Ada yang pagi-pagi sudah mendatangi tetangganya.
"Saya mau nari di sini. Sitayana, bukan Ramayana," katanya. Lalu si tetangga dijadikan api biru yang mengelilingi dia. Dia tentunya jadi Sitayana.
"Padahal dia sudah enam puluhan dan tak kecil lagi," kata salah satu muridnya. Tapi katanya nanti di Bali yang jadi Sita muridnya.
Ternyata dia lagi.
Pernah dia menari bersama segerombolan penari Jawa. Gantian. Saat Penari-Penari Jawa mentas, dia berisik di pinggir panggung memberi instruksi kepada murid-muridnya. Saat mereka manggung, yang Jawa duduk tak bergeming sedikit pun di pinggir panggung.
Saat pengajuan dananya ditolak oleh Departemen, dia berteriak-teriak mengamuk sampai ke lift.
Ada lagi penari lain yang sudah dijanjikan 800 juta oleh departemen untuk pagelaran 70 tahunnya setelah mengabdi bertahun-tahun menjadi penari istana. Tiba-tiba si Bapak berkelat-kelit tak jadi ngasih padahal semua persiapan sudah dimulai.
Dia hanya diam, mengambil semua berkasnya, dan kembali ke rumahnya tanpa dendam. Menghitung ulang semua dengan dana seadanya.
Tapi dari wajahnya yang diam, kita tahu dia menekan kemarahan.
Ada lagi yang memang tulus ikhlas dari sananya. Seperti si penari Jawa yang hanya diam di pinggir panggung tanpa bergeming.
Penari... penari... ceritamu banyak sekali.
Ingin kuberi kalian panggung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar