Sabtu, 12 Maret 2011

Bisik-Bisik Tetangga

“Allah akbar!” kata mahkluk-mahkluk berparang dan berjaket kulit hitam sambil menggebuki tiga mahkluk tak berbusana yang sudah coklat, menyatu dengan lumpur.

Pertama kali gue lihat rekaman ini, sendirian di kamar gue, gue marah.

Mahkluk-mahkluk yang berteriak-teriak tuhan itu masih saja memukuli tiga manusia lumpur yang sepertinya sudah tak bernyawa. Mudah-mudahan sudah tak bernyawa. Kalau masih, tak terbayang derita yang dia rasakan.

Kali ke dua gue lihat rekaman ini, di antara mahasiswa tingkat tiga sebuah universitas ternama di Singapur. Gue malu.

Infokus masih terus menayangkan rekaman sadis dari negeri tetangga.

Gue melirik Sunny Soon, sejenak mengutuki diri karena mau saja diundang ke sebuah kelas Asian Studies yang sedang membahas Religions in Asia.

What do I know about Religions in Asia?

Ok. I make a movie somewhat about religions. And it sets in Asia. But again.

What do I know about religions in Asia?

“Indonesia was known for its tolerance for decades...” kata si profesor muda setelah video berakhir.

Si profesor muda melanjutkan ceritanya. Gue sudah sering mendengar tentang betapa Indonesia dulu macan Asia sampai Mei 1998. Tapi mendengar dari seorang warga negara Malaysia, tinggal di Singapura, lulusan Australia, jurusannya Indonesia Studies, gue jadi melihat sisi lain Indonesia.

Yang paling memalukan dari kejadian ini bukan betapa bengisnya mereka, the children of dark. Tetapi betapa pengecutnya kita, si diam saja yang seharusnya the children of light. Yang paling mengecewakan adalah, diamnya kita ini akan dicatat oleh sejarah dan diulangi oleh anak cucu kita.

That was Martin Luther King, by the way.

Sunny Soon ikut menambahkan testimonial betapa mengecewakannya negaranya. About some parking space and whatever.

Gue pengen nyuruh dia diem aja. We need no more embarassment.

Tapi gak jadi.

We have to admit we have a problem. And the first step of resolving our problem is no more denial. Even when it means embarassing ourselves in front of our rich neighbour.

Singapur bukannya tanpa cacat dan cela. Dulu mereka dibuang Malaysia karena dianggap terlalu Cina. PM-nya nangis-nangis ke Malaysia, gak tau mau makan dari mana rakyat negara tak bersumber daya ini.

Karenanya mereka harus bekerja keras dan mengubah diri menjadi robot. Seluruh masalah ras dan agama dibungkam. Yang penting kerja.

“So what do you think?” tanya si dosen meminta si bukan siapa-siapa ini meramalkan nasib bangsanya ke depan.

“We are learning to grow up as a nation. I think it is not tolerance when it is not tested. It might be ignorance. So I hope Indonesia is making the most of this sad lesson.”

Si profesor sedikit terdiam menyadari toleransi di Singapura mungkin saja sebenarnya bom waktu yang siap meledak sedikit saja rakyat lapar. Dan seorang profesor muda di negara sebelah nantinya akan menceritakan betapa Singapur dulu macan asia.

But it’s their work. Kita masih punya gajah di pelupuk mata kita.

Hari ini giliran Ahmadiyah Bogor.

Ternyata bukan gajah. Mammoth.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar