Suatu sore gosip bersama Sally membawa kami
ke kabar seorang conq yang baru saja
meninggal. Sally bercerita, dulu dia cabs
dari Padang dan gak pernah niat balik.
Seperti conq-conq lainnya yang merasa ditolak kampung halaman.
"Untung gue gak ditolak keluarga gue
ya," kata gue mengingat Papi dan Mami yang masih mengakui gue anaknya.
Mami pas tahu seminggu gak keluar kamar
sih, tapi ya udah baguslah itu.
"Menurut gue nggak. Lo berubah. Dulu tuh
lo orang paling optimis yang gue kenal. Sekarang nggak. Dan gue rasa approval
Kak Ria banyak ngaruh buat lo," kata Sally menganalisa.
Gue ketawa, tapi air mata menetes tanpa
diundang di mata kiri.
"Taik. Gue juga ngerasa ditolak ya?"
tanya gue antara kaget dan malu.
Am I really that blind? Kok bisa Sally aja
nyadar, gue nggak?
And I call myself a writer?
Gue inget sih muka Sally ketika gue ceritakan
ending cerita Raja Kata, my last movie yang setelah bikin itu gue gapapa gak
bikin film lagi. Di akhir cerita si pendeta lesbi itu ternyata membiarkan
bapaknya meninggal karena dia yakin bapaknya lebih bahagia mati daripada hidup
punya anak lesbi.
Setelah Heavenly Creatures, Chloe, Monsters,
dll, emang dunia butuh another film dengan karakter utama lesbi psycho ya? Gak
bisa ya lo bikin yang hepi-hepi aja? Biar dunia kenal lebih banyak lesbi
menyenangkan kaya Ellen de Generes.
Mungkin gue gak butuh bikin film. Mungkin gue
cuma pengen bilang kalau gue sesedih si pendeta lesbi. Gue juga merasa Papi
lebih baik mati daripada punya anak lesbi. Justru karena Papi baik, tidak
pernah berteriak-teriak memaki seperti papinya anak-anak lesbi lain. Papi hanya
diam.
Lalu sakit jantung berkali-kali.
Mungkin yang gue butuh bukan approval Kak Ria.
Bukan approval Papi. Bukan approval Mami.
Mungkin gue butuh approval diri sendiri. Seperti si Raja Kata yang berusaha memaafkan
dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar