Kamis, 21 Juli 2016

Minta Maaf

The verdict from IPT 1965 is in. Genocide!

Indonesia dibantu US, UK, dan Australia terbukti telah melakukan 10 kejahatan perang, salah satunya genocide. Negara gue di mata internasional sekarang sama seperti Rwanda, Kamboja, dan negara-negara menyeramkan lain  di berita TV.

Eh, beda. Kita lebih jugul.

Seorang mantan jendral yang kuasanya seperti presiden langsung membuat pernyataan kalau negara tidak akan meminta maaf sesuai rekomendasi IPT. Janganlah diharap memulai penyelidikan atau ngasih kompensasi, seperti 2 rekomendasi lainnya.

'The Act Of Killing' dan 'The Look Of Silence' aja masih dilarang.

Teringat beberapa moment di 'The Look Of Silence'. Beberapa keluarga pelaku malah menyerang Adi, menambah luka. Tapi ada juga keluarga pelaku yang langsung meminta maaf, membuat Adi lebih lega, dan tidak mengurangi martabat si peminta maaf sedikitpun.

Gue jadi termenung sendiri memikirkan, "Kenapa minta maaf lebih sulit dari memaafkan?"

Tapi lagi-lagi gak bisa mengubah orang lain. Apa yang bisa gue lakukan untuk sedikit mengobati luka kita?

Yang pertama kepikiran adalah roadshow cin(T)a. Jalan-jalan putar film sambil ketemu penonton menjadi healing process tersendiri buat gue dari penyakit kronis self rightousness. People came to me and tell me their personal stories. Mungkin 'Dongeng Bawah Angin' pun harus gue bawa roadshow seperti cin(T)a biar memecahkan diam-diam tanpa maaf ini.

Ironisnya... dulu roadshow cinta dibayari banyak orang, di antaranya si jendral dan om-om gubernur di 'Act Of Killing'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar