Kamis, 07 Januari 2016

Storytellers

"Kenapa Joko Anwar terkenal padahal filmnya gak ditonton orang?" kata si Millenials mencoba menganalisa. Semua temannya follow Joko Anwar, tapi gak ada yang pernah nonton filmnya di bioskop. 

This might explain kenapa follower-nya jutaan sementara penonton filmnya ratusan ribu.

"Tweets dia kritis. Semua anak muda yang agak-agak kritis pasti follow dia," jawabnya.

Tapi banyak orang yang lebih kritis dari Joko Anwar gak di-follow tuh.

"Oh iya. Dan dia berani telanjang ke Circle K. Gue baru follow dia sejak itu," tambah si Millenials.

Bukan karena film.

Sejak  jaman BC pun, orang butuh storyteller untuk diserap opini-nya. Jaman Yesus, doi cerita  sambil duduk-duduk di bukit.  Jauh.  Mengikut Yesus harus ninggalin pekerjaan dan keluarga.

Nabi-nabi masa kini  tak perlu lagi diikuti dengan meninggalkan jala dan keluarga. Tinggal di-follow dan ditinggalkan dengan gerakan jempol.

Gue males twitteran. Terlalu pendek, gak komprehensif. Jangankan twitter, koran aja males. Lebih suka baca majalah karena faktanya udah ditambahkan analisa.

Untungnya dari enam screenwriters handal yang duduk di roundtable Hollywood Reporter, hanya Amy Schumer  yang punya twitter dengan 2.4 juta followers. Aaron Sorkin, Nick Hornby, and all the older writers I respected gak punya twitter. Jadi masih adalah harapan buat youth nation malas twitteran macam gue.

To tweet or not to tweet, ada satu yang sama dari mulai Yesus sampai Amy Schumer. They enjoy telling their stories.


And I enjoy writing blogs.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar