"Kenapa Joko Anwar terkenal padahal
filmnya gak ditonton orang?" kata si Millenials mencoba menganalisa. Semua
temannya follow Joko Anwar, tapi gak ada yang pernah nonton filmnya di bioskop.
This might explain kenapa follower-nya jutaan
sementara penonton filmnya ratusan ribu.
"Tweets dia kritis. Semua anak muda yang
agak-agak kritis pasti follow dia," jawabnya.
Tapi banyak orang yang lebih kritis dari Joko
Anwar gak di-follow tuh.
"Oh iya. Dan dia berani telanjang ke
Circle K. Gue baru follow dia sejak itu," tambah si Millenials.
Bukan karena film.
Sejak
jaman BC pun, orang butuh storyteller untuk diserap opini-nya. Jaman
Yesus, doi cerita sambil duduk-duduk di
bukit. Jauh. Mengikut Yesus harus ninggalin pekerjaan dan
keluarga.
Nabi-nabi masa kini tak perlu lagi diikuti dengan meninggalkan
jala dan keluarga. Tinggal di-follow dan ditinggalkan dengan gerakan jempol.
Gue males twitteran. Terlalu pendek, gak
komprehensif. Jangankan twitter, koran aja males. Lebih suka baca majalah
karena faktanya udah ditambahkan analisa.
Untungnya dari enam screenwriters handal yang
duduk di roundtable Hollywood Reporter, hanya Amy Schumer yang punya twitter dengan 2.4 juta followers.
Aaron Sorkin, Nick Hornby, and all the older writers I respected gak punya
twitter. Jadi masih adalah harapan buat youth nation malas twitteran macam gue.
To tweet or not to tweet, ada satu yang sama
dari mulai Yesus sampai Amy Schumer. They enjoy telling their stories.
And I enjoy writing blogs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar