Sabtu, 03 Oktober 2015

Rejected

Suatu sore gosip bersama Sally membawa kami ke  kabar seorang conq yang baru saja meninggal.  Sally bercerita, dulu dia cabs dari Padang dan gak pernah niat balik.

Seperti conq-conq lainnya yang  merasa ditolak kampung halaman.

"Untung gue gak ditolak keluarga gue ya," kata gue mengingat Papi dan Mami yang masih mengakui gue anaknya. Mami pas  tahu seminggu gak keluar kamar sih, tapi ya udah baguslah itu.

"Menurut gue nggak. Lo berubah. Dulu tuh lo orang paling optimis yang gue kenal. Sekarang nggak. Dan gue rasa approval Kak Ria banyak ngaruh buat lo," kata Sally menganalisa.

Gue ketawa, tapi air mata menetes tanpa diundang di mata kiri.

"Taik. Gue juga ngerasa ditolak ya?" tanya gue antara kaget dan malu.

Am I really that blind? Kok bisa Sally aja nyadar, gue nggak?

And I call myself a writer?

Gue inget sih muka Sally ketika gue ceritakan ending cerita Raja Kata, my last movie yang setelah bikin itu gue gapapa gak bikin film lagi. Di akhir cerita si pendeta lesbi itu ternyata membiarkan bapaknya meninggal karena dia yakin bapaknya lebih bahagia mati daripada hidup punya anak lesbi.

Setelah Heavenly Creatures, Chloe, Monsters, dll, emang dunia butuh another film dengan karakter utama lesbi psycho ya? Gak bisa ya lo bikin yang hepi-hepi aja? Biar dunia kenal lebih banyak lesbi menyenangkan kaya Ellen de Generes.

Mungkin gue gak butuh bikin film. Mungkin gue cuma pengen bilang kalau gue sesedih si pendeta lesbi. Gue juga merasa Papi lebih baik mati daripada punya anak lesbi. Justru karena Papi baik, tidak pernah berteriak-teriak memaki seperti papinya anak-anak lesbi lain. Papi hanya diam.

Lalu sakit jantung berkali-kali.

Mungkin yang gue butuh bukan approval Kak Ria. Bukan approval Papi. Bukan approval Mami.

Mungkin gue butuh approval diri sendiri.    Seperti si Raja Kata yang berusaha memaafkan dirinya sendiri.

Bah! Jadi aku lesbi psycho juga?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar