Minggu, 25 Oktober 2015

Nabung Tanah

Mengantar jemput Mak Gondut sakit, di antara cerita Mak tentang Tantemu yang nenek kucing sampai betapa lucunya Mak di 'Lamaran',  gue baru ngeh kalau ternyata Tanah Mami banyak. 

Ada yang dulu dia beli 700 juta, sekarang harganya 15 M.  

Ada juga yang 700 juta sekarang 2.1 M.

Ada yang 70 juta, sekarang 300 juta.

"Nabung tanah itu paling baik," kata Mak Gondut mengajari gue untuk segera investasi properti. Harganya berlipat-lipat tanpa usaha berarti.

Gue terkesan juga dengan strategi si ibu rumah tangga yang gak pernah kuliah ini memastikan keluarganya tak pernah kekurangan.

Barulah ketika Mak Gondut hendak membeli apartemen murah yang dibuat Ridwan Kamil untuk warga muda Bandung, gue terusik.

Terbayang muka si Indri yang belum punya rumah.  Bukankah ini seharusnya hak dia?

"Nanti satu lantai mami suruh teman-teman lansia mami beli. Biar di situ mami ngumpul ama lansia-lansia."

Terbayang muka Sunny yang membayar dua setengah juta per bulan untuk sebuah apartemen yang dulu dibeli Mak Gondut 200 juta. Itu pun sudah dianggap murah.

Tanpa kita sadari, nabung tanah is the mother of capitalism. Tuan tanah berkuasa. Kelas Pekerja menghabiskan masa mudanya hanya untuk membayar sewa.

Kalau cuma ada satu Mak Gondut mungkin tak akan terasa. Tapi kalau seluruh lansia berpikiran serupa?

Gimana kalau motivasinya bukan lagi nabung tanah buat anak cucu, tapi pure greed?

Kita beli aja semua tanah, biar kita bisa jual berapapun harganya. Jadi kita gak usah bekerja terlalu keras. Biar orang-orang yang kerja giat di perusahaan kita demi bisa membeli rumah yang harganya terserah kita.

Coba lihat sekitar kita. Tanah-tanah di Jakarta developer-nya itu-itu saja.

Jadi mengerti kenapa ada keluarga yang melarang keturunannya bisnis properti. Boleh bisnis apapun, asal bukan bisnis tanah.

Karena tanah terbatas, tidak bisa ditambah.

Kita semua berhak atas a place to call home.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar