Alkisah tahun Kambing Kayu ini adalah tahun
kejayaan bagi para babi air. Waktu yang tepat untuk membayar balik semua
hutang. Berbekal keyakinan insidental kepada ramalan Cina di tahun-tahun mujur,
sampailah Babi Air di Kebon Jeruk yang tak smells like jeruk dan juga tak
smells like home.
Walau tak smells like home, jam 7 pagi si Babi
Air sudah sampai di sana agar tak telat meeting jam 8. Dikiranya hanya PH ini
harapan terakhir menuju pilim berpenonton lima ratus ribuan tanpa perlu banting
lemak promosi sebagai produser indie.
Tahun lalu film mereka yang soal kerusuhan
98 laku lebih dari 500 ribuan. Tentunya
bukan karena tingginya desibel jeritan si bintang muda jelita yang tiba-tiba
histeris di kerumunan massa, tetapi berkat iklan tak henti-henti di televisi-televisi
mereka.
Babi Air masuk bersama ojeg Bang Jamil, berusaha tak mengingat peringatan Ucu kalau sang
pemilik sedang dituntut anak Soeharto yang merasa TV-nya diambil. Kalau
keluarga Soeharto saja dia berani macam-macam, apalagi sama seekor Babi Air.
Tak juga peringatan mantan wardrobe mereka
yang mewanti-wanti soal perduitan. Produser sewaktu-waktu bisa mengulur persetujuan
sampai akhirnya tak ada pilihan lain selain mengikuti budget dia.
Jam delapan tepat, Babi Air sudah sampai, siap
dengan ceritanya. Ternyata Salman Aristo pun sudah menunggu di sana, dan
tentunya dia disuruh masuk duluan.
Daripada berdiri ngalangin jalan, Babi Air
berinisiatif nunggu di sebuah bangku yang bukan buat tamu. Masih percaya dia diperlakukan
dengan baik dan benar.
Ketika akhirnya gak jadi bikin film dan malah
bikin serial TV di TV yang seharusnya bukan lagi punya mereka karena gugatannya
dimenangkan anak Soeharto, Babi Air pun tetap positive thinking.
500 ribu penonton!
Ketika cuma dibayar 30an juta per episode all
crew termasuk pajak, sewa rumah, art, dan wardrobe, Babi Air tetap menjauhkan
pikiran kalau yang paling penting bagi mereka hanya murah murah dan murah.
Ketika casting gak ada calon pemeran yang
sesuai dengan brief si Babi Air, tetap si Babi Air mengira sudah itulah yang
terbaik mereka lakukan.
Ketika janji dijemput jam 6 untuk hunting
lokasi dan baru datang jam 9, Babi Air masih
menyalahkan Jakarta. Sama sekali tak curiga mereka tak bisa kerja.
Ketika di kontrak ternyata bahkan hak judul
saja tidak lagi menjadi miliknya, Babi Air masih berniat baik mengingatkan. Jangan-jangan
mereka lupa janjinya.
Ketika akhirnya semua mereka akhiri dengan
sebuah email singkat di pagi hari, ternyata Babi Air malah bernapas lega. Di
lubuk hati terdalamnya ternyata dia tak rela filmnya menjadi sinetron kejar
tayang yang ironisnya tak juga mensejahterakan dirinya.
Mungkin susah payah promosi sebagai produser indie tidak semelelahkan bekerja dengan mereka.
Mungkin susah payah promosi sebagai produser indie tidak semelelahkan bekerja dengan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar