Seorang ibu beranak tiga membuat sanggar seni untuk anak-anak. Di saat anak-anak lain sibuk ber-Frozen dan ber-Justin Bieber, anak-anaknya bermain gendang afrika dan membuat lagu tentang pergi ke gunung.
Brand pun mulai berdatangan mengajak mereka pentas untuk acara promo mereka. Keuangan sanggar mulai membaik.
Tapi Brand mengatur kostum, mengatur waktu, mengatur lagu mereka agar lebih sesuai image brand.
"Tapi yang bikin gue akhirnya gak terima adalah ketika mereka memilih pemeran," katanya menyembunyikan sedih dan amarah di balik ketenangannya.
Gak mau yang gendut. Gak mau yang kaca mata. Bagusan yang cantik. Mending yang udah terkenal.
"Ini kan anak-anak... Kalau dari kecil sudah kita bawa masuk ke dunia dengan pemikiran seperti itu, buruk untuk masa depan mereka," katanya.
Akhirnya dia memilih jalan yang berbeda. Setelah setahun bekerja sama dengan sebuah badan pendana untuk membuat teater musikal anak, mereka pun percaya padanya. Cast menjadi otoritas dia tanpa boleh diganggu gugat.
Dia pun memakai si gendut, si kacamata, si tak cantik, dan semua yang tak dipandang industri hiburan yang semakin hari semakin membuat anak-anak kita cita-citanya menjadi cantik dan terkenal.
Sebagai anak gendut berkacamata tak cantik dan tak terkenal, gue bersyukur ada di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar