Kamis, 30 April 2009

Thank You, Robert Rodriguez

I cut this from his book. It gets me out there and keeps enjoying making imperfect movies. I hope you and I are not done yet in whatever passion we have.

A Rebel Without A Crew:

I think that everyone has at least a dozen or so bad movies in them. The sooner you get them out, the better off you are.

Think of it as a research or studying before the big test. If you walk in for the test on the day, having not done some homework or studying on your own, you’ll get clobbered. Many students in the film class spent about $1000 on their projects since it was 16mm and the projects came out lame, because they were trying to learn everything at once and expected the results to be better.

I talked to a few of these students who all semester had been talking about how much they wanted to be directors, then they made their first film and it’s less than they expected and so they got discouraged. They gave up and said “I don’t want to be directors anymore,I don’t think that’s my bag. What I really want to do is produce!”

First of all, this is where producers come from.
Second, they wouldn’t have been so discouraged and given up so easily if they had just kept going.
Third, the more experience you give yourself, the more prepared you are for the next project. If you want to be a rock star, you don’t go to a rock star school and expect to come out like Jimi Hendrix after a few short classes. You have to lock yourself in the garage and practice till your fingers bleed.

Enough schooling. Get your ass out there and make a movie because I’m telling you, Hollywood is ripe for the taking. There are so many creative people out there itching to make something, but they’re too negative in thinking they’ll never get anywhere or it’ll never happen.

Good luck to following whatever passion you have. You will most probably succeed in attaining it. And if you don’t, you’ll find that if it’s really your passion you are following then you will find enormous fulfillment and incredible satisfaction from at last trying.

Thank you for your time and I hope someday I can meet you in person. Until then... Good luck and God Bless.

TIPS BIAR DICINTAI AUDIO COMPOSER

Tips biar gak dimusuhi audio composer: I have no idea. Mas Muhammad Betadikara ini species phlegmatis yang tenang, santai, go with the flow, dan gak juga memusuhi gue sekalipun disuruh mengerjakan pekerjaan satu orkestra sendirian. Hasil kerja setahun John Powell and co. bisa dikerjain Beta and co.mputer hanya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Baru di tengah jalan ada beberapa Strangers yang kebetulan lewat bernama Gugun dan Lanlan ngebantuin Beta. Jadinya sutradara kembali dikelilingi musisi-musisi ganteng... damn. I love this job.

Tadinya gue mo menulis tips bagaimana biar dicintai audio composer instead. Tapi ini juga kayanya gak mungkin deh. ‘Komunikasi intens’ gue dengan bapak audio composer tidak mengalihkan cintanya dari Mustika Ramhatoa. Dikasih nama RahmaTOA bukan tanpa prestasi. Rahmatoa baru nyampe Dago, suaranya dah nyampe Cicadas sangkin kerasnya.

Gue curiga jangan-jangan gendang telinga Beta sudah mengalami infeksi kronis yang sudah menjalar ke otak sehingga Beta tidak lagi mampu menerima sinyal-sinyal cinta dari wanita-wanita normal yang desibel suaranya masih dalam range manusia, bukan toa.

Atau mungkin juga karena si Toa jago merayu. Aku terharu deh baca blog mereka. Please check out http://rahmathya.multiply.com/

TIPS BIAR GAK DIMUSUHI SOUND EDITOR

1) Jangan pernah bikin script di mana karakter Batak dan Jawa disatuin!

Si Cina tereak-tereak, sementara Annisa bisik-bisik. A Andri harus kerja keras buat nyamain level suaranya. Tips ini juga berlaku kalo gak mau dimusuhi color grader. Si Cina dan Annisa beda warna kulit. Susah mendapatkan tone warna yang asik buat kedua jenis kulit. Si Cina dah bagus, eh kulit Annisa jadi agak kuli bangunan. Diubah dikit, eh si Cina jadi vampir anemia.

Kalo lo tetep pengen bikin script Jawa ama Batak... lo harus punya duit buat bayarin artis lo latihan vokal. Biar suaranya bisa lembut tapi volumenya tetep kenceng. Atau kalo lo gak punya duit buat bayarin latihan vokal, setidaknya...

2) Jangan pernah nyuruh astrada lo merangkap boomer.

Get yourself seorang lelaki berdada bidang yang kuat menyangga boom 2 minggu. It sounds like a boring job but it is very important for the movie. You have to direct your boom in the right angle so it would catch even ‘bisik-bisik Annisa’ perfectly.

I actually did get a cool dude to be the boomer. Decky, seorang musisi handal yang KTP-nya bertuliskan --- PEKERJAAN : MUSISI. Tapi tiba-tiba doi menghilang. Gosipnya masalah percintaan. Oh cinta memang kejam, tak mengenal waktu shooting.

3) Sediakan deodoran

Si boomer harus pede pamer ketek selama mengangkat boom. Bau-bau tidak sedap akan mengganggu konsentrasi akting pemain yang berada di radius ketek boomer.




Sammaria, there was a reason they called it audio visual, u know! They put audio first then visual bacuse it is in a way more important than the the visuals. Apalagi film “No Action Talk Only” kaya film lo seharusnya lebih mempersiapkan diri dengan audio. Bego.

Untungnya kita diselamatkan lagi oleh another tukang sulap yang kali ini menyamar jadi Sound Editor. A Andri bisa menyulap teras di rumahnya menjadi ruang editing suara, dan menyulap bisik-bisik Annisa biar kedengeran, dan menyulap audio cin(T)a menjadi lebih watchable. Sebuah perjuangan yang panjang apalagi mengingat ada suara entog tetangga sebelah yang narsis hayang kapelem. Entog selalu berbunyi tiap kita lagi dubbing.

Rabu, 29 April 2009

TIPS BIAR GAK DIJUTEKIN EDITOR: Catet Adegan!

“Pasti lo shooting diem-diem deh! “ gugat Anky, the editor, sewot gara-gara banyak footage tanpa keterangan dan catatan. Anky harus ngedit footage 25 jam menjadi 2 jam dengan banyak footage yang diambil diam-diam oleh sutradara tanpa sepengetahuan kru lain. Hihihi.

Seharusnya setiap malam tuh footage-footage gagal sudah dihapus dari hard disc biar gak menuh-menuhin back up hard disc. Jadinya nanti yang dimasukin ke hard disc master cuma footage yang akan dipakai saja. Lumayan kan bisa menghemat space hard disc. Shooting dengan P2 menghabiskan 16GB untuk tiap footage 15 menit.

What? Back up hard disc? Master hard disc? Apaan tuh? We only have one hard disc. And we took it anywhere we went.

What a kere system of film making. Please don’t consider following us. Fortunately another invisible hand save our kere ass from trouble. Semua footage cin(T)a aman tanpa cacat berarti.

Tapi tetep more works for the editor. Dan si sutradara terpaksa nongkrongin mencari adegan2 ‘hilang’ yang lupa dicatat. Untung si editor baru bulan madu, jadinya lagi in a very good mood. Tapi tetep rese, gak berhenti-berhentinya bikin sirik sutradara.

“Makanya lo cepetan kawin. Enak!”

Monyet. Pokoknya film gue berikutnya harus tentang Batak. Biar gue bisa casting seorang lelaki Batak berdada bidang, berkulit gelap, dan bukan Simanjuntak. Amin.

Annisa-Annisa Di Kontes Kecantikan Ibu Kota

“Gue dah dapet Annisa!!!” teriak Sammaria menggetarkan nyali seluruh penduduk Sembian Matahari Film.

Ruang sempit yang diiisi 4 poster film di salahsatu dinding itu hening beberapa saat. Jangkrik pun berhenti berderik sesaat, ikut tidak percaya dengan pernyataan Sammaria.

Lalu para pejuang tim casting dan jangkrik itu menghela nafas panjang setelah lebih dari 4 bulan menahan nafas akibat tidak juga menemukan sang putri utopia ciptaan Sammaria. Yang ini kurang cantik. Yang cantik kurang pinter. Yang pinter kurang menjual. Yang menjual, kurang kurus.

“Kalo ginian, mending gue yang jadi Annisa!” lanjut Sammaria sambil memamerkan lemak di kiri kanan pinggangnya yang konon dianggap seksi di jaman Monalisa.

Tapi akhirnya pencarian jarum di jerami itu berakhir setelah Sammaria bertemu dengan Rainy.

Rainy memang berbeda dengan cewe cantik lainnya yang mereka casting. Dia tidak hanya pintar, tapi juga charming dan rendah hati. Species wanita langka yang bikin wanita lain ingin mempunahkan demi terjaganya kestabilan stock lelaki.

“Rainy dan Sunny! Kebetulan banget gak sih? Emang udah rencana Tuhan nih kayaknya.” Seru Sammaria euphoria sambil menempelkan data casting kedua pemeran utama pilihannya di board depan ruangan.

Sunny dan Rainy. It’s too good to be true. Bahkan sampe membuat Sammaria percaya ada Tuhan yang cukup kreatif menciptakan dunia ini. Terdengar seperti nama karakter fiktif di sebuah chicklit murahan, cetakan penerbit remaja kodian. Tapi ini bukan fiksi. Sunny dan Rainy akan memerankan tokoh Cina dan Annisa dalam film pertamanya.

“If it’s sunny and rainy at the same time, you’re gonna have a rainbow!” seru sebuah YM dari Winda di ujung kota lainnya.

Sammaria sudah tidak sabar melihat pelangi.

“Kapan kita tanda tangan kontrak ama Sunny dan Rainy?”

“Sabar, Bo. Kita harus nego harga dulu ama mereka,” jawab Mas Adi Panuntun pusing karena pilihan Sammaria ternyata pemenang salah satu kontes kecantikan ibukota. More money.

Sammaria sudah tidak sabar untuk memulai proses rehearsal. Sunny dan Rainy akan menjadi pasangan yang lebih legendaris dari Cinta dan Rangga.

+++


When it rains, it really does pour.

Rainy mengundurkan diri.

Sammaria masih bengong sendirian sepeninggal Rainy. Sammaria terlihat sangat kecil terduduk di antara dua pilar neo Klasik Campus Center putih ITB yang menjulang tinggi, terpuruk dengan keputusan Rainy. Manusia lalu lalang di depannya. Dunia terus berputar, seakan tidak peduli dengan hidup Sammaria yang berhenti beberapa menit yang lalu.

“Kita semua tentunya ingin film ini mencapai hasil yang maksimal. Karenanya, untuk kebaikan semua pihak lebih baik gue mengundurkan diri daripada gue menjadi penghambat di proyek ini,” tutur Rainy dengan bahasa yang sopan dan diatur hasil polesan setahun menjadi pemenang salah satu kontes kecantikan ibukota.

“Anjing! Lo harusnya ngomong gitu dari dulu pas kita nego harga dan jadwal! Bukan pas shooting tinggal sebulan lagi, goblog!” teriak Sammaria sambil melancarkan turbo kick bertubi-tubi ke dada dan pipi Rainy. Tubuh semampai indah itu terkapar tak berdaya, terjatuh terguling-guling sampai di bawah tangga. Sehabis ini, Rainy pasti tidak bisa melenggang indah di panggung catwalk lagi.

Untungnya Sammaria masih berbudaya.

“Gue menghargai keputusan lo. Tapi coba pikirin lagi,” tutur Sammaria ikutan bijak dengan senyum politik paling tulus yang bisa ia pamerkan. Siapa bilang sutradara tidak bisa akting.

“Ntar gue telepon lo lagi setelah gue pastiin jadwal gue,” jawab Rainy mengakhiri pertemuan mereka.

“Tai! Gue tahu lo gak bakalan berani nelpon gue lagi!” teriak Sammaria sambil memberondong tubuh Rainy dengan AK - 47. Rainy berenang gaya punggung sejenak di udara sebelum akhirnya terkapar jatuh menghantam paving block.

Tapi Sammaria masih berbudaya.

Sammaria terseyum sambil memandangi tubuh 172cm yang semakin lama semakin mengecil, dan menghilang menjadi sebuah titik di kejauhan.

“Dor!” sahut Sammaria lemah sambil mencoba menembak titik Rainy dengan pistol jarinya. Tapi titik kecil itu tetap mengecil dan akhirnya lenyap.

Setetes air mendarat di pipi Sammaria. Sammaria menengadah memandang langit mendung yang seakan-akan turut berduka cita dengan kegalauan hatinya. Beginilah akibatnya kalau bekerja pakai hati. Kalau gagal, rasanya lebih sakit daripada putus cinta.
Kalau putus cinta sih gampang, tinggal cari lagi. Kalau diputusin aktris, lebih susah karena melibatkan waktu masyarakat banyak dan modal yang tidak sedikit.

Lebih banyak tetes air mendarat di pipi Sammaria. Manusia-manusia tidak lagi lalu lalang di depan Sammaria. Semuanya sudah mencari tempat berteduh, tidak sudi rambut salonnya keguyur hujan.

Sammaria tetap terduduk, membiarkan tetes demi tetes rainy membasahi tubuhnya. Kebetulan. Biar air mata yang menetes deras dari matanya tersamar oleh air hujan. Sammaria terlalu banyak terkena Efek Rumah Kaca, membuat hati Melayunya semakin mendayu-dayu.

Sammaria tidak ingin orang lain melihatnya menangis. Mengangis kenapa? Gara-gara cewe kaya Rainy doang? Kaya gitu doang sih sepuluh juga bisa langsung dapet di pasar.

Tapi pasar mana? Rainy itu sempurna. Air mata Sammaria tambah deras memikirkan proses casting panjang yang harus dia lewati untuk menemukan Annisa yang lebih sempurna dari Rainy. Lebih baik mati saja.

Sammaria mendekati ujung lantai, siap mementalkan tubuh gempalnya ke lantai dasar.
Untungnya tiba-tiba Sammaria teringat komedo di hidung Rainy.

Memang sepertinya ini petunjuk. Rainy kurang sempurna untuk peran Annisa. Nanti Sammaria gak bisa banyak pake shot close up. Sementara wide shots will cost her more.

Sammaria menghapus air yang terus mengguyur wajahnya. Sammaria needs revenge. Sammaria harus menemukan Annisa yang lebih sempurna dari Rainy, membuat film terbaik Indonesia, dan mati ketawa melihat wajah penuh penyesalan Rainy saat diundang ke premiere.

Anger really corrupted her soul.


PS: cerita di atas kayanya fiktif belaka. Jika ada kemiripan nama dan tempat peristiwa, mungkin memang disengaja.


+++


It’s rainy day. Hallelujah.


Setelah beberapa hari terpuruk di kamar menangisi kepergian Rainy, Sammaria bangkit.
Yang terpikir pertama kali di benak Sammaria adalah seorang cewe yang juga pernah menang si kontes kecantikan ibu kota sebelum Rainy. Hayu adalah salah satu cewe paling cantik dan anggun yang pernah dikenal Sammaria.

“Hi, I’m a new inbound from India,” sapa Hayu ramah saat pertama kali bertemu Sammaria yang duduk di sebelahnya pada suatu acara Rotary Exchange Program di Jakarta.

Sammaria terkesan dengan inbound India yang cantik dan ramah ini. Sammaria menceritakan tentang Indonesia dalam bahasa Inggris dengan bersemangat.

“This is combro, our traditional food from West Java.”

“Interesting,” jawab Hayu penuh antusiasme.

Sammaria pun kembali beredar menyapa teman-temannya yang lain yang sudah setahun tidak dijumpainya sejak Rotary ke Amerika.

“Liat deh ada inbound dari India. Cantik banget. Baik lagi,” tutur Sammaria pada Ama sambil menunjuk ke arah Hayu yang sedang tertawa-tawa bersama sekumpulan teman lain. Ternyata selain cantik, dia juga jago bergaul. Baru sampai sebentar di Indonesia, dia sudah punya banyak teman.

Ama menoleh melihat ke arah yang ditunjuk dengan heran.

“Itu kan Hayu, baru pulang dari Jepang.”

Monyet! Ternyata Hayu dkk lagi ngetawain gue. What the hell was I doing explaining combro to an Indonesian... in English???

Cantik, anggun, jago menipu. Exactly the type that would be perfect for Annisa. Tanpa casting, gue tawarin Hayu jadi Annisa.

“Ada adegan ciuman??? Lo mau bikin gue cerai?” reaksi Hayu pertama kali gue tawarin. Damn. She’s married now. Two years too late.

Hayu menyarankan beberapa temannya yang juga jebolan kontes kecantikan ibukota dan satu junior kita di Rotary yang ternyata baru saja menjadi finalis salah satu kontes kecantikan ibu kota lainnya, Saira Jihan.

What’s with all this kontes kecantikan ibu kota? Kenapa somehow mereka yang cocok jadi Annisa adalah mereka yang telah dididik di kontes-kontes ini? Mungkin cuma mereka yang telah merasakan seminggu dikarantina tersenyum inilah yang bisa mengerti senyum Annisa.

Bukan senyum terpaksa. Bukan senyum takut dicela wartawan. Bukan senyum takut dikritik juri. Bukan senyum takut menyinggung perasaan orang lain kalau tidak tersenyum. Tapi bukan senyum yang tulus juga. Senyum Annisa... susah digambarkan dengan kata-kata. Senyum yang menyimpan sejuta misteri dan seribu kepedihan. Seyum yang bikin cowo-cowo pengen meluk dan melindungi Annisa dari segala perih dunia.

Aihhhhh mulai kan gue melayu mendayu-dayu. Gue ajalah jadi Annisa. Senyum doang bisalah gue.

Shooting Is My Purgatory. Simei Is My Paradiso.

After “Taxi Driver”, Scorcese said that shooting a movie was a horrible experience. I couldn’t agree more.

After cin(T)a, gue kabur ke Singapur... pusingggggggg!

Tiap gue shooting, selalu gue bertanya-tanya “What the hell am I doing here?”

Shooting is purgatory! It’s a constant pressure pushing you to show off your true skin. The worst and the best in you!

Tapi tiap gue selesai bikin film, I always suffer from short term memory loss. Tiba-tiba semua buruk-buruknya shooting jadi lupa. I only felt the love and positive improvement it brought to my soul. Every movie I make, I feel like I became a better person. I always forget how horrible the shooting was... sampai gue shooting berikutnya tentunya.

Then I start complaining again. What the hell am I doing here?!?!?!?

Di pelarian gue di Singapur, gue cuma berkubang di apartemen Kak Ria, nonton DVD bajakan yang dibawa dari Indonesia. It’s all the vacation I need right now after 2 weeks of constant pressure.

Kak Ria ini emak gue versi Singapur... dan salah satu bukti hidup kalau Tuhan itu ada.

Alkisah di awal 2006, a papi’s little girl arrived at Harbour Front along with her mami, papi, and 6 big suitcases. All of 6 belong to papi’s little girl yang akan memulai kerja pertamanya di Singapur . Sebuah mercedes hitam berplat kedutaan menjemput mereka dan mengantar mereka melihat-lihat beberapa calon rumah buat si kecil. Nothing fits. Yang satu tak ber-AC. Yang satu tak ber-MRT. Yang lain tak ber-WC. Nanti kasian nona kecil papi kalau tinggal di tempat begitu.

Tiba-tiba KSAD berkunjung ke Singapur. Karena si papi jauh kurang penting dibandingkan pak KSAD, Mercedes hitam harus segera pulang mengurus KSAD. Padahal si kecil belum dapet rumah. Si mami mengusulkan untuk sementara menginap di rumah anaknya kakaknya teman lamanya Mami yang udah gak ketemu selama 15 tahun.

Setelah 70 missed call tanpa jawaban,mami nekat ngetok pintu apartemen si anaknya kakaknya teman lamanya Mami yang udah gak ketemu selama 15 tahun itu. Ternyata si anaknya kakaknya teman lamanya Mami yang udah gak ketemu selama 15 tahun itu baru pulang dari pasar dan lupa bawa handphone. Nona kecil papi kemudian dititipkan untuk sementara sambil nyari rumah yang cucok.

Susah nyari rumah. Akhirnya si kecil bilang ke suaminya anaknya kakaknya teman lamanya Mami yang udah gak ketemu selama 15 tahun itu kalau si kecil mau numpang dulu di rumah mereka selama 3 bulan baru nanti nyari lagi. Bang Ucok Gultom pada dasarnya nggak keberatan. Kebetulan juga ada yang bisa nemenin istrinya soalnya dia harus bolak-balik Jakarta Singapur karena perusahaannya ada di Jakarta sementara istrinya kerja di Singapur.

Tiga bulan berlalu, si kecil mulai ngelunjak. Gak mau pindah. Si kecil mengangkat diri jadi anak dan ngaku2 bermarga Gultom. Tiap ditanya kapan dia mau pindah, si kecil pura-pura nggak denger.

She was looking for a house, and she found a home. She was happy there.

But nothing lasts forever. Sembilan bulan kemudian visa si kecil ditolak. Si kecil terpaksa pulang kampung ke Bandung .

But it’s not that easy to get rid of her. Si kecil punya paspor Batam, jadi gak pelu bayar fiskal.
Si kecil tetep ngelunjak, masih berasa punya rumah di Singapur. Jadinya si kecil masih sering muncul di Singapur dan minta makan ke Bang Ucok dan Kak Ria.

Seperti saat habis shooting cin(T)a, si kecil dateng ke Singapur cuma buat nonton DVD dan ngabisin makanan di Simei : Nasi Goreng Maling. It’s number five on ten things she loves about Singapore.

# 4: udang nestum
# 3: Bang Ucok
# 2: Kak Ria
# 1: ......

Thank you, Yasmin Ahmad.

I got this from her blog.

http://yasminthestoryteller.blogspot.com/2008/11/artists-today-think-of-everything-they.html

The reason I'm writing this is not to boast some sort of comeuppance to my detractors in the past. I don't even consider myself an artist, let alone one whose work comes anywhere near as good as Andrew Wyeth's. But I feel this is something I need to say to new, struggling filmmakers out there who, despite their best intentions, often find their work spat at by naysayers.

If you're honest with your work, feel free to come back to this posting to read what dear Ali said to me, all those years ago.

Follow your inner instincts. Because, as Mr.Wyeth himself once said, "If you clean it up, get analytical, all the subtle joy and emotion you felt in the first place goes flying out the window."

Today, after making about 50 television commercials and six feature-length films, after winning 11 international awards, I often feel like I don't know the first thing about filmmaking. But I know this much:

If your intentions are pure, if you apply your craft with a view to observe humanity and, ultimately, God himself, very often something powerful will surface. And the next thing you know, hordes of strangers from all around the world are stepping forward to tell you "the story of their life or how their father died."

90% OF MOVIE MAKING HAVE NOTHING TO DO WITH MOVIE

When you come close to selling out, reconsider
Give your heaven above more than just a passing glance
And when You get the choice to sit it out or dance
I hope you dance


Sudah lima minggu gue bolak balik Jakarta. Making a movie is one thing. Distributing it is a lot tougher.

Baru aja baca Rebel Without A Crew. Curang. Robert Rodriguez punya Columbia Pictures, Disney, dan Tristar rebutan buat distribusiin film dia. Jadi habis bikin El Mariachi, dia bisa konsentrasi bikn film selanjutnya tanpa pusing dengan distribusi.

Untungnya gue lahir di Indonesia. Jadinya gue masih harus berjuang lebih banyak lagi.

Launching.

Bioskop.

Roadshow.

Bring it on!

MY OWN FILM SCHOOL

Cin(T)a is finished. I have one movie in hand, no money, and still a lot of things to learn for my next movie. Film school is no option. It will cost me SGD 55.000 a year just for tuition. Bisa aja sih kalo bokap gue jendral tajir atau something Riyadi. Too bad I am not, so the only way is : I need to make my own film school.

I make my own curriculum. And I chose my own list of teachers.

Film cin(T)a gue kirimin ke para pencipta favorit gue. Yasmin Ahmad,Joko Anwar, Garin Nugroho, John De Rantau, Nia Dinata, dan Enison Sinaro in the directing sections. Ayu Utami and Dewi Lestari in the writing sections. Jalaludin Rahmat, Romo Muji, and Bambang Sugiharto in the spiritual sections.

Thanks to XL gratis SMS setiap hari setelah ngirim 8 SMS, gue jadi bisa setiap hari men’teror’ orang-orang sibuk ini sampai akhirnya luluh mau menonton film gue. Garin Nugroho, Nia Dinata, dan Yasmin Ahmad belum berhasil gue ‘teror’. Tapi selama Mentari masih terbit di timur, dan selama XL masih gratis SMS, teror gue belum akan selesai hihihi=P

Thanks to mereka yang bersedia gue ‘teror’. Now I have a better understanding of what I want to do next. Can't wait for it.

OUR OWN FILM CITY

Jababeka boleh jadi mengakui diri sebagai one stop shopping for filmmaker yang pertama di Indonesia. Tapi kita dah bikin duluan dong! Rumah gue: the jalan Bali nomor 7. It’s our own one stop shopping buat film cin(T)a. Mulai dari akomodasi buat kru dan cast, berbagai alternatif lokasi shooting, fasilitas casting, sampai fasilitas editing ada di the Jalan Bali nomor 7!

Mulai dari kamar Annisa yang cantik dengan tesktur dinding, lantai, sampai langit-langit penuh kayu ramin.. sampai ke kamar Cina yang low budget dengan dinding bata, cat biru murahan, dan lantai tripleks dilapisi karpet meteran... semuanya ada di rumah gue! Semuanya mahakarya Ajo, si tukang sulap yang menyamar jadi art director.

MULTI TALENTED CREWS

Hari H!

Chief lighting gue menghilang. Sound man gue entah di mana. Kameramen gue mengundurkan diri karena ditawari kerjaan oleh Nia Dinata (Ya iyalahhh... bego aja kalo gak ngundurin diri). Terpaksa Budi Sasono sebagai Director Of Photography merangkap Chief Lighting, merangkap Director of Sound, merangkap kamera operator juga.

Kru gue emang multi talented. Hanya menye2! Cowo2 ganteng ini kagak ada yang bisa nyetir dong! Budi Sasono bisa nyetir, tapi gak punya SIM. Jadi selama shooting cowo-cowo ganteng ini disupiri oleh 2 cewe tangguh: gue dan Erika. Ternyata Miss Jihan juga gak bisa nyetirrr! Padahal ada adegan doi nyetir di film ini.

“Bisa sih. Dulu pernah belajar,” aku Jihan.

Yeah right. Baru jalan dikit, tuh mobil udah ndat nduttt. I can’t risk it. Mobilnya pinjeman dari Danu. Terpaksa semua kru dikerahkan untuk mendorong mobil sementara Jihan pura-pura nyetir. All she had to do cuma neken rem.

Cut! Jihan panik jadinya neken remnya terlalu kenceng. It looks really ugly on screen. Terpaksa ditaruh batu di tempat mobil seharusnya berhenti jadi Jihan gak perlu neken apa pun. Doi Cuma perlu terlihat wajar dan pura-pura nyetir. Huahahha mukanya tegang abis! Untung kaca mobilnya gelap. That’s good enough leh! Let’s move on. We still have 20 scenes to go.

Selain menjadi sutradara, scriptwriter, dan produser... gue juga merangkap menjadi supir, tukang pijit, tukang nyapu, dan kadang-kadang astrada di kala astrada Burhan lagi merangkap jadi boomer. Memang kru-kru film cin(T)a ini multi talented semua;P

MENULIS FILM CINTA

“Gue pengen bikin film cinta yang dewasa,” seru gue penuh iman dan keyakinan.

Dan Sali pun tertawa.

Huahahhahaha. Cinta yang dewasa tuh kayak apaan sih? Gue keukeuh pokoknya harus cinta yang dewasa. Yang tidak menuntut. Yang gak mendominasi satu sama lain. Sally akhirnya berhenti tertawa gara-gara gue pelototin.

Gara-gara gue berusaha bikin cinta yang dewasa, sementara pengalaman cinta dewasa gue cuma sebatas baca Anthony Giddens dan Paulo Coelho, draft 1 film cin(T)a jadi super basi dan cupu. Gue berusaha memasukkan semua idealisme gue ke dalam tokoh Cina yang masih ABG dan belum seharusnya dewasa. Dia harus nyinyir dulu baru nanti dia bisa ikhlas. He has all the freedom to be nyinyir and demanding . It’s a privelege of an 18 years old boy.

Setelah gue edarkan film ini ke beberapa tokoh yang gue anggap kompeten, semuanya punya tanggapan berbeda-beda. Ada yang menganggap gue Kieslowsky berikutnya. Ada yang gemes pengen ngambil cerita gue dan di-shoot ulang karena gue menyia-nyiakan tema yang keren. Tapi semuanya merasakan hal yang sama: Anger. Pernyataan paling mewakili mungkin adalah .... film ini adalah sebuah pertanyaan putus asa.

Film ini adalah sebuah pertanyaan putus asa dari seorang warga negara yang muak dengan agama dan kepura-puraan di sekitarnya. Pertanyaan putus asa dari seorang warga negara yang muak dengan topeng-topeng saleh yang menganggap dirinya atau agamanya lebih baik dari orang lain. I just realized how much anger I had. Untung gue gak bisa bikin bom, jadi bikinnya film.

Man! Dua karya pertama gue ternyata dimotivasi amarah! Padahal gue pengennya bikin film kaya Shawshank Redemption, Little Miss Sunshine, History Boys, Crash, and all other inspiring movies. Pantesan gue gak bisa bikin karya kaya gitu. There are just too much negative energy in my soul to energize a postive energy to others.

Gue baru mengerti kenapa they call it film making. Film is life. So film making is basically life making. In order to learn to make film, I have to learn to live. Pantesan banyak sekolah film di Amerika baru mengajarkan directing sebagai bahan S2. I really need to learn life first, then I can direct. Otherwise, I will be just a visualizer, not a director.

But I hope these two works are enough to get the bad energy out of my system. I am ready to make something I am more shaped to do: menebar benih-benih cinta.

Oh cinta, come to mama! I am ready to love you now. Huehehehe.

MENULIS SAMPAI TITIK PENGHABISAN

I loved telling stories. I wrote novels. I drew comics. But I never finished any of them.

It happens over and over. Excitement yang gue punya di awal bikin karya gak bisa gue pertahankan buat menyelesaikan karya. Selalu banyak alasan keren buat gue untuk gak menyelesaikan. Gue bahkan pernah berpikir kalau gue emang tipe orang yang cuma didesain untuk proyek pendek. Gak buat nulis film panjang atau novel. I hate myself for that because I would like to picture myself with endurance longer than that pink rabbit on TV.

Sampai seorang malaikat yang mengaku temen abang gue ngirim gue pdf: How To Write A Damn Good Novel. I don’t know him and I don’t think any angels will bother to be friends with Sharondeng, abang gue. Tapi buat gue pdf ini another massage from God.

Finish one! And you’ll finish all the next ones.

Karenanya gue harus menyelesaikan satu novel dulu baru gue bikin film. Karena novel itu lebih sendirian, sementara film melibatkan banyak orang. Kalau gue gagal menyelesaikan novel, setidaknya gue cuma merugikan diri sendiri. Kalau gue sampai gagal bikin film, gue merugikan semua orang yang gue ajak. If I can taste the feeling of finishing something, that feeling wil remain and remind me to stay fighting for the longer one: cin(T)a the movie.

So I started writing my first finished novel, Kartini Nggak Sampai Eropa. Gue mengurung diri di kamar selama seminggu penuh. Cuma makan apel dan minum air putih.

Di hari ke tujuh, gue muntah. I hate my writing. I wish it would turn out a lot better. I didn’t even bother to read it again. I sent the first draft right away to the publishers.

Inilah bedanya penulis profesional dan amatir. Everybody can write. But only the professionals rewrite.

Gara-gara tanpa rewrite, tulisan gue jadi terlalu vulgar, tanpa basa-basi , gak indah, bitter... tapi jujur. Terlalu jujur that it drove myself more depressed. I am exposing my own personal tale and others whom I love to public. What am I thinking? But I can’t think of any other story I would die to write that time. I guess anger could really drive you to do anything, even finishing a novel : something I never could have before.

Kartini Nggak Sampai Eropa akhirnya diterbitkan walaupun dengan cover yang berbeda selera dengan gue. Covernya sih sebenernya lumayan, kalau saja tidak dihiasi sebuah bulatan kuning mencrang bertuliskan : Sebuah Novel Karya Sammaria.

Who the hell is this Sammaria? Artis bukan penulis bukan. Ngapain juga namanya harus dikasih bulatan kuning as if her name wil raise the selling? Yuck!

Malu aku malu! Jadi gue gak pernah bilang-bilang ke orang-orang kalo gue bikin novel. But somehow they managed to know. Monyet!

Thanks to tragedi bulatan kuning, temen-temen gue jadi punya bahan celaan baru. Huahahaha. Publishing a novel harusnya membanggakan dongggg... ini malah jadi bikin gue bahan celaan. Belum lagi ditambah tulisan di back cover novelnya yang menyebutkan gue dapet TA terbaik di arsitektur. Monyet! Lagi-lagi mereka dapet bahan celaan baru.

“Cieeeeeeee... TA terbaik!!!” Monyet!

Buat lo yang udah terlanjur beli, silakan menghubungi gue untuk mendapatkan cover asli pilihan hatiku. Gambarnya adalah seorang cewe berkebaya, bersanggul, bercelana jeans, dan merokok. Karya seorang seniman kontemporer berbakat, Patra Aditia. Kata penerbitnya cover ini terlalu old school, gak lagi menjual. They know how to sell more than I do. I wish.

Lepas dari semua perbedaan selera gue dengan penerbit, gue tetap bersyukur dan berterima kasih novel ini bisa terbit. Gue cukup takjub ternyata kenyinyiran gue ada gunanya juga buat orang lain. Ada yang ngirim email ke gue kalau doi gak jadi jadi lesbian setelah baca novel gue. Trus ada yang mau bikin skripsi based on novel gue. Judulnya something like :

"Pencitraan Terhadap Tokoh Wanita dalam Novel "Kartini Nggak Sampai Eropa"
(Analisis Wacana terhadap karakter "Anti" dan "Tesa")

Gue jadi berasa seperti penulis benaran karena karya gue dianalisa. Gue udah kasih si penulis warning kalau in a way dia bakal menganalisa kepribadian gue. Dan kepribadian gue nggak segitunya buat dijadiin skripsi. Kalau kecantikan sih emang gue gak ada taranya.

Thanks. You guys gave me a dose of energy to keep on moving. But the good thing that came out of this novel is: I have the confidence to finish my feature length movie. Dan gue juga turun 4 kilo dalam seminggu. Yeyyyy=P (And I was wondering why I was depressed???)

MENJALA KRU

“Hah? Bikin film harus PT???” tanya gue dengan terkejut. Baru tahu kalau untuk ngurus izin nanyangIn film, lo harus bernaung di bawah sebuah Perusahaan Terbatas yang punya surat izin untuk memproduksi film.

Hueh! Gak bisa ya bikin film aja sendiri? Kaya jaman gue kuliah dulu. Ngajakin temen-temen yang sudah mengenal gue seperti apa adanya. Teman-teman yang bisa ngerti kalau gue kena sindrom PMS permanen.

Untungnya gue bertemu Adi Panuntun, another si ganteng smells like home, yang menjadi EO LA Lights Indiemovie. Perusahaan mas Adi ini baru saja menjadi PT. Jadinya urusan izin mengizinkan buat film beressss. Sekali lagi some invisible hands save my ignorant ass from trouble. Fiuhhh.

Berhubung gue gak bisa nulis, gak bisa ngedit, gak ngerti kamera, dan gak bisa mimpin... film making ala rebel without a crew versi robert rodriguez really didn’t work for me. Mulailah gue merayu teman-teman gue yang berbakat dan haus bikin film tapi terjebak di kerjaan mereka.

Writer:
Sally, senior gue di Liga Film Mahasiswa ITB. Tugas fotografi gue pas mau masuk LFM dicela-cela ama anak ini. But she’s a damn good writer! Writing with her is like a short course on how to make a mendingan script. Draft 1 gue yang cupu jadi agak layak difilmkan.

Editor:
Anky, musuh seperjuangan gue dari jaman kuliah dulu. Dia yang pertama kali menjebak gue ke dunia kelam perfilman. Jaman dulu gue cuma suka moto. Kalau dia gak pernah ngajak gue buat jadi DOP di film dia, tentunya gue sekarang sudah berbahagia jadi arsitek di Singapur, trus beasiswa S2 ke Delft, trus stay forever di Amerika. Anky gue rayu buat resign dari kerjaannya di Trans 7 sebagai... gak tau jadi apaan.

Director Of Photography:
Tadinya mo nyewa profesional, tapi nggak mampu bayar. Jadi produsernya turun langsung jadi DOP. Budi Sasono, another si ganteng smells like home. Hmmmm. Hidungnya mirip Boni, golden retriever gue yang sering disangka sapi ama publik. Jadi gemes pengen nyubit2 Budi Sasono. Akhirnya anjing gue berubah nama dari Napoleon Bonikarpet menjadi Boni Sasono.

Tugas utama DOP adalah membangun’komunikasi intens’ dengan sutradara. Hihihihi. Lighting the set mah gimana ntar. Yang penting intens dulu dengan sutradara. Hmmmmmm;P

Art Director:
Ajo. Dari belakang gue kira dia mau casting jadi Annisa. Cantik sihhh... sayang berkumis. Hihihi. A very talented and wild art director. Gue berharap our next movie is something that gives more space to imagination so he can show off his unlimited creativity. Ajo dan Koben made up our whole art department sections. Wow.

Production Manager:
Monyet! Gara-gara anak ini nih diet gue gagal. Padahal film sebelumnya, gue turun sekilo sehari. Di film ini, sangkin bahagianya, gue malah tambah gendut. She’s doing a too good of a job. Gue curiga dia emang mensabotase diet gue biar doi tampil cantik sendiri di premiere.

Assistant Director:
Burhan Yogaswara. Sebenernya doi pengennya jadi artis, tapi berhubung mukanya kagak ada cina-cinanya, dan kagak ada cantik-cantiknya, dia jadi astrada aja lah. Sepanjang shooting kerjaannya bikin kegaringan yang menyebabkan kemarau panjang. Di akhir shooting doi dianugerahi tokek award atas prestasi kegaringannya. Krik.... krik... krikk...

Assistant Director 2:
Yunitantri DJ. Tadinya editor gue mo jadi astrada 2. Taunya doi lebih memilih bulan madu daripada memajukan perfilman Indonesia. Yuni sebenarnya pengen jadi artis juga. Tapi berhubung ini bukan film Bollywood, terpaksa Yuni dijadikan astrada merangkap breakfast girl, sekaligus maketor, trainer logat batak, Konti girl, dan merangkap P2 girl.

Wardrobe/ Make Up:
Ibu Yuvie pun gue rayu biar meluangkan waktu di sela-sela jadwal fashion show doi. Sebenernya doi kayanya agak trauma di dunia perfilman setelah bertemu beberapa artis muda kurang berbakat yang juga kurang adat. Tapi doi berhasil dirayu demi kemajuan perfilman kami. Doi dibantu muridnya, Mbak Wenti yang juga belon pernah bikin film.

Production Assistant:
Untungnya si pak produser juga merangkap dosen. Jadinya banyak anak didiknya yang membantu terselenggaranya film ini sampai selesai.Eka, Fauziah, Galih, Reza, Awal,Dina, Asep, Shendi, dan Bagus. Ayo! Kalau mau nilai A, buang astrada 1 ke kolam! Byuuurrrrrr. Good job! We don’t know what to do without you, guys!

Setelah shooting selesai gue baru nyadar ternyata berondong-berondong ini ganteng2. Damn. Inilah akibat terlalu intens dengan DOP jadinya lupa lihat-lihat sekeliling.

Setelah filmnya jadi, ternyata perburuan gue belum selesai. Distributing the movie is a whole new art. Kerjaan satu studio dikerjakan bertiga dengan duo mbak kenthir yang menmani gue betiga menjelajahi jalan-jalan 3 in one jakarta with no money and no boyfriend, but a lot of love to share.

Publicist (merangkap mbok pijit):
Ardanti Andiarti. Doi tumbuh sebagai minoritas di sebuah sekolah katolik. Danti beradaptasi dengan habitatnya sehingga matanya ikutan menyipit. Bahkan doi disangka muallaf pertama kali pake jilbab. Exactly the perfect profile we need to promote this movie. She smells a lot like home, walau kadang ada semilir bau minyak tawon menyertai.

Promo manager (merangkap supir karena mbak-mbak lainnya gagap Jakarta):
Dini Aprilia Murdeani. Sebelum doi dinyatakan lulus dari sekolah bisnis di Bandung, gue udah nongkrong di luar ruang sidangnya, siap-siap menangkap doi sebelum diambil orang lain. I knew her from SMA. We made a great team sebelum doi mengurangi komunikasi intens gue dengan DOP. Ternyata doi punya agenda cin(T)a yang lain.

GAGAL JADI SUTRADARA

Gagal jadi sutradara, gue balik ke Singapur. Gue pikir kalo emang gue bagus, ONM pasti mau nerima gue lagi. It turns out that I am not that good. They have plenty of other me lining up begging to work for them.

Terpaksa gue nyari kerja lagi. The idea of going through another endless interviews were really killing me. Mending gue nyari jodoh aja deh. Gini-gini kan gue ketua umum Babacan selama 4 periode ke depan. Babacan is Batak-Batak Cantik, by the way.

Pergilah gue ke HKBP Singapura, berharap ada spesies Batak ganteng yang mau memperistri dan menafkahi gue seumur hidup sementara gue hahahihi bikin film. Amin.

All the good ones are taken, gay, or simanjuntak. Gue memble tapi kece...wa. Apa gue balik aja ya jadi arsitek? Pada saat itu ekonomi Singapura lagi bagus-bagusnya. Pembangunan di mana-mana. Arsitek tinggal lumpat lumpit gak perlu takut jobless.

I hope you never fear those mountain in the distance
Never settle for a path of least resistance

Tiba-tiba Ronan Keating kembali berdendang. Do I settle for a path of least resistance? Basi banget sih gue. Yuk coba lagi ah. Kembalilah gue ke HKBP berburu suami.

Ternyata yang tersisa di sana hanya para suami. Tak ada spesies Batak ganteng tak beristri. Kecewa lagi, gue terduduk. Apa gue ke cewe aja ya? Mak gue nyuruhnya cari jodoh Batak. Gak bilang harus cowo apa cewe.

Tiba-tiba salah seorang teman bertanya, “Hey! How is our movie? I would love to be the producer.”

Namanya Roland Samosir. Sebenernya ini bukan pertama kalinya doi nawarin bikin film bareng. Suatu hari di masa dulu, di hari-hari di masa gue masih berpikir kalau gue akan bekerja di ONM, make some contacts, and then later make a movie... kita duduk2 minum wine di tepi danau Toba. Dia nanya kenapa gue resign dari arsitektur. Gue nyeritain film yang pengen gue buat.

“I would love to be the producer!!!” serunya penuh semangat.

But I didn’t really take him seriously. Saat itu gue menganggap gue belon siap untuk bikin film sendiri. Gue masih pengen dirodi long hours di perusahaan advertising, atau jadi runner di PH film, atau apapun deh... asal jangan bikin film. It seemed like a no money and insecure choice.

But I have no other choice right now. So I just said OK.

Sekarang gue punya duit buat bikin film. Tinggal nyari alat ama kru. Jadilah film gue.

Or so I thought.

SUTRADARA CEMEN

“Kalau nggak bisa mimpin, ya nggak usah jadi sutradara,” tutur Garin Nugroho dengan senyum manisnya. Tapi menusuk!

Gue berdarah-darah, terlalu proud untuk mengundurkan diri jadi sutradara. Ternyata panitia tidak hanya memilih gue doang buat bikin film. Yang dipilih ada lima orang. Lima-limanya pengen jadi sutradara. Dan nggak ada yang mau jadi produser. Entah kenapa yang akhirnya ditunjuk jadi sutradara... gue. (Pastinya karena gue paling cantik.) Padahal cerita yang terpilih bukan cerita gue.

Shooting dua hari, gue turun dua kilo. Good for my diet. Eight more kilos to go!

But not good for my soul. Gue merasa dibenci semua orang. Dan semua ini... gara-gara gue berusaha menyenangkan semua orang.

“I don’t know how to be successful, but I know how to fail. Just try to please everyone!” kata Cosby... more or less kaya gitu deh. Andai gue tahu dari dulu-dulu.

Gue jadi inget film pertama gue di mana semuanya gue kontrol sampai ke satu titik di mana gue merasa yang enjoy ngerjain cuma gue. Yang lain gak berkembang karena kreatifitas mereka gue batasi dengan berbagai macam maunya gue. Untungnya filmnya berakhir keren dan semua kru bahagia melihat hasil akhirnya. Mereka jadi lupa betapa menyebalkannya gue karena bahagia liat filmnya.

Sekarang... film gue jadi gado-gado gara-gara sutradaranya berusaha menyenangkan semua orang. Sampai pada satu titik si sutradara capek nyenengin semua orang, dan mulailah terlihat bentuk aslinya yang suka marah2. Kata Riri Riza, sutradara yang suka marah2 di lokasi shooting tuh cuma sutradara yang kurang persiapan. That’s me!

Gado-gado! Walaupun katanya film ini berhasil masuk tiga besar pada penilaian juri, buat gue film ini tetap pembelajaran yang menyakitkan. And I am so sorry that a lot of people have to suffer because of my lack of leadership and overdosed confidence.

Maybe I am not shaped to be a director after all.

PULANG KAMPUNG

I hope you never fear those mountain in the distance
Never settle for a path of least resistance
Living might mean taking chances but it’s worth making
Loving might be a mistake but it’s worth making


Visa gue ditolak! Gue termenung tak percaya menatap layar komputer, sementara Ronan Keating berdendang.

Tuhan memang suka nyeleneh. Bahkan Ronan Keating pun bisa Doi pake buat ngomong ama gue. Gue anggap ini adalah petunjuk Doi kalau pintu ini bukan buat gue. Gue harus buka pintu lain.

Tiba-tiba sebuah SMS dari malaikat Andik datang. Isinya tentang LA Lights Indiemovie 2007 yang menghadiahi 15 juta buat bikin film pendek. Gue mulai bersyukur visa gue ditolak. Mungkin ini petunjuk lain atas skenario Doi biar gue sempet bikin film pendek dulu sementara visa gue diurus kembali. Jadinya gue masih punya waktu buat ngurusin badan juga soalnya gue belon mulai mulai diet juga hihihihi. Yeyyy! Same old story.

Dengan pede abis gue mendaftar LA Lights Indiemovie. Gue yakin gue pasti kepilih!

Gue terpilih menjadi sutradara di salah satu dari dua wakil film pendek Bandung. Gue tersenyum dalam hati. Semua berjalan sesuai rencana. Sekarang tinggal nunggu visa kerja di Singapur keluar sambil bikin salah satu film pendek terbaik Indonesia. Jadi nanti gue akan memulai pekerjaan baru di Singapura dengan berbekal porto tambahan satu film pendek keren dan satu novel yang gue yakin juga pasti banyak yang mau menerbitkan.

Or so I thought.

Selasa, 28 April 2009

RESIGN CLUB

I hope you still feel small when you stand beside the ocean
Whenever one door closes I hope one more open
Promise me that you’ll give faith a fighting chance
And if u get the choice to sit it out or dance
I hope you dance


Gue Sammaria, bukan siapa-siapa tapi mengangkat diri jadi ketua umum Resign Club selama 4 periode mendatang . Sudah sesumbar akan resign dan menjadi filmmaker sejak bulan pertama bekerja. Tetapi gak resign-resign karena malu kalau gak punya perusahaan yang mempekerjakan. Padahal semua orang sudah resign, sementara si ketua umum belum juga resign.

Takut resign karena gue bukan siapa-siapa. Gue cuma salah satu dari jutaan sutradara instan yang bermimpi jadi sutradara beneran. Sejak tingkat tiga kuliah, gue sudah sesumbar. Pokoknya gue harus jadi sutradara, gak mau jadi arsitek!

Setelah lulus, gue terserang ketakutan kelaparan yang mendamparkan gue ke singapur dan jadi arsitek di sebuah perusahaan berinisial SAA, yang gue akui ke teman2 gue adalah kepanjangan dari Sari Astrid Architects. Pertama kalinya punya kartu nama bertuliskan SAM MARIA- architect. Bangga punya kartu nama arsitek, walaupun gak punya karya dan tiap hari ngomongin film. Bangga punya gaji awal SGD 2050 padahal 450 dollar lebih rendah dibandingkan lulusan Singapur.

Maybe it’s not the job. It’s the company. SAA terlalu korporat buat mahkluk bengal kaya gue. Akhirnya gue melamar ke salah satu biro boutique di Singapur yang karyanya, Duxton Public Housing, menginspirasi tugas akhir gue sampai akhirnya gue diganjar TA terbaik, masuk majalah, diundang seminar, presentasi, bla bla bla. It didn’t realy impress them. Interviewnya beda banget ama korporasi-korporasi lainnya. It took about an hour. He asked me to draw some house, snake, water, and other psycho analysis stuffs. The interview was more like a nice conversation in your living room. By the end of the one hour he said...

“There’s a production house next door. Why didn’t you apply there instead?”

Damn. I shoulda known that this guy has a graduate degree in psychology. He is into that mind reading stuffs. I didn’t say anything about movie making during the whole hour and still he gets my thoughts.

“This is the worst no I’ve ever got,” sahut gue sambil melangkah ringan ke kantor tetangga.. a production house.

Gue ditolak lagi.

Penolakan is a penundaan for penerimaan. Gue lamar semua PH di Singapur. Gak pernah dapet, tapi dapet banyak teman dan a bit of glimpse tentang jenis2 production house selama interview. At least now I know which kind of production house I will have. Have? Naaaaaaaa. The admin work is just to much. I just need to find one that smells like home so I can learn how to make a movie. That was my plan.

Gue gak mau resign. Takut. Mungkin gue harus dipecat dulu biar gue kepaksa nyari kerjaan lain. Nice idea! I can get out of the company and make 3 months pesangon kalo dipecat.

So I wrote this song on a dinner and dance held by my company. I complained about all the long hours and how bad the company treated us and bla bla bla... moga2 senen pagi gue dipecat. Yeyyy!

Monday morning: the director calls me to meet him. Yeyyy! Gue dipecat.

Ternyata he gave me a raise. Damn!

Di bulan ke 12 gue belum juga resign sementara semua anggota gue di resign club sudah hijrah ke perusahaan lain. Akhirnya with no job offer in hand, gue resign! This is it. This is my ‘no turning back’ point. Merdeka atau mati!

Sebenernya gak seberani itu juga sihhhh. Gue mencoba melamar ke sebuah perusahaan advertising berinisial ONM. Gue rasa ini langkah yang bijak. PH di Singapur masih kecil-kecil, gak sanggup bayar jaminan ke pemerintah buat hire foreigners. So advertising is a good step. Gaji masih bulanan, but one step closer to filmmaking. So I thought.

“Why do you go into advertising if you actually wanna make movie?” tanya sang creative director yang ganteng dan smell like home. Hmmmmm...

“Because I wanna be like Yasmin Ahmad,” jawab gue dengan bangga.

“Do you know she used to be a guy?”

Gue terdiam. Shock! Merasa seperti anak kecil yang gak tau apa-apa.
Padahal harusnya gue bilang aja ... “Do you know I used to be a guy too?” biar si creative director yang shock hihihihi! Biar bibir basahnya menganga terbuka sedikit. Hmmmm...

So he gave me a chance to pursue Yasmin Ahmad’s path. Or so I thought.

Sementara menunggu visa keluar, gue balik dulu ke Indonesia. Do some charity work in my kampong, write a damn good novel I have been so long talking about (and never wrote), and loose some weight. So I could go back to Singapore and look fabulous on my first day working in one of Singapore most prestigious advertising company. That seemed like a good plan. Or so I thought.

And my story began.