Selasa, 31 Mei 2016

Resign

Bah! Udah Juni lagi.

Script Kepompong Mak Gondut #1 belum juga selesai. Diundur melulu dari Januari sampai Mei. Body pun belum 63. Malah melembung ke 102.

Di detik-detik terakhir bulan Mei, gue malah pergi jemput Mami Papi ke stasiun dan makan nasi goreng 15 ribuan di 7/11.

Kenapa gue tidak lagi target oriented?

Mungkin karena gue sekarang lebih resigned. I accept that I cannot change everything. Kalau sudah waktunya Kepompong jadi, dia akan jadi.

Ini resign apa malas ya? Mungkin bukan malas. Gue stress dengan target yang gak realistis, malah malas nulis dan memenuhi tubuh ini dengan makanan yang bahkan gak terlalu enak.

Udahlah cukup 5 bulan coba hidup dengan target-target tak kesampaian. Coba sekarang gue hapus target-target ini dan jalani hidup dengan resigned. Kan kita resign club, bukan target oriented club. Siapa tahu malah kesampaian.

Eight years ago, I didn't realize 'resign' will mean much more.

Warna-Warni Di Muka

"Lo gak make up?" tanya Stella melihat gue hendak melenggang ke penutupan festival tanpa warna-warna di muka.

"Perlu ya?"

Kan gue udah mandi.

Stella pun mengubek-ngubek kotak make up gue. Semua pemberian orang. Gak ada yang gue beli sendiri. 

Pergilah gue ke sana dengan tambahan warna-warna di muka, walau tak di bibir. Lipstick Stella dua biji lagi di Mbak itu, jadi gue hanya bisa di-lipbalmin.

Setelah sesi foto, gue langsung bersyukur tadi sempat diwarna. Kalau nggak, gue pasti kucel di antara mereka.

"Beli lipstick yuk," kata gue.

"Ntar aja deh gue beliin."

Kepompongville

Gue pengen punya kandang di mana gue bisa berkarya. Gak gue aja, sekitar gue juga. Gak ada pagar, tapi cukup kondusif buat bareng-bareng mikirin ide-ide yang membuat lingkungan kita jadi lebih membanggakan dan menyenangkan. Lingkungan yang gak saling menghakimi dan lebih senang mengeksplorasi diri masing-masing.

Di sana ada juga kafe Stella. Yang masakannya enak tapi organik.  Yang bahan-bahannya dibeli dari petani sekitar. Gak papalah ada daging-dagingan. Yang penting tahu tempe dan jamur juga ada.

Di sana juga ada perpustakaan Ajo. Di mana anak-anak sekitar bisa belajar apa aja yang mereka mau. Biar sore-sore mereka gak cuma diisi sinetron Turki dan snapchat. Biar kalau si Virgo-Virgo Mokmok berkunjung, mereka ada teman dari berbagai lapisan.

Di sana ada juga tempat pemutaran. Bisa mutar film, nari, nyanyi, atau karaokean. Bisa juga reading karya-karya sastra yang gak harus ditulis di sini, tapi bisa membuat kita lebih menghargai sekitar kita. Gak lagi bermimpi bisa tinggal di luar negeri.

Ada studio film dengan green screen sederhana dan ruangan rapat multi fungsi. Ada ruang musik juga buat dia .

Di bagian belakang, ada rumah susun 4 lantai buat gue, Indri, Mas Yusuf, dan teman-teman gue yang gemar bekerja keras tapi gak mungkin punya rumah dengan sistem ekonomi seperti ini. Lantai dasarnya ada B&B yang bisa gue sewain ke turis-turis yang tertarik dengan gaya hidup kami. Atau buat Lucky Ucu Sunny Daud atau siapa aja yang lagi kabur dari Jakarta. Bisa juga buat Sally atau Anky yang kecapean ngedit dan malas pulang.

Ada kebun dan sumber air juga.  Jadi kalau Indonesia jadi perang dan kami terpaksa bekubang, kita gak akan kekurangan makanan.

"Ya dibikinlah, jangan ngemeng doang," kata si pemilik kafe.

One step at a time.  Tulislah dulu film pembawa uang itu.

Mikir Sendiri

Seorang teman mengirimkan sebuah link kuliah umum tentang oligarki-oligarki di sekitar Jokowi. Roma pas zaman budak aja perbandingan harta si kaya dan miskin cuma 10.000 kali, Amerika sekarang 20.000 kali, Indonesia eng ing eng...

630.000 kali.

"Analisanya kenapa oligarki dan kekuasaaan sejalan di Indonesia bagus sih. Hanya kok solusinya industrialisasi ya? Secara di China Ameriki sana aja industrialisasi udah terbukti gak bikin hidup buruh-buruhnya lebih baik, kok malah mau ditiru di sini," kata gue pada si pemberi link.

"Biasalah ekonom. Bukannya community development. Mungkin karena community development belum ada bukti berhasil ya?"

"Mungkin karena mindset-nya mau bikin Indonesia kaya.  Padahal kan  kita cuma butuh cukup. Gak perlu kaya."

Dalam hati, agak tersenyum. I have my own opinion now. Gak lagi ngekor pembicara-pembicara charming.

Ternyata gue udah lebih rasional.

Atau malah tambah pemimpi?

Dari Tosari Ke GI

Jakarta di Malam Minggu lebih indah dengan busway. Tak perlu bermacet-macetan bersama mobil, motor, dan Metro Mini.

Ternyata banyak babi-babi masuk jalur kami. Malam minggu bersama busway tetap diisi merayap tak sampai-sampai. Begitu sampai, ternyata tak bisa turun di Bunderan HI karena galian MRT sedang merambah haltenya.

Terpaksa turun di Tosari.

Dari Tosari, jalan sedikit sambil mengangkat-angkat pembatas belahan tetek yang terlalu rendah untuk melanggang di pinggir jalan. Kalau di mall nanti, tinggal dikasih syal biar lebih ciamik macam para penduduk subtropis. Kalau di luar sini, tambah anyeplah kalau kupakai itu syal.

Tangan kiri memegang dada, tangan kanan mendekap tas menghalau segala rupa copet dan jambret. Gue melangkah di pinggir jalan, sambil lirik-lirik belakang waspada ekor disenggol motor tak beradab. Tapi gue yang  tak beradab, ini kan jalanan mereka. Apa daya trotoar dipenuhi gerobak jualan. Terpaksalah aku turun ke jalan, dengan resiko motor ketoel ekor.

Akhirnya sampai juga di gerbang Grand Indonesia disambut tidit-tidit metal detector  yang selalu berbunyi tanpa kenal bom atau kawat BH. Asal tak terlihat budug, semua dipersilakan masuk. 

Di sini dunia yang berbeda.  Subtropis.  Ekor bebas toel.  Tetek bisa ke mana-mana, tak akan ada yang mensuit menggoda.

Pulangnya, uber ajalah.

Like My Dad

Gue membanting pintu mobil di depan seorang cowo Batak yang sebenarnya baik-baik saja tapi selalu gue judesin.

"I don't like the way he speaks. He reminds me of my dad," kata gue tanpa mikir.

"Interesting," kata seorang teman tanpa komentar lebih lanjut, membuat gue malah jadi mikir.

Kenapa gue gak suka denger orang yang gaya ngomongnya kaya Papi? Bukankah Papi selalu baik dan ada untuk gue?

Enam tahun kemudian, mendengarkan Papi ngobrol di telepon dengan seorang toke kelapa sawit sementara gue nyetir, baru jawabannya kepikiran.

Gaya Papi ngomong mengakali biar si toke kelapa sawit beli rumahnya di Medan sama dengan gayanya ngomong ke gue. Menurut Papi, itulah gaya ngomong paling tokcer untuk meminta tanpa terkesan meminta. Dipuji-puji dulu, dan diakhiri dengan pertanyaan, jangan permintaan. Biarkan si toke yang menawarkan diri, seakan semua idenya.

Kata Papi, lihai.

Kata gue, bulus tapi kebaca.

Gue bukan toke kelapa sawit. Gue anaknya. Papi gak perlu berlika-liku kalau mau minta tolong gue jemput atau pesenin tiket. Gue gak suka diperlakukan kaya some rich strangers yang harus dibulusin biar dapet maunya.

Oh...

Berbagai Cewe Keren

How do I love myself?
How do I love this girl who loves judging others so much?

"Biar perempuan-perempuan di layar kita gak kaya Dian Sastro semua," kata gue di depan banyak orang, di penutupan sebuah festival.

Did I say it out loud?

"Gak papalah ya diomongin... mumpung orangnya gak ada..." tambah gue. Just to make things worse.

Maksud gue biar cewe-cewe punya role model lain selain Dian Sastro. Biar definisi cewe keren kita gak harus menang gadis sampul, kawin ama pengusaha kaya turun temurun, dan berteman sehat. Kita butuh lebih banyak jenis cewe lain di layar kita.

Biar cewe-cewe yang gak cantik, gak kaya, dan gak sehat juga tahu kalau mereka keren apa adanya.

Biar gue tahu gue keren apa adanya.

Tapi gak perlulah bawa-bawa Dian Sastro.  There are better ways to say it.

Kita butuh jenis cewe lain di layar kita. Yang gak sempurna. Yang banyak celanya.  Yang tetap berjalan. Biar cewe-cewe yang gak cantik, gak kaya, gak sehat, dan suka salah ngomong bisa lebih nerima diri apa adanya.


Too Good To Love

How do you love a city like this?
How do you love a country like this?
Nanyanya aja pakai Bahasa Inggris

I wish this is not my home
I wish I am not one of this people
Yang mengimpor agamanya
Lalu menghakimi saudaranya

Yang bangga karena ramah
Menerima semua budaya
Sampai tidak pernah
Tahu aku ini siapa

How do I love a city like this?
How do I love a country like this? 

Mungkin masalahnya bukan kota ini
The problem is I think I was good
And I deserve something better

Mungkin kalau gue bisa nerima I am not that good
And nerimo that I love mixing things up
Nerimo that I don't know who I am... yet
Maybe we can be a bunch of resigned rejects


Like the rejects in Community

Kamis, 26 Mei 2016

Universe Conspiracy

"Tid, ada undangan VIP buat ulang tahun NET nih. Mau gak?" tanya Bang Gigit.

Dan gue langsung teringat Indri. Indri selalu bersemangat kalau ada Raisa, GAC, apalagi bonus mbak-mbak bule yang honornya bikin NET semakin bleeding tapi terlihat heits. Dia pasti bahagia kalau dikasih undangan ini. Dan gue akan sangat bahagia bisa membahagiakan Indri. 

And then it suddenly strucks me.

What if we are all actually craved to make others happy? We are all craved to mean something to others. To justify our short existence in this universe.

Ok back to Indonesian. I am not Carrie Bradshaw.

Gue bisa tahu Indri maunya apa karena Indri memang passionately consistently bilang-bilang pengen nonton Raisa, Gamaliel, Audrey, dan muda-mudi hits lain sementara Agnes Monica sibuk pacaran dan gak bikin-bikin album.  Sementara banyak teman-teman lain yang ingin gue bantu, tapi gue gak tau dia maunya apa.

Mau bikin B&B masyarakat. Mau nulis film. Gak mau jadi arsitek lagi. Mau maen film. Mau kawin. Mau jalan-jalan keliling dunia. Dan dua menit kemudian, pengen punya anak lagi.

Dan the next time gue ditanyain rekomendasi penulis baru, gue gak akan ingat dia.

Mungkin this all 'universe conspiracy' cuma masalah consistently passionately bilang-bilang terus menerus kita maunya apa biar jika suatu waktu orang punya tiket ulang tahun NET, orang pasti langsung inget kita.

Gue mau bikin film yang adil.

Rabu, 25 Mei 2016

SMS Papi

Papi 5-26 8:33
Pembantu sudah ada yg baru.

Papi 5-26 13:11
Pembantunya sudah kabur. Tks. Gbu.

Papi 5-26 19:43
Lapor. Sudah ada 2 orang pembantu baru di rumah. Semoga betah n tidak lari. Doa in ya . Tks. Gbu.

Update:
5-27
Dua-duanya kabur.

5-31
Mas Yusuf kembali kerja di rumah. Yeyyy.

Sex And The City When I am 33

Tahun 2000, gue terpesona nonton Sex And The City. Ternyata di satu pojok dunia, cewe-cewe after 30 malah makin tua makin berjaya. Tinggal sendiri, punya duit, brunch tiap wiken dengan teman-teman yang fabulous, menikmati kerjaan masing-masing, dan eksplorasi seks tanpa malu-malu. Ternyata gue gak harus kawin dan beranak pinak agar bahagia.

Tahun 2000 sudah 16 tahun berlalu. Baby-baby yang di tahun itu baru bisa mengoek sekarang sudah memenuhi instagram dengan pacar mereka yang ke sekian. Sudah gak malu ngomongin sex dan mimpi basah dengan guru mereka karena sex education sekarang diajarkan di sekolah. Mungkin mereka gak akan terkagum-kagum nonton Carrie Bradshaw dan teman-teman heitsnya.

Hari ini gue gak bisa tidur, entah kenapa gue malah memilih Sex And The City di antara sekian banyaknya serial baru yang belum ditonton. Mungkin karena saat ini umur gue dan Carrie sepertinya sama. Mungkin ada yang bisa gue petik dari petualangan dia walaupun gambarnya masih 4:3 dan HP belum mendominasi kehidupan.

Atid 18 pas nonton Sex And The City pengen banget hidup bebas seperti Carrie. Pengen punya teman sekeren Charlotte. Pengen pintar kaya Miranda. Pengen cuek kaya Samantha. Atid 18 pengen jadi mereka.

Apa yang terjadi dengan Atid 33 ?

Atid 33 gak tinggal di New York. Atid 33
gak pernah bar hopping tiap malam dengan sepatu 400 dollar. Atid 33 bobo jam 10 tiap malam tidak dengan cowo-cowo cakep.

Gak pengen juga.

Tapi Sex And The City tetap jadi role model Atid 33, walaupun banyak yang Atid 33 tak lagi kagumi. Mungkin gara-gara di sekitar Atid 33 banyak sejenis Samantha, sejenis Charlotte, sejenis Miranda tapi versi Indonesia. Dan  gaya hidup  Manhattan kalau ditaro di setting Jakarta bukannya malah keren, malah berasa palsu dan insensitive dengan sekitarnya.

Yang paling menarik dari  Sex And The City bukan bajunya, apartemennya, kerjaannya, teman-temannya, atau sexnya. Tapi karena Carrie 33 selalu memulai setiap episode dengan pertanyaan dan menjalani 24 menit ke depan tanpa batasan. Di akhir episode, Carrie tetap menjadi Carrie yang romantis naif  dan sedikit lebih punya sikap, tapi menyisakan tetap sedikit ruang kalau dia mungkin salah.

Semoga Atid 33 bisa menjalani hidup dengan penuh pertanyaan.

Jumat, 20 Mei 2016

The Good Wife

Tujuh tahun lalu gue mulai nonton The Good Wife. I was a good girl back then. And The Good Wife was a good wife.

Hari ini gue nonton episode terakhir The Good Wife. I am not a so good girl anymore. Dan The Good Wife juga bukan a so good wife anymore. Tapi dia tetap berjalan tegak, berusaha merapikan dress hitam yang mulai kusut, dengan rambut sedikit rusak karena tamparan, dan maskara agak luntur di pojok mata karena tangisan tertahan.

Sendirian.

I like her better.

Do I like me better?

Langsung jalan tegak.

Kamis, 19 Mei 2016

Apa Adanya

Kenapa kau rendah diri hai kau yang kurang percaya
Karena si ini punya anu dan si itu menang itu
Tak ingatkah kau kita semua debu
Yang lompat sebentar lalu melebur bersama

Lebih baik kau ceritakan sedihmu
Pada mereka yang sedang bersedih
Dan ceritakan sukamu
Pada mereka yang sedang bersuka

Pada akhirnya kita semua sama
Ingin dibelai ingin dicinta
Dan diterima apa adanya

Rabu, 18 Mei 2016

Diet Naga Emas

Di tahun baru, berat gue 100 kg. Gue bertekad bulan Mei nanti 63.

Bulan Mei, berat gue 102.

Kali ini gue gak boleh tomorrow-tomorrow lagi. Liver udah makin berlemak. Jalan udah makin lambat. Baju terancam gak muat.

Bang Gigit melengos. Mungkin karena sejak dia kenal gue, gue sudah bertekad diet.

Tahun 2000. Tahun naga emas.  Tahun itu, berat gue 63. Udah berasa paling gede di SMA. Gue mau berangkat pertukaran pelajar ke Amerika. Gue bertekad di sana gak usah makan-makan biar pulang-pulang amazing.

Pulang-pulang gue amazingly 85.

Sempat gue 75, tiga tahun yang lalu ketika patah hati. Masa harus patah hati lagi?

"Mungkin udah waktunya lo nerima kalau badan lo emang segitu?" tanya seorang teman yang singset sejak lahir padahal tiap hari kerjaannya bikin  kue coklat marshmellow kacang dimedley ama mentega.

Kalau nerimo, kan insya gusti singsetnya datang sendiri.

Nerimo dulu baru bisa singset, atau singset dulu baru bisa nerimo? Dah macam telur dan ayam.

Jadi pengen telur dadar keju.

Tanah Sawah

Menyetirlah kau mengikuti tol menuju bandara, susurilah perimeter utaranya, menuju Tanah Banten bagian Utara, melewati sungai-sungai berkapal, tanda kita tak jauh dari muara, di mana tak lama lagi akan dibangun PIK dua.

Tak jauh dari jembatan, ada sebuah kecamatan berama Pakuhaji. Tinggal belok kanan, sampailah kau di Tanah Mami.

Eh salah jalan, kayanya belok kiri.

Perasaan dulu di jalan sini gak ada paving block deh. Coba belok kanan.

"Keterusan, Bu! Ini udah kecamatan. Ibu balik lagi, belok di SD."

Balik lagi menyusuri jalan yang baru gue sadari sudah dibeton berkilo-kilo, padahal kanan kiri masih kampung.

Mungkin karena di depan sana mau dibangun PIK 2.

"Eh itu deh SD-nya kelewatan."

Balik lagi.

Beloklah kami ke jalan tak berbeton, melewati sawah kanan dan kiri. Salah satu sawah kanan dan kiri itulah ternyata Tanah Mami, tanah tak bersertifikat. AJB-nya pun bukan atas nama Mami. Atas nama kakaknya, yang baru meninggal, yang suaminya mau kawin lagi dengan janda beranak tiga. Harus buru-buru dijual sebelum  ahli warisnya nambah.

"Kalau sebelum lebaran bolehlah 250 ribu semeter. Kalau abis itu, beda lagi," kata Mak mendengar petugas kecamatan menyarankan gak usah bikin sertifikat. Bisa 100-200 juta. Dijual saja ke orang yang kena gusuran karena perluasan bandara.

Dulu mami beli 6000 semeter.

Perempuan-Perempuan Membosankan

Sebuah USB berisikan film-film pendek yang sudah dipilihkan datang. Gue mencoloknya ke TV dengan bahagia. 

Nonton film, komentar, dan dibayar. What a wonderful way to spend my evening.

Apalagi film-film pendek Indonesia sekarang semakin seru. Lebih seru dari film panjangnya. Mungkin karena gak perlu kompromi dengan duit dan media, jadi lebih bebas mau ngangkat cerita apa saja dan bisa eksplorasi gaya bercerita baru.

Berbekal sagu coklat di kanan, gue memulai nonton.

Film pertama, hmmm...

Mungkin yang ke dua lebih menarik...

Ke tiga...

Ke empat...

I need more sagu coklat.

Kenapa film pendek Indonesia jadi membosankan lagi? Apa karena dikasih tema perempuan?

Lagi-lagi mbak-mbak pelacur yang cita-citanya kawin. Anak berbakti yang rela melacur demi ibu yang sakit.  Kakak yang rela putus sekolah demi adiknya. Anak lugu yang diajak melacur ama temennya yang materialistis.  Anak yang gak mau jadi kaya ibunya tapi dikasih surat doang langsung rindu. Emak-emak gosip yang gak suka tetangga senang.

Dengan begitu banyaknya drama mendayu-dayu yang ditampilkan,  gak satu pun karakter yang gue ingat. Mungkin karena sudah terlalu sering gue lihat di film lain.

Di zaman The Good Wife aja udah berani minta cerai dan tetap menjadi ibu yang baik, kenapa karakter film kita masih tetap hitam putih? Kalau gak baik ya jahat. Kalau gak ibu yang buruk, ya ibu yang baik. Gak bisa dua-duanya sekaligus?

Kita butuh perempuan-perempuan yang lebih kompleks di layar kita. Yang sayang anak, tapi pengen kerja. Yang melacur, tapi suka melacur. Yang kawin, tapi suka kawin.  Yang jelek, tapi banyak pacar.  Yang lebih mirip kita.  Yang apalah terserah...

Asal bukan mirip film lain.

Minggu, 15 Mei 2016

The Sincerity Of Unmanufactured Pleasure

Sebuah iklan mendayu-dayu menceritakan kisah seorang supir yang menyelamatkan keretakan sebuah keluarga hanya dengan membuatkan bekal buat si anak, menjahitkan baju si bapak, dan membelikan bunga si mamak. Sejak adegan si mamak sosialita curhat ke si supir takut suaminya selingkuh, gue udah tak lagi tersentuh, sudah sadar kalau iklan ini just another iklan yang dibuat biar gue terharu tanpa  mempedulikan logika dan acting.

Gue lanjut ke post Facebook berikutnya. Seorang Mamak baru cerai dan anaknya menyanyi bersama, biar anaknya jangan takut jatuh cinta dalam sebuah audisi idola-idolaan di Inggris.

Gue putar lima kali sambil nangis-nangis.

Young and Foolish

Once upon a time, ada anak SMP insecure yang pengen fit in dengan teman-temannya. Teman-temannya tidak suka pada seorang anak pendek berkacamata tebal yang mereka ejek cucu presiden. Kenapa cucu presiden, si anak insecure pun gak tahu. Dia cuma ikit-ikutan mengejek.

"Kenapa sih lo jahat ama gue?" raung si cucu presiden sambil menangis.

Terdesak, si anak bukannya minta maaf. Malah menirukan tangisan si cucu presiden.

Baru 20 tahun kemudian dia minta maaf.

"No worries. We are young and foolish once," kata si cucu presiden yang sekarang bebas kaca mata tebal, hot, dan brand manager sebuah rokok impor.

Young emang udah nggak. Tapi foolish masih.

Jumat, 13 Mei 2016

Rumah Tua

Air di kamar mandi lantai atas ini menetes lambat-lambat, sementara taik-taik di sana sudah minta disiram. Entah sudah berapa kali pompa air kami bermasalah.

Rumah ini sudah tua.

Dua puluh tahun, seharusnya masih balita untuk umur rumah. Lihatlah rumah kanan kiri kita, yang dibangun penjajah Opung, yang sudah seabad berdiri anggun tak bocor-bocor tak ngadat-ngadat.

Rumah ini dibangun dua puluh tahun yang lalu, sebagai bagian dari extension sebuah pavilion yang konon terlalu kecil ditinggali Papi, Mami, dan tiga anaknya. Plus dua pembantu yang silih berganti.

Mungkin bukan karena rumah kami terlalu kecil. Saat itu papi ditempatkan di Kalimantan, jadi banyak dikasih kayu-kayu indah dari toke-toke penebang hutan. Sekalian aja dibikin rumah 3 lantai + loteng.

Legal atau tidak, gue gak pernah nanya.

Walaupun dikerjakan tukang-tukang Bandung yang tak cinta kayu, bagian kayu dari rumah ini tetap cantik setelah 20 tahun karena memang kayunya dari kualitas terbaik. Asal jangan lihat terlalu dekat, barulah berasa betapa rumah ini dikerjakan asal-asalan.

Tapi begitu sampai ke bagian non kayu-kayuan, bagian di mana Papi harus membeli, tidak ada lagi kualitas terbaik yang bisa dibanggakan setelah 20 tahun. Pompanya pompa Cina murah dengan pipa hilir mudik tambal sulam. Talangnya tidak direncanakan, bocor tiap hujan besar. Betonnya tidak sempurna, meninggalkan bercak-bercak lembab di dinding. Marmernya asal tempel, ditambal sealant putih tak sedap dipandang di setiap sudutnya.

Papi sudah tua.

Sekarang giliran gue berbenah pipa. Gak boleh lagi mengharap Papi.

Siram taik.

Kamis, 12 Mei 2016

Sukabumi - Bandung

Kenapa banyak sekali pom bensin di sepanjang jalan Sukabumi - Bandung ?

Kenapa banyak sekali mesjid berkubah besi template?

Kenapa banyak sekali jalan bolong?

Kenapa banyak sekali trotoar yang dicat hitam putih?

Kenapa banyak sekali pengemudi yang menyalip ketika garis jalan tidak putus-putus?

Kenapa banyak sekali pengendara motor tidak berhelm?

Kenapa banyak sekali Alfamart Indomart?

Kenapa banyak sekali truk Aqua?

Kenapa banyak sekali perumahan bergapura indah dan berpagar tinggi menyempil di antara rumah jorok asal jadi?

Kenapa banyak sekali rumah jorok asal jadi?

Kenapa banyak sekali spanduk iklan dipasang sembarangan?

Kenapa gak ada bedanya dengan Jakarta-Sukabumi, Surabaya-Jember, Ambon, Pontianak...

Ah jangan-jangan jawabannya hanya satu.

A mindless society.

Rabu, 11 Mei 2016

Potong Rambut Sendiri

"Mami udah dua puluh tahun gak pernah ke salon, selalu potong rambut sendiri," kata Mak Gondut sambil menyasak rambutnya di pagi menjelang pesta. Mamak Batak lain harus ngantri dari subuh dan bayar 150 ribu. Mak selalu nyasak sendiri.

Dari seluruh petuah Mak Gondut yang selalu gue tolak, entah kenapa yang ini gue dengarkan. Mungkin karena gak rela sebulan habis 250 ribu buat potong rambut yang gak gue suka-suka amat ternyata. Yang gue suka harganya 500 ribu.

Bah.

Akhirnya hari ini gue ketemu dia dengan rambut berponi jijik ke kiri dan keriting-keriting berdiri dengan dua ekor tikus kicik di jambang kanan dan kiri sambil mendengarkan betapa kerennya taste mantan-mantannya.

Bah lagi.

Lain kali memang gak boleh dengerin petuah Mak Gondut.

"Disyukurin emak kalian masih ada...," kata Ucu di sela-sela perjalanan menuju Sukabumi. Ibunya sudah dimakamkan, sementara Ucu masih mengejar tiket murah kembali dari Jerman.

Mungkin hidup tidak akan ramai tanpa Mak Gondut dan jambang tikus kecik.

Selasa, 10 Mei 2016

Asuransi

Dia gak mau masuk asuransi.

"Kenapa?" tanyanya.

Karena asuransi bertindak berdasarkan fear. Karena mending duitnya diinvestasikan buat yang lain. Karena dia gak ngerti kenapa orang-orang asuransi bisa kaya-kaya kali. Karena  Paulo Coelho gak mau masuk asuransi.

Tapi Paulo Coelho makannya gak congok kali. Hobinya jalan, memanah, dan meditasi.

"Sementara kau diperbudak gula."

"Gue kan gak maksa lo keluar asuransi, kok lo maksa gue masuk asuransi?" katanya terdesak.

"Ya udah hidup sehatlah."

Dia pun pergi ke Bandara.

"He! Jangan kau makan gula lagi ya! Kalau gak, kupaksa kau asuransi!" teriaknya dari ujung lain Jakarta.

Gak jadi pesan Rootbeer Float.

Senin, 09 Mei 2016

Pindah Ke Kanada

Seorang teman ingin pindah ke Kanada, menambah satu lagi daftar kelas menengah yang tak mau lagi stucked di Jakarta.

"Gaji sebulan habis cuma buat bayar anak typhus," keluhnya di Whatsapp Group.

"Emang gak ada BPJS?"

"BPJS tuh cuma buat sakit-sakit kecil di Puskesmas. Gak termasuk tes-tes jutaan dan rawat jalan."

Dia juga khawatir anaknya tumbuh di Indonesia, diajar di sekolah yang makin lama makin mahal. Yang guru-gurunya tidak ingin jadi guru. Lulus-lulus paling banter masuk institut tempat kami belajar, yang bahkan gak masuk 100 besar di Asia.

"Lo homeschooling aja. Trus masukin ke Jendela Ide, sanggar seni gitu di Bandung. Banyak banget anak2 brilian di sana."

"Emang kerja bisa homeschooling?"

"Nggak sih kalau lo kerjanya di perusahaan arsitek gede. Harusnya lo kerja jadi arsitek kaya Sam Mockbee gitu, melipir keluar Jakarta. Daerah paling miskin di Alabama sekarang jadi display modern architecture murah meriah keren."

"Gue stucked di sini... Dengan kerjaan yang no benefit, no vacation. Gue udah cape ama Indon."

"Ya kalau bisa pindah, pindahlah. Gak semudah itu lho pindah. Kalau gak bisa, mending coba google Sam Mockbee dan Rural Studio-nya."

Dia tidak lagi menjawab WA. Mungkin tidak suka sama Sam Mockbee. Mungkin tidak suka lagi penat malah disuruh berubah. Mungkin sibuk ngurusin anak lagi typhus. Mungkin lembur.

"Janganlah ke Kanada, ntar gue gak ada teman. Temen gue gak banyak," kata seorang teman yang tinggal di Bogor.

Teman lain yang tinggal di Malaysia dan Singapur tidak menyahut.

Mungkin sibuk bekerja. Mungkin gak mau menambah penat. Mungkin di sana sama saja.

Minggu, 08 Mei 2016

Hidup Secukupnya

"Kau mau kado apa?" tanya Chica.

"Gak usahlah, Ca,"  jawab gue bukan mau sok jual mahal. Tapi kayanya gue udah punya 'segalanya'.

Baju gue ada 30, sesuai jumlah hanger yang muat di lemari. Kalau dipakai sehari satu, cukup buat di-rotate sebulan. Bawahan gue ada 7. Sepatu gue ada 8, dari berbagai fungsi dan warna. BH gue ada 7. Celana dalam ada 20, butuh lebih banyak berhubung Jakarta bikin gampang keringetan. Kaos kaki 7 pasang.

Tas gue ada 3. Satu jinjing, satu backpack, satu buat laptop. Koper ada dua, satu besar dan satu cabin size.

Jam tangan ada dua. Sebenarnya cukup satu. Hanya yang satu keburu nafsu lihat di Inacraft. Begitu pun kacamata. Accessories lainnya, gue malas pakai.

Perabotan rumah udah lengkap. Tirai udah yang dim out.

Bantal gue ada 4. Sehari-hari gue pake sendiri, tapi kalau Mami Papi datang bisa dibagi. Seprai gue ada 4, kelebihan memang... yang dua hibah dari Chica.

TV, kulkas, dispenser air, mesin cuci, microwave, rice cooker, kompor + exhaust fan udah ada. Katanya gue butuh food processor sih, tapi pasti malas makenya tiap hari. Lebih baik gue kunyah.

HP, Macbook, MP3 Player, MP3 buat renang, E-book reader udah ada. Memang bukan model terbaru, tapi cukup untuk keperluan gue.

Buku banyak yang belum dibaca. Apalagi film. Gak perlu ke Big Bad Wolf lah.

Apartemen ada satu. Mobil gak ada, tapi gak mau punya. Eh, kayanya enak juga tapi punya sepeda... Tapi nanti sajalah kalau udah mendesak. Belinya juga second aja.

Teringat dulu waktu kecil, tiap ulang tahun Mak Gondut  selalu membawa kami bagi-bagi kado ke panti asuhan. Entah sejak kapan, tradisi keluarga ini berubah.

"Yakin gak mau kado?" tanya Chica.

Gue mengangguk.

Sabtu, 07 Mei 2016

Doa

Dulu doa gue "Ya Tuhan, terima kasih atas berkat yang kau berikan. Biarkan aku jadi berkat bagi orang lain."

Setelah melewati fasa 'siapa elu minta jadi berkat', doa gue menjadi: "Ya Tuhan terima kasih atas berkat yang kau berikan".

Setelah tahu ternyata berkat melulu juga bikin hidup jadi terlalu menuntut, doa gue menjadi: " Ya Tuhan terima kasih."

Setelah ternyata terima kasih pun tidak mewakili kata hati, gue berdoa tidak lagi pakai kata-kàta.

Tapi senyuman dan kerlingan mata.

Tapi setelah Mak Gondut tambah tua dan banyak kehendak, doa gue menjadi:

"Ya Tuhan, berikanlah kami pada hari ini cobaan kami yang secukupnya."

Jumat, 06 Mei 2016

Beli BH

"Papi pulang duluan deh ama Bang Gigit ya. Atid mau beli BH dulu," kata gue setelah makan-makan ulang tahunan. Bang Gigit, the only Jawa in the family, langsung menoleh ngeri.

"What?" kata gue.

"Kan ada kata lain. Bra kek. Kutang kek."

"Emang apa bedanya Bra ama BH?" tanya gue takjub. Baru tahu daleman pun ada tingkatan kesopanannya di Jawa sana.

Tapi Batak pun tak selalu begini. Dulu Opung, bapaknya Mak Gondut, selalu risih kalau Mak Gondut ngomongin BH. Dimanfaatkan dengan maksimal oleh Mak Gondut. Tiap mau minta duit, bilang aja beli BH, langsung cepat-cepat dikasih bapaknya tanpa tanya-tanya.

Tak sabar menanti Shema minta duit BH ke Bang Gigit.



Kamis, 05 Mei 2016

Mimin

Mimin mbak-mbak bermuka pembantu yang cuma mau ama bule. Dulu pernah dia sama cowo Asia, eh waktu ML malah mukanya dibekep bantal Finding Nemo. Tapi hidup terlalu singkat dipakai menangisi kenapa wajahnya kalah merangsang sama clown fish. Dengan penuh semangat walau usia udah 35, Mimin berangkat ke Bali, berburu bule untuk dijadikan suami.

Gue tertawa-tawa mendengar cerita ini. Dia ingin mengangkat Mimin ke layar lebar. Kita memang butuh Mimin-Mimin di layar kita. Yang gak cantik dan gak berbudi pekerti tapi menikmati hidup. Terlalu banyak cewe cantik berbusana hipster yang hidupnya cuma diisi menangisi lelaki di layar kita.

"Lo mau gak casting jadi Mimin?"

Gue gak lagi tertawa.

Bukan karena gue gak ngerasa cukup buruk rupa untuk jadi Mimin. Tapi karena, I don't have her confidence. 

I would love to see Mimin on screen. Pasti menginspirasi orang. I don't  think people want to see me.

"Cobain aja dulu ya. Pake kostumnya, we'll see if you got it in you," katanya yakin.

I am flattered.

Roti Tikus

Tikus kecil duduk sendiri
Diam-diam mengunyah roti
Datang si Sapi minta dibagi
Tikus kecil gak mau bagi

Sapi melolong minta dibagi
Tikus kecil tetap tak berbagi

Sapi merayap coba curi-curi
Ketahuan, langsung digigit

Capi terkapar pura-pura mati
Tikus kecil tetap tak berbagi

Sapi congok duduk di sini
Melirik yakin, pasti dibagi

Rabu, 04 Mei 2016

Refleksi 33

Di usia 33, Yesus sudah mati setelah 3 tahun menyebarkan kabar baik buat manusia jajahan yang saat itu mungkin banyak yang sudah malas hidup. Hari ini gue 33, gue belum mati sih. Tapi gue udah ngapain?

Bikin film yang adil belum. Script-nya aja belum jadi.

Having a fabulously healthy body juga belum. Malah gue sekarang lebih berat dari sebelum gue mulai diet Demi Turki.

Nari belum.

Nyanyi belum.

Nonton semua film dan buku wajib juga belum.

Nulis blog tiap hari sesuai resolusi umur 32 udah sih, walaupun yang enam bulan pertama dirapel hehehe...

Tahun ini gue mau mulai membuat post steller seminggu satu. Kayanya gue kurang puas kalau hanya berkata-kata. Pengen bercerita pake gambar juga. Semoga tidak hanya menambah satu lagi to do list yang belum dikerjakan.

Ah kalau mengingat yang belum-belum memang sepertinya lebih enak mati.

Di usia 33, Yesus tidak hanya mati. Dia juga bangkit lagi.

Selasa, 03 Mei 2016

Bioskop Alternatif

"Kenapa film Indonesia gak ada yang bagus?" protes seorang penonton Ambon yang kemaren akhirnya nonton di XXI Ambon sebuah film yang katanya menembus rekor sejuta penonton dalam hanya satu wiken. Is this the best Indonesian Cinema can do?

Gue tidak kuasa membela. Filmnya sok dewasa padahal kekanak-kanakan, dipenuhi karakter cewe Indonesia yang wisatanya melulu kuliner dan belanja.

Tapi yang main cakep sih.

Tiap ditanya filmnya bagus atau nggak, gue gak berani bilang jelek. Bukan hanya karena yang bikin teman-teman sendiri dan gue tahu betapa lelahnya mereka bekerja, tapi juga karena kalau mereka sukses, bagus untuk image industri di mana gue juga mencari nafkah di dalamnya. Toh gak ada yang terlalu offensive atau mengganggu hati nurani di film ini. Jadi gue memutuskan untuk tidak mengkritik film ini, lebih baik berdoa kesuksesan mereka berdampak bagi film lain.

Tapi apakah suksesnya film ini akan membuka jalan bagi film lain? Atau malah  akan memperkuat keyakinan para produser dan sponsor kalau film yang sukses ya harus film adaptasi, diperankan para pemeran yang sangkin menjualnya bisa ngubah jadwal semua orang, dan dibuat dengan modal 20 M ke atas?

Jangan-jangan apa yang terjadi di Amerika akan terjadi. Film-film menengah akan semakin langka di bioskop. Kita hanya bisa menikmati film-film  yang belum cukup matang tapi sudah dihadapkan dengan kerasnya periklanan.

Tapi mungkin bioskop penghuni mall milik para konglomerat memang dibuat untuk film begitu. Film alternatif tidak hanya cerita dan pembuatannya saja yang alternatif, tapi harus alternatif sampai ke penayangan dan promosinya.

Semakin yakin film gue harus tayang di tempat lain. Walaupun belum tahu caranya.

But that's the beauty of this life I chose. Every step is a step of faith.

Bertengkar

Sudah lama mereka tidak bertengkar. 

Katanya dia ingin sekali menonton sebuah film yang hanya tersisa di bioskop ujung kota. Yang lain ingin duduk di rumah, menulis. Yang Lain pun menyeberang kota, menjemputnya, takut cintanya akan berkurang.

Mereka pun berkendara, isi bensin 150 ribu, melewati jalan tol 21 ribu, membayar parkir 17 ribu, dan tiket 80 ribu. Di tengah nonton, dia tertidur.

Setelah nonton, dia ingin minum. Air tebu 25 ribu dan aqua 7 ribu. Aqua disimpan. Dia selalu membeli kelebihan. 

"Jalan ama lo gak seru. Semua dikomplen," katanya. Dia hanya ingin bersenang-senang, diam di rumah membuatnya depresi.  Malah dihakimi.

Yang Lain menangis. Akhirnya rahasianya selama ini terbuka.  Dia memang gak seru dan tukang komplen. 

Di kota seperti Jakarta, cinta saja tidak cukup untuk orang-orang insecure dengan penghasilan pas-pasan yang ingin pacaran. Tak heran begitu banyak yang sendirian.

"Kalau gak mau ya bilang. Jangan mau-mau tapi akhirnya selalu begini," katanya sebal. Gitu aja kok repot.

"Selasa minggu depan ke Bogor yuk."

"Besok aja yuk."

Sudah lama mereka tidak bertengkar. 

Senin, 02 Mei 2016

Dibayarin Mami Papi

"Nah buat bayar parkir," kata Mak Gondut memberikan 250 ribu untuk bayar parkir mobil di apartemen sebulan.

Gue hendak menolak. Tapi dipikir-pikir ini kan mobil dia. Kalau dia gak perlu, pasti gak akan gue bawa mobil ini ke Jakarta. Terima ajalah.

"Nah buat beli ikan," kata Mak Gondut memberikan 500 ribu untuk beli tuna asap di Ambon.

Gue hendak menolak. Tapi dipikir-pikir kan dia yang pengen makan ikan. Banyak pula mintanya. Terima ajalah.

"Seratus dua puluh ribu," kata kasir Tempat Refleksi menagih. Mak Gondut sudah kabur maen Wi Fi di depan, pura-pura gak denger. Akhirnya Papi yang bayar.

Di umur gue yang hampir 33 ini, masa refleksi masih dibayarin Papi? Pengen juga ngebayarin Papi Mami. Dulu pernah sih di suatu masa di umur 23, gue bayarin mereka semua jalan-jalan ke Cina.

Sekarang gak bisa.

Ya disyukuri sajalah. Gak semua anak emak bapaknya mandiri, sehingga anaknya merdeka bisa bikin film.

Ya bikinlah film.

Justo

Badannya bungkuk, tapi six pack. Hitam legam, lebih hitam dari orang sini, akibat kelamaan di luar, mengatur setiap mobil yang lewat.

"Woi, minggir Justo!" kata satu supir angkot yang mau lewat tapi terhalang Justo yang malah ngeprit ngeprit di tengah jalan dengan pluit-nya.

Justo minggir, masuk ke teras kedai kopi tempat gue duduk menikmati Kopi Rarobang.

"He! Jangan masuk sini," kata si Usi pelayan kedai.

Justo pun duduk di tangga luar. Tak lama si Usi memberikan segelas es kopi susu pada Justo walaupun dia tidak memesan.

Dari dekat, lebih jelas kalau pandangan Justo selalu resah dan kosong, seperti orang-orang gila di pinggir jalan Jakarta. Hanya saja orang-orang sini tidak takut pada Justo, seperti pada orang-orang gila Jakarta. Justo yang sepertinya takut pada mereka.

Seorang ABG cewe berrok mini lewat, Justo mencoba mendekat. Dengan sigap si ABG melempar batu kecil yang ternyata sudah dia pegang dari tadi. Gak kena Justo, tapi cukup untuk membuat Justo gak jadi mendekat.

Justo kembali merapat ke pagar, mengocok-ngocok es kopi susu gratisannya sambil ngeprit-ngeprit tanpa ada satu mobil pun peduli.

"Waktu konflik, keluarganya dibunuh di depan matanya. Waktu itu dia masih SMP," kata Bung Feri yang menemani kami hari itu.

Justo tidak menghabiskan es kopi susunya, kembali ngeprit-ngeprit di tengah jalan. Sesekali memandang simpang besar tempat sebuah gereja baru berdiri.

Di balik gereja itu, agama lain bermukim. Mereka tidak lagi hidup berdampingan.

Buku Tulis

Dia menggunting-gunting script-nya dan ditempel per scene di setiap lembar buku tulisnya. Di bawah setiap guntingan, dia tulis tujuan setiap scene dan emosi apa yang ingin dia ceritakan dari setiap scene itu.

"Kok film yang kemaren lo gak bikin ginian?"

"Yang itu kan gue udah hapal."

Yang ini film pesanan, remake sebuah film remaja jaman dulu di saat Rano Karno dikategorikan seganteng Nicholas Saputra. Nulis scriptnya tiga bulan, bukan delapan tahun.

Gue membuka-buka buku tulis itu. Dia punya Ipad, Tabs, Iphone, Macbook Pro, dan Macbook Air. Kenapa dia masih memakai buku tulis?

"Lo kaya Oma-Oma deh."

"Berisik."

Di halaman pertama buku itu, dia tuliskan 9 pengingat selama dia shooting. Diawali dengan 'be truthful' dan diakhiri dengan 'be grateful'.

Diam-diam di film gue berikutnya, gue juga mau beli buku tulis.

Mengatur Atau Diatur

Siapa yang tidak mengatur duit, akan diatur duit.

"Ahhhh... I cannot live like that," katanya mengeong ketika gue perkenalkan pada Money Lover, aplikasi pencatat pengeluaran.

Padahal dengan mencatat setiap pengeluaran, gue bisa tahu pattern spending gue. Gue gak akan terjebak ketakutan ngambil kerjaan yang gue gak suka demi uang karena gue bisa adjust pengeluaran gue. 

Dia lebih memilih adjust pendapatan.

Apa gue juga adjust pendapatan aja ya? Membangun citra diri yang lebih diminati brand, biar penghasilan gak pas-pasan. Walaupun gue merasa hidup terlalu singkat hanya buat terus menerus berjualan.

Prepare for the worst aja deh. Kalau lebih kan bisa di-invest di temen yang usaha baju atau makanan.

Kembali hidup sederhana.

Rapat Para Pengembang Film

Sebuah surat resmi dilayangkan ke para produser yang filmnya dibeli Kementrian untuk ditayangkan ke daerah-daerah.  Katanya mau rapat untuk kemungkinan penayangan film mereka di sebuah TV streaming dalam rangka menyambut bulan pendidikan nasional.

"Nah sesuai petunjuk Pak Mentri, diharapkan keikhlasan dari para produser agar filmnya boleh ditayangkan gratis, tanpa tambahan biaya."

"Boleh dijelaskan lebih lanjut TV ini apa? Hubungannya dengan Kementrian ini apa?"

Si Ibu pemimpin rapat menyambungkan dengan koleganya yang seharusnya memimpin rapat. Sepertinya terjebak kemacetan entah di mana, dan enggan disuruh ngojek kemari, menemui produser-produser yang sudah dia kumpulkan.

"Ya pokoknya bilang saja ini gratis, tidak ada pemungutan biaya dari pihak TV-nya."

Produser lain berusaha menjelaskan bisnis film di era digital.  Dia tidak bisa memberikan izin streaming sebelum ada kejelasan karena bisa jadi ada konflik dengan kontrak dia yang lain.

Produser lain mengira hari ini akan dipertemukan dengan orang TV-nya. Jangankan orang TV, si Bapak Enggan Ngojek pun tak kunjung datang.

Produser lain bilang dia mendukung program ini, asal ada kejelasan.

Si Bapak Enggan Ngojek kembali dihubungi lewat speaker phone.

"Ya pokoknya kaya Netflix gitu ini TV-nya. Hanya gak bayar. Gratis," katanya mengulang kata gratis untuk ke sekian kalinya.

Akhirnya diputuskan akan di-follow up secara tertulis lewat email ke masing-masing produser.

"Jadi udah boleh pulang?" tanya gue.

"Nunggu Ibu menutup rapat dulu."

Si Ibu masih di luar, entah ngapain.

Gue kembali duduk.

Makan jeruk.

Indah Yang Benar

Si Teteh Ronggeng tergopoh-gopoh memasuki kedai mie. Sori telat, katanya. Dia ngepel dulu.

Ngepel adalah ritualnya setiap pagi yang membuatnya masih seksi di umur 65. Asal dilakukan dengan napas yang benar, ngepel pun bisa jadi pilihan olah tubuh. Gak perlu jauh-jauh yoga ke Kemang.

Gak cuma ngepel. Jalan. Naik ojek. Makan mie. Semua harus dengan napas yang benar.

Belum setengah mangkok, si Teteh sudah berhenti makan. Kenyang, katanya. Dia menyeruput teh tawar panasnya dan lanjut bercerita dengan semangat.

Kalau arsitektur yang indah adalah hasil proses desain yang benar, mungkin tubuh yang indah juga hasil dari hidup yang benar. Yang napasnya benar, makannya benar, dan berpikirnya benar.

Si Teteh Ronggeng lanjut mengajar. Kami lanjut ke kedai mie berikutnya.