Si penulis ketawa terus.
"Biarin, kak. Kalau gak ketawa, dia
kentut," kata si Produser.
"Ya ceritanya tentang itu aja,"
sambut gue.
"Iya seru tuh! Trus ceritanya kentutnya ngerusak kabel aja,
Kak," tambah si Produser.
Gue bahagia mendengar ide mereka. Apalagi
ketika mentor penulis bilang mereka bisa menulis dengan tanda baca dan logika
yang ternyata barang langka di anak SMA kebiasaan twitteran masa kini.
Tapi film gak cukup gila di atas kertas. Visualisasinya
pun harus gila.
Sepertinya si sutradara gak cukup gila. Gue
bertanya-tanya kenapa bukan si produser saja yang jadi sutradara? Kayanya dia
punya lebih banyak ide gila.
Sekarang otak gilanya malah terjebak ngurusin
kerjaan administrasi yang sepertinya bukan bakatnya.
Mungkin karena rasa persahabatan, posisi pun
jadi dibagi berdasarkan persahabatan.
Gue terbayang jaman gue dulu masih bikin film
kuliahan. Jabatan sutradara digilir. Gue
yang gak mau terkesan mendominasi, sok-sok merelakan jabatan sutradara digilir.
Setelah ngerjain film buat hidup, ngegilir
jabatan sutradara jadi berasa buang-buang waktu. Lebih baik dipimpin sutradara yang mendominasi daripada dipimpin sutradara yang gak tahu mau bikin apa.
Kentutlah persahabatan. Memang
gak semua harus jadi sutradara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar