Kamis, 30 September 2010

Bagaimana Mengubah Indonesia?

1) Bunuh semua yang berumur di atas 30.

2) Jawa adalah kunci. You get Jawa, you get Indonesia.

3) Presidennya jangan Jawa.

4) Apalagi Batak. Jangan.

5) Sosialis jawabannya.

6) Syariat Islam?

7) Bersahabat dengan Amerika. Jerman Barat. Korea Selatan. Cina Timur, eh Jepang.

8) SDM murah + SDA melimpah. Let's be the next China.

9) Injili FPI.

10)Stop mengubah Indonesia. Mulai ubah diri sendiri.


And somehow Indonesia mulai berubah.

Traffic Rain

It was raining too much
I was talking too much

It was our last rain
The only time I was driving
Hoping for more traffic jam

It was raining too much
I was talking too much

Say something
Anything
Hurt me and break me
So I have a reason
to go dancing in this rain

I wanna dance in the rain
Only in the rain

Cause Only in the rain
You can never see my pain

This is Jakarta
Not Bombay
No dancing in Jakarta
Only traffic jam

Jakarta, stop crying
Your tears cost us the traffic

Me, stop crying
Your tears do you nothing

It was raining too much
I was talking too much

Was I talking too much?

Say something.

Rabu, 29 September 2010

CINtA dan cin(T)a

Q film fest gak hanya homo banci dan lesbi aja lho, Cong!

Ada juga sesi human rights. Makanya cin(T)a termasuk dalam jajaran film yang ditayangkan. Bukan karena posternya dicurigai film lesbi karena kulit putih Cina yang lebih mulus dari Annisa.

Gue juga gak tahu menahu ketika poster cin(T)a menghiasi salah satu adegan film pendek di pembukaan Q Film Festival. Dua orang pasangan gay sholat bareng dengan background poster cin(T)a.

Telunjuk kedua gay ini menunjuk. Tauhid. Tuhan itu satu. Sama kaya poster film di belakangnya.

Film cin(T)a sudah melangkah lebih jauh dari pikiran gue, sampai gue tidak berani lagi menyebut guelah pembuatnya. Terlalu banyak kebetulan yang melebihi akal pikiran seorang sutradara.

Contohnya CINtA. Sebuah film pendek tugas akhir yang sidang di hari yang sama dengan launching cin(T)a.

Sutradara mana yang bisa menyuruh salah satu lulusan ter-oke IKJ bikin Tugas Akhir film dengan judul sama?

Sutradara mana yang bisa nyuruh dosen-dosennya bikin sidang di hari yang sama dengan launching film cin(T)a?

Sutradara mana yang bisa membuat Titi Sjuman, Djenar, dan turunan Sjumandjaya lain aware akan keberadaan film buatan sutradara antah berantah?

Tentunya bukan sembarang sutradara.

Mungkin benar Tuhan itu sutradara, tapi yang pasti sutradara itu emang bukan Tuhan.

Hey Sutradara, terima kasih karena aku sudah boleh lewat-lewat dikit di filmmu ini. I like it so far. I can't wait to see what's next.

Laknat

Hari ini acara yang gue nanti-nanti. Take a cong out show! Take him out versi banci-banci. Bahagia melihat lelaki-lelaki ganteng se-Jakarta berbahagia.

Sesampainya di Goethe, barisan jaket kuning bermoral sudah teriak-teriak sambil membawa poster-poster bergambar ayam-ayam lucu yang dalam imajinasi mereka pasti semuanya heteroseksual. Seakan-akan homoseksualitas tidak ada di animal kingdom. Padahal ngakunya mahasiswa salah satu kampus terbaik di negeri ini, tapi kok kurang pengetahuan?

Laknat! Neraka! Tobat!


Take Cong Out dibatalkan.

Mau pulang, gak bisa. Dua geng tawuran di jalan pulang gua. Pilihannya : menanti geng-geng kecapean perang karena beberapa udah metong, atau cuek melintasi tawuran dengan resiko gue yang metong.

Laknat! Neraka! Tobat!


Aku tak mau mati dulu. Tiket ke Hawaii sudah dibeli.

Terjebak aku nonton film gay jerman pertama, tentang seorang ibu di Jerman di tahun 1957 yang dipenjara karena membuat anaknya yang gay jadi hetero.

Cowo gay Jerman tahun 1957 kurang aware ama ketebalan torso, membuatku terkantuk-kantuk. I need more naked torso!!!

Gak enak keluar sebelum selesai, gue mulai berharap BB menghiburku. Ternyata demo mahasiswa tadi sudah tergantikan tweet another tawuran geng di Ampera yang menewaskan setidaknya 4 orang, termasuk melukai betis kapolres dan ajudannya.

Laknat! Neraka! Tobat!


Dan di manakah polisi? Ternyata sedang ngopi tertutupi pohon rindang.

Di manakah hati nurani? Mungkin sedang tertutupi kebencian dan kemalasan untuk mencari kebenaran.

Terlintas sebuah plan B terinspirasi Maria-Maria lain di telenovela, bagaimana kalau Maria yang ini pura-pura amnesia di Hawaii nanti agar tidak perlu kembali ke Indonesia dan semua huru-haranya?

Terdengar bisik-bisik tertawa.

Laknat! Neraka! Tobat!

Minggu, 26 September 2010

Homo-Homo Beragama

Gay Muslim. Disisihkan kaum Muslim karena gay. Disisihkan kaum gay karena mereka Islamophobia.

Gay jew. Dikutuk rabi karena tak bermoral. Ingin tak beragama, tapi tak sanggup hidup tanpa berdoa.

Christian Lesbian. Gereja menerima, tapi gak betah setelah tiap minggu didoakan ibu-ibu gereja agar tobat. Gak betah di komunitas gay karena terlalu hura-hura.

Q Film Festival membawa gue mengintip kehidupan mereka. Gay di sekitar gue cenderung pesimis dengan agama yang sudah tak memberi mereka ruang untuk bertanya.

Ternyata tak hanya Mustopo yang beragama. Homo pun ada yang beragama.

Yang paling menarik adalah 'Fish Out Of Water', cerita tentang seorang lesbian aktivis gereja yang berkeliling Amerika menemui pastor-pastor untuk mempelajari tentang homoseksualitas dalam Alkitab.

Ada 7 passage di alkitab yang sering dipakai untuk melarang homoseksualitas.

Kejadian 1 (Penciptaan Hawa sebagai penolong yang sepadan buat Adam)
Kejadian 2 (Procreation)
Kejadian 19:1-14 (Sodom dan Gomora)
Imamat 18:22 dan 20:13 (cowo gak boeh tidur ama cowo)

dan 3 tulisan Paulus di
Roma 1:26-27
1 Korintus 6:9
1 Timotius 1:10

Tentang apakah mereka? Nanti sajalah kuceritakan kalau aku sudah membaca. Tak baik menyimpulkan sebelum mencari sendiri.

Sendiri? Jangan ah.

Tuhan pegang tanganku yaaaa. Aku takut.

Jumat, 24 September 2010

Membis

Membis, M*m*k Bengis.

Band kontemporer dengan personil para M*m*k Bengis, perawan-perawan yang m*m*k-nya masih bengis, gak pernah nyakola.

Nyakola, nyaho kon*** lalaki.

Band ini dilahirkan dari diskusi intelektual di salah satu pembukaan festival komunitas budaya paling terpelajar di Jakarta. Yang boleh menyanyi hanya mereka yang bisa melewati gerbang SMA Jambi tanpa detektor keperawanan berbunyi.

Detektor berbunyi berkali-kali.

Dua vokalis utama band ini ternyata sudah nyakola. Terpaksa mereka bergabung dengan barisan backing dancer, cewe-cewe keren se-Jakarta yang sudah berkali-kali nyakola.

Posisi lead singer pun diberikan pada dua pendatang baru.

Test baby test. Mereka harus melewati gerbang detektor keperawanan SMA Jambi, inovasi kaum legislatif Jambi yang sangat bermoral.

Bunyi or gak bunyi, sama-sama memalukan.

Hening.

Yeyyyyyyyyyyyy! The Membis punya vokalis baru.

Sammaria dan Sali.

wrap party

Wanita Karir (Working Girls)
"We live. We fight for something. Just Like You"

3 film dokumenter tentang wanita dan kemiskinan sudah disatukan dan siap dipertontonkan ke programmer festival. Tinggal dikasih subtitle, graphic, scoring, color grading, dan yang paling penting...

Wrap Party!

Beer and dancing all night long.

Yeyyyyy! We live. We fight for something. Just Like You.

No. Not like us. Your beer cost me my mothly salary.

Tersadar.

Untung teman-temanku masih berhati nurani. Hampir saja film tentang wanita dan kemiskinan ini ditutup dengan wrap party yang tidak peduli wanita dan kemiskinannya.

Ladies, we will try to live and fight for something. Just like you.

Just like you.

First Task

"Murid-muridnya gak niat. Kalau ini kelas sekolah wajib sih gue bisa ngerti. Tapi ini kan kursus. Mereka yang milih sendiri. Masa tugasnya masih gak dikerjain?" kata salah seorang mantan dosen yang kapok mengajar.

Ah. Kau terlalu cepat menyerah, Bang. Mereka bukan malas. Hanya kurang pede.

Hadiah terbaik yang bisa diberikan pendidikan adalah percaya diri. Anak-anak harus disemangati agar percaya diri dengan karyanya.

Sampai ketika tugas pertama kelas gue dikumpulkan.

Hard disc saya jebol, Bu.
Bapak saya sakit, Non.
Kak, saya video saya cuma 1 jam.
Gak bawa kabel, Bu.
Besok aja deh bu ngumpulinnya.


Gue langsung loncat-loncat sambil bernyanyi nyaring.

Oh oh astaga apa yang sedang terjadi
Oh oh astaga mau kemana semua ini
Bila kaum muda sudah tak mau lagi peduli
Cepat putus asa dan kehilangan arah


Tapi tentunya hanya dalam hati. Gue gak mau mematahkan semangat mereka.

Hadiah terbaik yang bisa diberikan pendidikan adalah percaya diri. Anak-anak harus disemangati agar percaya diri dengan karyanya.

Mari menanti keajaiban di pengumpulan besok.

Sampai batas waktu, cuma 12 yang ngumpulin tugas. Padahal murid gue hampir 30.
Wiken, cuma nambah 4.

Dan ketika link videonya gue buka...

Oh oh astaga.

Aku tak sanggung lagi bernyanyi.

Hadiah terbaik yang bisa diberikan pendidikan adalah percaya diri. Anak-anak harus disemangati agar percaya diri dengan karyanya.

But no Idol is born without Simon Cowell.

Karenanya, Senin ini gue akan memberitahu kalian betapa karya kalian memalukan. Memalukan bukan karena kalian bodoh. Bukan karena kalian kurang berbakat. Tapi karena kalian malas.

Ada kalanya pendidikan tidak perlu menghadiahi percaya diri.

Oh oh astaga apa yang sedang terjadi
Oh oh astaga mau kemana semua ini


Lebih baik Evaluasi diri.

Coalition of Sexual and Bodily Rights In Moslem Societies

Coalition of Sexual and Bodily Rights In Moslem Societies (CSBR). Mereka bertemu di sebuah ruangan mewah di salah satu hotel kecil tapi berbintang.

Seorang pHd pelopor kelompok gay di nusantara.
Seorang feminis pelopor media perempuan.
Seorang dokter canggih yang seharusnya jadi mentri kesehatan.
Seorang waria yang belajar jadi sarjana hukum.
Dan peserta diskusi dari berbagai negara: Pakistan. Bangladesh. Sudan. Dan negara berpenduduk Muslim lainnya.

Friendly and sophisticated people. Where have they been? Kalau dunia isinya manusia-manusia tersenyum seperti mereka, mungkin kita tidak perlu batas negara.

Apakah mereka yang memang terlalu eksklusif atau gue yang terlalu gak gaul? Gue baru tahu kalau ibu-ibu berjilbab ada yang gak risih ikutan diskusi bersama LGBT. Bahkan ada yang sempat mendapatkan penghargaan dari salah satu petinggi Amerika karena pemikirannya yang dianggap progresif bagi perkembangan LGBT dalam Islam.

"Mbak, kalau anak Mbak ntar gay mbak masalah gak?" tanya gue pada mbak produser yang menjadi tiket gue memasuki koalisi ini.

"Ya masalah lah!"

Gue kaget. Temennya banci, buci, lesbi, homo, hetero gagal, homo bingung, aseksual. Adiknya sendiri lesbi. Film-filmnya LGBT friendly. Kalau orang seperti dia saja tidak mau anaknya jadi gay, apalagi mereka yang ada di luar ruangan kecil ini. Pantesan koalisi ini sangat eksklusif.

"Justru karena temen gue banyak yang gay. I know what kind of shit they are facing. No mothers would want their kids to face that," katanya.

Is gay really an option? Will they lead a happier life denying their feeling?

"Ya kalau emang anak gue gay, ya akan gue support juga akhirnya. Tapi kalau ditanya masalah atau nggak , gue tetep masalah." kata si mbak seksi yang ternyata udah jadi emak beranak dua.

Untunglah keluarganya sangat terbuka dan terkenal progresif. Tapi tetap saja si ayah diisukan menangis ketika tahu anaknya lesbi.

Bahkan seorang sutradara terkenal yang film-filmnya jelas-jelas gay ternyata gak bilang ke emaknya kalau dia gay.

"Apa itu gai gai di film kau? Kau gak gitu kan?"
"Ya nggak lah mak," katanya ketika si emak nelepon dari seberang.

Nggak usah jauh-jauh. Lelaki baik hati di sebelah gue juga ternyata gak bilang ke emaknya kalau dia gay.

"Kayanya mereka tahu sih, hanya gue gak bilang aja. Ada yang lebih penting," katanya karena mengingat nyokapnya yang sakit keras.

Itu baru awal. Minggu ini hidup gue dipenuhi dengan para gay dan banci. Diawali dengan CSBR dan diakhiri dengan opening Q Film Festival. Tampaknya minggu depan pun hidup gue masih dipenuhi Q.

Their 9th Q festival. My first one.

Gue terlihat berbaur di antara wanita macho lainnya yang beranting satu. Bukannya ingin teridentifikasi buci, kuping kiri gue infeksi.

"Lo lesbi gak?" tanya another sutradara wanita beranting satu. Walau beranting satu dan baru akan meluncurkan kumpulan cerpen bertema lesbi, doi mengaku hetero.

Hetero gagal. Pengennya sih lesbi, tapi ternyata doyannya kenti.

"So far sih nggak ya," kata gue sambil menceritakan hati gue yang ketinggalan di Sidney.

"Yah janganlah. Capek," kata si hetero gagal.

It's a very devastating life being gay in Indonesia.

"I love gay people. They look happy all time," kata salah satu hetero di layar pembukaan mengomentari Q.

Happy al the time? Really? All you guys who think that gay is a trend, think twice.

It's an emotion.

It's an art.

It's a very expensive art.

Visa Amerika

Aloha! In 3 weeks I am going to Hawaii, baby.

Tickets bought. Hotel booked. Body slimmed.

Dancing-dancing on the floor. Shake it. Shake it.

Wait.

That island is still America. I need a visa. Not just a visa. An american one.

Damn.

I remembered the first time I applied the American visa, I need to go back there three times. And it was the before 9/11. It's even more terrifying now.

I thought the American visa is very hard to get. Till... _Kayanya pake basa Indonesia aja deh ya_ ... Sampai Kakak gue dapet visa tanpa pernah menginjakkan kaki di kedutaan Amerika. Berkat telpon papi.

Tapi gue bukan anak papi. Malu dong ah bawa-bawa papi urusan ginian doang. Gue sih bisa dapet visa sendiri.

Eit.

Ternyata paspor gue expire 5 bulan lagi. Terpaksa bikin paspor dulu. Tapi kali ini aku akan bikin paspor dengan prosedur yang benar, tanpa bantuan papi.

Malu dong ah bawa-bawa papi urusan ginian doang. Gue sih bisa bikin paspor sendiri.

day 1. ambil formulir.
day 4. foto dan bayar.
day 8. ambil paspor.

Damn. Butuh 8 hari untuk ngurus paspor di negara gue tercinta ini.

Terpaksa telpon papi. Paspor sehari jadi.

Sekarang urus visa. Isi form electronic di internet. Done.

Bikin appointment. Dddd...

Damn. Appointment sudah terisi sampai akhir oktober.

Aha! Ternyata ada emergency appointment. Maybe this is my way.

Failure to plan is not an emergency and we usually cannot accommodate last minute appointment requests.

Terpaksa telpon papi.

Ahhh aku tak mau selamanya jadi anak papi. Malu aku malu. Tapi bagaimana caranya bisa jadi warga negara yang taat aturan di negara yang perpanjang paspor aja butuh 8 hari ini?

Ngeluh mulu. Dasar anak papi.

Selasa, 21 September 2010

Jurus Dim Sum

20 September 2008

Sebuah restoran di ujung gedung pulpen/ layar perahu/ topi sultan. Walalupun membuat kebingungan arsitektur, restoran ini terkenal punya teh tarik dahsyat yang bisa dinikmati sambil melihat panorama Jakarta.

Bang Gigit buka daftar menu. Teh tarik Rp 50.000,00 ternyata.

"Di sini gak ada dimsum ya, Mas?"
"Gak ada, Pak."
"Wah, maaf. Saya kira ada dim sum," kata Bang Gigit sebelum mengembalikan buku menu dan mencari restoran lain.

Mending Teh tarik Tamani. Tanpa panorama, tapi hanya 20 ribuan.


20 September 2010

Sepanjang Kelapa Gading ditelusuri, dan sampailah Bang Gigit di sebuah restoran Korea. Grill babi dan sapi. Nyummm.

Bang Gigit buka daftar menu. Bulgogi Rp 150.000,00 ternyata.

"Di sini gak ada dimsum ya, Mas?"
"Gak ada, Pak."
"Wah, maaf. Saya kira ada dim sum," kata Bang Gigit sebelum mengembalikan buku menu dan mencari restoran lain.

Bulgogi Ganggang sulai: all you can eat, 80 ribuan plus minum.


20 September 2013

Bang Gigit buka daftar menu di sebuah restoran di Hawaii. USD 100 untuk seporsi steak.

"Di sini gak ada dimsum ya, Mas?"
"Gak ada, Pak."
"Kalau gitu steak aja dua!"

Sekarang Bang Gigit udah jadi VP top di sebuah bank terkenal.

Amin.

Kalau 2013 belum kesampaian, tenang. Kita masih punya jurus dimsum.

Happy birthday, Bang Gigit.

Senin, 20 September 2010

Tante-Tante Labil

Sabtu pagi. Mentari bersinar. Tiga tante labil dengan kacamata hitam dua puluh ribuannya melarikan diri dari ibu kota, menuju kota kembang tercinta. Walau kota ini tak lagi dihiasi kembang, masih banyak pakaian dan makanan murah yang mengundang tante-tante labil yang lelah dipecut ibu kota.

Walaupun sudah diperingatkan akan bahaya ramainya arus balik di hari Minggu nanti, Tante-tante tetap bertekad berpetualang demi wedges dan perbajuan. Biar labil, tante-tante harus tetap trendy.

Trendy tapi kere. Karenanya tante-tante lebih bahagia dibawa belanja ke Kings, daripada ke Rumah Mode. Tidak seperti species Jakarta lainnya.

Mumpung masih tante. Mari nikmati hidup. Keburu metong, eh malah jadi mayat labil... aihhhh mayat-mayat kok masih labil? Kuntilanak dong cyinnn?

Perbelanjaan dan penggendutan diselilingi gosip-gosip seputar selebriti.

Film, fame, and fortune, and why they became BFF (Best Friend Forever). At least on the outside. The three of them are so different in the inside.

Seekor perawan gendut cuma mendengarkan setengah tak percaya. Maklumlah dia masih sangat ababil dibandingkan tante lainnya. Belajar hidup pun hanya dari baca blog Yasmin Ahmad. Si perawan terlanjur percaya kalau hidup itu yang penting tulus dan jujur, sisanya datang mengejar.

Terkaget-kaget mendengarkan betapa kelamnya perfilman. Inikah sebabnya kenapa film Indonesia masih kelam? Para pembuatnya pun masih kelam. Jadi penasaran apa kata kru Yasmin Ahmad tentang almarhumah.

"Yah terima aja temen lo ada kekurangan. Lo juga gak sempurna. Lo jangan naif deh," kata tante mengingatkan.

Tapi di blog Yasmin Ahmad nggak gitu dehhhh.

Hhhhh... Susah ngomong ama anak kecil.

Ternyata dia belum jadi tante labil. Masih perawan labil.

Jumat, 17 September 2010

David and Jonathan

As soon as he was finished speaking, the soul of Jonathan was knit to the soul of David, and Jonathan loved him as his own soul.

This will be the last time they speak. No more esia. No more long distance call. Not before Bakrie paid up those Lapindo victims.

Then Jonathan made a covenant with David, because he loved him as his own soul. And Jonathan stripped himself of the robe that was on him and give it to David, and his armor, and even his sword and his bow and his belt.

Then Jonathan said to David, "Whatever you say, I will do for you."

David fell on his face to the ground and bowed three times. And they kissed one another and wept with one another, David weeping the most.

Then Jonathan said to David, "Go in peace, The Lord shall be between me and you, and between my offspring and your offspring, forever."

Even if you don't believe in God.

And he rose and departed, and Jonathan went into the city.

"Happy birthday, babe."

Kamis, 16 September 2010

Sang Pencerah

"200 ribu? Itu udah pake askes, mbak?" tanya si Ibu tua di samping gue pada petugas radiologi.

Anggukan si mbak membuat si Ibu tua terduduk, gak jadi daftar USG.

Gue melihat dompet gue, sisa 100 ribu setelah bayar radiologi tanpa askes seharga 303ribu. Kenapa kesehatan begitu mahal?

"Gue sih ogah ke rumah sakit. Kalau gue sakit, ntar gue tembak diri pake pistol aja," kata Ucu yang sedang membuat film dokumenter tentang kesehatan di Indonesia.

Narasumbernya yang datang ke rumah sakit mata ditakut-takuti kalau besok gak operasi, retinanya bisa copot. Abis operasi, doi malah buta.

Dan list panjang malpraktek bermotif uang lainnya yang akan menghiasi film dokumenter Ucu. Lebih murah pake pistol. Toh sama-sama metong.

Negara ini terlalu banyak kesesakan. Tak heran manusianya cuek dan cuma peduli diri sendiri. Gue nggak menyalahkan mereka yang melewati Bunderan HI dengan tatapan kosong. Padahal di samping mereka sedang berteriak-teriak kami yang memprotes tidak dijaminnya kebebasan beragama.

Gue pun kalau bukan karena diajakin Ucu mungkin akan memilih bergabung dengan mereka yang ngopi2 di sisi lain Bunderan HI. Ngapain sih aksi? Paling masuk headline sehari, besoknya orang udah lupa.

Tapi kesinisan gue semakin terkikis seiring bunyi kasidahan.

Tumbuh besar di gereja batak dengan paduan suara indah dan merdu, gue gak pernah suka kasidahan. Ribut. Sengau. Butuh lebih banyak latihan. Tapi kasidahan malam itu terdengar begitu mendamaikan.

"Perdamaian perdamaian..." kata sebaris ibu-ibu kasidahan berseragam lengkap diiringi bunyi air bunderan HI, dikelilingi lilin-lilin dan berbagai tulisan penolakan, pantat gue pun ikut bergoyang.

"Lilin ini untuk HKBP, Ahmadiyah, Kong Hu Cu,..." dan banyak nama lain yang dianggap tidak akan masuk surga oleh segelintir minoritas yang mengatasnamakan diri mayoritas.

Satu abad yang lalu Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah pun dituduh kafir karena membuka sekolah kafir: pake meja, kursi, dan buku. Dia juga dituduh kafir karena berpakaian kaya kafir: pake sepatu.

Bayangkan kalau di abad depan kita difilmkan. Maukah kita dikenang sejarah sebagai ulama norak tukang marah-marah yang gak peka perubahan?

Ayo anak muda. Gak peka, gak gaya.

Rabu, 15 September 2010

Faith Hope Joy

Tiga tetes air yang membuat gue bertahan di tengah padang gurun penantian. Menanti matahari yang tak kunjung terbit. Tetap menari di saat-saat paling gelap, di saat menjelang matahari terbit.

Belum ada kabar dari sponsor.

Belum dapet produser.

Gue udah janji akan mengabari orang-orang sehabis lebaran. Untung gak bilang lebaran tahun berapa=D

Huaaaaaaaaaaaaaaa lebaran tahun ini ah.

Ayo matahari, cepatlah terbit. Agar tak sia-sia aku menari dalam gelap. Mau lihat goyangan seksiku kan?

Makanya buruan terbit.

hancurkan dan bentuk sesuai inginmu

Tuhan, terima kasih atas dilarangnya pendirian HKBP di Bekasi sehingga HKBP kembali bersatu.

Tuhan, terima kasih atas pemukulan pendeta Simanjuntak sehingga keputusan pemerintah memberlakukan urban planning yang tidak mendukung toleransi beragama semakin dipertanyakan masyarakat.

Tuhan, terima kasih atas penusukan sintua Lumban Batu, sehingga kami tahu mayoritas teman-teman Muslim tidak berhati batu.

Tuhan, terima kasih atas berkat dan perlindungan yang kau berikan kepada keluarga korban, sehingga mereka tidak perlu menerima bantuan pura-pura peduli.

Tuhan, terima kasih atas prasangka buruk sebagian masyarakat yang menyatakan insiden ini dirancang sendiri oleh pihak gereja, karena gereja semakin berbenah diri dan kembali bergantung kepadamu.

Tuhan, terima kasih atas pernyataan prematur kepolisian yang menyatakan ini cuma tindak kriminal biasa, sehingga lebih banyak masyarakat disadarkan betapa demokrasi hanya bisa terjadi jika penduduk mayoritas melindungi minoritas.

Tuhan, terima kasih atas pers yang lebih tertarik memberitakan pembakaran Al Quran oleh pendeta antah berantah berjemaat 30 orang karena kami jadi menyadari betapa kami lebih suka menonton kebencian dibandingkan kebaikan.

Tuhan, terima kasih atas presiden pemberani yang menelepon Obama tentang pembakaran Al Quran karena membuktikan kalau presiden kami ternyata gak buta dan tuli. Doi juga bisa nyanyi walau ternyata memimpin Indonesia yang majemuk ini gak butuh nyanyi. Butuhnya nyali, booooo.

Tuhan, terima kasih atas presiden yang gak berani membubarkan FPI, karena film Indonesia jadi diramaikan dengan superhero banci.

Tuhan, terima kasih atas Ephorus yang akhirnya angkat bicara di TV nasional karena akhirnya doi gak hanya eksis jadi foto model kalender HKBP saja.

Tuhan, terima kasih atas ajaran Islam yang mengajarkan umatnya untuk berani membela yang tertindas, sehingga kami tidak sendirian.

Tuhan, terima kasih atas Desi Anwar karena mampu mengekspresikan kemarahan Dina Anwar tanpa terdengar barbar. Semoga Dina Anwar bisa secerdas Desi Anwar kelak.

Tuhan terima kasih karena telah kau hancurkan hati kami.

Agar bisa kau bentuk sesuai inginmu.

Basuh hati kami dengan air mata.

Tapi jangan tinggalkan kami.

Amin.

Judul

Selamat! Ketiga film kita sudah sampai di babak pic lock.

So you think its’s over?

Sehabis lebaran kita akan disambut rapat membahas babak-babak berikutnya: subtitling, color grading, scoring, sound, titling, bla bla bla.

In the meantime, pikirin judul apa yang cucok buat film kita.


Di atas adalah terjemahan bebas email dari produser tercinta film dokumenter kami, dijawab dengan berbagai email berisi ide judul yang terlintas di sela-sela maaf-maafan:

Intermission.
A pause between acts. Ketiga cerita kita kan tentang hidup tiga wanita jagoan kita di sela-sela panggung mereka. It’s an intermission before the show must go on.


Damn. He is good. Pantesan script- nya kepilih masuk Sundance Lab. Sayang udah keduluan Collin Farrell.

On The Verge.
Batas. Karena semua karakter kita nasibnya sudah di ujung batas, selangkah lagi menuju sukses atau nestapa.


Damn. He is good. Pantesan film pendeknya masuk Rotterdam. Sayang udah keduluan Pedro Almodovar, On The Verge of A Breakdown.

Exit
Jalan Keluar. Karena semua karakter kita mencari jalan keluar dari kemiskinan. Sesuai dengan tema kita: wanita menyiasati kemiskinan.


Damn. She is good. Pantesan jadi salah satu sutradara terbaik Indonesia. Can’t wait for her next one.

Biar Kere Tapi Kece.
Karena walaupun karakter kita kere-kere, tapi kece semua cyiiiin. Dijamin efektif untuk menjebak penonton untuk menonton karena mengira film ini another komedi seks remaja Indonesia. Nanti kalau ke festival, barulah kita pakai itu intermission, on the verge, exit bla bla bla.


Hfffff.... emang dasr gue norak. Pantesan minder di antara mereka.

A long way to go, babe. A long way to go.

Dan suara-suara delusional membisiki: Biar norak, yang penting kece=D

Mimpi Kita

35 menit: total durasi film dokumenter pertama gue. Akhirnya Picture lock.

Riset 2 bulan. Shooting 7 bulan. Ngedit satu bulan. Ngaerjainnya paling lama, jadinya paling pendek dibandingkan 2 film lainnya.

Lima menit lagi dong, ah ah ah.

Jangan ah. Iramanya sudah enakeun. Berkat bantuan editor Aline, rough cut kami disulap menjadi cerita yang lebih berirama.

Otak fiksi kami membuat rough cut terlalu terpatok pada skenario awal: TV sang antagonis penyebar mimpi instan yang menyebabkan lingkaran setan kemiskinan.
Ternyata footage yang menunjang kurang. Bukan karena mereka tidak dibodohi TV, tapi karena mereka tak lagi nongkrongin TV setiap kami datang . Mereka lebih tertarik mengerubungi kami, their way of another 5 minutes of fame .

Tidak perlulah ditambah berbagai macam drama. Berbagai macam animasi centil. Berbagai macam kulit yang gue idamkan di awal pembuatan. Biar film ini centil apa adanya.

Lima menit lagi, ah ah ah.

Walau ada beberapa gambar goyang yang mengusik mata fiksiku. Gatel pengen nge-delete. Tapi informasi gambarnya terlalu penting. Haram dikorbankan.

Content di atas segala-galanya.

Dasar dokumenter.

Tak apa-apalah. Yang penting awalnya nendang. Endingnya nonjok.

“Riana mah Cuma pengen tetep dikenal ama penggemar,” kata Riana mengakhiri film, mengenang masa-masa kemenanganya di suatu acara kontes dangdut instan di televisi.

“Makanya mau pengen ikut kontes-kontes kaya di TV lagi biar orang gak lupa,” kata Riana.

Benarkah ini kata Riana? Bukan kata ayahnya, ibunya, atau mereka-mereka yang nebeng mimpi di pundak ABG ini?

Riana, 14 tahun, gak pernah diberi kesempatan untuk tahu mimpinya apa.

“Emang mimpi mbak Atid apa?” tanya Riana polos.

“Bikin film,” jawab gue.

Proyek ini adalah the Stardut of filmmaker, Riana. Gue ikut proyek ini cuma untuk ngedeketin Nia Dinata. Ternyata gue malah belajar lebih banyak dari kamu, sayang. Belajar tentang mimpi gue sendiri.

Thanks for the bittersweet story of yours. Kamu menyadarkan gue kalau fame and fortune bukan mimpi gue.

Somehow I feel your story will bring me my five minutes of fame.

If the time comes, please give me the strength to pass it on. Yeah, babe, pass it on.

The world of ‘lima menit lagi ah ah ah’ really gets us nowhere.

Favorite Books

“Sebutkan 5 buku terakhir atau terfavorit yang pernah lo baca,” tanya sepupu salah satu teman yang bekerja di salah satu majalah di Jakarta.

Terfavorit? Banyak bangettt. Naming only 5 of them will provoke a riot in this democracy I call my heart. So I settle with the last 5 aja ya.

#1 What The Dog Saw – Malcolm Gladwell

What The Dog Saw adalah kumpulan tulisan di New York Times. He made statistic interesting.

Yang paling berkesan adalah ‘The Late Bloomers’. Dunia lebih memuja jenius muda seperti Picasso dan Orson Welles. Ternyata ada jenius tipe ke dua seperti Cezanne yang mulai seusia Picasso tapi baru menemukan gayanya di akhir karirnya. Kalau saja the dream team around him nggak support dia 100%, Cezanne pasti udah keburu menyerah pas umur 40-an.

Seperti juga Ben Fountain yang resign di umur 30 dan bermimpi jadi penulis langsung memenangkan penghargaan dengan novel pertamanya. .. 18 tahun kemudian.

Bayangkan kalau si istri gak rela kerja sendiri dan ngatain doi penulis gagal di tahun ke 16.

Tes. Tes. Air mata menetes. Antara iri dan haru. What a lucky guy.

#2 Biografi Rick Warren

“Your life is not about you,” kata Warren mengawali bukunya, The Purpose Driven Life yang mengubah hidup gue, makanya gue penasaran baca biografi dia. Ternyata dosa terbesarnya adalah nabrak bumper mobil orang dan kabur gak bilang-bilang.

Aihhhh kayak gituan dosa terbesar. Kalau kayak gue dimasukkan neraka mana ya nanti?

What I like about him is he doesn’t go and condemn people. He still make friends with people of different stand. Contohnya Melissa Etheridge, the gay singer. Atau Obama deh, biar lebih seru .

Rick Warren: no abortion, no gay marriage. Obama: free choice for abortion, free choice marrying anyone you love. Tapi Rick tetap mau mimpin doa di inagurasi Obama, bukan karena dia setuju dengan Obama, tapi demi unity in diversity booo. Dimulai dari pemimpinnya dong ah.

Padahal awlanya doi cuma niat jadi pastor biasa aja kaya bapaknya. Dia memulai dengan mendirikan the church for people who hates church. Tak sangka gerejanya jadi 25000 orang sekali kebaktian, menjadikan dia pastor paling berpengaruh saat ini. Temen Facebooknya tenar-tenar booooo: dari Tony Blair, Benjamin Natannyahu, sampai Usher.

#3 Biografi Paulo Coelho

“If you want something so bad, the whole universe will consppire to help you,” kata Paulo Coelho di Alchemist: salah satu racun resign gue buat bikin film. My life was a blessing ever since. Eh sebelumnya juga ding. Hanya jadi nyadar aja.

Tak sangka kata-kata bijak ini ditulis oleh orang yang gemar keluar masuk rumah sakit jiwa, a long history of drugs addiction, promiscuous sex with girls (and guys), dan bersahabat dengan berbagai aliran setan.

Gue terbengong-bengong baca biografinya, apalagi abis baca biografi Rick Warren yang too good to be true.

Ternyata orang senista Paulo Coelho juga bisa jadi berkat. Hhhhh... jadi orang kaya gue ini masih ada harapan.

#4

#1, #2, dan #3 masih teronggok di sebelah gue makanya gue inget. Sebelum itu apa ya? I think I need to credit some other writers that really influences me. Not only those I last read. So the other two spots I will give to my favorite writers.

Chuck Palahniuk? Salman Rushdie? Rumi? JD Sallinger? Neale Donald Welsch? Joestein Gaarder?

Akhirnya Chuck Palahniuk , untuk mengimbangi # 1-3 yang terlalu bright. I need one to show the dark side of me.

But which one?

Choke bikin gue menolong orang tanpa ngarep terima kasih.
Survivor bikin gue berhenti merokok.
Diary bikin gue pengen jadi seniman.
Fight club bikin gue bikin Resign Club. Same risk, less blood.

Pusing, gue malah milih Invisible Monsters.

Karena... speechless.

#5 Yang Indonesia donggg.

Banyak banget juga yang keren. Tapi yang semua karyanya gue baca Cuma Pramoedya, Ayu Utami, dan Mira W.

Karena 4 nama pertama beresiko membuat gue terdengar terlalu keren, I need someone to show the true part of me: the drama queen.

Mira W – Seandainya Aku Boleh Memilih.

Si sepupu sampai menanyakan ulang, memastikan gak salah dengar. Seandainya aku Boleh Memilih? Agak janggal diurutkan bersama Chuck Palahniuk dan Paulo Coelho.

Masih untung gue gak kasih tahu dia my actual favorite Mira W.

Cinta Cuma Sepenggal Dusta.

Jreng jreng jreng. Gak kurang dangdut apa tuh? Tapi gak gue bilang. Bukan karena takut dia tambah shock, tapi karena gue ingin mempromosikan sinetron favorit gue: Cinta, baesd on Seandainya Aku Boleh Memilih.

Setiap Selasa malam gue ngamuk kalau pas iklan RCTI diganti. I don’t wanna miss a second of Desy Ratnasari. Bahkan gue sorak-sorak pas dia menang Panasonic Awards. She totally deserved that. Hanya itu film Mira W yang memuaskan hati dramaku ini.


Ih bacaan gue banyak juga ya?

This is one of the reason I thank God I am pengangguran.

Video Sketchbook

“Tugas kali ini adalah merekam 30 menit setiap hari apa pun yang kalian anggap menarik dari hidup kalian,” kata None Dosen Sammaria.

Bayi menangis. Hujan netes. Getaran bombox. Keong Racun.

30x7 hari. Total 3,5 jam.

Harus jujur! Jangan ngasal! Gue janji nilai kalian pasti bagus. Jangan sia-siain kesempatan mengenal diri kalian sendiri dan mengenal apa yang menarik bagi kalian.

Seperti pelukis yang gak mungkin bikin lukisan tiap jari, makanya bikin sketsa. Filmmaker juga harus bikin sketsa dengan video.

Dan si dosen pun ikut bikin tugas. Belajar sambil mengajar. Untung punya BB baru berkamera.

Ternyata hidup gue menarik. Gue dikelilingi dengan keindahan.

Mata anjing kurapan.

Ekor yang bergoyang melihat tuannya datang.

Mak Gondut makan semangka, penuh noda merah di baju.

What is a better way to learn than to teach?

I think I will give myself an A.

A for Alhamdulilah.

Mari

Namanya Mari. Mariyuana.

Semua tertawa mendengar namanya. Semua gemas melihatnya. Kecil, berbulu, berpita, dan bermata kelereng. Warna bulunya machiato, campuran coklat dan putih penuh lemak. Muat dimasukin ke tas, biar kaya Paris Hilton.

MAri adalah hadiah ulang tahun manis untuk sang Mama.

Tapi itu dulu.

Sang mama gak doyang anjing. Si adek sekolah ke Jerman. Si kakak ke Malaysia.

Dikurung. Berak di tempat. Disiram. Basah. Gak pernah dikeringkan. Gak pernah dimandikan.

Mariyuana tak lagi machiato. Putihnya berganti abu-abu lengket-lengket. Coklatnya berubah hitam kegot-gotan. Koreng sana sini. Hyper active. Gak lucu. Gak guna. Gak bisa nangkep tikus.

Tapi matanya masih kelereng, memandang Mak Gondut penuh harap. Mak Gondut geer, berasa Mari minta dibawa pulang.

Mariyuana dibawa pulang. Ke rumah di mana anjing bisa berkeliaran bebas, gak
dikurung sendirian.

Ternyata Bonyet dan Boni gak terima. Mari kecil langsung diterkam. Segala teori ‘biarin cium pantat dulu’ ternyata tidak berlaku bagi Bonyet, si anjing kampung cemburu buta.

Mari terpaksa ditaruh di belakang, sementara Bonyet dan Boni berkeliaran bebas di rumah. Padahal yang anjing mahal Mari , Bonyet cuma 40 ribu.

Setelah dibawa ke dokter ama Papi, dimandiin dan diguntingin Cica, Mari kecil agak wangi sedikit, walaupun masih korengan. Belum cukup lucu untuk dikasih ke orang.

Ngidupin pompa air untuk mandi selalu jadi dilema di pagi hari, karena harus melewati kandang Mari. Mari selalu melonjak-lonjak minta diajak main. Gak tega liat matanya sedih tiap kali gue gak bisa lama-lama nemenin.

Kenapa sih si Bonyet? Toh kalau gue sayang Mari, dia gak akan kurang disayangi.

Mungkin ini rasanya jadi Tuhan ngelihat kita gak senag liat orang senang.

There is enough love for everyone.

Enough love.

Hela Na Burju

Bibik pulang kampung. Papi segera dialihfungsikan menjadi staf ahli pengepel lantai rumah oleh komandan yang mengangkat diri secara aklamasi: Mak Gondut.

Kasihan mendengar bapaknya disuruh-suruh ngepel, Bibik Infal mendatangkan diri khusus dari Jakarta.

Bibik infal datang bersama pel baru magic seharga 350 ribu yang menjanjikan no more peras memeras dan punggung bengkok.

Ternyata bakat-bakat diktator Mak Gondut genetis dan nurun ke Bibik Infal. Dengan dalih musim panen blueberry di ladang farmville, dan deadline proyek jalan layang di social city pimpinannya, proyek ngepel didelegasikan kepada asistennya: Hela na burju, menantu kesayangan Mak Gondut.

Sekarang papi gak sendirian lagi.

Goyang kanan goyang kiri. Hela Na Burju goyang ngepel diiringi Kesha.

Goyang ngepel Hela Na Burju didokumentasikan dan disebarkan ke berbagai situs jaringan sosial oleh Adik Kecil yang lagi latihan ngedit.

Komentar-komentar pun berdatangan. Selain ungkapan belasungkawa, pemesanan produk Hela Na burju sebagai calon suami idaman pun meningkat. Pesanan ini agak susah dipenuhi karena produksinya yang terbatas. Mutu hati Hela Na Burju ini sulit dideteksi karena seringkali dibungkus dengan packaging yang terlalu mini dan terlalu gelap. Jadi kurang bersinar di antara deretan rak calon-calon suami lainnya.

“Look at how he treats his Mom. That’s how he will treat you someday,” kata salah satu bos gue, memberi tips memilih produk hela na burju unggulan.

Tips ini agak berbahaya karena bisa jadi kita membeli produk anak mami yang lebih doyan ngetek ama emaknya daripada ama kita.

Dan tips ini hanya untuk berlaku untuk mencari suami ya! Gak berlaku untuk tips mencari istri. Bisa-bisa pasar gue semakin menyempit.

Pilihlah aku, cyiiinnnnn.

Dijodohin

“Lo ama adek gue aja. Rumah kami ada dua di jalan Riau. Bisa lo jadiin kantor PH,” kata kakaknya setelah 5 menit kenalan dan ketahuan gue Simanjuntak.

Seru juga punya eda kaya doi. Kalaupun adeknya psycho, setidaknya gue bisa ngerumpi ama kakak ipar yang seru. Plus kantor gratis di Jalan Riau.

Makanya gue mau aja bertemu adiknya di salah satu restoran pancake favoritku. If the conversation was boring, at least the pancake was great. At least I have something sweet when he talked about himself and keep looking at his pager anytime I talk about myself.

OK. That’s it. No more doctors.

“Jangan gitulah kau. Kau coba dululah,” kata Chica balas dendam. Dulu gue menuding dia terlalu singa ama cowo-cowo yang dikenalin ama dia. Every rejections and every boring dates I have are moments of glory for Chica.

“Lo masuk NHKBP aja kalau mau nyari Batak,” kata salah seorang Batak murtad.

“Udah, mbak. Jadi ketua pula.”

Dan dia menghela nafas panjang. “Yah. Harusnya lo jadi sekretaris aja.”

Gue ikutan menghela nafas. Sudah sebegitu burukkah CV-ku? Masa sih nggak ada Batak keren yang pinter cari duit dan rela didominasi istri?

Ada sih. Hanya udah terlanjur diambil Mak Gondut.

Atau kuikuti saja jejaknya meninggalkan HKBP, gereja, dan suami pertamanya yang Batak? Now she live a wholistic life wth her 2nd husband yang tentunya bukan Batak.

Gue masih berharap ada keajaiban walau dia bilang hampaku takkan hilang sekejap oleh pacar impian.

Teringat salah satu kejadian di gereja ketika gue masih 24 dan percaya kalau jodoh bukan dicari, tapi dinanti.

Gue kabur ke WC. Pas balik, kursi gue sudah diduduki seorang Batak ganteng yang gue klaim sebagai jawaban doa-doaku. Jadilah kami berbagi buku ende.

Pulang gereja, aku langsung lapor ama pendeta biar gue dijodohin ama dia sebelum diambil wanita-wanita haus lelaki di gereja ini. Langsung batal pas tahu dia 34. Ketuaan.

Tapi ternyata dia juga gak mau ama gue. Alasannya: gue ketuaan.

What?

He lived happpily ever after with his 19 years old girlfriend.

“Sekaranglah kau kawin. Tambah lama tambah susah nanti nyarinya,” kata Mak Gondut yang ngakunya kapok ngejodohin karena udah tekor akibat usaha menjodohkan Chica melibatkan banyak strategi pura-pura ketemu di toko baju. Gue disuruh cari sendiri, tapi tetap saja beberapa SMS berdatangan.

Gak pernah gue jutekin. I really appreciated them taking the time to send an SMS to a stranger.

Giliran ada yang menarik, langsung berhenti SMS ketika dia tahu gue sutradara.

“Sutradara emang ada gilak-gilaknya,” kata salah satu mertua sepupu gue yang mengaku banyak stock ponakan ganteng. Nggak ngaku lagi begitu tahu gue sutradara.

Mami, Papi... Batak cuma ada 4 juta di dunia ini. Dari 4 juta, paling satu juta non parhuta-huta. Dikurangin yang Simanjuntak, bersistri, dan gay, tinggal berapa yang halal gue jadikan suami? Dikurangin yang nggak mau ama gue karena ketuaan atau ada gilak-gilaknya: ... tinggal mereka yang gak nyambung ama gue tapi tetep neleponin gue karena kejar deadline.

It’s really unfair. You let me out there and kiss all the sweet lips of these world. You let me learn that you needed no languange to connect to a person. When you connect, you just connect. You don’t speak each other languange and yet you speak about the most boring stuffs: the Eastern european politics and still you laugh throughout the whole date.

That’s conection.

And then you expect me to come back here and marry a Batak boy?

None of your Batak boy makes me laugh, Mami.

“Ama Jerman pun tak apa-apanya. Masih satu opung kita. Sama-sama turunan Nomennsen,” Opung Mak bersabda. Mak Gondut langsung merengut, walau agak mikir pas inget cucunya bakal laku maen sinetron.

But I have no German yang bisa gue jebak ngawinin gue and ngasih mami cucu. I am stucked here in Bandung with a population of no eligible Batak that I can connect to.

“Nanti ada Pangaribuan. Udah ada 4 orang yang nawarin ama Mami,” kata Mak Gondut belum menyerah.

Ok, Mami. Bring it on.

To Siantar to Sipirok Padang Panjang Ford de Kock, kankusosor ya kusosor kusosorrrr....

MAAF

Menyambut lebaran, gue mengirim berbagai SMS maaf, kecuali kepada mereka.

Maaf ya. Gue males minta maaf.

Boong ding. Gue gak males. Hanya takut. Takut gak dimaafin.

Setidaknya ada 6 nama yang mengingatkan gue selalu kalau gue bukan orang baik. Jadi setiap kali gue ngerasa diperlakukan gak adil, 6 nama ini akan mencegah gue merasa dizalimi.

Sesama orang berdosa dilarang saling menghakimi.

Nursita Wulansari

Temen SMP gue. Target bulan-bulanan kelas karena suatu hari dia mengaku-ngaku cucu presiden. Mungkin dia mencoba melucu. Tapi gak lucu. The 13 years old me thought that it won’t hurt her feeling to make fun of her cause everyone else did. She’s so used to it.

But I was the worst. Dia nangis. Bukannya minta maaf, gue malah defensive dengan niruin dia ‘nangis’... ngenyek. What a bitch.

Ayu

For not forgiving her. For being a better judge than a better friend in times of her weaknesses.

Cindy

Not for writing her story, but for not writing her story. My first book is a mix of fiction, reality, and childish revenge for her not writing me more often. It gets people confused between what is real and what is not.

Niki

Niki terpilih jadi ketua umum LFM. He is a nice guy and all, but I thought the only reason he was elected was that he was a Moslem, unlike the other candidate whom I think will make a better leader.

I was devastated. Katanya keluarga. Ujung-ujungnya agama.

Niki menawarkan gue menjadi salah satu manager di kabinet dia. Walaupun gue lagi ‘the fly’ mode on (terpuruk dalam benci dan frustasi kala sepi) tawaran Niki gue terima tanpa niat baik. Rencana gue: I do my best, outdo the other managers (all Moslem boys), and wait for the moment they realized their primitive decision electing him based on his religion.

Setahun kemudian, it was supposed to be my moment of glory. LPJ Niki ditolak.

I was even more devastated.

Mami

Paginya mami gue marahin karena ngilangin cable data I pod. Siangnya gue dimasakin ikan teri sambel.

And all other endless Malin Kundang story.

Papi

Papi teriak-teriak nyuruh gue bawa payung. Pura-pura gak denger, gue masuk mobil. Papi cemberut.

Dasar papi. Makin tua makin rewel.

Malemnya gue batuk-batuk. Papi dateng bawa makan malam dan 4 tablet.

Pas gue mau cuci piring, papi rewel ngomel-ngomel kalau ntar gue bakal tambah sakit.

Malam itu, papi rewel yang cuci piring.

Markus

Ich liebe dich nicht.

Just Dance

I am one heartbeat away from eternity
When you smile and take the lead

Dancing to the beat of unmanufactured joy
The music of a heart that never asks
For more beat than this dance we have

Lets dance to the simple beat of ‘I love you’
When ‘you love me’ don’t make it less ‘I love you’

Then when all the melody is faded
And no music left but our heartbeat
Just dance, babe
Just dance

Dance to my heart beat
I promise it won't stop beating
Not when you are around

Just dance, babe
Just dance

Dance to my heart beat

cin(T)a dan Roland Barthes

REPRESENTASI PLURALITAS AGAMA DALAM FILM cin(T)a

Studi Semiotika Roland Bathes Terhadap Tanda Yang Menyangkut Pluralitas Agama Dalam Film cin(T)a

Mak Gondut membaca buku tebal yang baru diterimanya dari seorag mahasiswi berjilbab dengan takjub. Ternyata film bisa jadi skripsi.

“Tahu gitu disertasi mami tentang film kau sajalah ya?” kata Mak Gondut yang mulai males mengerjakan s3-nya di sebuah universitas antah berantah.

Teringat gue komentar Mak Gondut pertama kali keluar dari premiere cin(T)a.

“Film ini harus ditonton berkali-kali ya. Butuh pemahaman lebih,” kata Mak Gondut dengan nada bersahaja.

Gue mendengus curiga. “Mami nggak ngerti ya?”

“Nggggaaaakkkkk...,” ringis Mak Gondut kebingungan.

Bahkan setelah mami gue kasih DVD cin(T)a, sampai hari ini belum pernah ditonton juga. Kaya gini mau bikin disertasi tentang cin(T)a?

“Ya nanti kau sajalah yang bikin. Pusing mami.”

“Papi kemaren udah nonton kok,” kata papi nimbrung, bangga.

“Filmnya tentang apa , Pi?” tanya gue.

Papi cuma celingak celinguk pura-pura bakar roti. Curiga papi juga gak ngerti.

Hhhhh... ternyata emang cuma gue dan Roland Barthes yang bisa mengerti.

157 halaman . Gue membaca halaman pertamanya.

“Dan rendahkalah dirimu terhadap mereka berdua (orang tua) dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

Apalah gunanya semiotika Roland Barthes kalau mereka berdua gak mengerti?

Tobat.

Tidak akan lagi gue membuat film yang tidak dimengerti mereka.

Papi

“Masak nona manis bannya botak? Nanti ketahuan udah mulai miskin nonanya,” kata Papi.

Padahal pagi ini gue cuma lapor kalau kaca spion dan pintu kanan rusak ditabrak orang. Tiga jam kemudian tidak hanya kaca spion dan pintu yang sudah mulus, ban belakang pun baru. Sekarang nona manis bisa pergi meni pedi dan bebas praduga miskin.

Dari spion baru, gue melihat ke belakang. Bayangan papi menggotong ban makin lama makin mengecil.

Papi yang dulu gagah sekarang agak kesusahan bawa 2 ban besar. Papi yang dulu agak botak sekarang sudah lebih botak walau masih tetap pake Brylcreem tiap pagi.

Sekarang papi 63 tahun. Hampir satu dasawarsa pensiun. Tak seperti purnawirawan lainnya yang jadi komisaris ini dan itu. Papi lebih suka di rumah sembari sesekali jalan-jalan keliling Indonesia.

“Ke mana pun papi pergi, papi gak pernah bawa duit. Pasti ada yang bayarin. Orang lain kalau udah pensiun gak pernah berani lagi jalan,” kata papi membanggakan kemampuannya ngeter dan bersahabat.

Papi, Suharto sudah jatuh. Persiden kita masih tentara, tapi tak lagi bergigi. Orang tidak lagi memberi papi hotel gratis dan mobil dengan senang hati.

Papi gak apa-apa. Papi gak pernah suka dengan kemewahan. Gak pernah minta dilayani orang. Dia cukup senang nginep di mess tentara.

Tapi nona manis nggak. Nona manis butuh hotel.

Makanya Nona Manis gak mau ikutan papi kalau jalan-jalan, takut papi gak dapet hotel. Bukan karena Nona Manis gemar travel in style, tapi papi selalu ingin bikin Nona Manis seneng. Papi sedih kalau Nona Manis tinggal di mess jelek.

Pernah papi jadi komisaris beberapa perusahaan kayu, bijih besi, dan entahlah lain. Entahlah mewarnai berbagai proses perizinan perusahaan yang berkomisaris papi tapi entahah punya siapa ini.

Untunglah gagal. Jadi papi gak terlalu kaya, dan lebih banyak tinggal di rumah ngurusin Boni, Bonyet, dan mami.

Jadinya emak-emak post power syndrome yang gemar ngerumpi, kuliah s3, meeting di 4 partai politik berbeda ada yang ngurusin pas tangannya patah akibat lari pagi.

Untunglah yang patah jari mami, bukan papi. Bukannya kami anak durhaka. Kalau mami yang sakit pasti ada papi yang ngejagain.

Kalau papi yang sakit, gak pernah bilang-bilang. Tau-tau udah pingsan di kereta.

Giliran gue yang sakit, papi yang ngurusin. Mulai dari bikinin roti, berburu nyamuk, sampai membersihkan pispot. Adegan Babel ketika Brad Pitt ngebantuin istrinya yang lagi sakit pipis gak lagi menyentuh buat gue karena adegan pispot papi lebih menyentuh.

“Manisssss....”

Nulis pause bentar. Papi mendekat dari belakang, bawa makan malam dan obat biar nona kecil cepat sembuh.

Glek. Glek. Glek.

Yuk sambung lagi. Barusan Papi cerita baru pulang dari ngelayat temen seangkatannya di Akabri yang mati makkar.

Makkar. Mati tak berguna. Tak berguna karena tak boleh diadati. Buat apa? Toh anaknya belum ada yang kawin. Adak Batak memang kadang-kadang tegaan.

"Padahal anaknya udah pada tua. 27," kata Papi.

Papi bulus tak pernah meminta. Tak pernah menyuruh.

Cukup menceritakan kisah Batak tua yang meningal tanpa punya menantu, gue sudah mengerti. Dia pengen lihat gue kawin. Dia pengen mati gak makkar. Dia pengen mati diadatin.

Biar papi gak mati makkar, gue harus nyari batak buat gue atau buat Sharondeng.

Si Deden pacarnya Cina. Dan gue kayanya gak cocok ama cowo Batak. All the good ones demennya sama yang kaya emak gue. Cantik (dulu), langsing (dulu), sekolah kecantikan (dulu), dan nurut ama suami (dulu).

Gue termenung, mencoba lanjut menulis. Pengen menulis betapa gue sayang papi.

Pause lagi menyadari papi datang.

Kali ini Papi bawa jus jambu biar Nona Manis rabu udah sembuh. Bisa ke Jakarta gak batuk-batuk.

Glek. Glek. Glek.

Papi turun. Gue kembali mencoba menulis. Pengen menulis betapa gue sayang papi. Tapi sesayang sayangnya gue ama papi, lebih sayang papi ama gue.

If marrying a Batak guy is what makes him happy, then be it. I don’t mind trading my heart with a glass of jus jambu. Maybe it’s now not time for a revolution.

Maybe It’s the luxury of a generation after me.

I wish he doesn’t love me this much.

Then I will have more reason for revolution.

Unsent Email

“Please welcome the most wonderful, the kindest, and the smartest woman I ever met,” Ellen deGeneres introduced her wife, Portia de Rossi, the first gay couple legalized by the state of California.

No, she’s not! I know someone more wonderful, kinder, and smarter.

You.

“I was lonely when I came to Singapore, till you came and brighted my days. Keep those stars in your eyes.”

It was on your goodbye note before leaving for Sidney.

What stars? I looked at my eyes in the mirror and found none . I think they only lighten up when they met yours.

So I scan your card, write the same exact words (even the gramatically-error brighted) , and give it to you.

“I was lonely when I came to Singapore, till you came and brighted my days. Keep those stars in your eyes.”

Some call it plagiarism. You call it romantic. I call it honest.

Echt! Except for the lonely part. I was never lonely in Singapore. You were already there.

Even after you left, I was never lonely. I missed you, always, but never felt lonely. I think you left me with enough love and confidence to say loving will never leave you empty handed. Me after you was the best me I ever had, even after you were no longer there.

Life was a celebration because I never felt less loved.

And I found nothing sinful about my feeling.

There is a reason they called it homosexuals. Because it is sexual. As long as I expressed my love not in a sexual way, we will have a very healthy relationship.

It really was.

It was fun. It was nice. It’s over.

But life blessed me with another two days of you in Sidney. I was so waiting for it even if I have to have breakfast with your husband.

Good choice, indeed. Not a tall good looking one, but a genuinely loving human being. You never cared about look. Maybe that’s why you don’t mind spending time with me. And that’s why I love spending time with you.

As long as the Sidney Opera House is for just the two of us. I have no interest of listening some fat lady singing in Italian, or the architecture of the turtles having sex, I was more interested in capturing those stars in your eyes.

Bwehhhhh... What was I saying? I am not a romantic. I found no stars in your eyes. Only glimmering lights, not stars.

But you said I am. I am a romantic.

I looked at myself in the reflection of the darkened Sidney shops. Romantic? Huh! I guess it was another side of me exist only when you are around.

Then you came next to me, and I turned my back. I hate our reflection together. I hate every photographs of us together. Because it tells me a reality: we don’t look good together.

Why would I hate it? I do not want to be together with you. I do not want to marry you. I do not want to move to Melbourne and spend my lifetime with you. I do not want to chat with your sisters. I do not even know how many you have. I am not interested in being friends with your mom. I am perfectly happy with what we are today.

Am I?

At least until before I saw Ellen and Portia. I do not dare to point fingers and condemn them to burn to hell. They are so beautiful together. How can anything so beautiful be called sin?

What if I was wrong? What if you were actually the one? What if I have passed my Portia de Rossi in the sake of path of least resistance? The path where my mom and my dad will be happier and hopefully live longer.

Life blessed me another dose of you. This time: Bandung.

I keep telling myself I do not want to be gay. The thought of sex freaks me out. The platonic one gives me more peace.

But why did my heart beat faster everytime you hold my hand to cross the street? I am a spoiled brat, too afraid to cross one. But when I was with you, I took the path of more crossing. Yeyyyy=D

And your lips.

Your eyes.

The scar on your back.

You are tempting. But it doesn’t mean I am a lesbian. Who will not love you? You are considerate, fun, loving, and beautiful. Any woman I know that knows you love you. They just don’t tell you like I do.

Maybe I am not a lesbian. Maybe I am simply the most honest woman in this world.

But then those women do no write any book or any movie based on you. Your smell is just all over my works. It’s impossible to hide that I thought about you a lot.

Do you think about me?

“It’s gloomy in Sidney. It gets me more to think about some stuffs. You are one of them.”

I got out and did a raindance, hoping God will notice and make it always sunny and bright in Sidney so she will have no time thinking about me.

Or maybe once every two years, for a minute or two, let it be gloomy, God.

Only so she can know how it feels to be me.

Rabu, 01 September 2010

Miskin. Bodoh. Sombong.

"Kan saya udah minta maaf, mbak," katanya marah.

Kenapa dia yang marah? Bukankah kaca spion dan pintuku yang ditabrak dengan semena-mena???

"Saya nggak bisa ganti, mbak. Saya kan miskin." katanya lagi.

Apakah miskin memberi kamu hak untuk semena-mena menabrak mobil orang dan pergi atas nama kemiskinan?

"Saya puasa, mbak. Ini udah mau buka."

Apakah puasa memberi kamu hak untuk meninggalkan korbanmu tanpa sopan santun?

Kamu dan 2 orang boncenganmu melengos pergi. Aku speechless di tengah jalan. Baru sepuluh menit yang lalu aku bernapas lega karena akhirnya membelok ke Jalan Bunga Mawar, setelah 2 jam macet di jalan. Sudah terbayang tajil dan obrolan teman-teman menonton hasil editan. Kantor sudah di depan mata. Eh kamu datang menabrak dari belakang.

Untung Mas Sigit dari kantor lewat. Kau kami kejar dan tahan di pinggir jalan. Sedikit membuat kemacetan karena kamu nggak mau mingir. Aku maksa ikut ngebonceng di jokmu, membuat kamu gak bisa bergerak dan terpaksa minggir. Untung badanku besar.

Di mana rumah majikanmu?

Di MPR. Di Batam. Dan beberapa alamat fiktif lainnya.

Berapa teleponnya?

081382213371. 08787937470. 081382213370. Gak aktif semua.

Kuminta kaubawa ke rumahmu, kau tak mau.

Aku tak akan minta ganti padamu, tentunya. Tidak mungkin. Aku hanya ingin ketemu bosmu. Bilang pada dia biar kamu jangan diberi motor lagi karena kamu tidak bertanggung jawab.

Boncengan bertiga. Tanpa helm. Tanpa SIM, STNK. Tanpa tanggung jawab. Untung yang luka kamu, bukan anak kecil yang kamu bonceng.

"Saya kan miskin," katamu lagi.

Miskin tidak memberimu hak untuk tidak jujur. Miskin tidak memberimu hak untuk menzalimi orang. Saya juga bekerja. Satu setengah juta gak turun dari langit.

Tapi tentunya aku nggak mungkin minta padamu.

Salahku juga kamu bodoh. Salahku juga kamu miskin. Salahku juga kamu sombong.

Karena aku dididik, kamu tidak. Negara ini diatur mereka yang kamu sebut 'kaum'-ku. Negara ini tidak memberi perlindungan padamu. Sudah sepantasnya 'kaum'-ku nerimo kalau ditabrak motor 'kaum'-mu.

Miskin. Bodoh. Sombong.

Kamu cuma bisa pilih dua, sayang. Kalau sampai tiga-tiganya, jangan salahkan 'kaum'-ku kalau kamu sampai sekarang tetap sengsara.

Mungkin bukan miskin dan bodoh yang membuat kamu tak pernah dicukupkan.

Aku tidak merasakan niat baikmu, dan aku tidak punya waktu melayani keangkuhanmu. Aku harus ke kantor, sudah terlambat untuk preview tentang keluarga miskin bodoh sombong lainnya. Mereka tak pernah lepas dari lingkaran kemiskinan.

Kunci motormu kuambil ya, sayang. Kalau mau, ambil ke kantorku. Tak sampai 5 menit jalan.

Aku tahu kamu nggak akan pernah datang. Aku tahu kamu pasti punya kunci cadangan. Tapi kubiarkan juga kamu pergi.

Hari ini aku berbahagia karena aku dizalimi. Dan kau akan lihat kalau aku akan semakin dicukupkan.

Bagaimana dengan kamu, sayang? Sayang disayang kamu sombong.

Miskin. Bodoh. Sombong.

Kamu cuma bisa pilih dua, sayang.