"Budaya kita kan emang keluarga tuh
tinggal di satu rumah rame-rame. Jadi ya gue tinggal aja ama mertua gue, gak
perlu pusing mikirin beli rumah. Duitnya bisa gue pakai buat modal usaha,"
jawab salah satu teman ketika ngomongin harga tanah di Jakarta yang semakin gak
kebeli.
Kalau orang tua atau mertuanya gak suka
ngatur-ngatur sih ya mungkin bisa aja ya.
"Ya orang tua di mana-mana suka ngatur.
Kita yang muda aja yang harus lebih kompromi."
Kebudayaan komunal ala Rumah Gadang dan
rumah-rumah tradisional lain mungkin
bisa jadi jawaban permasalahan tanah terutama di Jakarta yang semakin didikte
tuan-tuan tanah yang jumlahnya hanya beberapa tapi berkuasa itu. Kalau semua
orang rame-rame tinggal di rumah orang tua masing-masing, nggak akan ada yang
beli dagangan mereka. Kalau gak ada yang beli, otomatis harganya gak bisa
sesuka hati mereka.
Tapi haruskah kita mengorbankan kebebasan
individu demi gak didikte kapitalis?
Balik lagi ke zaman di mana gue sekolah apa atau kawin ama siapa masih
tergantung orang tua?
Kayanya lebih mudah nyari duit
sebanyak-banyaknya aja deh buat beli rumah.
Dan harga rumah semakin mahal.
Apakah gue aja yang emang terlalu prideful gak
mau tinggal sama orang tua? Padahal kalau gue tinggal ama mereka, mungkin
banyak yang bisa gue pelajari dari mereka. Dan gak bakal ada juga itu cerita
orang tua depresi karena kesepian atau ditelantarkan anaknya di panti jompo.
Jangan-jangan kebanggan kita akan cara hidup modern yang memuja individuality
ini malah menjauhkan kita dari living to our fullest, malah sibuk menghabiskan
our prime years mencari uang beli rumah dan melupakan hal-hal yang penting.
Passion... Keluarga...
Lalu Mak Gondut ngebeliin apartemen.
Bah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar