Rabu, 28 Oktober 2015

Good Producers

"Why are most good producers in Indonesia women?" tanya salah satu petinggi MPAA yang di habitat asalnya produser didominasi pria.

"Because they have rich husbands," jawab gue yakin. Hanya spesies istri bersuami kaya yang bisa bikin film idealis tanpa takut kehilangan beberapa M.

Dia tertawa seakan baru menyadari kalau industri film Indonesia beda sama Amerika. Di Amerika, film buat nyari duit. Di sini, film buat buang duit.

But I don't have a rich husband.

Makanya ketika 'Selamat Pagi, Malam' turun cepat dari bioskop, gue mikir panjang lebar kali tinggi kalau harus memproduseri film lagi di iklim yang seperti ini. Mending beli rumah.

"Jadi, kalian kan gak ada yang kaya... masih mau jadi filmmaker?" tanya gue kepada puluhan anak di meja panjang workhop film yang menamakan dirinya workshop produser film Bandung.

Masih saja mereka mau, tak mempan ditakut-takuti.

Bah! Mereka muda dan naif.

Kalau gue bertanya ke gue sendiri, maukah gue menjadi filmmaker?

Ternyata gue dengan bodohnya tetap mau.

Mungkin karena film pertama gue film kaya cin(T)a yang benar-benar dimulai dari nol dan tanpa perencanaan.  Gue jadi tahu betapa serunya berjalan tanpa arah pasti. Everyday is a step of faith.

Dan hidup seperti itu jika dilihat ke belakang, membanggakan.

Mungkin gue harus kembali ke awal, kembali memasang kostum filmmaker indie with no money but a lot to say.

Jadi jika nanti si MPAA bertanya lagi "Why are most good producers in Indonesia women?"  


Gue akan menjawab. "Because we have a lot to say. We don't care you wanna hear it or not, we are saying it anyway."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar