Selasa, 15 Maret 2011

Bibik

Namanya Minah. Atau Suminah?

Dia sendiri gak tahu. Di KTP tertulis Suminah.

Gue menyebutnya Bibik. Sejak tiga tahun terakhir, bibik menggantikan bibik-bibik lain yang silih berganti dicereweti Mak Gondut. Bibik ini berbeda. Bibik ramah, lemah lembut, dan sabar menghadapi tiga tuan muda: Boni, Bonyet, dan Mariyuana.

Datang dari Pamulang ke Bandung untu menjadi pembantu. Bertemu anak setahun sekali selama dua minggu. Tahu-tahu anak sudah masuk SMA.

Kembarannya masih di kelas 3 SMP.

Tiap hari mereka bangun jam 5, siap-siap ke sekolah naik angkot sejam karena sekolah mulai jam 7.

Tiap hari Bibik harus keluar 10 ribu per anak untuk ongkos angkot pulang balik.Uang masuk sekolah 300 ribu. Seragam dan ini itu sekian ratus ribu.

Kenapa gak sekolah di deket rumah aja? Kan ada SMA swasta.

Sebulan bisa seratus ribu. Kalau di negeri, bisa minta keringanan. Walau harus sepuluh ribu sehari.

Gaji bibik habis hanya untuk ongkos sekolah.

Mengharapkan tambahan dari ayahnya yang di Jakarta tidak bisa.

Dulu waktu si ayah muda, jualan rujaknya laku. Jadi si ayah bisa kawin lagi. Sekarang sudah tua, jualan tak selaris dulu. Harus bagi dua pula ama istri muda.

Tahun ini dia mau sebulan puasa di kampung, sekalian mengurus tanah yang mau dijual anak Pak Lurah.

Padahal dulu bibik sudah bayar uang surat ke pak lurah lama. Sekarang pak lurah lama sakit-sakitan, surat belum juga jadi. Tanah malah dijual orang.

Memang cuma 14x6 tapi cuma itu yang Bibik punya. Hasil tidak bertemu anak bertahun-tahun jadi TKI. Selama 15 tahun hidup anaknya, cuma tiap lebaran mereka bertemu.

Kenapa Bibik gak bertani aja? Biar sedikit, kan bisa tinggal sama-sama anak.

Malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar