Kamis, 07 Januari 2016

Harapan Di Lumpur

Seorang teman pindah warga negara ke Singapur.

"Kalau gue gak ada anak dan suami sih, gue juga pindah. Tapi suami gue tuh nasionalis banget," katanya.

Di negara yang semakin kubangan ini, kenapa kita masih di sini?

"Amerika juga dulu kaya kita kok. Kita kan masih muda banget. It's getting better," kata teman lain.

Mungkin dia sangat optimis karena dia tinggal di luar negeri. Gak harus lumpur-lumpuran tiap hari.

"Kalau gak ada harapan, ngapain lagi kita hidup?" tanyanya.

Segala argumen berbunga langsung ditolak ama akal sehat gue.

Gue pun mulai meriset Kanada. At least perdana mentrinya hot.

Ternyata sama saja.  Spesies rese dan bodoh sepertinya disebar merata di seluruh dunia.

Bukan waktunya melarikan diri. Ada sebabnya gue ditaro di sini. Harapan memang satu-satunya alasan untuk tetap berbahagia di lumpur ini.

Bersyukurlah kau hidup di lumpur.  Teratai kan cuma tumbuh di lumpur. Jadi bisa kau berbunga.

Sebentar.


Sebelum jadi lumpur lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar