Mengantar jemput Mak Gondut sakit, di antara cerita
Mak tentang Tantemu yang nenek kucing sampai betapa lucunya Mak di 'Lamaran', gue baru ngeh kalau ternyata Tanah Mami
banyak.
Ada yang dulu dia beli 700 juta, sekarang
harganya 15 M.
Ada juga yang 700 juta sekarang 2.1 M.
Ada yang 70 juta, sekarang 300 juta.
"Nabung tanah itu paling baik," kata
Mak Gondut mengajari gue untuk segera investasi properti. Harganya
berlipat-lipat tanpa usaha berarti.
Gue terkesan juga dengan strategi si ibu rumah
tangga yang gak pernah kuliah ini memastikan keluarganya tak pernah kekurangan.
Barulah ketika Mak Gondut hendak membeli
apartemen murah yang dibuat Ridwan Kamil untuk warga muda Bandung, gue terusik.
Terbayang muka si Indri yang belum punya
rumah. Bukankah ini seharusnya hak dia?
"Nanti satu lantai mami suruh teman-teman
lansia mami beli. Biar di situ mami ngumpul ama lansia-lansia."
Terbayang muka Sunny yang membayar dua
setengah juta per bulan untuk sebuah apartemen yang dulu dibeli Mak Gondut 200
juta. Itu pun sudah dianggap murah.
Tanpa kita sadari, nabung tanah is the mother
of capitalism. Tuan tanah berkuasa. Kelas Pekerja menghabiskan masa mudanya
hanya untuk membayar sewa.
Kalau cuma ada satu Mak Gondut mungkin tak
akan terasa. Tapi kalau seluruh lansia berpikiran serupa?
Gimana kalau motivasinya bukan lagi nabung
tanah buat anak cucu, tapi pure greed?
Kita beli aja semua tanah, biar kita bisa jual
berapapun harganya. Jadi kita gak usah bekerja terlalu keras. Biar orang-orang yang
kerja giat di perusahaan kita demi bisa membeli rumah yang harganya terserah
kita.
Coba lihat sekitar kita. Tanah-tanah di
Jakarta developer-nya itu-itu saja.
Jadi mengerti kenapa ada keluarga yang melarang
keturunannya bisnis properti. Boleh bisnis apapun, asal bukan bisnis tanah.
Karena tanah terbatas, tidak bisa ditambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar