Jumat, 18 Maret 2011

Asuransi

"Penipu dia!"

Mami meraung-raung. 120 juta untuk pensiunan tentara bukan jumlah yang sedikit.

Setelah melihat salah satu temannya sakit dan dibayari penuh oleh asuransi, mami mengasuransikan papi. Dua puluh juta per bulan.

Papi nggak mau, tapi mami ngotot.

"Mami maunya yang untuk kesehatan. Masa jadinya yang buat mati?"

Mami menunjukkan SMS-SMS dari si agen asuransi yang membela diri, tidak rela disebut penipu. SMS-nya terlalu kasar.

"Tega kali di nipu orang tua," kata mami dramatis.

Kemungkinan besar si agen bukan penipu. Dia hanya agen asuransi yang pandai bicara. Bertemu ibu rumah tangga yang gak ngerti policy tapi gemar dipuji-puji.

Tau-tau dia udah tanda tangan, tanpa konsultasi ke anak-anaknya yang lebih mengerti asuransi.

Bukan gue pastinya.

"Ya sudahlah 120 juta nanti dicari lagi. Daripada malah mati kau mikirin itu," kata papi bijak mencoba mencairkan kerutan muka mami.

"Bener ya nanti abang ganti," kata mami sambil cubit-cubit papi.

Berhubung 'gak ngerti policy' sepertinya genetis, sebaiknya gue juga jauh-jauh dari asuransi.

"Lo harus punya asuransi. Abis umur 30 ada aja penyakit," kata Chica sambil makan tahu gunting bertelor dan berkacang. Setelah umur 30, berat Chica menyamai angkatannya di sekolah.

Bukan 96 dan bukan 98.

Agar hidup ini bebas asuransi, mulai hari ini gue harus minum air putih, lari pagi, nggak ngerokok, nggak tidur malam, dan perbanyak tertawa.

Jangan sampai berat badan gue menyamai angkatan chica.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar