Kamis, 16 Desember 2010

cinta

Diawali dari harapan, dia tumbuh.
Diakhiri dengan kenyataan, dia sembunyi.
Tidak mati, hanya diam-diam mengintip.
Malu mengakui karena takut ditolak lagi.

Pelan-pelan dia dikira hilang.
Siap menyeruak di setiap sinar harapan.

Dia yang ingin memiliki.
Tak ingin berbagi.
Tak lagi peduli arti ketulusan hati.

Hari ini aku mencoba pahami
Indahnya hati yang selalu memberi
Dan tak gentar ditolak lagi

Education

All the education you need is one click away.

You Tube. Google. Wikipedia. X Tube.

Belajar bikin efek guntur hujan petir gondoruwo?
Belajar bikin web?
Belajar bikin perut rata?
Belajar gaya kamasutra?

All in one click away.

You tube is the 2010 professor.

Does anyone still need to go to school? This year Time's Person Of The Year is a drop out. Mark Zuckerberg is 26 and learned nothing in school.

He has no degree and no need to find a job.

He makes us think there's no more reason to go to school.

And no social life.

Ok. Mungkin itu gunanya sekolah. Buat berteman dan cari pacar.

Wait. Gue gak punya pacar di sekolah. Padahal sudah tiap hari memandang malu semut-semut merah.

Oh... mungkin untuk berteman. Biar gak anti social kaya Mark.

Wait. Gue punya temen gak ya di sekolah?

Jadi untuk apa sekolah?

Mak Gondut Media Playlist

Mak Gondut umroh ke Israel.

Lagi.

Setelah perjalanan Mei lalu yang dinodai insiden berantem ama adeknya di gereja orang , hampir ditangkap polisi Mesir, dan buyarlah semua 'memaafkan adalah sebagian dari iman', Mak Gondut memutuskan ke Israel lagi demi menyucikan hati.

Sejam menemani Mak Gondut sebelum berangkat berperang, Mak Gondut sudah menyulut api peperangan di negeri sendiri. Baru datang, gue udah diberondong berbagai amunisi curahan hati.


Serangan pertama: Mana pacar kau?

Jawaban: Doain aja, Mi. Gimana mau dapet kalo gak didoain mami.
Artinya: Ihhhh males banget kawin. Kasian banget tuh papi gue tampangnya menderita.



Serangan ke dua: Kapan kau beli rumah di Jakarta?

Jawaban: Doain aja, Mi. Gimana mau dapet kalo gak didoain mami.
Artinya: Ihhhh males banget beli rumah di Jakarta. Gue pengen keliling dunia.



Serangan ke tiga: Mana pacar kau?

Jawaban: Doain aja, Mi. Gimana mau dapet kalo gak didoain mami.
Artinya: Ihhhh playlist pertanyaaan doi ternyata cuma dua lagu, repeat mode on.



Serangan ke empat: Udah ada gaji tetap?

Jawaban: Doain aja, Mi. Gimana mau dapet kalo gak didoain mami.
Artinya: Eh ada playlist baru selain dua di atas.



Serangan ke lima: Mana pacar kau? Biar ada rumah dan gaji tetap.

Jawaban: Doain aja, Mi. Gimana mau dapet kalo gak didoain mami.
Artinya: Ternyata lagunya sama... hanya yang ini versi medley.



Dan playlist Mak Gondut terus repeat mode on sampai waktu tak terbatas. Untung doi ke Israel, jadi bisa di-pause sementara.

Kalau udah harus di-play lagi, gue udah punya jurus.

'Doain aja, Mi. Gimana mau dapet kalo gak didoain mami.'

Balada Oportunis

Kata kakakku aku oportunis karena sesuka hati minta dijemput, trus ninggalin dia setelah ada pilihan teman lebih menarik.

Kata abangku aku tukang kompas karena sehari bersamaku, dua tiga toko terlampaui.

Kata abang baruku, aku tikus karena kalau ninggalin rumah gak pernah nutup jendela, membiarkan tikus-tikus bebas merdeka maemasuki rumah dan menjarah roti.

Tapi bayangkan dunia mereka tanpa aku.

Kakakku akan selamanya menanam farmville dan membangun social city di Malam Minggu. Gak pernah kenal kota tak maya.

Abangku akan kebingungan kebanyakan uang karena cewenya gak ada yang matre. Bisa-bisa terjerat dunia kelam dan perjudian. Untung ada adik kecil yang pandai menghabiskan uang abang.

Abang baruku pasti perutnya tambah buncit, kalau malam-malam tak lagi olah raga berburu tikus-tikus nakal.

Semua manusia itu ada kelebihannya. Aku senang sekali karena aku bisa menjadi berkat bagi orang lain.

Sadarilah. Aku, si kembang Pulo Gadung, ditempatkan Dia di sini untuk membuat kalian lebih berarti.

=D

Nyeletir

Gruduk!

Pulisi... pulisi...

Tidur bikin jantungan, bangun bikin deg-degan.

Tidur bikin nyetir pelan-pelan
Kalau gak mau gruduk

Bangun bikin nyetir takut-takut
Kalau gak mau diciduk

Siap memangsa semua mobil belok kiri gak dari jalur terkiri.
Atau yang curi-curi masuk jalur bus no it's way.
Atau yang nyetir sambil hahahihi di telepon.

Pulisi...pulisi...
Cobalah mengerti kami
Betapa frustasinya nyetir di Jakarta tanpa BB menemani
Haruskah kami selalu menatap ke depan
Menatap kemacetan yang kunjung padam

Hanya BB hiburan kami
please don't take that away from me

Denda 700 ribu katamu?

Bilang sama tuanmu
50 aja deh cyinnnnn.

Jupe

A Cun penggemar berat Jupe.

Dia rela dicemooh teman-temannya yang menganggap rendah Jupe. Dia menggunakan segala macam produk yang diiklankan Jupe. Dia datang ke setiap konser Jupe. Poster Jupe menghiasi kamarnya. Boneka voodoo Dewi Persik pun ditikam tiap hari demi membantu Jupe. Bahkan A Cun mendaftar jadi warga Pacitan demi menambah satu suara Jupe menjadi wakil bupati.

Tapi A Cun belum juga bisa foto bersama Jupe.

Sampai suatu hari A Cun menemukan KTP Jupe. A Cun menganggap ini berkah dewata atas usahanya selama ini. Walaupun nama pada KTP itu bertuliskan Vivian Idris, A Cun yakin itu pasti KTP Jupe.

Dengan membawa duren yang belum dibelah, A Cun melintasi satpam Plaza Indonesia untuk mengembalikan KTP idolanya.

Itulah sinopsis film ke dua dari seri film pendek proyek Udang Di Balik BAtu. Setelah 7 Deadly Kiss, hari ini Vivian Idris akan jadi korban.

Sunny Coon bertamasya ke Plaza Indonesia dengan legging gue (dengan jurus lipat kenti tentunya), kaos kutung, dan membawa sebuah duren.

Vivian yang tak tahu menahu tentang seri ini mencoba-coba baju dengan bahagia. Tiba-tiba seorang cowo berlegging memeluk dia dari belakang sambil teriak...

"Huliaaaaaa...."

Vivian bengong. Gak jadi nyob baju.

"Apa kabar Haston?"

Vivian tambah bengong. Siap melempar duren ke cowo legging ini.

Apakah kelanjutan film ini? Akankah duren bersarang di muka A Cun? Ataukah Vivian benar-benar Hulia?

Nantikan dan saksikan... di entahlah terdekat yang mau menayangkan=D

0 Comment

Gue update status. Mari nonton filmku. Hari ibu ini di Salihara jam 6PM.

Lima jam berlalu.

Cuma ada 3 likes.

Sedih gak ada yang comment.

Kenapa sebuah status facebook bisa mempengaruhi hidupku? Membuat senang sedih dan terluka.

Ah ternyata aku masih manusia, walaupun bodinya dewata. Bt-bit maya ini masih mempengaruhi hati.

Hari ini aku mau bercerita tentang hati. Hati yang mudah terluka, hanya karena status facebook gak dikomentari.

Apakah ini artinya aku tak ada lagi yang peduli?

Atau Mark Zuckerberg sudah bergabung dengan myspace dan friendster? Dilupakan dan dinonaktifkan.

Semoga yang ke dua=D

Maaf ya, Mark. You have your 250 billion. I got no other joy but a glimpse of comments.

Rabu, 15 Desember 2010

Kita Butuh Bioskop

"Mending lo ga usah bikin film deh. Jualan karpet aja," kata salah satu publicist film berbudget M-M di Indonesia. Di minggu ke dua, angka penontonnya sudah mencapai 700 ribu.

Penuh percaya diri.

Tak disangka besoknya, film doi tinggal tayang di dua bioskop. Didepak sebuah film hantu dan kekerasan.

Ternyata pemilik bioskop merangkap pemilik sang film hantu dan kekerasan. Mending nayangin film sendiri karena untungnya 100%, gak usah bagi-bagi.

Kita butuh bioskop baru.

Melihat salah satu dari 2 bioskop di indonesia terancam bangkrut, apakah ada yang berani bikin bioskop?

Kalau begini terus, mati suri perfilman indonesia tak terhindari. Kalaupun ada yang bikin film bagus, akan kapok bikin lagi setelah 2 minggu diturunkan.

Kita butuh bioskop baru.

"Bioskop digital jawabannya!" kata dia menyebar dogma.

Serentak di 33 kota kecil. Gak usah di kota yang udah ada bioskop that who cannot be named.

Butuh 1 M untuk bikin 1 kota. Total 33 M.

Mari cari orang gila yang mau invest 33 M.

Hmmm... kalau species gila yang mau gambling 1M lebih banyak ditemukan. Kita bikin franchize bioskop kaya Mc D. Konsep, equipment, dan promo urusan kita . Owner di tiap kota tingal nge-run dan menikmati uang.

Atau menikmati kerugian.

How about that?

Segitu pentingkah bikin film di negara yang rakyatnya banyak yang kerja pagi malam hanya digaji 30 ribu? Apa mending 33 M kita bikin untuk makan aja?

Kita nggak butuh makan. Kita butuh harapan.

Kita butuh film yang memberi harapan.

Boooo... harapan sih lo sebar pake lagu dangdut aja deh. Gak usah bikin film. Murah meriah mantap.

Kayak ada aja yang mau nonton film. Sebanyak-banyaknya penonton paling 4 juta. Penduduk lo ada 220 juta, jeng. Yang 216 juta kaga pada nonton tuh film lo.

Pada dengernya Keong Racyunnnn.

Gue gak bisa nyanyi dangdut=C

Kalau gitu kita bikin film dangdut aja???

Terserah lo dehhhhh. Dasar anak muda idealis. Kita liat aja ntar lo tua Akbar Tanjung apa nggak.

Conversation With Dog

Sambil menunggu komputer ngextrak Adobe CS 5 bajakan, diiringi semilir tai anjing yang mencerna dog food impor, I have a conversation with Dog.

Yow Dog, what do you want from me?

Nothing. Nothing. Nothing, Dog. Just grow near me so I can grow near you.

Yow Dog. Firmanmu pelita bagi kakiku, I have no idea what you said. What is pelita anyway? Firmanmu sering kali sulit dicerna! Gak lagi kontekstual ama alay nan lebay.

Can't you speak in a more straight forward way?

P45tinj4... You are just too ignorant to understand me.

I want to understand you.

Takut akanku adalah permulaan pengetahuan dan mengenalku adalah pengertian.

See? Another puisi-puisi susah dimengerti. No wonder more people love Lady Gaga more than your words.

Hey... I'm also into pop music, you know? Who do you think responsible putting those 100 top songs of all time?

Even Ronan Keating?

Even Ronan Keating.

You're cool, Dog. You're cool. Me no cool. Gue semakin gak deket ama Lo akhir-akhir ini. Semakin gak tau lo maunya apa di hidup gue ini.

Rrrr... Tau sihhh... hanya takut.

See? Takut : Another sign lo mulai jauh dari gue.

Where was my confidence? I used to be so brave. When you were by my side, who can stop me? I can't believe after all your miracles in cin(T)a, I'm back here to a place where I don't believe you can get 10000 people who will finance me.

Heaven is my kingdom and the earth is my footstool. What can you do that I cannot do?

Is this really the phase? Apa memang gue harus jatuh dulu baru gue bisa pede dengan tanpa kesombongan mencemari?

I gotta fall apart and put it back together again?

Again and again?

Is there any shorcut? An easier way to go?

Remember Ronan Keating? I hope you never took the path of least resistance.

Ya... but it sucks.

Kau hancurkan hatiku... hancurkan lagi... hancurkan hatiku tuk melihatmu. Gimana cara ngelihatmu?

Ternyata hanya those with a pure heart yang bisa.

And me... selidiki hatiku. Ternyata memang ada udang di balik hati. I love your blessing more than I love you.

Give me a sign. Give me back my confidence. I don't wanna stay in this sinking point forever.

Dan tweeter pun berbunyi.

The world is hungry with humble people with absolute confidence in God. Obedience, not ego, is the source of deep confidence.

Is twitter contemporary enough for you ? Or should I try a more advanced way of talking? But I'm afraid your clan are not there yet.

You really are cool, Dog.

You too. Now go and get me yourself.

I love you.

I love you more.

Selasa, 07 Desember 2010

Memilih

Sejam bertemu dia, kamu tidak lagi ada.

Whitney Houston track 10, pengen megang tangan dia.

Whitney Houston track something, pengen nyium dia.

Whitney Houston track 3, inget muka dia.

Muka dia kaya apa ya? Lupa. Ketemunya cuma sejam, tapi rasanya kaya 'I feel like I know you from another life' ...

Inikah cinta? Atau too much Whitney Houston track 3?

Masa sih segampang ini gue gak lagi mikirin kamu?

Mungkin memang aku gak cinta kamu. Atau aku bosan sama kamu?

Gue berpikir untuk kembali dan menyatakan cinta tapi gak jadi.

Kamu gak lagi ada.

Cuma ada dia.

No more U turn.

Dan telepon pun berdering.

Dia=D

What is essential?

1. Subuh-subuh nganterin ke airport, gak mandi dulu.

2. bayarin sharondeng, bang gigit, dan mama singa makan, tapi kalau di atas 100 ribu biar sharondeng yang bayar

3. gigit-gigit Kubus, kalau mandiin biar bang gigit

4. jemput papi di stasiun, gak jadi nonton DVD my big fat greek wedding

5. ketawa-ketawa nonton rekaman shooting semalam

6. Kangkung belacan dan tempe penyet

7. Ditelpon dia=D

7 Deadly Kisses

Gue gak suka ciuman. Mungkin karena ciuman pertama gue bikin pengen muntah.

Karenanya, proyek ambisius penuh maksud yang gue kasih judul 'udang di balik batu' diawali dengan film tentang ciuman.

7 Deadly Kisses.

Film pendek educational, 5 menit, full graphic, full saliva, tentang seorang Cici Asdos yang mengajari kedua muridnya 7 ciuman terlarang yang akan bikin cewe menderita.

1. Ciuman ular keket – belum apa-apa udah pake lidah. Bikin muntah.
2. Ciuman ubur-ubur – melahap bibir seperti ubur-ubur... blurp... blurp...
3. Ciuman naga – belum ciuman, udah metong karena bau.
4. Ciuman pluto – dijilat dijilat dijilat. Yang basah cuma muka. Bawah nggak.
5. Ciuman piranha – Gigit gigit.
6. Ciuman landak – bulu menusuk-nusuk pipi.
7. Ciuman kelinci – mau nyium, nabrak gigi.

Sekarang kedua muridnya siap dilepas ke luar untuk memuaskan wanita. Tapi tampaknya mereka tidak tetarik mencium orang lain. They already found each other.

Cici Asdos memble.

Di balik kamera, sutradara juga memble sambil tersenyum iri.

How come their kiss look so good?

Jadi pengen ciuman.

Clear

“You are very sctattered,” kata dia mengomentari sinopsis gue.

Setelah 4 kali bertemu, gue belum juga bisa bikin sinopsis dengan clear storytelling. Ada awal, tengah, akhir. Ada tujuan, keinginan, dan hambatan.

Haruskah semua film 3 babak?

Gak harus. Tapi semua film yang gue suka punya clear storytelling. Dan gue pengen bikin film yang emak bapak gue bisa ngerti.

You all out there yang menganggap struktur 3 babak itu gampang, think again!

You all out there yang menganggap struktur 3 babak itu terlalu Amerika, think again!

Syrian Bride.
The Way Home.
Le Grand Voyage.
Grey Garden.
My Big Fat Greek Wedding.
Pursuit of Happiness.
The Proposal.

Mulai dari Korea, Syria, Kanada, sampai Amerika, semua pakai 3 babak.

“I will be back from Holland in 10 days. I want to see a clear storytelling.”

Sayangnya gue gak cukup puas dengan clear storytelling. Gue tetap ingin memasukkan beberapa elemen publikasi dan distribusi di film ini. Clear storytelling... I need more.

Harus clear production and clear distribution plan juga!

Rempong deh ai. Akibat kebanyakan ingin: director/writer/producer.

Untung gue gak mau jadi aktor juga. Now that will be a real challenge to sell the movie.

Interesting Gue

“Film saya ini dibuat... karena saya... makanya saya... saya sukanya... saya.... saya... saya... saya...”

Dia menikmati semua tanggapan penonton yang angkat tangan. Semuanya memuji filmnya. Dia tambah cinta diri sendiri, mengira orang suka filmnya.

Dia tidak meyadari penonton bete memilih absen bertanya dan tidak menyalami di akhir pemutaran.

Cukup. Gue tahu film lo personal. Dan film-film terbaik selalu personal. Gue percaya harus ada 'saya' di setiap film bagus.

Tapi film lo gak menarik! 'Saya' lo gak menarik.

Jadi inget diri gue sendiri.

“Film gue ini dibuat... karena gue... makanya gue... gue sukanya... gue.... gue... gue... gue...”

Gue menikmati semua tanggapan penonton yang angkat tangan. Semuanya memuji film gue. Gue tambah cinta diri sendiri, mengira orang suka film gue.

Gue tidak meyadari penonton bete memilih absen bertanya dan tidak menyalami gue di akhir pemutaran.

Cukup. Gue tahu film gue personal. Dan film-film terbaik selalu personal. Gue percaya harus ada 'gue' di setiap film bagus.

Tapi film gue gak menarik! 'Gue' gak menarik.

The irony of 'gue'.

Menonton dia, gue sadar. Ketika 'gue' hanya peduli dengan 'gue' , 'gue' menjadi tidak lagi menarik. Ketika 'gue' lebih peduli dengan 'gue' lain, 'gue' menjadi lebih menarik.

To make 'gue' more interesting, I have to be interested in others.

The irony of 'gue'.

Mulai hari ini gue mau bikin 'gue' yang lebih menarik.

Mediocre

Membaca list pemenang FFI, gue putus asa. Film kaya gini doang menang 7 piala?

Ternyata ada perpecahan di tubuh juri FFI. Ada pemenang versi lain: versi juri-juri dipecat. Pemenangnya adalah sebuah film di mana mbak-mbak Muhammadiyah di zaman itu tiba-tiba digambarkan berjilbab semua.

Hhh.... tambah putus asa.

Mungkin ini karena filmmaker-filmmaker terbaik Indonesia gak mau ikutan FFI. Karenanya, gue berharap pada festival lain sebagai alternatif. Mungkin yang ini lebih baik, apalagi jurinya bule.

Best director adalah....

Tambah putus asa.

Best ini. Best itu. Best whatever. Masih bisakah kita bangga dapat piala?

Tambah putus asa.

Gue gak berhak ngomentarin orang sementara film gue juga sangat mediocre.

Tambah putus asa.

Untung ada joget Ichsan Bachsim, menghibur hati yang putus asa.

Irfan!

Yeah. Pokoknya yang goyangnya yahud itu deh.

Hari berikutnya Indonesia kalah. Dan gue baru sadar ternyata dia pemain bola.

Another Fame

1 Desember 2010: hari AIDS sedunia, premiere film WORKING GIRLS.

Sengaja dipilih hari ini karena salah satu film dari 3 film di antologi ini bercerita tentang waria AIDS yang pulang ke kampungnya: Aceh!!! ULFIE PULANG KAMPUNG karya Daud dan Nazyra.

Film ke dua tentang grup kesenian nomaden, Ketoprak Tobong, yang ternyata menjadi Melrose Place ala Jogjakarta. ASAL TAK ADA ANGIN karya Anggi Cecep.

Dan tentunya 5 MENIT LAGI AH AH AH atau 5 MINUTES OF FAME UH UH UH (salah tulis jadi 5 MINUTES TO FAME AH AH AH) karya Sammaria dan Sally ANOMA Sari (ANOMA menambah daftar panjang salah ketik di undangan festival ini). Isi filmnya tentang juara salah satu kontes penyanyi instan ala TV yang merindukan ketenaran baru.

Premier film kami ini dihadiri para undangan festival yang terlalu sibuk untuk datang dan undangan kami: teman, pacar, keluarga, calon keluarga, produser, calon produser, dan tentunya narasumber .

Gue udah nonton film ini berkali-kali, tapi nonton bareng narasumber tetap bikin gue pipis berkali-kali.

Adegan Ayu dipegang-pegang. Adegan teman Ayu hamil 7 bulan. Adegan Ayah marah-marah.

Mereka marah gak ya?

Risih gak liat anaknya dipegang-pegang?

Tersinggung gak dikatain istri sendiri gak bisa ngatur uang?

Sedih gak liat anaknya gak punya mimpi sendiri?

Penonton kebanyakan langsung menyatakan pemikiran gue sendiri, betapa keluarga ini aneh, shocking, dan memerah anak sendiri.

Dengan raga siap dibacok dan hati siap dicecar, gue dekati keluarga ini. Mereka sedang tersenyum bahagia, foto-foto sama artis dangdut idola mereka.

“Mamah mah bukan gimana-gimana... tapi kayanya film kita mah paling menarik ya? Yang lain mah gak menarik,” kata Mamah narsis.

Ternyata mereka suka. Mereka gak ngelihat kalau film ini adalah pertanyaan terhadap gaya hidup mereka. Meeka gak ngeliat ada yang salah. Mereka hanya ngelihat diri mereka yang paling menarik.

Beda dunia?

Beda norma?

Pemikiran gue yang terlalu middle class?

Atau mereka yang teralu narsis untuk melihat fakta?

Gue memilih tidak menghancurkan delusi mereka dan menikmati raga yang tidak jadi dibacok. Ayu dan keluarga pulang ke Bandung dengan bahagia.

Malam ini juga gua seharusnya bahagia karena pujian datang membanjiri. Hinaan juga banyak, tapi mereka lebih memilih menulis atau ngomong ke orang lain daripada bilang ke gue tentunya. Jadi malam ini gue harus puas hanya dibanjiri pujian saja.

Setelah terlalu banyak pujian, sulit untuk kembali memikirkan Riana. Tapi apa yang harus dipikirkan?

Riana tidak merasa haknya sebagai anak sudah terebut. Dia tidak merasa ada hidup lain yang lebih baik dari ini. Riana tidak keberatan kebanjiran berkali-kali (cuma 2 meter kok) Riana tidak ingin film ini dibawa ke komisi anak.

Dia hanya ingin ketenaran baru.

Dan gue hanya ingin bikin film. Bukan ketenaran baru?

Senin, 29 November 2010

Hiphop Diningrat

Tujuh pemuda Jogja berbatik, berkupluk ala black New Yorkers, dan bersepatu gendut dipajang untuk Q&A di depan setelah pemutaran film dokumenter tentang mereka, Java Hiphop Foundation. Pertanyaan apa yang akan dicecarkan penonton setelah mendengar Serat Centini dan Gurindam 12 dihiphopkan?

"Kalau mau nanya yang susah-susah, jangan ya. Kita gak bisa jawab. Kita bukan filmmaker," katanya dengan kerendahan hati yang terdengar sangat percaya diri.

Mereka membuat budaya lokal jadi terdengar sangat kontemporer. Ternyata penonton malah menikmati warisan budaya mereka di-bronx-kan.

Kok bisa sampai diundang ke Singapur?

"Kata panitianya sih buat ngajarin Orang Singapur bagaimana bikin budaya lokal lebih global."

Kapan ke London?

"Nunggu diundang. Kita gak bisa bikin proposal bagus-bagus kaya filmmaker. Gak ada tendensi untuk kontemporer."

Ada niat untuk bikin CD kompilasi buat ngebantu Merapi?

"Nggak ada. Saya ngangkut-ngangkutin jenazah aja. Saat itu Merapi butuhnya tukang ngangkut jenazah, gak butuh rapper."

Gue jatuh cinta pada rapper-rapper sombong nan rendah hati ini. Pulang-pulang minta foto bareng.

Semoga gue bisa bikin film tanpa tendensi untuk kontemporer.

D list

MC membacakan nama-nama juri.

"Mbak Sigi Wimala..."

Tepuk tangan.

"Mbak Wulan Guritno..."

Tepuk tangan.

"Bapak Rano Karno..."

Tepuk tangan.

"Ibu Sammaria Simanjuntak..."

Krik krik krik...

Siapakah ibu ini? Oh ternyata dia masih muda. Eh apa udah tua ya? Pashminanya sih kaya ibu-ibu. Hahahaha.

Katanya dia sutradara. Film apa? Film indie gitu deh. Cinta.

Oh yang ada fedi nuril?

Bukan. Ngarang banget sih lo? Yang ada sophan sophian.

Ohhh...

Minggu, 28 November 2010

Tergoda

Setelah tujuh tahun diungsikan ke Amerika, Sharondeng pulang membawa Blackberry Torch dan Ipad untuk Chica. Chica langsung mengutip Nehemia.

"Mintalah, maka kau akan diberi."

Adek kecil mau apa?

Dengan penuh iman, adik kecil menolak. Adik kecil curiga barang-barang Sharondeng dibeli dengan kartu kredit yang tidak akan dibayar lagi. Adik kecil takut Sharondeng nanti dicekal kalau mau balik ke Amerika.

"Siapa yang mo balik?" kata Sharondeng cuek.

Adik kecil melirik-lirik curiga, melihat barang-barang baru Sharondeng yang entah dari mana padahal Sharondeng ngakunya belum dapet kerja.

Desktop Sony layar lebar touch screen.

Hueh? Pajaknya aja 3.5 juta. Masa tiap hari maen Mafia Wars bisa beli ginian?

Jam Rolex.

OK. Ayo resign. Mafia Wars ternyata lebih menghasilkan.

I phone 4.

Bukannya lo dah punya Iphone?

"Yang lama buat kau deh."

Ogah. Takut gak berkah.

Blackberry Torch putih.

Dagang hp, neng?

Earphone Sony noise reduction.

Iyyyh. Suaranya enak juga. Tapi gak boleh. Deden nanti dicekal. Gak boleh.

Kindle Sony.

Mmmm... kalau yang ini cuma 100an dollar. Kalik aja belinya halal. Jadi gak apa-apa.

Canon D7.

Gak bol.....

Glek.

Terbayang Sunny Soon topless melenggang di antara keramaian mobil Jakarta dengan ruang tajam sempit. Lampu-lampu di sekitarnya membentuk bola cahaya berpendar warna-warni.

Gak boleh. Gue harus bertahan.

Plus lensa.

Ok. Kalau minjem aja, kayanya gak papa deh.

Hari ini 7D Sharondeng dipinjam sampai batas waktu tak terbatas.

Kalau Sharondeng sampai dicekal ke Amerika, the least I can do adalah membuat pengorbanannya tak sia-sia.

So from today on... one movie a week.

Starring Sunny Soon. Directed by me.

Enjoy.

Fun Filmmaking: Fairytale

"Filmmaking should be fun. That's why this kids deserved a special mention." kata salah satu juri saat rapat penentuan film terbaik di salah satu SMP kaya di Jakarta.

If by fun, you mean a painless journey full of laugh and joy, lebih baik kita jangan menyesatkan anak-anak SMP nan penuh semangat ini untuk masuk ke industri film.

Fun Filmmaking is a Fairytale.

Filmmaking is not fun.

Lo harus menghadapi ego orang-orang kreatif yang punya kebenaran masing-masing. Lo harus meladeni tuntutan penonton pintar yang gak tau maunya apa tapi tau yang gak mereka mau apa. Lo harus meladeni pemerintah yang bercita-cita film Indonesia menjadi tuan rumah di negaranya, tapi peraturannya menyemangati lebih banyak pengecut-pengecut yang gak punya suara untuk difilmkan.

Filmmaking is not fun.

Every step you make is a step of faith. Every turn you take is a temptation. You can always decide to make a movie that is not you while waiting for the chance to make your movie.

They never did.

But once you live up to your faith and see how zero to zero is actually fun, filmmaking is fun indeed. It is so much fun even your fortune and fame cannot tempt me. They are already chasing me.

I feel like I need no more party, no more recognition, no more achievement to prove. I have the fun in me.

And so yes, I do agree.

Filmaking is fun.

sincerely wrong

"They can be sincere, but sincerely wrong," kata dia setelah gue ceritakan pertemuan gue dengan berbagai macam pasangan alternatif bahagia yang membuat gue mempertanyakan benarkah homoseksualitas dibenci Tuhan.

She wasn't hateful or homophobic. She just doesn't wanna be involved in a project that supports homosexuality.

I don't too. It's a very edgy subject. Many people who love me might leave me for that. She will be the first one.

Either change the subject, or change the producer.

Gue terduduk di kamar yang bukan kamar gue, memandangi langit Singapur yang biru tua bebas polusi.

"Is it ok to be gay?" tanya gue.

"I told you many times it is OK. You still don't believe me?"

"Can you tell other people it's OK too?"

"I am. Through you."

"Why me? I am not strong enough."

"It's OK if you don't want to. I will love you no matter what."

"I don't love you enough. All I think about is my feeling."

"I know. I love you no matter what."

Hari ini gue memutuskan untuk menunda Demi Ucok sampai gue yakin. If I wanna make a gay movie, it has to be straightly gay movie. No wishy washy about it.

In the meantime, I'll make Resign Club instead. I'll wash all the gay element out of it.

Amen?

Kamis, 25 November 2010

t***t

Hi Sam.

Gw sudah baca. Hanya gw pikir ceritanya terlalu vulgar. Karena perlu diperhatikan juga bahwa nanti pembacanya adalah masyarakat awam. Mungkin usia sekolah sampai usia orangtua muda. Dan antologi itu nantinya diharapkan jadi buku yang bisa dibaca semua orang, bukan yang disegmentasi secara terbatas "khusus dewasa", yang membuat pembaca merasa risih, atau malah dibredel oleh ormas2 tertentu.

======

Berhubung gue tidak mengerti bagaimana menulis buku yang diharapkan bisa dibaca semua orang dan gak membuat pembaca merasa risih, cerita ini gue terbitkan di media di mana kejujuran emosi adalah satu-satunya pertimbangan dalam penerbitan: my own blog.

Enjoy.


======

T***t atau t***t?

That’s the question.

Semuanya gara-gara kelas menggambar telanjang. Cewe yang datang dari negara bermoral di mana seks tabu dibicarakan tapi boleh dilakukan_ asal gak ketahuan_ menjadikan kelas ini wajib diambil.

Sebenarnya ada di Jakarta. Tapi gue gak tahan ama temen-temen gue. Baru ngedenger kata t***t aja, mereka udah bergidik risih seakan gue satu-satunya cewe yang penasaran pengen lihat t***t gak hanya lewat layar laptop.

Muna!

Karenanya gue ke Amerika.

Bersembunyi di balik kejujuran seni, gue bisa lihat t***t orang tanpa resiko hilang keperawanan.

Kasihan Papi kalau gue sampai gak perawan. Dia nangis-nangis minta gue tetap perawan sebelum gue berangkat S1 ke Amerika. Baru sekali gue lihat Papi nangis.

Papi yang baik. Papi yang selalu mengabulkan semua permintaan. Papi yang gak pernah melarang. Bahkan ketika gue memilih sekolah seni di luar negeri daripada di Jakarta nemenin dia.

Tapi udah 5 minggu modelnya cewe melulu. Katanya lebih susah nyari model cowo. Tahu gini mending gue gambar diri, gak perlu patungan bayar model mahal-mahal.

Tinggal ngaca.

Mending badan gue ke mana-mana.

Memang paha gue masih agak kegedean, tapi tetap saja cowo-cowo astagfirallah tiap gue lewat pake hot pants. Tambah males tinggal di Jakarta.

Tapi hari itu akhirnya tiba.

Seorang cowo tak dikenal duduk di pojok kelas dengan bath robe putih. Agak tua. Empat puluhan. Tapi gak apa-apa karena torsonya menggiurkan. Bonus: ubannya bikin doi sedikit George Clooney.

Nyessss...

Atas nama seni, George Clooney membuka bath robe.

Aku malah tertunduk malu.

Aku pura-pura menatap sekelilingku, mencari sekutu salah tingkah. Semua siswa terlihat serius menggambar, gak keganggu dengan benda aneh yang bergelantungan di antara kedua kaki George Clooney yang berbaring ngangkang tanpa benang sehelai pun.

Eh, ada benang perak sehelai melingkar di paha dalam.

Oh, no. Itu bukan benang.

Mata gue beralih menjelajahi paha sampai ke pertemuan kedua kaki.

Lho? Kok Cuma 12 centi?

Vivid Interactive terbukti bersalah melebarkan jurang pemisah antara impian dan kenyataan.

Sudah kecil, menguncup pula kaya ujung pisang. Mana jamur-jamur yang menghiasi ujung t***t bintang Vivid?

Tanpa sadar, si dosen sudah meclok di samping, melambai gemas melihat gambarku yang sudah berkaki, bertangan, tapi tak ber-t***t.

“You are not Michaelangelo,” ujar si dosen banci sambil menunjuk jijay sebuah daun yang menggantikan tempat t***t seharusnya berada.

Dosen banci menarik nafas panjang dan siap menceramahi gue tentang seni dan keterbukaan pikiran ketika matanya menangkap kertas gambar di sebelah gue.

Sebuah t***t panjang berhelm jamur mendominasi kertas. Tanpa muka, tanpa tangan.

Dosen banci ganti sasaran. Si empunya gambar ngotot seni tidak harus realistis. Gambarnya terilhat lebih sehat. Lebih bebas kuman.

George Clooney tersinggung.

Si empunya gambar berbalik ngintip gambarku.

Mata kucingnya menyorot nakal. Eye liner hitam yang melingkari kedua matanya membuat hijau matanya lebih menyala. Matanya semakin dilarang semakin bersinar, sangat tidak cocok dengan rambut panjang lurus sempurna yang gak mungkin bebas catokan atau smoothing. Dia mungkin akan terlihat Avril Lavigne kalau saja rambutnya tidak dicat biru.

Dia mendekat.

Aku menutupi gambarku , malu. Tanpa permisi dia menggeser tanganku dan menempelkan gambarnya di atas gambarku.

“If we merge mine and yours, we can have a complete human being,” katanya tanpa merasa bersalah. Sikunya bertengger di bahuku.

Aku baru tahu mariyuana bisa tercium sangat lembut jika dicampur dengan keringatnya.

“I think my penis is way too big for your legs,” katanya sambil tertawa nakal, memancing komentar nakal dan tawa teman-teman lain.

Dosen banci menenangkan kelas, mengingatkan kalau waktu tinggal 10 menit lagi. Yang tidak selesai harus menggambar di luar jam kelas dan mencari model sendiri.

Sampai bel meraung, gambar gue masih berdaun.

Ini pertama kalinya gue gak nyelesaiin tugas. Gue, si straight A student, disamakan dengan si tukang ngeganja.

Dosen banci gak mau tahu. Salah sendiri. Gue tetep harus ngegambar di luar kelas.
Susah nyari model cowo. George Clooney terlanjur tersinggung dan kapok mempertontonkan t***t-nya yang kurang higienis.

“I’ll do it,” kata pacarku.

Gue menelan ludah menatap torso bidangnya. Masih disembunyikan kaos saja sudah menggoda minta dipeluk. Apalagi tanpa kaos.

Gue memang cewe beruntung. Punya cowo berdada bidang, berambut pirang, bermata biru, dan rela pacaran tanpa sex. Di mana lagi gue bisa dapet bule kaya dia?

“Don’t worry. I will stay far from you,” katanya berjanji.

Selama ini memang dia tetap membatasi diri agar gue tetap perawan. Untung masih ada oral.

Berdua saja di kamarnya, ngeliatin dia telanjang, gue percaya dia gak akan ngapa-ngapain gue. Tapi gue gak percaya gue.

Gue pengen ngapa-ngapain.

Mending gue gambar dari internet. Gak usah pake model asli. Lebih bebas godaan.

Tapi sore itu gue gak bisa nolak. Pas dia ngajakin ke kamarnya, gue kira dia cuma ngajakin make out seperti biasa. Ternyata dia udah mempersiapkan semua: kertas, easel, dan tentu saja modelnya.

Dia.

Terpaksa gue telepon orang lain untuk datang. Daripada gue dan pacar bertiga ama setan, lebih baik bertiga dia.

Ternyata lebih baik bertiga setan daripada harus berbagi view t***t pacar gue sama cewe lain. Apalagi yang seseksi dia.

Dia bersiul begitu handuk pacarku mencium lantai.

“Lucky girl,” katanya sambil mengerling nakal.

Setan!

Gue pura-pura gak denger, sibuk ngegambar. Biar cepat selesai. Biar dia cepat pulang. Biar setan bisa kembali menggoda aku dan dia.

Bukannya menggambar, ada-ada saja yang dia lakukan. Pertama kipas-kipas. Lalu dia melintas ruangan, memutar tombol pemanas.

Mata pacarku mengikuti tubuhnya. Tambah melotot melihat dia buka jaket, memamerkan t***t-nya yang membuat gue mengerti kenapa dia diisukan gak akan pernah mati tenggelam. Pasti ngapung.

Sebenarnya t***t-nya tidak terlalu besar. Tidak terlalu kecil.

Cukup.

Cukup membuat dosen banci lupa kalau dia cuma doyan laki.

Aku berhenti menggambar menyadari objek gambarku berubah bentuk.

“Sorry. It’s really cold here,” kata pacarku malu.

Dia tambah tertawa nakal. T***t-nya bergoncang-goncang kecil.

Setan!

Cowo emang goblok. Kok bisa horny liat t***t doang?

“Don’t worry. I’m not interested in boys,” katanya tanpa ditanya begitu kami bertemu di kelas gambar berikutnya.

Gue terdiam , gak jadi mengeluarkan jurus jambak rambut yang udah gue latih dari kemaren. Sengaja gue pake kupluk hari ini, rela gak pamer rambut hitam indah kebanggaan, biar gak gampang dijambak kalau sampai perang kucing.

“I am gay.”

Bukannya lesbi seharusnya berambut pendek dan berkemeja kotak-kotak?

Dia berhak tinggi dan bertank-top pamer t***t di tengah winter. Sama sekali gak kaya lesbi.

“You have a problem with lesbian?” tanyanya melihat gue terdiam.

Gue gak tahu mau jawab apa. Tentu saja masalah!

Kalau cowo suka ama cowo sih gue terserah. Kalau cewe suka ama cewe, kan serem. Kalik aja ntar gue dideketin. Jijay.

Tapi ngomong gitu gak politically correct di state gila tempat cewe dan cewe bisa nikah ini.

Untunglah Dosen Banci datang menyelamatkan. Gue jadi bisa pura-pura dengerin, gak perlu menjawab dia yang terlihat kesal dicuekin.

Rupanya dosen datang mengabarkan kelas hari ini dibatalkan. Model gak datang.

Adios.

Gue udah siap-siap mengumpulkan alat-alat gue ketika dia mengangkat tangan dan menawarkan diri menjadi model.

Dia melepaskan bajunya satu per satu tanpa malu-malu.

Warna kulitnya rata dari pantat sampai muka. Kulitnya bening, sampai gue bisa
melihat garis biru kehijauan di balik pahanya.

Gue gak jadi pulang.

Dia berdiri sambil menyandarkan tangan kanannya ke dinding. T***tnya tetap menjulang tanpa bantuan BH.

Kenapa dia bisa begitu tenang? Padahal semua mata menatap ke arahnya.

Dia nggak lihat gelimang bahagia di mata semua cowo, berdoa agar si model tak juga datang minggu depan. Kaki mereka duduk lebih rapat. Kertas mereka menutupi paha.

Gimana dia bisa nyadar kalau matanya terus mengawasi gue? Gue semakin salah tingkah. Semakin gue menunduk, semakin dia menatap penuh kemenangan.

Gambar gue gak selesai lagi.

Setan!

Dosen melihatku dengan kesal.

Masih dalam bath robe putihnya, dia menawarkan diri.

“I don’t mind another 15 minutes.”

Beberapa mata terlihat menyesal gambar mereka sudah selesai.

“You won’t do stuffs to me, right? You’re not gay, ” katanya sinis.

Gue kembali menggambar. Tinggal kami berdua. Gue punya 15 menit sebelum kelas berikutnya mulai.

Ternyata gue hanya butuh 3 menit untuk menyerah dan mengakui bibirnya terlalu menggoda.

Dia hanya butuh 10 detik untuk membuka baju gue.

Sepuluh menit untuk menyeret gue ke kamar gelap yang jarang dipakai sejak kamera digital turun harga.

Entah berapa menit, gue sudah berada di antara kedua t***t-nya.

Dan tiga jam kemudian, gue masih di sana.

Bercinta.

Bukan. Bukan bercinta. Gue masih bisa bilang ke Papi kalau gue masih perawan.

Gue hanya berbaring di sana, di antara kedua t***-nya yang lembut. Puas-puasin agar agar hari ini tidak perlu terulang lagi. Gue gak mau jadi lesbi.

Tapi tiap hari dia semakin membayangi.

Bibirnya di bibirku.

Bibirnya di t***t-ku.

Lembutnya.

Kenyalnya.

Gue gak mau jadi lesbi.

Gue mendekatkan bibirku ke bibir pacarku yang lagi mencuci piring. Sisik-sisik hasil gak cukur 3 hari di pipinya menggelitik pipi, dan menggelitik sesuatu di bawah sana.

Gue buka bajunya. Gue cium dadanya. Torso yang selalu gue puja. Torso yang seharusnya gue simpan sampai malam pertama. Inilah yang harus gue khayalkan, bukan t***t dia.

Papi, maaf. Aku terpaksa melanggar janji. Daripada aku jadi lesbi, nanti papi lebih nangis-nangis lagi.

Hari itu t***t-nya membuat gue berteriak Tuhan dan melupakan firman.

Lupa lagi.

Dan lagi.

Dan lagi.

Ternyata aku suka t***t.

Puji Tuhan. Gue bukan lesbi.

Jadi hari ini gue bisa ketemu dia dan bilang dengan yakin kalau minggu lalu hanya coba-coba masa kuliah. Seperti cewe-cewe straight lainnya.

Gue akan bilang padanya sebaiknya kita temenan aja. Kalau dia nangis, gue akan pura-pura tegar dan meluk dia untuk terakhir kali.

Nyium dia untuk terakhir kali.

Ngerasain bibirnya di dada untuk terakhir kali.

T***t-nya di bibir gue.

Sekali lagi.

Sekali lagi.

Dan lagi.

Dan lagi.

Ternyata gue suka t***t.

Damn.

Gue gak boleh suka t***t.

Apa enaknya jadi lesbi? Cuma gesek-gesek doang? T***t lebih enak. Dia lebih keras, lebih menembus, lebih jantan.

Tapi cewe lebih lama. Bisa sampai tiga jam.

Minggu berikutnya lima jam.

Tiga jam.

Nyesss...

Kalau t***t, paling 7 menit udahan. Kalau mujur, 12 menit. Paling banyak 5 kali semalam. Tujuh kali kalau pakai pil.

T***t atau t***t?

That’s the question.

Gak bisa gini terus. Gue bisa gila.

Karenanya, hari ini gue akan mencoba t***t dan t***t sekaligus. Biar gue tahu pasti yang mana yang gue suka.

Hidup cuma sekali. Jangan sampai salah pilih.

Pacarku gak mungkin keberatan. Cowo mana yang menolak ditawari have sex bertiga sama dua cewe? Apalagi cewe seperti dia. Gue aja tergila-gila, apalagi dia.

Memang dia tidak menolak, tapi matanya menatapku kecewa. Dia hanya menunduk tanpa mengangguk. Tidak ada binar birahi kesenangan yang gua harapkan darinya.

Dia juga menatapku sedih. Mata kucingnya seharusnya tidak menyiratkan luka. Ini bukan pertama kalinya dia threesome.

Tapi dibukanya juga jaketnya dengan pasrah. Dia memelukku perlahan dan mendekatkan bibirnya ke wajahku.

Bau mariyuana menghembus lembut bibir atasku.

Pacarku menunduk sakit melihat mataku terpejam menikmati bibirnya. Ciumannya pelan, lembut, dan... asin.

Aku membuka mata.

Air mata mengalir dari mata indahnya, membuatku ingin lebih memeluk dan membenamkan mata itu di dada.

Bibirnya di dadaku.

Bibir lain datang menghangatkan bibirku, menusuk-nusuk pipiku. Bau after shavenya membuat aku merasa kembali wanita.

Dia menyingkirkan kaosnya, melekatkan kulitnya ke kulitku. Kedua tangan kokohnya meremas pinggulku. Torsonya menghangatkan dadaku.

Aku didekap, dilindungi.

Sampai sebuah bibir lembut memisahkan aku dan dia. Bibir itu menyapu lembut wajahku, berhenti di mata. Aku terpejam, berharap waktu berhenti. Kelembutannya memabukkan.

Aku membenamkan wajahku di dadanya. Menyerah dalam kelembutannya.

Di bawah sana, kakiku dibuka paksa.

Ditaklukkan.

Kasar, sakit, tapi nikmat. Aku melenguh antara sakit dan bahagia.

T***t-nya di bibirku.

T***t-nya di antaraku.

Pada saat itu aku baru yakin dan yakin.

Ternyata aku lebih suka t***t.

Welcome to Jakarta

Pintu pesawat belum kebuka. Ibu-ibu ber-BB sudah resah menanti sambil menelepon jemputan. Cuek bebek stiker di kursinya mengancam denda dan penjara.

Turun pesawat, kami digiring desak-desakan masuk bus, diturunkan di gudang pembantaian. Jangan-jangan kami mau dijual ke germo Rusia.

Pintu dibuka, berderit.

Oh... ternyata ini bandara internasional Soekarno Hatta.

Welcome to Jakarta.

Beberapa TKI berusaha menyelip. Mau menegur, kasihan. Mereka sudah berjasa bagi bangsa dan negara, biarlah mereka duluan.

Ternyata mereka ikut ke kiri, berlawananan arah dengan panah ke kanan khusus penerbangan lanjutan TKI. Mereka bukan pahlawan devisa. Mereka cuma warga norak yang gak tahu tata krama.

Welcome to Jakarta.


Ngantri taksi panjangnya amat kepalang. Ada sih merk yang gak ngantri, tapi doi minta 150 ribu. Pantesan gak ada yang ngantri.

Terpaksa naik ke area keberangkatan di mana tak boleh nyegat taksi. Asal sambil nyelipin ceban ke polisi, taksi boleh melenggang pergi.

Welcome to Jakarta.

Macet.

Welcome to Jakarta.

Jalan tol tambahan dinaikkan 1 meter dari yang lama. Konon sebagai solusi agar jalan tol gak banjir lagi.

Welcome to Jakarta.

Sebuah billboard besar dihiasi senyum manis Pak Gubernur yang dikiranya akan mendatangkan more turis ke Jakarta. Tebak tulisannya apa?

Exactly.

Minggu, 21 November 2010

you talk too much

Apa tandanya lo mulai tua? You talk too much about the past.

Apa tandanya lo masih muda? You talk too much about your dream.

Apa tandanya lo belum dewasa? You talk too much about you.

Cari Dahulu

Apa yang kita cari dahulu agar semuanya diberikan kepadamu?

Apartemen 7000 dollar dengan view KLCC.

Eksekutif minyak yang setia menamani seumur hidup.

Anak cantik yang bercita-cita jadi dokter.

Anak baik yang minta tas gucci ke sinterklas biar bisa ngasih ke mama.

Pembantu serba bisa yang hobi bersih-bersih.

Tetangga ganteng ber-speedo merah.

Sepupu-sepupu terkenal.

Rambut Ian Kasella tanpa nyalon.

Jalan-jalan sekeluarga ke Afrika Selatan.

Piaraan virtual.

Pagi-pagi melukis bunga.

Sore foto-foto di infinity pool.

Dan hati yang rendah hati.

Bertemu dia, gue mengerti 'carilah dahulu kerajaan Allah, maka semuanya akan diberikan kepadamu' bukan dongeng belaka.

Jumat, 19 November 2010

Dipaksa Kota

Dulu gue gak mau tinggal di Bandung. Enakan Singapur.

Bisa pakai rok tiap hari, berkibar-kibar sepanjang jalan menuju MRT.

Gak perlu macet-macetan. Tinggal naik MRT dan mengkhayal sepanjang jalan. Tau-tau udah nyampe Tanjung Pagar.

Gak perlu takut pulang malam. Taksi siap menemani. Gak ada anak jalanan kelaparan menghadang.

Starbucks tiap hari gak bikin kantong terancam kelaparan.

Singapur, I love you.

Dan gue 'dipaksa' ke Bandung.

Nyetir tiap hari. Gak bisa pake rok. Anak kelaparan di tiap persimpangan. No more kopi impor.

Gue tersiksa sampai gue menyadari karismanya.

Ke mana-mana gak perlu jalan. Ada mobil siap digas.

Kopi gak perlu mahal. Dengan susasana citylight Bandung yang indah dari kejauhan.

Mijet tiap minggu. Disambung roti bakar. Meni pedi bentar. Krimbat. Facial.

Lari pagi di antara pepohonan tua yang menyuplai oksigen segar.

Tidur gak perlu pake AC.

Bandung, abdi bogoh.

Dan gue 'dipaksa' ke Jakarta.

Nyetir 5 jam per hari dengan kecepatan 12 km/jam.

Dilempar pengemis karena cuma ngasih gopek.

Gak bisa buka jendela karena asap knalpot metro mini.

Gak kuat jalan karena bau got.

Pendapatan kecil tapi harus punya 100 ribu sehari. bensin 50. makan 50. Itu pun kalau gak di mall.

Tiap hujan, takut pulang. Takut terjebak 6 jam di jalan.

Walau 6 hari seminggu gue di Jakarta, gue masih gak mau ngaku kalau gue tinggal di Jakarta.

Apa ini hanya sementara sampai gue akhirnya jatuh cinta pada Jakarta?

Jakarta dengan segala carut marutnya, sumber inspirasi setiap hari. Singapur dengan MRT tanpa grafitinya, tidak lagi membuat gue jatuh hati.

Aku ingin jatuh cinta tanpa dipaksa.

Kamis, 18 November 2010

Cowboys In Paradise

Berlin. Korea. Melbourne. Brisbane. Singapur. Poster dihiasi nama negara-negara yang dikunjungi film dokumenter ini.

Tentunya tidak ada Indonesia.

Padahal isinya tentang Indonesia. Bali, tepatnya. Pulau di mana Dewata bersemayam dan Eat Pray Love bercinta. Walau lebih banyak cinta di Bali yang ini, nasibnya tak seberuntung Eat Pray Love. Boro-boro dihadiri mentri, pemutarannya malah dilarang.

Mungkin karena bintangnya bukan Julia Robert. Bintangnya para cowboy Kuta, sebutan kaum borju Denpasar untuk beach boys dari kalangan miskin Bali yang gemar menemani bule-bule kesepian. Entah kenapa dinamakan cowboy, padahal hidupnya tak pernah dekat-dekat sapi. Kecuali sapi kaya.

Mereka bukan gigolo. Mereka hanya menemani yang mereka beneran suka, baik orangnya ataupun hartanya. Tapi mereka gak pernah minta uang. Bule-bule itu yang dengan rela hati membayari sekedar makan, minum, DVD player, sepeda motor, mobil, sampai rumah.

Banyak juga yang diboyong pulang ke negara pacar, membuat para ABG Bali banyak yang bercita-cita jadi cowboys biar bisa diboyong pacar. Padahal mereka tahu banyak yang akhirnya pulang lagi, gak betah tinggal di negara dingin walau udah disekolahin.

Delapan lima menit menonton sisi lain Bali, banyak yang gue pelajari dari para koboi kuta. Tentang bagaimana memikat hati wanita. Ternyata wanita tak butuh muka. Wanita tak butuh harta. Wanita hanya butuh tertawa. Wanita hanya butuh cinta.

Liat saja sales Eat Pray Love.

Sampai film selesai, gue masih belum mengerti kenapa film ini dilarang beredar di Indonesia.

Apakah karena ada istri Indonesia yang bangga suaminya jadi Koboi Kuta?

Apakah karena ada ibu Indonesia yang bercita-cita anaknya 'nemenin' bule?

Apakah karena Bali terlihat menjual sex tourism?

Come on. Ini realita. Anyone with a common sense akan sadar kalau film ini hanya memotret sebagian kecil masyarakat Bali.

Mungkin yang dibutuhkan negara ini bukan Undang-Undang anti Pornografi. Tapi anti Parnografi.

Agar tidak lagi kita membuat keputusan-keputusan berdasarkan pikiran parno para pemimpin kurang nyali.

Agar tidak lagi pemuda Indonesia cita-citanya ngawinin bule biar dibawa keluar dari negaranya.

Agar tidak ada lagi pemuda Indonesia yang harus menemani bule tua karena susah nyari kerja.

Dan ini bukan pekerjaan gampang, dibutuhkan karisma dan kerja keras luar biasa.

Liat aja tampang mereka. Betul-betul butuh karisma.

Hormat untuk koboi kuta.

Singapur Tanpa Kamu

Aku mencari-cari rasa sepi di Singapur tanpa kamu, tapi gak ketemu. Aku malah baik-baik saja, menikmati tawa sahabat dan ramen 13 dollar.

Mungkin memang aku tidak cinta kamu.

Are you happy, Babe? I hope you are. Cause I am.

Singapur tidak lagi sama, dengan atau tanpa kamu. MVRDV dan Rem Koolhaas sudah ikut meramaikan wajah kota. Paul Rudolph jadi terlihat sangat zen karena mereka.

Tapi tangga-tangga transluscent MVRDV tidak mampu membuat gue tersenyum seperti tangga-tangga Paul Rudolph. I still smell you there.

Changi, I still smell you.

Wheelock place, I still smell you.

Esplanade, I still smell you.

Sommerset, I still smell you.

Botanic Garden, I still smell you.

Hawaii, I still smell you.

Damn. Kamu kan gak pernah ke Hawaii. How come I smell you there?

Mungin memang aku cinta kamu.

Senin, 15 November 2010

Tunjangan Kesepian

Datang tak diantar pulang tak dijemput.

Bukan jalangkung si abang jalangkung. Tapi bang gigit si abang tak jangkung, kena tipus ke rumah sakit. Datang ke rumah sakit tak diantar istri karena sibuk kerja. Pulang tak dijemput karena sibuk belanja BH.

Mumpung ada voucher sogo sejuta. Dapet dari mana lagi kalau bukan malak Bang Gigit.

Padahal lima hari Bang Gigit di rumah sakit, tak sehari pun Mama Singa datang menjenguk. Alasannya sibuk/ Bandung jauh/ Biar bang gigit cepat sembuh. Tapi Mama Singa malah minta tunjangan kesepian.

Rp 150 ribu/hari.

Karena Bang Gigit pulang lewat jam 12 siang, diitung nambah jadi 6 hari.

Padahal Mama Singa tiap hari kelayapan bersama teman-teman. Kasihan Bang Gigit sendirian di rumah sakit. Gak sendirian sih. Banyak yang jenguk. Bahkan kadang ada yang salam tempel. Sejuta pula.

Sayang ketahuan Mama Singa. Tunjangan kesepian naik jadi 200 ribu/ hari.

Bang Gigit mencoba menawar. 100 ribu/ hari dehhh.

Jadinya 225 ribu/hari.

Nasib. Nasib. Nasib sudah menjadi bubur. Tak dapat ditarik kembali.

Till death do us apart.

Onrop Nerek

Lo kira gampang bikin musikal?

Emang gak gampang, Mas Bram. Tapi Joko Anwar did it. And it was... something.

I have no idea what musical is, but that Onrop makes me laugh. It shouts some voices I wanna shout. Setelah dua minggu terakhir ini nonton 2 teater yang bikin hampir tertidur, dengan suka rela dan sukacita gue berdiri bertepuk tangan setelah dihibur 2 jam oleh cast n crew Onrop.

Terutama Ario Bayu. He had me at...

“Vaginaaaaaa!”

Setelah gagal mencium para polisi moral, Ario Bayu meneriakkan kata-kata ‘kotor’ agar ditangkap dan dibuang ke pulau Onrop. Pulau Onrop adalah tempat pembuangan orang-orang yang melanggar undang-undang anti onropaksi dan onropgrafi.

Ada Edwina, si sutradara babi.

Ada Sri Mulyana, si mentri yang mending kabur ke luar negeri.

Ada Leila Bukori, si feminis yang gak bisa nulis manis-manis.

Dan sederetan nama-nama mirip orang-orang paling keren se-Jakarta.

The most funny part is, pembukaan program pengusikan pejabat ini ditulis oleh beberapa pejabat yang diusik.

Moral of the story: Jika Indonesia di tahun 2020 nanti memutuskan membungkam semua orang yang dianggap tidak sesuai dengan standar moralnya di sebuah pulau, I know what to tell them.

Vagina.

Sabtu, 13 November 2010

Asuransi

Asuransi jiwa atau Asuransi Sakit Kritis?

Lebih baik lo ambil Asuransi Sakit Kritis. 90% orang metong pasti sakit kritis dulu. Jantung, kanker, darah tinggi, dan 34 daftar akibat gaya hidup warga kota lainnya.

Keburu harta lo abis duluan bayar rumah sakit, baru pas mati lo dapet deh tuh duit asuransi jiwa lo.

Mending kalau mati. Kalau sembuh? Terpaksa lo jual tuh rumah, mobil, anak , istri, dan ternak.

Akhirnya metong dalam penyesalan. Menyesal kenapa dulu gak kuturuti nasehat tante agen asuransi paling berpengaruh di Pomparan Ompu Si Marlinang itu?

Dengan Yaris baru hasil jualan polisnya, kami dijemput untuk ditraktir makan. Tentunya sambil dirayu... eh, diprospek untuk menjadi agen pembaharu berikutnya.

"Apalagi sekarang lo punya tanggungan piaraan satu," sambung tante agen.

Si piaraan yang dimaksud nggak merasa, malah asyik makan bulgogi ganggang sulai. Dikiranya yang dimaksud adalah si Kubus, golden retriever baru di rumah.

Si Kubus gak perlu asuransi karena rajin lari pagi. Tubuhnya langsing tanpa ancaman kanker dan tumor, para sahabat lemak tubuh.

"Lo ambil yang 300 ribu sebulan aja."

Si piaraan gak mau ngambil asuransi, gak seksi.

Pernah Paulo Coelho menolak endorse sebuah program asuransi karena disuruh bilang , "Life is great. but just in case."

Or something like that.

Lebih baik hidup senang-senang, mati alhamdulilah, sakit ya tembak diri. Beres. Atau ikut Sali berobat ke Boyolali. Murah, walau ada sedikit abu merapi menyertai.

Hachiiii!

"Atau lo tawarin aja tuh ke temen-temen film lo. Freelance gitu pasti pada gak punya asuransi kan?"

Temen-temen gue juga pro tembak diri/ Boyolali.

"Kalau gitu lo ambil program warisan. Biar kalau lo tembak diri, keluarga lo gak ditinggal kesusahan."

Si piaraan baru tergoda. Kasihan keluarga kalau ditinggal metong.

Haruskah gue menghindari resiko padahal gue tahu tak ada apa pun di dunia ini yang sangup menghindarkan gue dari resiko? Tak juga polis tante.

Jadi untuk apa susah? Bukan lo yang mengurus keluarga lo. Universe will.

Si piaraan kembali menikmati bulgogi gratisan.

"Apalagi kalau makan lo daging-daging gini terus..."

Jadi males makan. Damn.

Menikmati bulgogi tanpa asuransi jadi masuk daftar dosa bagi keluarga urban.

Apa gue ambil asuransi saja? Toh sebulannya hanya seharga dua BH.

Pilihan lainnya ya mulai sekarang gue harus hidup sehat. Olahraga. Banyak ketawa. Punya pacar. Gak makan daging. Mungkin hidup vegan kaya Portia, Ellen, dan Jason Mraz is not a bad idea after all.

Jadi gue bisa hidup bahagia dan tetap beli BH.

OK. No more daging. Kan banyak makanan enak bukan daging.

Contohnya kedai sebelah, Dairy Queen. Blizzard-nya mengundang selera.

"Dan mengundang jantung koroner!"

Tante agen senyum-senyum penuh kemenangan.

Damn.

Jumat, 12 November 2010

You're an Ant

"Go watch the audiences. It is the best film school you'll ever get," kata Nadia Tass.

Umur 26 doi udah menang 8 Oscar Kangguru termasuk Best Directing. Kalik aja tante ini ada benarnye.

Jadinya today ai paksa diri duduk manis menatap film ai sendiri 5 Menit Lagi Ah Ah Ah bersama none-none Ford Foundation. Baru pertama kali 5 Menit Lagi Ah Ah Ah ditonton outsider, ai sudah ah ah ah menonton.

Trauma pengeditan yang kelamaan.

Jadi gue nonton penonton aja ah.

Ahhh si none bule ini cantik juga rambutnya dicet item.

Fokus!

Liat reaksi mereka.

Ayhhh si none bule ini kok ketawa mulu ya? Emang filmnya semenarik itu?

Setelah film selsai, gue merasa tante Nadia ada benarnya. I learn more about my movie watching them. I know what works and what does not work.

I somehow sense this movie appeals more to bule.

I somehow sense this movie is way too long.

I somehow sense this movie does not work as an anthology. The 3 films are way too different.

But who cares about the movie? Who cares about the director? It is an issue.

None-none gak ngomongin film, apalagi sutradaranya. Mereka heboh ngerumpiin cowo-cowo gak pernah grow up yang menjadikan wanita sumber pendapatan mereka di film ini.

Ke manakah film ini akan dibawa? Siapa saja yang seharusnya menonton film ini? Pemerintah? Aktivis perempuan? Aktivis anak?

Gue cuma duduk di sana, mendengarkan, berusaha mengingat budi baik apa yang pernah gue lakukan di kehidupan sebelumnya sampai gue diperbolehkan menjadi bagian film ini.

Malah teringat sabda Yasmin Ahmad, "If your movie is all about you, then the biggest it can be is you. And you're an ant."

Kenapa semut gendut ini suka sekali menonjolkan diri?

Kamis, 11 November 2010

The Girl Who Was Never Sad

She is either the happiest person in the world or the queen of denial.

I don’t wanna write about her. It makes me feel like the most ungrateful bitch in this world. I’d rather believe that humans are designed to be sad sometimes. Just like me.

“Coba describe sedih itu apa.”
“Unfulfilled passion.”
“Itu kekecewaan.”
“Lo gak sedih kalau kecewa?”
“Ya nggaklah.”

Now stay away from me, you kuntilanak.

What is life without sadness? Saat patah hati, gue seneng bisa nulis. Saat disakiti, gue seneng bisa bikin film. Kalau gak ada kesedihan, ntar gak bisa dapet piala.

“Untung gue bukan filmmaker. Jadi gak butuh sedih,” katanya.

I am glad to be sad.
I am sad to be glad.

Saat kebaktian perjamuan indah bersama keluarga, gue sedih kenapa dia gak bisa jadi keluarga. Saat ngupi-ngupi siang hari bersama another pengangguran ngaku cutradara, gue sedih kenapa gue gak bisa sekeren dia. Saat matahari jam 4 sore menembus kaca mobil dan membuatku merasa lebih cantik, gue sedih kenapa gue gak naik bus dan melewatkan begitu banyak ide cerita berjalan.

Maybe I really am an ungreateful bitch.

It is my punishment for thinking too much about myself.

Ada masa-masa di mana gue gak pernah mendoakan diri gue sendiri dan hanya mendoakan orang lain. Gue merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.

Ada masa-masa di mana gue gak lagi mendoakan orang lain maupun diri sendiri. Isi doa gue hanya berterima kasih atas segalanya, bahkan untuk abu vulkanik dan goncangan air asinnya.

Masa-masa di mana gue percaya disaster and happiness bukan antonim. War and peace juga bukan.

Sweet old days. Ignorance really was a blessing.

Let's go to the next school of life. Where nothing goes right and nothing feels wrong.

Good times, Bad times, give me some of that.

Stranger Than Dangdut

Realita Sunda Kelapa membuat sinetron kita terdengar lebih logis.

Si ibu bergigi nyengsol memandang surat bermaterai dengan curiga.

“Adegan yang diambil cuma adegan salaman, foto bersama, dan dangdutan di panggung,” kata gue berusaha meyakinkan.

Tentunya gue gak bilang...

Adegan salaman: kamera close up ke perut anaknya yang bunting 7 bulan pas kawinan.
Adegan foto bersama: si pengantin bilang suaminya ditangkap polisi.
Adegan dangdutan: si pengantin duduk di kursi tamu sendirian. Pelaminan kosong.

Mungkin si ibu takut karena keluarga si menantu preman toke ikan.

"Mereka gak akan nonton dokumenter ini, Bu. Ini bukan film komersil. Ini film dokumenter tentang bagaimana wanita menyiasati kemiskinan. Paling yang nonton mahasiswa."

Si ibu melemparkan keputusan ke si ayah. Kami mengarungi Sunda Kelapa, menuju pelelangan ikan yang sore-sore masih sepi tapi tetap bau bangkai beribu ikan mati.

Si ayah mencoba menulis tanggal. Kesulitan mengeja 11 November 2010.

Surat ditandatangan. Amplop berisi duit 500 ribu tak jadi gue pindahtangankan.

Sempat berpikir diberikan saja mengingat keluarga mereka sepertinya sedang menyiasati kemiskinan. Gak jadi ngeliat TV layar datar besar yang gak matching sama tuangan tak berkursi itu.

Anak mereka dinikahkan jadi istri kedua toke ikan/ bandar narkoba dengan harapan menunjang karir dangdut anaknya yang baru 18 tahun. Sudah jadi istri, suaminya malah masuk penjara. Keluar penjara, malah ngelarang dangdutan.

Hilanglah penghasilan keluarga.

"Kalau gak ingat dia mantu, udah mau ibu teluh."

Gak peduli si mantu turunan Banten. Gue juga turunan Bugis. Mau apa lo?

"Semoga sukses, Bu," kata gue basa-basi mengakhiri pertemuan. Menirukan gaya salah satu executive creative director yang pernah mewawancara gue. I didn't get the job.

Gue masuk mobil dan menghidupkan AC, mengusir jauh-jauh bau sengit Sunda Kelapa dari hidup gue. Dettol menghilangkan jejak-jejak kuman Sunda Kelapa dari tangan gua. Kembali ke dunia middle class gue di mana revolusi selalu dimulai mengatasnamakan mereka.

But the memory remains. Bisakah gue bahagia tahu ada bagian Jakarta yang harus mendorong gerobak air sejauh 2 km untuk mandi? Bisakah gue bahagia tahu ada bagian Jakarta di mana semua anak di atas 2 tahun hapal lirik Keong Racun?

"Welcome to the real world," kata Ucu.

Selamat tinggal dunia di mana yang penting adalah IP dan kartu nama.

Sepertinya Ucu has no problem being happy, padahal dia udah ngeliat lebih banyak manusia. Tak hanya Sunda Kelapa.

All is vanity and striving after wind. What else can we do but being happy in this fiction we called reality?

Gue baru menyadari kenapa dangdut begitu merajai Sunda Kelapa. Karena hanya dangdut yang liriknya nestapa, tapi musiknya gembira.

Karena hanya dengan dangdut, mereka bisa menangis sambil tertawa.

a, b

“Lo suka gak ama gue?”

“Lo mau yang jujur atau yang boong?”

“Yang menyenangkan didengar.”

“Gimana gue bisa tahu?”

“Take risk. Jadi ?”

a. Suka banget.
b. Suka banget. Kalau lo suka gue.

“Kenapa lo suka ama gue?”

a. Emang bisa tahu ya?
b. Karena lo suka ama gue. Or I thought so.

“Lo mau nyium gue?”

a. Yes.
b. Mau kalau lo mau.

“Will you love me forever?”

a. If I don’t find anyone better.
b. Huahahahhahaaha. You're funny.

“Kenapa sih semua orang ada maksud ?”

a. Cause you are fucking beautiful.
b. Cause we are human.

"Do you think I'm beautiful?"

a. You're beautiful.
b. Huahahahhahaaha. You're funny.

“Why can’t we just be friends?”

a. Cause you are fucking beautiful.
b. Cause we are human.

“Do you wanna be more than friends?”

a. Yes.
b. Yes.

“Then I can’t see you anymore.”

"Is this what I get for taking the risk?"

"I only hear what I want to hear."

“That's ok. I’ll turn you into a movie.”

Silent.

“I hate you.”

“I love you too.”

Obama, Koil, and European Union.

Hari ini mereka bertiga berusaha menyemangati gue untuk berkarya bagi Indonesia.

Indonesia adalah bagian diri saya.

Entah politis entah tulus, yang pasti kata-kata Obama membuat banyak manusia Indonesia bangga.

Indonesia juga bagian diri saya, Mister. Sebagian diri saya berteriak menyesal. Dan sebagian lagi berusaha bersyukur.

Kita orang pintar dengan otak bersinar
Hanya butuh semangat untuk hidupi rakyat


Ah Otong. Ternyata tak hanya rambutmu yang bersinar. Otakmu juga. Membuatku jatuh hati.

Sayangnya hidup tak semudah menyanyi. Sulit merasa bersinar ketika berkali kali dirimu disebut third world country oleh mas-mas European Union ini.

Mereka akan bantuin kita, para penduduk third world country, dengan memberikan dana film financing total 15 juta euro per tahun.

Kenapa?

Karena kita orang pintar dengan otak bersinar. Siap diekspor untuk memajukan negara mereka.

vanity

Produser terkenal itu memberi gue kartu nama.

She knows my name.

I was happy.

I was always a straight A student. This part of me was always glad to get approval from the teachers.

I am so ashamed of myself.

Temen gue cantik. Temen gue ganteng.

He knows my name.

Cipika-cipiki.

I was happy.

I was a nerd. This part of me was always glad to hang out with the populars.

I am so ashamed of myself.

Why do I make movies?

She wanted to make a movie simply for 2 audiences: her parents. Yet it touched so many hearts.

He wanted to make a movie to distract people. He created characters whom people cannot relate so we won’t see into oursevelves all the time.

Why do I make movies?

The fame. The fortune. The feeling of doing something for others.

All is vanity and striving after wind.

Even making movie just for the sake of me is vanity and striving after wind.

Oh shut up and do it.

Domba-Domba Tersesat

Gereja.

Di ruangan ini gue biasa mendengar pendeta bersabda hanya Yesus satu-satunya jalan.

Di ruangan ini gue biasa mendengar putuskan pacarmu yang beda agama.

Di ruangan ini gue biasa mendengar selamatkanlah domba-domba yang tersesat.

Hari ini ruangan megah berlangit-langit tinggi ini dipenuhi dialog Cina dan Annisa. Mereka meneriakkan pertanyaan-pertanyaan yang gak pernah berani gue tanyakan dengan mulut gue sendiri.

Rencananya film ini tidak diputar di dalam gereja tetapi di ruangan kecil belakang gereja, tempat biasa para pemuda mendalami alkitab setiap hari Sabtu. Ternyata yang dateng banyak sekali.

Mungkin karena filmnya tenar. Mungkin karena murid-murid Mak Gondut terancam dapet E kalau gak nonton. Mungkin juga karena Tuhan sedang jahil.

Gue bikin film ini karena gereja tidak memberi ruang untuk gue bertanya mengapa kita diciptakan beda-beda kalau Tuhan hanya ingin disembah dengan satu cara.

Dan hari ini gue dikasih ruang.

The big one.

Gue berdiri di depan gereja, bercerita betapa hebatnya Tuhan yang kita sembah dengan berbagai nama dan dengan berbagai cara.

Seekor domba tersesat berdiri di samping gue sambil tertawa-tawa.

Di belakang sana another domba tersesat berjilbab menonton.

And I thank God, knowing I have no need to save them.

A Healthy Suicide

Hari ini gue mau bunuh diri. Bunuh diri in a healthy way.

Writing.

Sayangnya bunuh diri gue membosankan. Terutama karena karakternya utama ceritanya membingungkan. Dramanya gak jelas. Malu-malu. She is not interesting enough.

Berhubung script ini cerita personal gue, I learn something today about myself.

Gue membingungkan. Gue gak jelas. Gue malu-malu. I am not interesting enough.

Ingin ngotot bertahan dengan visiku sebagai sutradara muda, tapi hati kecilku bekata dia benar juga. She really is not interesting enough.

I really am not interesting enough.

Ouch.

Sekarang gue mengerti kenapa dia gak pernah bikin cerita personal. Lebih mudah bunuh diri daripada menulis jujur.

Gue berusaha mengubah karakter utama, tapi sulit menulis karakter utama yang lebih interesting sementara gue sendiri gak interesting.

Karenanya gue membuat karakter utama yang super lame. That I can do.

Anehnya, my script gets to be more interesting.

Selain lame, ternyata gue juga rempong. Gak rela membunuh all the little darlings dan memilih satu tema saja agar fokus, gue malah bikin 2 film.

1 Resign Club
2 Demi Ucok

Karakternya sama. Sama-sama komedi. Sama-sama tentang pencarian jati diri.

Yang pertama tentang passion. Yang ke dua tentang sexuality.

Lumayan booo jadi dua film. Jadi kita bisa cut ongkos pre produksi untuk produksi film ke dua kita.

Dan dua-duanya tetap personal.

Dua-duanya tetap bunuh diri.

Bunuh diri berkali-kali. Seperti Alain de Botton. Satu-satunya cara biar dia bisa nulis jujur adalah menganggap ini adalah cerita terakhirnya. Habis ini, either he is dead or his career is dead.

And you know what the scary part is?

Ternyata doi gak mati-mati juga.

Social Network

I learn more about promo and marketing watching Social Network.

Keep it simple. Keep it cool. Listen to what your audience want.

I learn more about self pride watching Social Network.

No name card. No time impressing others. Just do it and get your 250 billion.

I learn more about myself watching social network.

I will definitely choose Sean Parker over Eduardo. I will definitely choose achievement over friendship.

I will definitely be antisocial to create the largest social network in the world.


Damn.

I am scared of myself watching social network.

God, I don’t need 250 billion dollars.

I don't mind 1 billion only if I still get to keep Eduardo.

Seni

Hari ini pertama kalinya gue menonton sebuah pertunjukan teater di komunitas seni terkenal di Jakarta.

Pengen tertidur, rugi udah bayar 100 ribu. Pengen nonton, tak tahan ingin memaki.

“Give me back my 100ribu!”

Not my 100 ribu. Gue dibayarin Bang Ucok. So it’s not mine to ask.

“Give him back his 200 ribu!”

Gak bisa. Pertunjukan sudah usai. Tirai sudah turun.

Wait. No tirai di teater ini. Maklum teater dadakan di gedung serba guna.

You shut up sajalah. Masih untung ada teater. Namanya juga seni di negara berkembang.

Penyuluhan AIDS campur sinetron ini menyebut diri seni?

Gue gak ngerti apa itu seni. Tapi kalau teater inilah yang kita sebut seni,
seni menjadi kehilangan kuasa menarik simpati.

Seni itu membosankan.

Seni itu tidak bisa kupahami.

Seni itu eksklusif, hanya untuk kita yang berbudaya dan pintar.

Adakah seni untuk masyarakat bodoh sepertiku?

Aku butuh seni yang tidak sombong. Seni yang bisa membuatku tertawa. Seni yang membuatku merasa.

I need my Little Miss Sunshine.

Seni, kalau kita masih tinggi hati dan tidak mau mendengar mereka, hanya sibuk mendengar apa yang bagus di kita kita kita dan Eropa, lama-lama kita akan semakin tidak berseni.

Aku kangen karismamu, Seni.

The Day I Stop Trying

There are so many interesting people here.

A 21 year old with an Oscar.
A 30 year old with a Sundance grand jury prize.
A first time filmmaker competing for the best movie with his USD 2000 feature.
A 26 year old with 23 international awards.

This nerd inside me thinks I will look more interesting if I hang out with them.

But it doesn’t work. They are still cool. They do not mind hanging out with me. And I am still a nerd.

So I stop trying to be interesting and start to be interested in them. Not a hard job to do.

Suddenly I became more interesting.

then I wanna be me

If Ellen de Generes had to be gay to be somebody like herself, then I wanna be gay.

If Yasmin Ahmad had to be a woman to be somebody like herself, then I wanna be a woman.

If Paulo Coelho had to give himself to the devil to be somebody like himself, then I wanna give myself to the devil.

Even Your perfect Rick Warren will never take anyone who have never had a major breakdown in their life cause they will be more judgemental and have no simpathy toward us, the sinners.

You’ve got to fall apart and put it back together again.

If I have to be me to be somebody like them, then I wanna be me.

Don't See Me

Don’t see me

You will see all lies

A hopeless attempt to impress you

Knowing the moment I stop trying

Is probably the moment I get you

Or the moment I lose you

But that’s ok

Cause the moment I stop trying

At least I won’t lose myself

Minggu, 31 Oktober 2010

I see God in you.

I see God in you.

Bencana

Save Mentawai.

Save Merapi.

Save Jiffest.

Begitu banyak yang harus dipedulikan, dan gue malah mikirin lo.

Selfish. No empathy. Weak.


I only cry for myself.

Tapi toh wakil mereka saja tak peduli. Itu salah mereka sendiri, siapa suruh tinggal di pulau. Lebih baik kita jalan-jalan ke Yunani, studi banding bagaimana membangkrutkan negeri.

I don't wanna be like him. I wanna care more about my people.

Not Selfish. More empathy. Not Weak.

Tapi kamu melintas lagi. Dan aku egois lagi.

Benarkah ini cinta ketika itu membuatku tak memikirkan sesama?

Bencana sesungguhnya adalah ketika saudara-saudaramu menderita, dan kamu malah mikirin dia.

Hhhh...

Sabtu, 30 Oktober 2010

singing sanctuary

Ketika rumah Tuhan tidak lagi memberi ruang untuk bertanya, mereka beralih ke ruang karaoke.

Dia bernyanyi dan tertawa, meminjam kata-kata josh groban untuk mengungkapkan perih di hati.

Tell me his name
I want to know
The way he looks
And where you go
I need to see his face
I need to understand
Why you and I came to an end


It really was a him. And he wanna know his name.

I let you go
I let you fly
Why do I keep on asking why
I let you go
Now that I found
A way to keep somehow
More than a broken vow


Dia bernyanyi. Kami terdiam. Patah hatinya menyesakkan ruangan.

I close my eyes
And dream of you and I
And then I realize
There's more to love than only bitterness and lies
I close my eyes


Thank God it's over. His voice is just too divine. His bitterness is just too contagious.

Next.

A traffic jam, when you're already late
A "No smoking" sign, on your cigarette break
It's like ten thousand spoons, when all you need is a knife
It's meeting the man of my dreams, and then meeting his beautiful wife


But she change the last word to husband.

Next.

If we could share our time
Would I disappoint your fantasies
I believe that you could be the one I'm needing
'cause I'm only lonely on the inside


I feel you. I feel you. But that happy puppy is still smiling happily.

Hei happy puppy, can't you see how sad he is?

Next.

You've got the music in you
Don't let go
You've got the music in you
One dance left
This world is gonna pull through
Don't give up
You've got a reason to live
Can't forget
We only get what we give


We are a generation who gets philosophy in a pop song. Sing, babe! Just sing!

This whole damn world can fall apart
You'll be ok, follow your heart
You're in harms way I'm right behind
Now say you're mine


You've got the music in you.

Health insurance rip off lying
FDA big bankers buying
Fake computer crashes dining
Cloning while they're multiplying
Fashion shoots with Beck and Hanson
Courtney love and Marilyn Manson
You're all fakes
Run to your mansions
Come around
We'll kick your ass in


This room is our sanctuary. New Radicals, Hootie and The Blowfish, Lady Gaga, Alanis, and Melinda are the new Isaiahs.

Life has a funny way of sneaking up on you
And life has a funny, funny way, of helping you out
Helping you out


Amen.

Rabu, 27 Oktober 2010

Me After cin(T)a

"Did the movie change you?" tanya salah seorang penanya.

"Yes," jawab gue singkat tanpa berusaha menjelaskan 9W 1H kronologis perubahan yang dibawa cin(T)a pada hidup gue.

If you can see me before and after, lo akan bisa melihat betapa gue agak cakepan. Kulit lebih bersinar dan alis lebih rapi. Tak ada lagi sisa-sisa amarah dan dendam yang memotivasi gue membuat cin(T)a dan membuat kulit wajahku kusam dan pori-pori melebar. Tentu saja ditambah bantuan Erha dan Dina Dellyana.

If you can see me before and after, lo akan bisa merasakan betapa gue tambah bodoh. Tidak ada lagi anak yang know it all, had it all, hate it all. Sekarang gue semakin sadar gue gak tahu apa-apa.

If you can see me before and after, lo akan lihat betapa gue tak lagi lihai berbicara. Tidak ada lagi jawaban-jawaban diplomatis berbalut gula-gula yang diharapkan menyenangkan semua orang dan menghindarkan diri gue dari serangan massa.

"Do you think people from other religion will go tho heaven?"

Yes. At least the Jew, please. I wanna see Jesus .


"Do you think people can marry someone from other religion?" tanya another penanya.

Gue terdiam sebentar. Teringat orang-orang yang gue temui hari ini.

Another sutradara. Emaknya Cina. Bapaknya Jew. Anaknya gak telihat Cina atau Jew.

Supir taksi. Bapaknya Mormon. Emaknya Catholic Filipino. Anaknya kaya Latino.

Si programmer. Bapaknya Vietnam. Emaknya Amerika. Anaknya Hawaiian.

Kalau kita gak boleh menikah beda agama, hari gue tak akan dipenuhi tawa mereka. Apa kujawab diplomatis saja? Agar jenis-jenis mereka tetap diciptakan, tapi gue terhindar dari hujatan massa karena diangap mendukung pernikahan beda agama.

Sayangnya gue teringat Darius yang bukan raja. Sutradara muda yang gue temui hari ini. Emaknya Muslim Iran. Bapaknya Agnostic American.

Namanya raja. Badannya dewa. Hatinya malaikat.

How can I be diplomatic knowing that Darius exists?

All is vanity and striving after wind. What else can we do on this Earth but be joyful and pursue happiness in this lot that was given to us?

Mulai hari itu, gue tidak lagi diplomatis.

"Yes. Go ahead and marry anyone you feel connected to."

Listen To Your Gut

I know there's something in the wake of Your smile
I get a notion from the look in Your eyes
You've built a love but that love falls apart
Your little piece of heaven turns too dark

Listen to your Gut
when He's calling for you
Listen to your Gut
there's nothing else you can do
You don't know where you're going
and you don't know why
but listen to your gut
before you tell Him...

Sometimes you wonder if this fight is worthwhile
The precious moments are all lost in the tide
They're swept away and nothing is what it seems
the feeling of belonging to your dreams

And there are voices
that want to be heard
So much to mention
but you can't find the words
The scent of magic
the beauty that's been
when love was wilder than the wind

How can you listen when you never shut up?

Be Still and know that I am Gut.

Senin, 25 Oktober 2010

The Girl Who Was Never Horny

Dia 26. Gak pernah masturbasi. Gak pernah ML. Gak pernah suka ciuman.

She makes me feel like the biggest pervert on earth. I need raw meat, not like the one this Sushi Tei feed us.

No! He is the biggest pervert. Compared to him, aku hanya seekor perawan gendut yang pengalaman masturbasinya hanya sebatas guling.

Him? Kalau ke kosan dia, sedia dettol sebelum pulang. It’s a crime scene, a witness to his sex life. Jangan menyentuh barang apa pun. Terutama gunting.

Dia harus packing buat ke Kalimantan malam ini, meninggalkan gue and the never horny girl. Gue pengen nganterin ke airport karena belum puas supply cerita-cerita birahi. Apa daya Tomang sudah berubah menjadi samudera, mobil-mobil pun berlabuh frustasi di depan Central Park. Tak terlihat tanda-tanda melaju. Akhirnya aku harus cukup puas dihibur dengan SMS-SMS nakalnya.

Gue terjebak di apartemen The Never Horny Girl.

Haruskah gue nginep di sini? Takut pinjem gulingnya setelah mengumbar cerita cintaku dengan guling.

“Lo gak akan masturbasi depan gue kan?” kata dia sambil melempar guling.

Gue gak jawab, pura-pura terhanyut dengan SMS-SMS dari Kalimantan yang masih tetap nakal.

Him: “Lo gak diapa-apain kan nginep di tempat dia?”

Me in her biggest T-shirt and her basket short who looks more like tights on me. Really not a perfect lesbian scene.

Me: “Pengen gue apa-apain sih. Tapi sayang ah. Mending gue piara jadi temen.”

Ntar siapa lagi yang bayarin gue sushi tei?

Him: “Ih gue kirain lo yang bakal dimangsa. Doi kan bilang ga horny ama cowo. Ga bilang gak horny ama cewe.”

Me: “Hahahaha lo percaya gak tuh ama dia? Masa sih ada orang gak pernah horny?”

Him: “Gue percaya ada banyak possibilities. Tapi berhubung gue suka sex, gue gak kebayang ada orang yang gak pernah horny.”

She’s a saint./ She lies./She’s a lesbian.

Me: “Huahahaha. I can’t believe I am taking sex advice from you.”

Him: “Instictively kok. Paling gue cuma bisa bantu cari lokasi potensial doang.”

A toilet? A classroom? A hotel room? An empty apartment?

Enough sex talk for today. Not when I spent a night with a girl who watches Nat Geo and thinks everyone will go to heaven. I actually still listen to what she said at 2am, just the way I did 15 hours before.

Gue tidur di sofa. Menghindari kemungkinan-kemungkinan terburuk. No more free sushi tei.

Saat matahari mulai mengintip, saat Samudera Tomang tak lagi pasang, aku mulai berlayar dengan mobilku, kembali ke Rawamangun.

Apa daya mobilku dihalangi mobil lain yang parkir sembarangan. From some hundred cars in this parking lot, kenapa harus mobil gue yang dihalangi?

Oh God. Is this a sign? Masa gue harus balik ke atas lagi? Kasian doi lagi tidur.

So I sit there alone in my car, waiting. Listening to nothing but silence. Smelling nothing but her smell.

Sniff sniff.

Oh no. It’s me.

Now I smell like her.

Damn.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Walking in M*mbhis

Tuhan, hari ini gue mau ML.

But before that, let’s have a look of some Abbas Kiarostami first.

Juliestte Binoche was driving.

You are on top of me. Or should I get on top?

Juliette Binoche ordered a coffee.

Mending lampunya diidupin atau nggak ya? Aduh malu badan gue ndut. Tapi kan gue pengen liat badan lo.

Juliette Binoche put her earings on.

Apa mandi dulu ya? Males banget ngejilatin badan lo kalau keringetan.

Juliette Binoche do whatever.

What are you doing? He is not a sex object.

No more Juliette Binoche. I was opening up your button one by one cause I like your blue shirt. That looks nice on you. But I’ll rip your white T shirt.

It’s your punishment for having an irresistable torso.

Credit title.

What? Is it over?

“What did you see?” tanya seorang teman di luar bioskop.

Damn. I don’t remember.

He looked at me sharp. Gossip alert is on.

“I met this guy. He gave me his number.“

He replied with a very kinky ooohhh.

“He’s kinda cute.”

A more kinky oooohhh.

“ Should I enjoy myself or should I be a good girl?”

No more kinky oooohhh.

“I think you should just chill out.”

“Chill out?”

“Yeah, take it easy.”

5 nights in Waikiki. A room all by myself. Nobody knows me. A perfect pause from my life. What happens in Hawaii stays in Hawaii.

And there he is. My Hawaiian fantasy. His eyes seem hurt, but who cares about eyes when you have a torso like his?

Monyet. Harusnya gue bilang iya aja kemaren pas dia ngajakin jalan. Daripada pura-pura ada acara, padahal gue balik ke kamar sendirian. Jadinya sesi Abbas Kiarostami gue gak dihantui nafsu-nafsu gentayangan.

He said, “My x girlfriend is Malaysian.”

I heard, “I might not be able to tell the difference between Indonesian and Malaysian, but you will not hate me cause you are actually my type. ”

He asked, “Are you Christian?”

Man! I am tonight.

No. Not tonight. Let’s make it tomorrow night. Malam ini gue mau pura-pura ada acara, pulang ke kamar hotel, checking at myself naked in the mirror.

Ok. Fat here and there . But I can still hope you will find me semok instead.

Check baby check celana dalam. Shoot! Tuh kan! Ada yang bolong. Untung tadi gue gak bilang iya.

Goodbye, bolong panties. You feel good on me but I need to have another kind of good on me.

I put another undewear on. Great. No bulu-bulu liar nyembul from it. Perfecto.

BH, checked.

Ketek, checked.

Hati nurani... checked?

I stand here, naked, looking at myself in the mirror, knowing I am about to make the biggest mistake in my life.

Tuhan, can he be my biggest mistake, please?

Kamis, 14 Oktober 2010

Curhat-Curhat Hujan

Jakarta di kala hujan. More macet-macetan. More time memandang hujan. More time curhat-curhatan.

Jakarta di kala hujan telah menjadi ajang bongkar muatan hati beberapa manusia yang terjebak berdua di mobil hitamku.

Seorang istri yang hampir diceraikan suami karena digosipin threesome lesbian.

Seorang feminis yang menolak menikah.

Seorang hetero gagal yang ditinggal berondongnya.

Episode hari ini: seorang homo patah hati. Sahabat gue sendiri.

Gue baru sadar. Ternyata gue buta. Semua bukti sudah mengarahkan kalau dia homo tapi gue gak pernah percaya.

"Kan orang-orang udah bilang ama lo. Kenapa lo harus nanya lagi?" jawab dia lemah setelah dua kali gue menanyakan dia homo atau nggak.

Orang-orang yang bilang lo homo menganggap semua orang homo. Bahkan Bung Hatta dan Tan Malaka pun homo.

"Gue pernah tinggal dua tahun di apartemen dia."

Gue baru sadar ternyata gue buta dan tuli.

"Itil! Dia bilang dia top. Top my ass. Gue ewe juga dia ngelenguh keenakan."

I always thought that he is a little boy who knows nothing about the world. He had me at ewe: I am the little boy who knows nothing about the world.

He asks me to Adam Lambert concert and I still think he's straight. Bahkan orang buta tuli pun akan sadar dia gay. I guess I am not a very good observer after all.

"Gue gak bisa ngaceng ama cewe. Udah gue tepuk-tepuk gak bisa," katanya.

"Even ama dia?" kata gue menunjuk seorang cewe berbibir seksi di layar HP-nya.

Dia menggeleng, mengakhiri semua hipotesis gue kalau kita semua basically bisexual. Gue memulai hipotesis baru. Mungkinkah ini akibat nurture, not nature?

"Gue udah tahu gue gay sejak gue umur 7 tahun," katanya disambung cerita tentang pegawai toko mamanya. Mamanya menyuruh dia menggendong anaknya ke lantai dua.

Lelaki berdada bidang, berkeringat, dan bertelanjang dada.

Right in his arm, he knew he was gay.

Damn. I woulda been gay myself.

"Kok lo gak pernah bilang ama gue?" kata gue sedih. Terbayang hari-hari dia menghadapi patah hati sendirian. I might not be a good observer, but I can try to be a good listener.

Senyum tidak lagi menghiasi wajahnya. Dia gak masalah kalau orang-orang tahu. Dia mau aja disuruh jalan-jalan parade pake spandex gay pride. Tapi banci-banci ini mulutnya kejam. Dia nggak pengen emaknya sampai tahu.

Mama gak akan marah. Mama gak akan menghujat. Gak akan mengutuki.

Tapi mama akan sedih.

And he cannot stand a life making his mom sad. It's his Dad's part, not his.

"Lo gak usah jadi gay deh. Gak enak banget di Indonesia."

You are the second one telling me never to be gay. The other one is a UK citizen. Not Indonesian. Tetep aja nggak enak.

Mama-mama di mana pun kalian berada, your children have a heart. And they beat
faster when another heart gets closer to them.

Can you tell their heart to beat faster to someone else?

Demi Ucok - Cause Butet is forbidden

Drama pencarian produser belum berganti babak. Ibarat mencari jarum di jerami. Mencari lelaki Batak keren tak beristri. Mencari babi hidup di sarang Batak. Seni mencari produser dibutuhkan kesabaran tingkat Dalai yang sangat Lama.

Muda. Berkulit gelap. Dan berdada bidang. Tampaknya spesies produser jenis ini sudah keburu beristri atau bersuami. Atau keburu maen film. Akhirnya gue melebarkan kriteria gue.

Muda. Satu visi. Dan berpengalaman.

Untung gue datang ke party ini. Tadinya dah males. Seorang homo baik hati mengenalkan gue padanya.

She seems like all I need.

Muda. Satu visi. Dan berpengalaman.

Dan lesbi. Even more perfect for the movie?

We decided to meet. I just realized she is the first Indonesian lesbian I have dinner with. Temen lesbi gue biasanya Amerika atau Belgia. It is weird and exciting to see how she is just like other girls I know.

“Jadi lo nyarinya Ucok atau Butet? “ tanya doi.

“We’ll see by the end of the movie,” jawab gue pura-pura nggak ngeh dia lesbi. It is better to wait till dia bilang sendiri.

Salah satu keuntungan bikin film dengan ending ambigu adalah lo bisa mendapatkan banyak feedback. Di awal cin(T)a, gue sangat resah dengan segala macam ke-Tuhanan yang Maha-maha. After cin(T)a, I don’t get the answer but somehow it’s enough. Gue gak marah dan penasaran lagi ama Tuhan.

Sekarang gue penasaran ama gay.

I do not want Demi Ucok to be a gay movie. It is a movie about a mother and a daughter. A daughter who will never be a lesbian because all girls will end up like her mom when they're old. Rese.

But what if she gets to be friends with her Mom in the end?

I smell a sequel. Demi Niki?

Now that will sound like a gay movie.

Or not. Cause Niki can be both .

Can you really love both? Are we all basically bisexual? Is it genetic? Is it love or lust? Is it a matter of choice that we become hetero or homo?

“Emang lo bisa milih ya?” kata dia sebelum keluar mobil gue.

“We’ll see by the end of the movie,” jawab gue diplomatis tas tis tiis.

So I need to make this movie immideately so I can move on to my next episode.

Demi Ucok - Cause Butet is forbidden.

Is it?

Hula-Hula Dalam Pelahu

Hawaii, E Komo Mai!

Gue solak-solak belgembira melihat visa Amelika multiple ently 5 tahun. Tinggal menanti hali aku mendatangi pulau di mana lelaki belkulit gelap dan beldada bidang tumbuh subul di mana-mana. Rrrrrrrrrrrr.

Telbayang gue menali hula-hula dalam pelahu belsama lelaki-lelaki belbulu.

Hula-hula telusik ketika teldengal solak-solak belgembila di belakang sana.

Horrrrrrrrrrrreeeeeeeee!!!

Mak Gondut. Bahagiakah dia anaknya pergi ke Hawaii?

Ternyata bergembira karena membayangkan Sheraton Waikiki gratisan. Mak Gondut pengen ikutan.

Gue gak jadi sorak-sorak bergembira.

Hilang sudah harapan menatap matahari terbenam bersama lelaki berdada bidang. Free flow Stella Artois. Party all night long. Ranjang besar all by myself.

Digantikan sosok Mak Gondut berkubang di balik selimut.

“Matiin dulu matahari itu. Mau tidur mami. Udah jam 8.”

Seperti terakhir kali gue ke festival film. Bangkok.

Gue ngajak Papi ikutan karena papi juga ada perlu di Bangkok. Ternyata Mak Gondut merasa diajak. Bertiga kami berangkat ke bandara walaupun jalurnya berbeda. Gue dan Papi air asia, Mak Gondut naik kelas bisnis Thai Airways. Beda kasta.

Untung semesta mengkonspirasi menyelamatkan gue dari kemaluan akut ke festival ditemani emak-emak cerewet. Mak Gondut lupa bawa paspor. Gak boleh terbang. Huahahahhahahha.

Tapi semesta tak kuat lama-lama menghalangi Mak Gondut. Dua hari kemudian sepulang dari festival film, gue sudah menemukan bongkahan baru di selimut kamar hotel gue.

Mak Gondut.

Gue gak mau my festival experience direpotin emak-emak menopause yang haus tiap setengah jam.

Tapi mungkin begitu pun Mak Gondut pada saat gue kecil. Gue kecil sangat rese dan menyusahkan. Tentunya Mak Gondut juga males bawa-bawa gue, tapi tetap saja gue dibawa-bawa.

Masa sekarang gue males direpotin dia?

Terpaksa gue cari tiket Jakarta – Hawaii untuk tambahan dua orang. Sambil tari hujan semoga tiket Jakarta-Hawaii tiba-tiba mahal.

USD 2000 per orang=D

Mak Gondut gak jadi ikutan. Tapi perjuangan ini belum selesai. Semoga di hari ke dua nanti tidak ada buntelan tiba-tiba muncul di kamar hotelku.

At least I have two days before disaster came. Ayo lelaki-lelaki belbulu, mali hula-hula dalam pelahu. Kalau sampai Mak Gondut datang, kita pula-pula saja tidak tahu.

Hawaii, E Komo Mai!

Rabu, 13 Oktober 2010

Film Pertamaku

Layar besar di tengah-tengah lapangan basket.
Sound system gratisan dari perusahaan rokok.
Mahasiswa-mahasiswa duduk di tanah, mengisi liburan.
Menonton film yang baru jadi setengah jam sebelum pemutaran.

Gue di sana di antara penonton, menyaksikan film pertama gue.
Penonton bertepuk tangan di antara lirih lagu Silent Sun mengakhiri film.
"Gambarnya bagus," kata mas-mas pacaran di sebelah gue pada kekasihnya.
Langsung terdiam setelah salah seorang teman berlari memeluk gue sambil menyelamati.

Ternyata yang di sebelah tadi yang bikin filmnya. Untung gak ngomongin yang jelek-jelek.

"Abis nonton film lo, gue udah gak konsen lagi nonton film lain," kata teman lain.

Gue euphoria.

6 tahun kemudian, gue nonton lagi dan menyadari betapa cupunya filmku. Tempo acak-acakan. Logika berantakan. Tapi euphoria itu belum juga hilang. Euphoria itu terus menggoda. How can you live another life knowing the ecstasy of moviemaking?

Gue resign dan bikin film. The best choice I ever made.

Apa yang membuat gue euphoria? Bukan tepuk tangan dan bukan pujian.

The silence.

The absence of comments.

Keheningan di sebuah lapangan basket yang tadinya hiruk pikuk. Only a few second of silence. It was enough to change my life.

I had no idea what movie is. I had no idea what a screenplay is. I didn't bother to find out what imaginary line was. But I knew I wanted to spend my lifetime telling stories.

Karenanya hari ini gue mengubah kurikulum mengajar gue. No more rule of third. No more script. No more scene analysis.

Go grab your camera and feel the silence, kid.

Your silence.

If you can have it, then I will have no more things to teach.

Welcome to the world of filmmaking.

"Moviemaking! Film ya harus pake film!!!"

Yeah. Whatever. Only those who never felt the silence would give a damn.

Kado Untuk Kak Ria

Gue menelusuri sebuah mall yang mengaku terbesar di Asia Tenggara. Nothing in this supermall worth giving.

What should you give to someone who has everything?

No. She doesn’t have everything. She doesn’t have a baby after 10 years of marriage.

But she still smiles like she has everything.

Mungkin gue sebaiknya ke Raffles Hospital, beli satu voucher IVF untuk dia. But I don’t have 100 juta.

So I came there with nothing .

“Happy birthday, Kak Ria.”

And she still smiles like she has everything.

Sampah Otak

14 days without writing.

I have so many things to write. But this fear keeps shouting: "You are not Oscar Wilde. We don't need your crap."

Padahal semakin gue gak nulis, semakin bertumpuk sampah di otak ini. Sampah yang gak dibuang sehari aja sudah siap diincar tikus-tikus lapar untuk digerogoti, apalagi pikiranku: the home of my lonely restless soul.

No wonder 2 minggu ini gue dihantui keinginan-keinginan tak sampai. Cinta tak sampai. Film tak sampai. Sampai nyetir pun tak sampai-sampai karena Jakarta semakin hari semakin merayap. Solusi si kumis hanya menaikkan tarif parkir 5 kali lipat tanpa menghadiahi kami MRT.

Andaikan mereka baca kaskus. Infrastruktur transportasi se-Jakarta dapat diperbaiki seandainya mereka gak jadi membangun gedung baru yang melengkung indah dan katanya akan menaikkan gengsi negara kita di mata dunia.

Untuk apa menaikkan gengsi di mata dunia kalau kalian tak lagi dihormati rakyat sendiri?

Andai saja kalian baca kaskus, mungkin gak akan bikin gedung melengkung. Gak perlu juga study banding jauh-jauh ke Afrika Selatan. Just google it, and the world is yours.

But you just don't care, do you?

Spechless.

Rakyat kaya apa yang memilih mereka jadi wakilnya?

Rakyat kaya gua tentunya. Yang kalau sampai kepilih jadi legislatif pun mungkin akan tergoda jalan-jalan ke Afrika.

Enough blaming others. Let's blame me. Happiness is in me, right? Change me and the world will change with me. Mungkin ini cuma pengaruh sampah otak yang tak dibersihkan 2 minggu. Membuat gue lebih sensitif. Lebih curiga.

Gue ingin berpikir positif. Kaya Jason Mraz.

Beusaha berpikir positif terus menerus membuat gue semakin negatif.

Jason Mraz tinggal di negara yang pemimpinnya ngurusin warganya (walau bikin sengsara negara lain) Tak heran Jason bisa nyanyi-nyanyi bahagia dan bersenandung indahnya dunia. Kapolrinya gak terang-terangan mendukung ormas barbar untuk menertibkan rakyatnya.

Who do you think we are, Mister?

I need to blame someone. I need to justify this confusion.

Or maybe I just need to write. Write like nobody reading. Write and write. Cause only words last long after we are all gone.

Pada mulanya adalah firman. Pada akhirnya adalah firman.

Or as Oscar Wilde said: "some things are beautiful because it doesn't last."

Shut up. You are not Oscar Wilde.

Don't believe everything he said. He doesn't.