Mendengarkan keluh kesah 30 juri kompetisi nasional
untuk remaja ini, gue bersyukur gue gak kebagian tugas membaca. Gue cuma perlu
membuat film berdasarkan salah satu karya yang dipilih mereka.
"Gue kan baca 100 karya. 90 persen jelek
banget. 10 persen jelek," kata salah satu juri.
Semua tertawa. Untung juri-juri ini lucu-lucu,
gak kaya karya yang dinilai mereka.
Minggu lalu mereka dibagikan sekitar seratus
karya per orang untuk dibaca. Minggu
berikutnya another 100. Di minggu ketiga kami bertemu lagi untuk mendiskusikan
karya mana yang sebaiknya difilmkan.
Ada yang sudah meluangkan waktu akhir
minggunya dengan mempersiapkan ritual kopi dan sofa empuk, biar bacanya khusyu.
Langsung ngomel-ngomel membaca karya yang isinya tak jauh-jauh dari tobat dan
akhirat.
Ada yang anak kyai. Sebelum baca, sudah doa dulu.
Sesudah baca, tetap mengumpat.
Kenapa semua karya anak muda ini begitu
menghakimi? Inikah gambaran masa depan bangsa ini? Penuh anak-anak muda yang
merasa benar sendiri dan menghakimi yang
berbeda hanya karena pemimpin agamanya bilang mereka berdosa?
Gue diam-diam saja di ujung sana, tidak berani
bersuara. Kalau saja juri-juri ini tahu, gue di umur 17 disuruh nulis pun pasti
isinya seperti mereka.
Lalu kenapa gue berubah?
Berubahnya pun cepat sekali. Cuma karena gue
mengenal secara personal orang-orang yang menurut pendeta gue pendosa. Gue
melihat ternyata dia juga manusia biasa, sama kaya gue. Punya cinta dan
insecurity.
Mungkin anak-anak ini juga gitu. Di sekitarnya
gak ada waria. Gak ada homo. Gak ada pelacur. Gak ada sexually liberated women. Gak ada yang AIDS.
Tak kenal, maka tak sayang.
Mungkin yang gue harus filmkan justru
juri-juri ini. Ada waria yang lulusan Italia.
Ada feminis yang gak kawin-kawin. Ada yang mukanya Arab, ternyata conq.
Mungkin kalau anak-anak itu kenal mereka, mereka
tak lagi menghakimi.
Atau tambah menghakimi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar