Biasanya kalau dapat notebook gratisan, gak
pernah gue pake. Tapi notebook hitam dari Singapore International Film Fest ini
beda. Bentuknya sederhana sekali, tapi kenapa terlihat bagus ya?
Setelah mulai gue pakai, kok nulis berasa
lebih enak ya?
Kok tulisan gampang dihapus ya?
Kok setelah dihapus berkali-kali, kertasnya
tetap bagus?
"Kok notebook kau bagus?" tanya
Deden sekilas melihat. Near death experiences membuat Deden lebih pemilih dan
hanya menghargai barang-barang kualitas premium.
"Notebook ini dipakai seniman-seniman
jaman Van Gogh, Den. Semuanya dipikirin
detail. Bahkan siku-sikunya dibikin
membulat gini biar ujung kertas gak melengkung. Makanya harganya mahal."
Melda melengos.
"Ah banyak buku kaya gitu di Gramedia
lima puluh ribuan."
Gue hanya diam saja. Gue juga dulu seperti
Melda, melengosi mereka yang beli notebook ratusan ribu di toko buku hipster Kemang. Buat apa
bayar ratusan ribu padahal di Rumah Buku banyak
notebook lokal lucu-lucu cuma lima puluh ribuan?
Tapi sekarang, setelah merasakan enaknya
menulis di kertas yang gak rusak walau berkali-kali dihapus...
Tetep Rumah Buku sih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar