"Ya nanti kainnya disetrika dulu," katanya.
Mendengar kata setrika, senyum gue mengambang. Sudah lama gue tidak mendengar kata setrika di rapat film ini. Setelah tim art mengundurkan diri dan art kembali digantikan orang film, kata setrika kembali mengumandang.
"Nanti saya bikin timeline-nya. Biar kebayang gimana 8 hari ini ngapain aja."
Mendengar kata timeline, kepala gue mengangguk-angguk. Seperti musafir yang lama tak bertemu air, gue dibanjiri kata-kata biasa yang ternyata gue rindukan: timeline, budget, setrika, cheat cheat... Kata-kata yang membuat gue lebih yakin pekerjaan akan selesai pada waktunya.
Dua hari ini menyadarkan gue kalau bikin film itu pekerjaan kotor di dasar gunung keindahan bernama kesenian.
"Kalau teater kan olah rasa, kita olah hasil," katanya dilanjutkan pilihan bahan yang bisa dipakai untuk mengakali mesin tenun replika terlihat realistis.
Gue membiarkan dia kembali diskusi budget dengan Line Producer. Apakah benar film itu hanya olah hasil? Apakah itu yang membuat film kita gak bagus-bagus?
Film Indonesia sering dianggap sebelah mata oleh dunia seni, karena dianggap seni kompromi. Ya gak bisa disalahkan juga mengingat banyak filmnya begini.
Banyak yang gue belum mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar