Jumat, 23 Oktober 2015

Selamatnya Si Babi Air

Alkisah tahun Kambing Kayu ini adalah tahun kejayaan bagi para babi air. Waktu yang tepat untuk membayar balik semua hutang. Berbekal keyakinan insidental kepada ramalan Cina di tahun-tahun mujur, sampailah Babi Air di Kebon Jeruk yang tak smells like jeruk dan juga tak smells like home.

Walau tak smells like home, jam 7 pagi si Babi Air sudah sampai di sana agar tak telat meeting jam 8. Dikiranya hanya PH ini harapan terakhir menuju pilim berpenonton lima ratus ribuan tanpa perlu banting lemak promosi sebagai produser indie.
  
Tahun lalu film mereka yang soal kerusuhan 98  laku lebih dari 500 ribuan. Tentunya bukan karena tingginya desibel jeritan si bintang muda jelita yang tiba-tiba histeris di kerumunan massa, tetapi berkat iklan tak henti-henti di televisi-televisi mereka.

Babi Air masuk bersama ojeg Bang Jamil,  berusaha tak mengingat peringatan Ucu kalau sang pemilik sedang dituntut anak Soeharto yang merasa TV-nya diambil. Kalau keluarga Soeharto saja dia berani macam-macam, apalagi sama seekor Babi Air.

Tak juga peringatan mantan wardrobe mereka yang mewanti-wanti soal perduitan. Produser sewaktu-waktu bisa mengulur persetujuan sampai akhirnya tak ada pilihan lain selain mengikuti budget dia.

Jam delapan tepat, Babi Air sudah sampai, siap dengan ceritanya. Ternyata Salman Aristo pun sudah menunggu di sana, dan tentunya dia disuruh masuk duluan.

Daripada berdiri ngalangin jalan, Babi Air berinisiatif nunggu di sebuah bangku yang bukan buat tamu. Masih percaya dia diperlakukan dengan baik dan benar.

Ketika akhirnya gak jadi bikin film dan malah bikin serial TV di TV yang seharusnya bukan lagi punya mereka karena gugatannya dimenangkan anak Soeharto, Babi Air pun tetap positive thinking.

500 ribu penonton!

Ketika cuma dibayar 30an juta per episode all crew termasuk pajak, sewa rumah, art, dan wardrobe, Babi Air tetap menjauhkan pikiran kalau yang paling penting bagi mereka hanya murah murah dan murah.

Ketika casting gak ada calon pemeran yang sesuai dengan brief si Babi Air, tetap si Babi Air mengira sudah itulah yang terbaik mereka lakukan.

Ketika janji dijemput jam 6 untuk hunting lokasi dan baru datang jam 9,  Babi Air masih menyalahkan Jakarta. Sama sekali tak curiga mereka tak bisa kerja.

Ketika di kontrak ternyata bahkan hak judul saja tidak lagi menjadi miliknya, Babi Air masih berniat baik mengingatkan. Jangan-jangan mereka lupa janjinya.

Ketika akhirnya semua mereka akhiri dengan sebuah email singkat di pagi hari, ternyata Babi Air malah bernapas lega. Di lubuk hati terdalamnya ternyata dia tak rela filmnya menjadi sinetron kejar tayang yang ironisnya tak juga mensejahterakan dirinya.

Mungkin susah payah promosi sebagai produser indie tidak semelelahkan bekerja dengan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar