Senin, 14 Maret 2011

my life without god

Tiga bulan tanpa baca firman, hidup mulai dipenuhi ketakutan.

Takut gak dape duit. Takut sendirian. Takut gagal. Takut kelaparan.

Marx benar. Tuhan itu candu. Tanpa dia kita sakaw.

Sulit untuk terus berdoa dalam hening di saat si DS berteriak Tuhan saat ngebacok orang, saat Ryu san berenang bersama mobil, pesawat, dan atap pabrik, dan Tuhan diam saja.

Tidak ada tiang api. Tidak ada tiang awan.

Atau mungkin kita yang kurang mendengar? Terlalu hiruk pikuk.

Bagaimana mau mendengar ketika bangun pagi langsung mengeluh tentang langit yang masih biru melulu.

Mandi pagi tak lagi bernyanyi.

Nyetir bikin frustasi karena harus berbagi jalan dengan sepeda dan gerobak cuankie.

Dulu pernah semua terasa begitu istimewa. Bangun pagi, terkagum-kagum dengan birunya langit. Mandi bernyanyi agar harmoni dengan gemericik air. Gerobak cuankie menjadi hiburan di pagi hari.

Waktu itu gue berpikir ini hari terakhir gue di dunia.

After living everyday like it was my last day, I found a big secret.

It is not my last day.

Gue mulai khawatir dengan hari esok. Makan apa? Pakai apa? Bisa gak ya gue bikin film?

Wlll I be my mom?

I am not special. I am just another desperate pathetic loser trying to be special.

And God is just some fantasy created by this desperate pathetic mind to make life more bearable.

Tapi setelah bikin cin(T)a, it’s harder to believe that all these miracles were the creation of this desperate pathetic mind.

Sulit untuk tidak percaya Tuhan setelah bikin cin(T)a.

“What? You make love and then you believe in God?” tanya seorang teman yang sejak SMP tak lagi berbahasa Indonesia.

Make love - bikin cin(T)a

Abis bikin cin(T)a, percaya Tuhan ada.

Abis make love?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar