Senin, 14 Maret 2011

Muka Tua

“Ibu udah terima amplopnya ?”

Gue pura-pura gak denger. Produser gue yang sepuluh tahun lebih tua aja dipanggil Mbak.

Bukan salah dia. Dia cuma berusaha sopan. Dasar emang muka gue tua.

Gak sopan.

Kadang-kadang enak punya muka tua. Pertama kali gue wawancara kerja, bos gue nggak ngeh kalau gue belum lulus dan langsung dikontrak jadi pegawai tetap. Padahal gue ngelamar magang.

Same job desc. More money.

Senangnya muka tua.

Pas mulai kerja, kontraktor gak ada yang look down on me karena mereka gak tau gue fresh gradute. Dengan sedikit cuap-cuap sok tahu, I survive the site.

Umur 13, gue udah dapet SIM. Pak polisi gak curiga karena kaki udah nyampe kopling.

Umur 17, gue bebas beli bir di Amerika. Gak ada yang nanya karena gue terlihat 27.

Senangnya muka tua.

It only hurts when I try to get my own Ashton Kutcher.

“What was the question again? You are very distracting,” kata gue di salah satu QnA membuat si brondong berdada bidang tersipu-sipu.

“Come on. It’s for my friend. He’s too young for me.”

Selesai QnA, dia menghampiri. Gue menyambut dengan senyum-senyum ngarep.

“This is my name card, Mam.”

That’s it.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar