Rabu, 24 Juni 2015

DOA


“Lo gimana sih mulainya, Tid?” tanyanya. 

Beberapa bulan lalu dia bercerai dan resign dari pekerjaannya sebagai arsitek untuk villa-vila jutaan dollar dengan gaji 5 juta. Dengan gagah berani, dia memulai lembaran baru dengan mengencani lelaki dari berbagai benua dan menuliskannya dalam sebuah blog private, The Adventure Of Pussy Dewata.

The next thing I know, Pussy Dewata sudah kembali bekerja jadi arsitek di salah satu gedung di Kuningan sana.

Dan sekarang dia mulai kepikiran resign lagi setelah bertemu dengan lelaki Perancis pembuat klafuti. 

“Gue mulainya dulu gimana ya? Ya resign aja,” jawab gue sok cuek.

Dia semakin resah. Sepertinya jawaban gue gak membantu.

Gue merasa bersalah karena membuat semuanya terdengar begitu gampang. 

Awalnya gue resign emang gampang. Gue yakin akan dapat pekerjaan di advertising agency di Singapur. Too much confidence and less understanding on the message of ‘The Alchemist’.

Kerjaannya sih dapet, tapi work permit-nya nggak. Teringat pertama gue baca email kalau work permit  gue ditolak, dunia serasa runtuh. Gue terdiam di cubicle warnet jam-jaman itu, gak ngapa-ngapain. Cuma bengong. Berasa gak berbakat dan gak berharga. 

Gue takut. Sampai kembali ke kamar gue pun, gue masih gemetar. Sekarang gue harus ngapain?

Saat itu, gue akhirnya menyanyi. It’s like berdoa, tapi gak perlu mikir.

Firmanmu pelita bagi kakiku, terang bagi jalanku…
Waktu kubimbang dan hilang arahku, tetaplah kau di sisiku.
Dan takkan kutakut asal kau di dekatku 
Besertaku selamanya…

Dan kini, setelah definisi gue tentang Tuhan sudah jauh bergeser dari doktrin HKBP, lagu itu tetap berarti bagi gue. 

“Coba berdoa gimana, Din?” jawab gue takut dikira basi.  


Sepertinya dia setuju. 

SING SOON

Sejak gue kenal dia, dia selalu ingin jadi penyanyi. Pengennya lagunya ajeb-ajeb mellow, seperti mbak-mbak Jepang idolanya.

Tahun ini, seiring dengan visi misi gue meng-establish-kan Resign Club, mungkin gue harus menginspirasi dia. 

“Kalau lo bisa  kelarin draft 1 album lo pas gue ulang tahun, lo gak perlu bayar kosan tiga bulan!”

Gue ulang tahun. Album belum selesai. Dan kosan belum dibayar.

“Gue sebaiknya jawab apa ya?” tanya gue meminta saran seorang teman setelah menerima email mellow tentang betapa gagalnya dia merasa.

“Ya the best thing you can do sekarang disemangatin aja. Bilang writer’s block itu biasa. He needs to relax to be creative.”

He needs to relax and… he needs money. Si teman langsung menawarkan pekerjaan membuat flyer untuk 1.5 juta.

“Thank you ya. Biasanya gue nge-charge buat lay out flyer cuma 500 ribu, tapi sekarang gue butuh duit jadi gak gue tolak,” katanya.

“Mungkin passion lo bukan di sana? Mungkin passion lo membuat makanan sehat?” tanya gue takut dia gagal lagi dan malah tambah down. Lebih baik gue belokkan ke hal-hal yang tidak sekompetitif dunia musik. 

Notes to myself: I should stop trying to be a hero for him. Maybe this Resign Club thing is not for everyone.

Teringat dulu ketika gue baru resign dari arsitektur, Kak Ria juga selalu menawarkan iklan-iklan lowongan arsitek di koran Singapur. Gue malah semakin keras kepala harus jadi sutradara.


“Iya ya. Mungkin passion gue memang makanan sehat,” katanya.

AM I “RESIGN CLUB” ?

“Kata Lucky, brand gue mending Resign Club,” kata gue sambil meyakinkan diri, meminta approval eceu-eceu Sukabumi yang lagi gak ada kerjaan menanti pacar pulang kerja di Heidelberg sana. 

Untung dunia ini udah ter-wifi tanpa batasan waktu dan biaya, jadi walaupun si Eceu lagi GMT + 1, kami tetap bisa bercengkrama.

Di dunia yang semakin Terminator Genisys ini,  gue wajib punya angle yang bisa membedakan brand gue dari kerumunan kicauan lain yang memenuhi Skynet dengan harapan job-job akan lebih berdatangan.

“Nggak ah. Brand lo gak kuat di situ,” kata si Eceu mengambalikan gue ke kerumunan tanpa angle.  

“Kaya Lucky tuh brand-nya udah kuat banget. Orang kalau inget gay urban, pasti inget doi.”

“Aduh kayanya gara-gara itu deh gue susah dapet job! Gak bisa ya gue pura-pura gak gay?” kata Lucky sok mengeluh, walaupun gue yakin dia gak akan menganulir diri.

“Brand lo yang gue tangkep sih… Cewe Batak.”

Membayangkan harus bertemu kembali dengan Batak-Batak galak yang merasa ritual dan adat istiadat mereka diusik ketika gue riset-riset Raja Kata, gue langsung merasa pendek umur.

“No. Brand gue bukan Batak.”

So what am I?

Queer?

“Ah gue gak percaya lo lesbi sampai lo bawa pacar lo ke sini,” kata si Eceu.

Jadi gue apa dong? 

Sudahlah Resign Club saja. 

Karena judul blognya terlanjur Resign Club. Pusing mikirin jati diri, mending mandi dan berbahagia.

Usut punya usut, google punya google… resign ternyata artinya gak cuma berhenti kerja. Tapi juga… berserah! Apapun yang terjadi, terjadilah.  Yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya… Very Stoic indeed. 

Atau very Titik Puspa?

Wooo… kayanya dipas-pasin cucok juga buat gue.  Secara personal legend gue kan be happy and share it with others.

Resign Club: mandilah dan berbahagialah.

Dulu gue photoshop-in  sabun Fight Club buat dijadiin logo Resign Club… mungkin bukan kebetulan. Karena di gambar ini tersimpan kunci kebahagiaan gue: mandi.

Maybe someday I can have my own line of soap.