"Why are most good producers in Indonesia
women?" tanya salah satu petinggi MPAA yang di habitat asalnya produser
didominasi pria.
"Because they have rich husbands,"
jawab gue yakin. Hanya spesies istri bersuami kaya yang bisa bikin film idealis
tanpa takut kehilangan beberapa M.
Dia tertawa seakan baru menyadari kalau
industri film Indonesia beda sama Amerika. Di Amerika, film buat nyari duit. Di
sini, film buat buang duit.
But I don't have a rich husband.
Makanya ketika 'Selamat Pagi, Malam' turun
cepat dari bioskop, gue mikir panjang lebar kali tinggi kalau harus
memproduseri film lagi di iklim yang seperti ini. Mending beli rumah.
"Jadi, kalian kan gak ada yang kaya... masih
mau jadi filmmaker?" tanya gue kepada puluhan anak di meja panjang workhop
film yang menamakan dirinya workshop produser film Bandung.
Masih saja mereka mau, tak mempan
ditakut-takuti.
Bah! Mereka muda dan naif.
Kalau gue bertanya ke gue sendiri, maukah gue
menjadi filmmaker?
Ternyata gue dengan bodohnya tetap mau.
Mungkin karena film pertama gue film kaya
cin(T)a yang benar-benar dimulai dari nol dan tanpa perencanaan. Gue jadi tahu betapa serunya berjalan tanpa
arah pasti. Everyday is a step of faith.
Dan hidup seperti itu jika dilihat ke
belakang, membanggakan.
Mungkin gue harus kembali ke awal, kembali
memasang kostum filmmaker indie with no money but a lot to say.
Jadi jika nanti si MPAA bertanya lagi "Why
are most good producers in Indonesia women?"
Gue akan menjawab. "Because we have a lot
to say. We don't care you wanna hear it or not, we are saying it anyway."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar