"Bukan ngejodohin. Ngenalin!" koreksi Mak Gondut.
Gue dilarang pulang ke Jakarta sampai hari ini biar bisa ikut ketemu sama keluarga cewe Batak berikutnya yang mau dia jodohin eh kenalin. Bukan buat gue, sayangnya. Buat Deden. Kalau gak ada gue, Deden gak mau ikut.
Kukira udah bebas aku dari perjodohan.
"Di Kedai Mandiri mau?" tanya gue mencoba mencari alternatif yang lebih murah.
"Di Hummingbird lah," sahut Mak Gondut gak mau kalah gaya.
"Asal kau siap bayar," kata Papi becut, ingat dia yang selalu jadi korban pembayaran.
Kali ini targetnya cantik. 27. Pendiam, tapi abangnya nggak. Abangnya bercerita tentang betapa seni rupa Indonesia terlalu elit dan betapa dia kecewa fashion Indonesia tidak punya identitas. Tapi sepertinya enggan gue sarankan menelusuri roots dan sejarahnya. Lebih tertarik urban, katanya.
Target hanya diam memperhatikan, sambil sesekali tersenyum ramah tiap mata gue ketemu matanya sampai pesanannya datang. Sebuah steak ayam porsi besar bersama kentang-kentang.
"Makannya banyak, tapi langsing ya. Si Atid makannya secuil-secuil tapi tetap gendut," kata Papi disambut delikan sebal gue.
Dia hanya tersenyum sopan, macam bukan cewe Batak.
"Jadi gimana, Den?" tuntut Mak Gondut begitu sampai di rumah.
"Masa baru ketemu sekali udah mami tanya gimana?" sahut Deden judes, membuat Mak Gondut kembali ke sofanya. Nyari kutu anjing, sambil kupingnya tetap dipasang mendengarkan gue dan Deden ngobrol.
"Tapi pasti di rumah, itu anak dominan. Mamak bapaknya nurut ama dia," kata Deden menganalisa hati-hati. Mungkin takut terjebak sama cewe-cewe sejenis Mak Gondut. Mungkin malah nyari.
Mak memites kutu anjing sambil tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar