"Siapa yang mau jadi mentor mereka?"
Tidak ada yang maju. Mungkin karena mereka
terlihat gak seru dibandingkan kelompok lain. Solidaritas sesama underdogs, gue
akhirnya maju.
Mereka beneran underdogs. Gak pede ngomong.
Gak pede nunjuk tangan di kelas. Gak pede nunjukin film.
Padahal ceritanya bagus. Tentang orang buta
pengen jadi kameramen, orang tuli pengen jadi artis, dan orang bisu pengen jadi
sutradara.
"Sounds like our industry," kata Lucky.
But they do not have his perspective. Such a great story di tangan mereka jadi
another komedi gak lucu.
"Lo jangan ngaceng dulu deh denger premis
bagus. Anak-anaknya belum mampu. Mending ceritanya lo arahin jadi komedi
romantis aja."
Tentunya gue tetap ngotot. Gue masih yakin
cerita is everything.
Menjelang deadline, barulah gue nurut. Semua scene
mereka gue apus, nyisa satu. Isinya tinggal cewe buta mau nyebrang, trus ada
cowo bisu dan cowo tuli rebutan mau nyebrangin.
"Script tuh harus sederhana.
Pengadeganannya yang kompleks. Jangan sebaliknya," omel gue sambil menertawakan
film pendek mereka sebelumnya.
Tapi ternyata cerita bukan everything. Saat
shooting, mereka tetap harus disuruh-suruh. Jadilah muka gue singa terus sepanjang
shooting.
Dan muka singa itulah yang mereka edit dan
frame sebagai kenang-kenangan buat gue.
Muka gue berubah bahagia. Ternyata anak-anak
ini manis-manis.
"Kak, mending cerita orang buta bikin
film itu kakak aja yang bikin. Pasti jadinya bagus," kata mereka.
Bagian 'pasti jadinya bagus' gue
tambah-tambahin.
"Tapi nama kita masukin ya kak."
Bah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar