"Mi, bantuin DP apartemen dong. Nanti
bulanannya Atid cicil ke Mami," kata gue pada Mak Gondut mumpung doi baru
beliin Deden apartemen.
Mak pun setuju.
Tapi takdir berkata beda.
Di perjalanan menuju RSPAD bersama Papi,
tiba-tiba Mak Gondut sesak napas. Palang kereta di depan mobilnya menutup.
Jalur kereta di Senen itu ada delapan, entah kapan palangnya membuka kembali.
Mak merasa waktunya sudah tiba.
"Bang, jangan lupa belikkanlah si Atid itu apartemen ya," sabda Mak
Gondut di detik-detik terakhirnya.
Lalu palang kereta terbuka. Mak dilarikan ke
IGD. Gak jadi detik-detik terakhir.
Gak jadi beli apartemen.
"Masak Mami gak jadi mati gak jadi beliin
apartemen? Harusnya bersyukur dong diberi kehidupan baru. Ngapain harta
disimpan-simpan?"
Si Atid pun dibeliin apartemen.
"Nanti kau beli sendiri yang gedelah.
Masa mau terus-terusan kau di
sini?"
Gue gak pernah pengen punya rumah gede. 33 m2
untuk satu orang sudah tiga kali lipat standar hidup per orang menurut Neufert. Dan ini
satu-satunya daerah di Jakarta yang sepertinya gue masih mau tinggal. Jadi
ngapain pindah?
Daripada beli rumah gede, mending kalau punya
duit dibagi-bagi ke yang butuh.
Setelah punya satu rumah kecil berumput luas
di Bandung, buat tempat bertanam jamur, tentunya.
Eh tapi kan mami punya.
Ya udah dibagi-bagi ajalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar