dimungkinkan. Tiba-tiba gue gak perlu punya mobil, gak perlu punya villa, gak perlu punya pacar untuk menikmati hidup. Bahkan gue gak perlu kenal sama yang punya mobil, punya villa, atau yang punya pacar. Semua bisa dibagi.

Bagaimana dengan film yang bukan kebutuhan utama dan dananya sampai 5 Miliar? Apakah sharing economy bisa diterapkan di sini?

Coklat Jahat

"Pi, nanti lain kali kalau beli coklat jangan yang ijo ya," kata gue saat sarapan sambil menaburkan bubuk coklat berbungkus hijau yang seharusnya diminum tapi lebih suka gue kunyah bareng roti.

"Kenapa?" tanya Papi.

"Soalnya perusahaannya jahat. Ladang soyanya di Amerika Selatan segede Eropa. Tapi petani di sebelah ladangnya kelaparan."

"Ah semua kau bilang jahat. Bisa aja itu cuma isu lawan bisnisnya," sahut Mak Gondut.

Lalu Mak Gondut lanjut bercerita tentang tontonannya tadi malam,  petinggi BPK yang kurang ajar punya account di Panama  dan betapa Ahok pasti benar.

Mending gue makan coklat hijau.

Sabtu, 16 April 2016

Pegangan Tangan

Pada suatu ketika, mereka berpegangan tangan. Walaupun sebuah cincin melingkar di jari manis si wanita.

Eh, tunggu dulu. Satunya lagi tangan cewe juga.

"Iya mereka emang sempat pacaran dua tahun," kata make up artist, sumber segala pengetahuan di dunia pergosipan. Sering dianggap gak punya telinga, padahal suaranya bisa jalan ke mana-mana.

"Bah! Kok gak cerita kau dari dulu?" kata gue kepo. Kenapa selama ini kalau ketemu kami malah ngomongin gimana caranya membuat film yang adil dan inequality dalam kru film.

Bukannya ngomongin si aktris beranak dua, bersuami sutradara, yang jatuh cinta dengan sutradara lain yang sama-sama perempuan,  putus, lalu sekarang jadian ama penata artistik yang juga perempuan.

Dan gue masih di sini saja.

Pengen pegangan tangan.

Celana Mini

Pagi-pagi ke Rumah Mode, membeli celana mini 70 ribu saja. Lumayan buat di Jakarta, gak gerah di rumah, gak basah di paha.

Test drive dululah di Bandung. Walaupun dingin menyerang, daripada pakai celana kesempitan bikin belahan pantat nampang.

"Pendek kali celana kau. Ingat, kau udah tiga puluhan, bukan anak kecil lagi!" seru Mak Gondut.

Di zaman hot pants berlomba terus memanjat melewati selangkangan, ternyata celana begini bagi Mak Gondut masih kependekan.

Hanya Mak Gondut yang bisa membuatku kangen Jakarta.

Kamis, 14 April 2016

Susu

Ke Bandung lagi, makan Pizza lagi, makan keju lagi, kopi susu lagi.

Semingguan gak makan susu dan keju, gue kembali menjadi turunan sapi.

Ah dangdut tali kecapi, biar gendut yang penting seksi...

Atau dangdut tali kecapi, biar gendut yang penting hepi...

Bisakah gendut tetap seksi dan hepi?

Bisa ah.

Rabu, 13 April 2016

Ngajar

Hari ini kelompok yang gue mentorin menang lagi. Untuk ke tiga kalinya berturut-turut. Yang batch sebelumnya gak menang, tapi film mereka jadi satu-satunya yang terpilih masuk sebuah festival.

"Yah kebetulan gue dapet anak-anaknya selalu yang niat," kata gue.

"Ah kalau menurut gue tergantung mentornya kok anak-anaknya jadi niat atau nggak," kata mentor lain.

Tentunya hanya satu yang ngomong gitu. Yang lain menganggap gue beruntung saja. Jadi memang gapapa gue gak ngajar lagi di workshop kali ini.

"Lo tuh bisa  ngajar! Ilmu tuh harus dibagi," katanya mencoba menyemangati.

Tapi malah mengingatkan gue ke hari-hari gue ngajar di sebuah universitas.

Seorang anak bertanya, gue suruh google aja. Jangan apa-apa nanya gua. Dia membalas dengan membuat sinopsis tentang seorang filmmaker wannabe yang kebetulan jadi sutradara karena gak ada yang lain yang bikin film. Maksudnya gue, kayanya.

Lalu ada juga anak lain yang merasa gue permalukan karena gak boleh punya dua DoP. Dua DoP menunjukkan dia gak punya visi filmnya butuh look DoP seperti apa, dan gak punya kepemimpinan untuk bikin salah satu temannya gak ngotot jadi DoP. Dia yakin gambarnya akan luar biasa dengan punya dua DoP.

Melihat hasil filmnya, at least nih anak bisalah jadi videografer prewed. Tentunya kalau client-nya mau kerja ama videografer muka jutek.

Ada juga seorang anak yang menurut gue berbakat dan gue kasih workshop gratisan 3 wiken berturut-turut. Di hari seharusnya ngumpulin script, dia gak ngumpulin script karena memilih ngerjain  proyek KAA yang duitnya lebih gede.

Mereka-mereka inilah yang muncul di kepala gue tiap gue disuruh ngajar. Padahal banyak anak lain yang menginspirasi gue. Ngajarin gue after effect. Ngajarin gue ketawa-ketawa. Ngajarin gue kerja sama. Andaikan yang gue ingat mereka, pasti gue akan lebih semangat mengajar.

Ya ingat merekalah. Gitu aja kok repot.

Pasti

"Jadi kau di Jakarta ngapain aja? Duduk-duduk aja gak kerja?" tanya Mak Gondut sebal begitu gue sampai ke Bandung.

Daripada menjelaskan panjang lebar dan terdengar seperti alasan, mending gue beliin dia Terong Raos.

Mak Gondut mulai terbiasa dengan film ditulis sebulan, shooting sebulan, 4 bulan kemudian udah tayang.  Melihat anaknya berbulan-bulan nulis satu script tanpa kepastian akan jadi atau nggak mungkin memang bikin dia frustasi.

Bayangkan aja rasanya jadi anaknya, nulis berbulan-bulan tanpa ada yang membayar. Bagaimana frustasinya.

Tapi anaknya gak frustasi. Karena di kepala anaknya semua ini pasti. Seperti ketika dia resign untuk bikin film pertamanya. Atau ketika dia bikin PT untuk bikin film ke dua. Makanya dia selalu menulis, walau mamaknya selalu frustasi.

"Dia udah mau bikin PH lho, Tid," kata Indri menceritakan seorang teman.

"Bagus dong?" jawab gue.

"Iya kau kayak dialah. Tangguh. Kerja keras," kata Mak Gondut.

Sepertinya temperamen teman kita itu cocok untuk punya PH di industri film seperti Indonesia. Dia bisa bekerja dengan orang-orang yang terlalu bikin frustasi untuk gue temui sering-sering.

Orang kaya gue mungkin harusnya jadi filsuf, bukan filmmaker.

Eh tapi kan kita generation who gets philosophy in a movie. Udah bener dong jadi filmmaker?

Nggak. Sekarang we get philosophy in Pinterest.

Dan banyak alasan lain untuk gak bikin film.

Tapi gue tetap menulis. Mungkin karena frustasi. Mungkin karena gak tahu mau ngapain lagi. Mungkin karena belum tenang mati kalau ini belum jadi. Mungkin karena menulis menenangkan hati sendiri.

Dan alasan-alasan lain yang gak cukup menenangkan Mami.

Yang membuat gue tetap tenang, karena di lubuk hati ini berdendang sebuah lagu yang gue tulis di hari gue memutuskan resign dari arsitektur. Sebuah janji dari yang memegang tangan gue sejak hari itu.

No glory, but somehow it's enough.

Senin, 11 April 2016

Rumah Lagi

Kenapa gue nggak mau tinggal ama orang tua? 

Kapitalisme membuat gue lebih menghargai  manusia-manusia yang bisa punya rumah sendiri. Gue gak mau dianggap kurang sukses karena gak punya rumah sendiri. 

Padahal harga sebuah image sukses adalah kita melupakan budaya leluhur kita yang  sebenarnya sangat komunal. Kebanyakan rumah tradisional di Indonesia dihuni bersama satu keluarga besar. Bapak, Mamak, Namboru, Amang Boru, Opung, Ponakan… dengan open lay out yang memungkinkan fungsi ruang berubah dari waktu ke waktu. 

Sangat modern, sebenarnya. Tahan gempa pula.

Dengan hidup komunal, gue gak harus sendirian menghadapi dunia neoliberal yang semakin kejam ini, yang tuntutan hidupnya gak lagi memberi gue ruang bermain-main. Harus selalu kerja kerja kerja dan produktif. Padahal dunia tetap berjalan dengan atau tanpa film gua. Barang dia. Jasa dia.

Tapi emang gue mau balik lagi ke masa komunal ketika hidup gue ditentukan satu keluarga besar? Jodoh ditentuin. Hobi dibatasin. Pakaian dilarang. Kerjaan diatur.  Belum lagi tetangga kanan kiri kepo ngurusin orang lain karena gak ada yang sibuk bekerja.

Dunia non komunal yang merebut sebagian kemerdekaan gue menjanjikan kemerdekaan lain. Bisa bangun jam berapa aja. Bisa telanjang guling-guling di rumah gak ada yang rewel. Bisa nanam makanan sendiri. Bisa seharian nonton DVD tanpa ada yang nyuruh kerja. Bisa pacaran.

Tentunya kalau ada pacar. 

Gak perlu berbagi sabut cuci piring dengan Mami yang lebih sayang sabun daripada takut kuman. Bisa punya kamar mandi bersih mengkilap tanpa dahak-dahak jijay.  Bisa milih furniture praktis multi fungsi tanpa ukir-ukir abad Roccoco. Pokoknya yang lebih gue.

Mencerminkan apa yang penting buat gue.

Gue.

Begitu banyak alasan kenapa hidup sendiri lebih menyenangkan. Orang dulu mungkin ketakutan hidup sendiri karena tantangan alamnya beda. Mau keluar makan, ada beruang. Mau nanam, harus bareng-bareng. Sekarang setelah ada Uber, Gojek, dan Happy Fresh, hidup komunal jadi kehilangan daya tawarnya.

Tapi mungkin ini karena kemampuan berpikir gue yang terbatas, self centered, dan gak mau berpikir panjang. Coba lihat dampak hidup non komunal yang gue bilang indah itu ke masyarakat secara luas. 

Fear. A broken society. No strong labour movement.

Kita kehilangan semua aspek yang konon syarat sebuah kumpulan orang baik satu  RT maupun satu negara berhasil membuat perubahan yang lebih baik.

Love. A united society. A strong labor movement.

Mungkin jawabannya ada di tengah-tengah. Bukan komunal. Bukan non komunal. Sebuah desain rumah komunal yang masih memberi ruang-ruang buat individu mengekspresikan diri.

Bentuknya seperti apartemen mix use saat ini tapi Fasum dan Fasos-nya lebih dominan dan dikelola bukan oleh swasta, tapi oleh penduduknya sendiri sehingga semakin hari akan semakin mencerminkan apa yang penting bagi warganya. Lingkungannya tidak dipagari tinggi biar isolated dari sekitarnya tapi connected dengan lingkungan lain.

Jadi gue bisa tetap pacaran tapi sekali-sekali ke apartemen Mami.

Dasar anak senja. 

Minggu, 10 April 2016

Rumah Kita

Kata Alain De Botton, rumah seharusnya mencerminkan apa yang penting bagi si yang punya.  

Jadi buat gue, rumah itu yang penting apa?

Yang penting fungsional, nyaman buat gue pake tidur, mengulat, leha-leha, dan aktivitas lain yang pengen gue kerjain sendiri, gak bareng teman-teman. Kamar mandinya bersih dan membahagiakan.  Kalau kadang-kadang pengen masak, bisa. Kalau mau bekerja di rumah juga bisa. Kalau sesekali ada teman bertandang, bisa ditampung. Jangan kebesaran biar gak usah pake pembantu. Bisa dibersihin sendiri, hitung-hitung meditasi.

Airnya bersih. Listriknya gak mati-mati. Udaranya gak polusi, makanya mungkin harus tetap banyak hehijauan, gak didominasi beton beton dan beton.

Kalau dari tampak, yang penting pake bahan-bahan lokal yang bikinnya gak merugikan orang lain dan spesies lain. Gak perlulah pake bata korea atau keramik Italia atau segala macam yang bukan kita. Yang penting kualitas tinggi,  tahan seumur hidup setidaknya, biar gak usah gonta ganti dan menambah sampah dunia.   

Gak usah pake pagar tinggi maupun pendek. Jelek, kaya penjara.  Gak masalah lihat-lihatan sama tetangga kadang-kadang. Kalau malas ketemu orang ya tinggal tutup tirai. 

Makanya tetangganya jangan yang rese-rese. Kalau bisa semuanya teman-teman semua, jadi kalau mau maen ke rumah teman gak usah naek mobil. Yang sama-sama suka film. Sama-sama menganggap seni, budaya, sejarah, dan science penting. Jadi bisa make ruang publik sama-sama karena hobinya sama. 

Masa daerah rumah dibagi berdasarkan hobi?

Ya daripada sekarang, dibagi berdasarkan penghasilan? Makanya mungkin kita jadi malas ketemu tetangga. Lebih menyenangkan kan kalau pembagian kompleknya berdasarkan hobi. 

Dekat ke pasar. Dekat ke kerjaan. Dekat ke sekolah. Dekat ke tempat olah raga. Kalau anak si Chica datang, ada tempat maen-maen di luar, jangan rumahku dirusaknya.

Yang ada Art center. Museum. Cultural Center. Science Center. Pokoknya tempat-tempat yang memang didedikasikan untuk maen-maen sambil berpikir gimana membuat kehidupan kita lebih baik lagi. Bolehlah center-center ini agak jauh, di tengah kota, biar seluruh kota bisa make. Kalau bikin banyak di tiap komplek pasti terlalu mahal dan kurang seru. Lebih baik satu aja. Pengen juga sekali-sekali ketemu mahkluk dari distrik lain yang hobinya gak sama ama kita.

Tapi ke sananya gak boleh rempong. Harus ada transportasi massal, biar gak perlu pake mobil masing-masing, trus bikin macet. Sebenarnya memang lebih menyenangkan hidup tanpa mobil kalau transportasi umumnya bener. Malas kali ngabisin hidup cuci mobil, ganti oli, isi minyak, service. 

Mata pencaharian utama warganya difokuskan memenuhi kebutuhan warga kota, bukan membantu perusahaan multinasional yang keuntungannya buat kemajuan negara lain. Industrinya jadi cukup memproduksi makanan sendiri, pakaian sendiri, alat-alat sendiri. Sisanya bekerja di bidang jasa yang berfokus mencari solusi agar kehidupan kita lebih baik. Karenanya paling utama pendidikan.

Dengan menanyakan ke diri sendiri sebuah pertanyaan sederhana rumah itu yang penting apa,  sebenarnya gue sedang mendesain sebuah kota ideal tanpa perlu mengerti teori-teori Urban Design.

Kata Romo Mangun, karakter bangsa bisa dilihat dari arsitekturnya. 

Gue memandang keluar, ke kota ini. Rumah-rumah kecil beratap tanah liat berbagai warna berjejal-jejal sejauh mata memandang, sampai terhalang kompleks apartemen baru yang berkumpul menjulang. Semuanya berpagar, mungkin takut kecurian, takut dikepoin tetangga.  Di kejauhan terlihat kumpulan gedung-gedung di gedung Sudirman, tampak seperti versi KW Detroit atau New York.

Kata Romo Mangun, karakter bangsa bisa dilihat dari arsitekturnya. 

Apa yang bisa kita lihat dari kota ini?

Fear. Broken Society. Insecurity. 

We do not have to live like this.



Sabtu, 09 April 2016

The Bankir Wears Prada

Akhirnya Chica beli Prada, 35 jutaan saja. Dibeliin Bang Gigit, tepatnya. Sebagai  hadiah ulang tahun Chica yang ke *sensor*. Besok-besok Chica gak akan minder lagi kalau diajak Bos meeting di Bapindo.

“Makasih ya, Om Sigit,” katanya sambil menggelayut manja ke Bang Gigit.

“Nanti kalau Shema dan Sergie udah gede, minjem tasnya boleh gak?” tanya Bang Gigit tersipu-sipu.

“Nggak bolehlah! Nanti malah dideketin cowo-cowo kaya ngana. Yang maunya cewe punya mobil.”

“Eits. Tapi kan cowo kaya ai nantinya bisa beliin Prada.”

“Kalau gitu Pradanya dualah. Nanti mereka rebutan.”

Bang Gigit tersenyum bahagia. Jadi lupa sebulan terakhir lembur terus.



Jumat, 08 April 2016

A Good Film

A good film makes me feel something
Happy, sad, disgusted, angry...
Anything but bored

A good film makes me have expectation
Him to win, her to live, them to be together...
Anything but 'this to end'

A good film makes me care
About someone's feeling, someone's win, and even someone's car
Anything but 'whatever'

A good film makes me want to be something
Be content, Be tolerant, Be passionate...
Anything but be right

But maybe those are not good films
Just films that I happen to like
Sometimes not the films on top of The List
Sometimes they are

Just films that I happen to like
It should be good enough reason
It should be the only reason

Kamis, 07 April 2016

Di Tengah

Seorang sutradara muda belajar film ke Jerman. Sementara belajar bahasa dulu. Kalau bulan depan  dia gak keterima di sekolah yang dia mau, dia mau sekolah film di California aja.

“Kok enak banget ya? Banyak pilihan,” kata seorang Astrada laku yang jadwalnya jarang kosong tapi gak bisa punya rumah.

“Tapi ya mungkin makanya film Indonesia gak napak ya? Sutradaranya kaya semua,” sahut gue.  

“You don’t have to be poor to tell stories about poor people,” kata sutradara kaya yang baru saja membuat film tentang orang miskin yang pengen boker di mall.

Max Havelaar tidak ditulis orang miskin.

“Tapi kan gak semua orang observant kaya lo,” jawab gue. Tadinya gue ingin menyambung dengan cerita kegalauan teman kami sutradara lain yang gue temui minggu lalu, tapi gue putuskan gak jadi.  

Teman kami itu kecewa sekali dengan Pemerintah Jakarta dan Kelas Menengah Jakarta seperti kami yang tidak punya empati. Berhari-hari dia menemani masyarakat miskin kota berdemo di depan kantor presiden yang dulu mereka dukung naik tahta dengan apapun yang mereka punya. Sekarang mereka terancam tergusur kalau tidak mampu bayar uang muka rumah susun. 

“Gimana caranya punya 15 juta? Pakaian aja cuma satu. Lemari aja gak pernah tahu,” katanya sedih.

Yang membuat dia lebih sedih dan marah, komentar teman-temannya sendiri. 

Siapa suruh gak punya KTP.  Siapa suruh bangun rumah di tanah pemerintah. Siapa suruh datang Jakarta. Seakan-akan semua kemiskinan ini hanya karena si miskin malas tak mau bekerja, gak seperti kita kelas menengah pekerja keras yang layak ngupi-ngupi di kafe tiap wiken.

“Gue jadi sadar kalau semua yang bisa naik ini ya orang-orang yang bisa berkompromi. Yang gak punya sikap. Yang cari aman. Yang kaya gue ini emang akan dipinggirkan, dianggap terlalu keras, dianggap gak bisa bekerja sama, mengada-ngada.”

Gue hanya diam.

Dua-duanya sutradara yang gue hormati. Dua-duanya teman yang gue sayangi. Dua-duanya sudah memilih tempatnya.

Yang satu sudah memilih berkompromi. Mungkin duit filmnya tercemar duit pembakaran hutan. Mungkin dia harus berhadapan dengan produser kapitalis tanpa visi film apa yang bisa membanggakan tak hanya menguntungkan. Tapi setidaknya dia banyak berkarya.  Film-filmnya menjadi angin sejuk di tengah-tengah film asal keren yang menggenangi kolam kita.

Yang satu sudah memilih tak berkompromi. Dia akan berjalan bersama masyarakat miskin yang suaranya tidak mau didengar oleh media kelas menengah. Dia akan menjadi suara mereka.  Mungkin karyanya tidak akan banyak, tidak akan kaya, tapi akan menjadi karya yang akan diingat generasinya. 

Dua-duanya sudah menemukan jalannya. Dua-duanya membuat yang terbaik yang dia bisa.

Gue di mana?

Sepertinya bukan dua-duanya.

Yang satu memang anak orang kaya. Sekolahnya aja di Pasadena. Kekayaan keluarganya yang pengusaha kayu tidak akan habis dua turunan. Dan dia tidak mau punya anak, jadi cukup. Memang sudah tempatnya di sana, menjadi suara orang-orang yang berkelimpahan. Bukan berarti tidak peduli kelas lain.

Yang satu memang tidak kaya. Anak emaknya ada banyak, janganlah mengharap warisan. Bisa bertahan hidup di kontrakan saja sudah bersyukur. Sudah pas-pasan, kemalingan pula. Memang sudah tempatnya di sana, menjadi suara orang-orang yang kekurangan. Bukan berarti  tak punya harga diri dan keyakinan.

Gue berbeda. Gue tidak kaya, tidak miskin. Tidak pagi, tidak siang. Tidak air, tidak tanah. 

Sejak dilahirkan senja hari, takdir selalu membawa gue berjalan di tengah. Gue belum tahu apa artinya berjalan di tengah. Mungkin gue tidak akan pernah bersinar merah menyala. Mungkin gue akan berakhir seperti Sukarno dan gerakan Non Bloknya. Mungkin gue hanya akan menjadi lumpur karena tidak pernah memilih air atau tanah.


Tapi lumpur kan bisa jadi masker. 

Bahagia

Kata Socrates biar bahagia aku gak boleh jadi domba
Mengekor domba lain yang lebih tahu mau ke mana
Berpikir, bertanya, analisa!
Agar bisa bersuka tanpa kata mereka

Kata Epicurus biar bahagia aku harus merdeka
Nikmati makan, minum, dan bekerja 
Bersama teman senasib sepenanggunan
Menjalani hidup yang teranalisa

Kata Seneca biar bahagia aku harus berserah
Jangan berharap hidup selalu cerah
Karena hidup cuma rangkaian chaos yang terarah
Berserah menjauhkan marah-marah

Kata Montaigne biar bahagia aku harus terima diri
Terima bodi ini memang tak seksi
Terima orang lain akan selalu menghakimi
Terima diri tak pintar tak jeli

Kata Schopenhauer biar bahagia aku tak boleh buta 
Cinta datang dan pergi kadang kadaluarsa
Berharap cinta selamanya hanya kan menyiksa
Plot realita gak sefokus buku cerita

Kata Nietzche biar bahagia aku harus menderita
Jangan mau dimabukkan alkohol dan agama
Yang menjanjikan hidup indah dalam delusi surga
Hadapi, jalani, nikmati perihnya

Kata Lana Del Ray a.k.a Lizzie Grant 
Just do what you love and do what you can

Kata gue

Mandilah dan berbahagialah

Rabu, 06 April 2016

Shaking Tebet

Gue tertidur dilindungi tirai dim out dari kelap kelip gedung sebelah yang sepertinya gak lelah-lelahnya bekerja. AC dipasang ke mode Auto Econavi 24 derajat, suhu yang pas untuk mendengkur di malam sejuk imbalan setelah siang yang terik.

Gue membayangkan hari ini. Hari ini gue tidak keluar dari kotak ini.

Untuk apa?

Mau makan, tinggal pesan. Mau kerja, tinggal buka laptop. Mau bercakap-cakap, tinggal telepon. Mungkin hanya gempa yang akan membuat gue keluar dari kotak nyaman gue, seperti Hikikomori di film Shaking Tokyo.

Lalu tempat tidur gue berderit-derit. Sinar-sinar gedung sebelah yang berhasil menyelinap ke langit-langit memanjang, sepertinya gedung ini sedang membungkuk.

Gempa?

Gue melonjak dari tempat tidur, memeriksa Google apakah barusan gempa tapi sinyalnya tak even H+. Gue buka balkon. Kolam renang di bawah sana tetap tenang, tak bergejolak. Satpam-satpam masih santai memandu parkir mobil-mobil yang tak perlu dibantu, berharap dua ribuan.

Masa sih yang tadi bukan gempa? Gimana kalau ada gempa susulan?

Google tak kunjung menjawab. Ya gue tidur lagi aja.

Ternyata gempa pun tak mampu membuat gue keluar dari kotak ini.

Baru ingat, di film Shaking Tokyo juga dia akhirnya keluar bukan karena Tokyo gempa.

Karena cinta.

Berdua

Diiringi musik Sunda-Sundaan
Si cantik berdiri di ujung jembatan
Tangannya tersimpan ke belakang
Badannya bergoyang ke kiri dan kanan

Kamu ngapain, tanyaku
Menungguku, jawabnya
Lalu kami berkendara bersama
Mumpung 3 in 1 boleh berdua

Senin, 04 April 2016

Orang Merdeka

Aku ini orang merdeka
Yang berdaulat atas waktunya sendiri
Mau pijit mau kerja sesuka hati
Tanpa tuan client ngasih perintah

Aku ini orang merdeka
Yang berdaulat atas perutnya sendiri
Gak habis waktu memamah gula
Tanpa Mbak Cacing mengatur lapar

Aku ini orang merdeka
Yang berdaulat atas lemarinya sendiri
Gak habis waktu memilih baju
Gak nindas Buruh Dunia Ketiga

Aku ini orang merdeka
Yang berdaulat atas kakinya sendiri
Mau macet mau demo tetap melangkah
Gak jadi penunggu si mobil Jepang

Aku ini orang merdeka
Yang berdaulat atas mulutnya sendiri
Yang bersuara ceria menyebar cinta
Tanpa didikte media dan social media

"Tapi penemu 4G LTE tuh bukan orang Jember. Nih lihat deh di Detik. Dia cuma menemukan salah satu cara buat bikin 4G LTE," kata Bang Joko.

"Berarti gue udah jadi bagian menyebarkan propaganda dong?" kata gue yang cuma ceknya ke Wikipedia.

"Iya."

Orang merdeka pun tetap harus riset sebelum bersuara.

Sabtu, 02 April 2016

Rapi

A day trip to Ikea, membeli rak laundry tak sembarang rak laundry. Yang ada 4 kompartemen, jadi baju kotor bisa dipisah-pisahin menurut warna. Rumah lebih rapi, hidup pun lebih rapi.

"Sejak kapan sih lo jadi OCD gini? Perasaan dulu nggak deh," protes Chica yang lemarinya jadi sering kena gue beresin.

Bukan sejak slogan Ikea berubah mengajak kita biar membuat rumah kita lebih rapi dengan membeli produk-produknya. Dicetak gede-gede di setiap sudut toko agar gue gak lupa betapa pentingnya produk doi, eh rapi.

Tapi sejak hidup gue tak lagi rapi.

Jumat, 01 April 2016

Tikus dan Sapi

Alkisah di dunia tanpa dosa
Di mana Tikus dan Sapi makan bersama
Si Tikus melenguh
Si Sapi mencicit
Si Tikus tambah melenguh, sebal kok Sapi malah mencicit
Si Sapi tambah mencicit, senang melihat Tikus sebal

Sampai lewatlah kawan Si Sapi
Sapi tak lagi mencicit, kembali menyapi

Tikus terkekeh-kekeh menyadari
Sapi mencicit hanya untuknya

Why So Serious

Kenapa serius-serius kali kau, Anak Sapi?
Masalah datang dan pergi
Begitu pun kekasih

Lebih baik makan pisang sambil nonton serial bajakan
Tentang Roma menjelang tuhannya banyak orang lahir
Di tanah jajahan yang merasa The Chosen One
Kaisarnya yang tampan dan senatornya yang pintar
Di mana jatuh cinta sesama dianggap wajar
Dan aktor sama hinanya dengan pelacur

Atau berkelana bersama Avatar The Last Airbender
Mengunjungi negeri-negeri untuk belajar air, tanah, dan api
Harus berurutan, gak boleh api duluan
Karena api liar dan tak bisa dikendalikan 
Melahap semua mahkluk yang dia lewati
Tapi air tenang dan tanah kokoh
Hanya si tenang dan kokoh 
Yang bisa kendalikan api

Sampai tiba waktunya
Kita menulis lagi

Anak Senja

Aku dilahirkan saat matahari mau tenggelam
Nggak sore, nggak malam
Senja.

Mereka bilang aku perempuan
Tapi aku lebih senang memakai sepatu bapakku

Mereka bilang aku extrovert
Tapi sering aku lebih senang duduk membaca buku

Mereka bilang aku otak kanan
Tapi aku tak tahan berantakan

Mereka bilang aku kaya
Tapi bertahan hidup aku harus bekerja 

Mereka bilang aku babi air
Tapi aku lebih bahagia bermain-main di lumpur

Aku ini si anak senja
Yang tidak takut siang dan tak gentar malam
Walaupun merahku cuma sekejap
Tapi indah dan mengharukan

Aku hanya harus diam dan bersabar
Sampai merah itu menyala
Bersama kuning abu dan jingga
Untuk menikmati senja yang hanya sebentar

Lalu terbakar

Lalu menghilang